Alkisah, Sebuah Negeri Terjebak di Abad Kegelapan

beingindonesian | Bepergian, Indonesia, DanauOleh Reza A.A Wattimena

Alkisah, hadirlah sebuah negeri indah di Khatulistiwa. Para dewa tersenyum, ketika negeri ini tercipta. Ribuan pulau terurai ditemani oleh sinar mentari yang tak ada habisnya. Jika sungguh ada surga, maka negeri ini adalah surga terindah yang pernah ada.

Alamnya begitu kaya. Ini mengundang iri dari seluruh dunia. Apapun yang ditabur begitu mudah tumbuh. Tanpa perawatan dari manusia, semua tercipta begitu indah, dan begitu nyata.

Budayanya juga sungguh berwarna. Begitu banyak acara bersama yang mempererat tali persaudaraan. Ini tidak hanya terjadi antar manusia, tetapi juga dengan alam dan segala isinya. Harmoni dengan segala yang ada, inilah inti dari semangat negeri surga di Khatulistiwa.

Suatu waktu, karena keluhuran budayanya, negeri Khatulistiwa menjadi pusat Dharma. Inilah ilmu pengetahuan dalam artinya yang paling sempurna. Inilah pengetahuan tentang hukum-hukum alam semesta yang melepaskan manusia dari belenggu kebodohan serta penderitaan. Orang-orang dari berbagai belahan dunia pun datang untuk menimba ilmu yang berkelimpahan.

Kegelapan Datang

Namun, dengan berjalannya waktu, kegelapan pun datang. Perubahan memang hukum semesta. Apa yang luhur pun harus tunduk pada hukum perubahan. Kini, masa tercerahkan sudah berakhir, dan masa kegelapan telah menanti.

Korupsi menjadi wabah. Uang rakyat dicolong oleh pemimpinnya sendiri. Pembangunan terhambat. Rakyat hidup dalam kemiskinan dan penderitaan.

Para pemimpin menjabat untuk mencuri uang rakyat. Mereka haus kuasa dan kenikmatan dangkal belaka. Tak ada satu pun kepentingan rakyat yang sungguh dipikirkan, dan dipenuhi. Politik menjadi sirkus belaka.

Agama, yang seharusnya menawarkan kebahagiaan dan kedamaian, kini menjadi alat politik. Rakyat dipecah atas dasar perbedaan agama. Kaum minoritas dipaksa tunduk pada sikap egois kelompok mayoritas. Di negeri (bekas) surga Khatulistiwa, agama merusak budaya, menindas tubuh wanita dan memperbodoh masyarakat luas.

Dari ujung sampai ke ujung, hawa kemiskinan terasa menyengat. Orang hidup dalam tempat sampah. Para penguasa, dan rekan koruptornya, hidup di istana-istana hampa. Orang lapar di tengah kelimpahan harta dunia.

Kesenjangan pun tak malu menampakkan muka. Rumah mewah diisi tiga orang. Sementara, rumah yang begitu sempit diisi delapan orang. Di ibu kota negara Khatulistiwa ini, kemiskinan dan kekumuhan sudah menjadi pemandangan nyata sehari-hari.

Karena kedunguan para pemimpinnya, berbagai masalah tak kunjung selesai. Krisis bergantian menghantam, tanpa henti. Seolah para dewa mengirim kutukan yang tak berjeda. Namun, para pemimpinnya tetap tuli dan buta.

Katanya, ibukotanya siap ditelan laut. Udara yang beracun, ditambah dengan pemanasan global, akan menenggelamkan kota penuh kerakusan itu. Para pemimpinnya yang degil hendak pergi ke tempat lain. Rakyat yang tak berdaya ditinggal menghadapi bencana.

Sampai Kapan?

Negeri surga telah terjebak di abad kegelapan. Inilah abad, ketika para dewa menutup matanya. Inilah abad, ketika nalar jernih dan nurani digantikan sikap rakus dan munafik. Kepatuhan buta tanpa tanya, kehendak jahat dan sikap munafik menjadi pandangan dunia yang mewabah.

Entah kapan, masa kegelapan ini berakhir. Para pemikir sudah hadir disana. Namun, mereka tak berdaya, karena dihantam oleh gelombang agama kematian. Sudah terlalu banyak derita dan air mata. Para dewa diam membisu di hadapan tangis manusia.

Negara surga Khatulistiwa telah menjadi negara bencana. Tak ada orang yang mau belajar disini. Paling, mereka hanya datang untuk mengeruk sumber daya yang ada. Dimanakah negeri Khatulistiwa yang terjebak di abad kegelapan ini? Anda mungkin bisa menjawabnya.***

***

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander AntoniusLebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

6 tanggapan untuk “Alkisah, Sebuah Negeri Terjebak di Abad Kegelapan”

  1. saya benar2 mengerti thema nya haha ha…
    ingin saya tambahkan peribahasa (asli nya bhs latin): melawan kedunguan bahkan dewa2 tidak mampu memenangkan.
    saya bukan penyanjung hukuman mati, tpi bagaimana konsekuen hukuman mati utk kaum koruptor atau kerja keras spt di cina tanpa proses bertele2??
    salam hangat !!

    Suka

  2. Luar biasa Pak Reza, saya mengafirmasi setinggi2nya kecemasan anda di hadapan fakta kerusakan sumber daya alam dan sumber daya budaya kita. Saya melihat, Sikap tidak menjaga sumber daya alam dan sumber daya budaya dalam sebuah “desain pambangunan berbasis paradigma pembangunan berkelanjutan” barangkali menjadi salah satu konsekuensi buruk dari kesalahan dalam pendidikan nilai (Etika) kita di sekolah. Sebagian besar ajaran etika kita di sekolah sering diidentikkan dengan pendidikan agama. Premisnya, setiap tindakan baik selalu dilihat kesesuaian dengan perintah Tuhan (agama), dengan tujuan mendapat pahala surga. Inilah yang membuat orang tidak mengali ke dalam dirinya sendirinya mengenai dasar2 nilai itu. Manusia dalam perintah akal budinya sebenarnya mempunyai kencendrungan untuk membangun dunianya yang ramah lingkungan dan ramah sosial tanpa harus disertai oleh ganjaran surga/neraka. Kesadaran inilah yang memproduksi lahirnya kebudayaan2 tinggi yang ramah lingkungan dan ramah sosial. Kesadaran etis tadi kemudian dikonstitusikan secara normatif lewat undang2, seperti kita lihat di negara2 Skandanavia. Negara2 ini secara sosial-politik memiliki desain kebijakan yang sangat adil dan menunjung tinggi kejahteraan sosial dan ramah terhadap lingkungan. Udara di negara ini bersih, ngak banyak sampah. Orang2nya meskipun sangat induvidualistis, tetapi mempunyai bela rasa yg tinggi, mereka akan cepat merespon bencana alam yg menimpa sesamanya dan cepat mencari solusi , mereka sangat peduli orang2 cacat, tanpa menengok apa perintah ayat2. Semoga ke depannya diskusi nilai2 kita lebih didasarkan pada diskursus rasional dan pertimbangan ilmiah sehingga menghasilkan konsep2 etika yang netral dan terbuka terhadap kenyataan alam dan terbuka terhadap keunikan perbedaan dan keanekaragaman kultural.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.