Mengapa Negeri Surga Khatulistiwa Terus Terjebak di Abad Kegelapan?

Dark Ages and Renaissance Art Masters – Dark Art and CraftOleh Reza A.A Wattimena

Negeri surga Khatulistiwa itu sungguh dicintai para dewa. Alamnya indah nan mempesona. Budayanya kaya dan berwarna. Surga dunia sudahlah hadir, dan tak perlu menunggu ajal tiba.

Negeri surga Khatulistiwa itu pernah menjadi pusat Dharma dunia. Hukum-hukum kebenaran dipelihara dan diwariskan kegenerasi berikutnya. Inilah hukum-hukum alam yang membebaskan dan membawa pencerahan. Namun, sayang, negeri surga tersebut kini tenggelam di dalam kegelapan.

Para pemimpinnya mencuri uang rakyat. Mereka mempermiskin dan memperbodoh rakyatnya sendiri. Para pemuka agamanya hidup dalam kemunafikan tanpa batas. Tubuh perempuan ditindas, dan ketertiban hidup bersama terus dikacaukan dengan suara-suara sumbang perusak telinga.

Mengapa?

Mengapa negeri surga kini terasa seperti neraka? Mengapa para dewa tidak lagi melirik negeri surga yang sudah mereka lahirkan dan rawat? Ini semua terjadi, karena kedunguan rakyatnya sendiri. Ajaran asing yang merusak justru dibela dan diwariskan, sehingga kebodohan tak kunjung padam.

Kekuasaan diperebutkan untuk memuaskan kenikmatan dangkal semata. Ketidakadilan atas nama agama terus dibiarkan merajalela. Konflik dan kebencian pun tak kunjung reda. Di mata dunia, negeri surga, yang telah menjadi neraka, ini hanya diperah sumber daya alamnya.

Selama ratusan tahun, negeri tersebut terjebak dalam kegelapan. Penjajah demi penjajah datang dan merusak budaya serta alam. Nalar sehat dan kritis dibuang ke tempat sampah. Nurani ditumpulkan oleh ajaran agama kematian yang datang merusak dari luar.

Ketika nalar dan nurani menjadi buta, kemajuan hanya tinggal harapan. Kebodohan dan kemiskinan semakin dalam tersebar. Penderitaan batin dan badan tersebar di berbagai tempat. Para pemimpin memilih untuk tetap buta dan menutup telinga.

Tertinggal dalam Kebisuan

Dunia sudah melihat semesta sebagai tujuan. Dunia mencari jalan untuk menemukan sumber energi yang terbarukan. Filsafat, seni, sains dan teknologi berkembang pesat di berbagai penjuru dunia. Namun, di negeri Khatulistiwa yang telah menjadi neraka, yang ada hanya kebodohan dan kemiskinan. Tubuh perempuan terus dijajah, dan nalar kritis terus dibungkam.

Seolah, tak ada kehendak untuk maju. Tak ada kehendak untuk keluar dari ajaran agama kematian yang membelenggu. Para perempuan hidup dalam cuci otak ciptaan para pria yang dungu dan merusak. Negeri surga Khatulistiwa, yang kini sudah menjadi neraka, semakin dilupakan dari mata dunia.

Ini semua terjadi, karena rakyatnya membisu. Mereka tahu, apa yang harus dilakukan. Namun, dalam kebodohannya, mereka memilih untuk diam. Jika pun ada kata yang keluar, itu lahir dari kemunafikan dan ketakutan.

Para dewa sebenarnya tetap mencintai negeri Khatulistiwa ini. Namun, tanpa usaha nyata untuk berubah dari rakyatnya, cinta para dewa hanya bertepuk sebelah. Ia tak berbalas, dan justru berujung pada nestapa negeri itu sendiri. Mungkin anda tahu, dimana negeri surga Khatulistiwa ini, yang terus terjebak di abad kegelapan, dan telah berubah menjadi negeri neraka ini?***

***

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander AntoniusLebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

2 tanggapan untuk “Mengapa Negeri Surga Khatulistiwa Terus Terjebak di Abad Kegelapan?”

  1. bukannya bunga teratai juga tumbuh di lumpur dan air kotor ?
    toleh lah jalan hidup anda dimasa silam (masa kanak2-remaja dalam “cinta-kasih sayang” dan masa hidup diujung tanduk ), lihat lah bunga teratai mulai tumbuh dan berbunga, berkembang biak.
    lihat lah rekan2 di kalangan.
    kita semua berkaitan satu sama lain. kita jalankan apa yg kita “tuju”, semua ada di telapa kaki kita sendiri.
    justru keadaan cemas/putus asa adalah suatu chance utk pembebasan (tertulis di literatur tertentu ???)
    ada condong forum filsafat kearah prosa, mengarang , menulis thriller ?
    adakah peminat yg merasa , inti tulisan (thema) mencair dan terasa hambar , trivial, banal ??
    teringat peribahasa : alter wein in neuen schläuchen.
    salam hangat !!

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.