Jiwa Warga Jakarta

Landscape Town Jakarta - Free image on PixabayOleh Reza A.A Wattimena

Jakarta adalah ibu kota dari Republik Indonesia. Sampai detik ini, Jakarta masih menjadi pusat dari berbagai kegiatan politik, ekonomi maupun kebudayaan di Indonesia. Pada 2020 lalu, ada sekitar 36 juta orang yang resmi menjadi warga Jakarta, terutama akibat transmigrasi selama puluhan tahun. Kota ini pun menjadi kota terbesar kedua di dunia, setelah Tokyo di Jepang.

Saya sendiri sudah hidup sekitar 28 tahun di Jakarta. Sekitar 10 tahun, saya merantau di berbagai kota untuk bekerja dan belajar. Saya lahir dan besar di Jakarta, sehingga mengalami langsung pergaulan dengan warga Jakarta. Ada dorongan untuk memberikan gambaran umum yang berpijak pada pengalaman sekaligus analisis yang saya punya.

Manusia Jakarta

Sebagai kerangka umum, saya mengembangkan analisis dari pidato kebudayaan Mochtar Lubis pada 1977 di Taman Ismail Marzuki yang berjudul Manusia Indonesia. Ada lima hal yang kiranya perlu diperhatikan. Pertama, manusia Indonesia itu munafik. Saya rasa, ciri yang sama dengan mudah ditemukan di manusia Jakarta.

Kemunafikan adalah ciri orang yang berbuat jahat, namun menutupinya dengan hal-hal yang dianggap luhur. Agama pun kerap menjadi simbol kemunafikan. Jakarta memiliki beragam rumah ibadah, dan terus bertambah, walaupun sebagian besar tanpa ijin. Namun, tingkat korupsi, intoleransi serta konflik kekerasan, terutama terhadap perempuan dan anak-anak, menempati urutan tertinggi di Indonesia.

Dua, manusia Jakarta tidak mau bertanggung jawab atas tindakannya. Ini dengan mudah dilihat di dalam perilaku lalu lintas maupun soal kebersihan. Tak ada kepedulian pada tata hidup bersama, maupun kelestarian lingkungan hidup. Para pelaku pelanggaran pun kerap kabur, jika melihat atau akan ditindak oleh pihak penegak hukum.

Tiga, manusia Jakarta bermental feodal. Mereka amat memuja jabatan, baik itu jabatan militer, keagamaan, pemerintahan ataupun jabatan ekonomi. Isi pribadi dan sifat asli tak dipedulikan, selama orang memegang jabatan yang dianggap penting di masyarakat. Orang-orang ini pun kerap bertindak seenaknya, seperti melanggar aturan dan hukum yang ada, tanpa peduli, karena bisa berlindung di balik jabatannya.

Perilaku pejabat paling terlihat. Di jalan raya, mereka kerap memotong jalan orang. Mereka tidak mau mengantri. Polisi ataupun tentara pun dipergunakan untuk membelah kemacetan. Ini menyedihkan, karena mereka semua hidup dari uang rakyat.

Empat, orang Jakarta doyan klenik. Mereka rajin berdoa, guna meminta sesuatu, biasanya terkait kekayaan ataupun kecantikan. Menghadapi penyakit, mereka kerap tidak menggunakan sistem kedokteran modern, melainkan dukun yang belum jelas latar belakangnya. Tak heran, ketika pandemi COVID 19 mencapai puncaknya, Jakarta terdampak dengan parah.

Lima, orang Jakarta berkarakter lemah. Mereka suka mencuri dan berbohong, ketika ada kesempatan. Mereka tidak peduli moralitas, etiket ataupun hukum, selama tidak ada penegak hukum yang memperhatikan. Sudah ratusan kali, saya mengalami langsung, bagaimana rasanya ditipu oleh orang Jakarta yang berkarakter buruk.

Karakter lemah juga tampak dari pengelolaan emosi. Orang Jakarta cenderung gampang marah. Kesalahan kecil bisa berujung pada pertengkaran, bahkan kematian. Orang Jakarta cenderung tidak sabar, sehingga sulit antri, terutama ketika berkendara.

Mereka juga cenderung tak tepat waktu. Seingat saya, tak pernah saya berjumpa dengan orang Jakarta yang tepat waktu, ketika berjanji. Mereka menggunakan jam karet. Jika telat, kerap kali tak ada penjelasan yang masuk akal, apalagi permintaan maaf.

Mayoritas orang Jakarta juga kerap beribadah dengan suara keras. Mereka menganggu lingkungan sekitar. Orang sakit, dan para pencinta hening, tak akan bisa menemukan kedamaian di Jakarta. Persoalan beribadah dengan suara keras, dan mengganggu ketenangan bersama, sudah menjadi masalah lama di Jakarta yang tak pernah ditangani dengan baik oleh para pemimpinnya.

Berjarak dari Jakarta

Bagaimanapun, saya adalah orang Jakarta. Kota yang hampir tenggelam dan kacau balau ini adalah kampung halaman saya. Saya beruntung, karena belajar filsafat, sehingga bisa cukup reflektif dan kritis terhadap budaya saya sendiri. Hal ini tidak didapat oleh banyak orang di Jakarta.

Satu titik terang juga tampil di balik kegelapan kota Jakarta. Orang-orangnya ramah sekali, apalagi jika memiliki minat yang sama, seperti otomotif, seni dan sebagainya. Sudah berulang kali saya disapa di jalan oleh orang yang tak saya kenal, tetapi memiliki tipe motor yang sejenis. Di sela-sela kacaunya ibu kota, keramahan ini kerap menyegarkan batin.

Apakah keenam hal ini juga bisa berlaku untuk menggambarkan manusia Indonesia? Saya rasa, kurang lebih cirinya serupa. Ada beberapa perbedaan yang muncul, akibat perbedaan geografis dan budaya. Bagaimana menurut anda?

Beberapa Analisis

Gambaran umum di atas tidak bermaksud pukul rata. Tentu saja, ada beberapa perkecualian. Ada orang-orang Jakarta yang cukup terbuka, solider terhadap mereka yang berkekurangan dan memiliki karakter yang cakap. Namun, ini masih perkecualian kecil dari keseluruhan yang ada.

Banyaknya pendatang juga mempengaruhi suasana Jakarta. Bagi para pendatang, Jakarta hanyalah tempat untuk mencari uang. Tak ada ikatan batin yang berarti, sehingga mereka cenderung tak peduli. Ini berakar pada empat hal yang sungguh perlu untuk diperhatikan.

Pertama, jakarta miskin keteladanan politik. Para pemimpin politiknya tidak memberikan contoh hidup berbangsa dan bernegara yang baik. Mereka cenderung bersikap gila hormat, dan tak peduli pada kesulitan rakyat yang telah memilihnya. Bahkan, beberapa dugaan kuat korupsi kini sedang terjadi di pucuk pimpinan Jakarta.

Dua, salah urus politik berdampak langsung pada keadaan ekonomi. Jakarta adalah kota yang amat kumuh. Begitu banyak pemukiman umuh tersebar di penjuru Jakarta. Ini dibarengi dengan hadirnya beberapa pemukimah super mewah yang membuat keadaan semakin tak masuk akal. Keadaan ini dibiarkan terus begitu saja, terutama oleh pimpinan Jakarta di 2021 ini.

Tiga, sebagai negara hukum demokratis yang berpijak pada Pancasila, hukum memainkan peranan penting. Hukum hanya akan efektif, efisien dan adil, jika para penegaknya memiliki integritas. Sayangnya, penegakan hukum di Jakarta tebang pilih dan masih amat terbuka untuk praktek suap menyuap. Penguasa politik, ekonomi dan koruptor cenderung mendapat keringanan. Sementara, rakyat miskin yang tak berdaya terus ditindak dengan tegas.

Empat, akar yang paling dalam tentu adalah mutu pendidikan yang amat rendah. Budaya hafalan, gila hormat dan kepatuhan buta pada tradisi maupun agama menghancurkan pendidikan di Jakarta, dan juga di Indonesia. Manusia-manusia yang lulus dari sistem pendidikan pun cenderung bermutu rendah, dangkal, intoleran serta radikal dalam beragama. Sistem pendidikan Jakarta sudah dihabisi oleh radikalisme agama kematian.

Lima, kaum radikal akan selalu ada. Namun, jika mereka ditindak tegas sampai ke akar, mereka akan menjadi tak berdaya. Ini tak terjadi di Jakarta. Kaum radikal agamis dipelihara dan dipergunakan untuk kepentingan sempit busuk para penguasa politik maupun ekonomi. Kehidupan beragama di Jakarta pun menjadi bermutu amat rendah, mulai dari merebaknya terorisme sampai polusi suara yang nyaris tak tertahankan.

Masa Depan Jakarta

Apakah Jakarta masih bisa diselamatkan? Jawabannya tentu saja positif. Teknologi dan ilmu pengetahuan telah memungkinkan manusia untuk menghadapi berbagai gejala alam yang penuh ketidakpastian. Namun, perubahan cara berpikir dan cara hidup orang Jakarta mutlak diperlukan.

Kemunafikan harus diangkat dengan jelas. Jangan biarkan agama ataupun moral digunakan untuk menutupi kebusukan. Kita juga harus belajar bertanggung jawab atau hidup kita, maupun atas lingkungan hidup di sekitar kita. Budaya feodal harus dilibas sampai ke akar. Semua manusia setara di hadapan hukum dan di hadapan Sang Pencipta.

Budaya berpikir ilmiah harus dikembangkan. Akal sehat dan nurani yang jernih harus diberdayakan. Mental klenik dan radikal dalam beragama harus hilang sampai ke akar. Ini semua dimulai dengan berani mengembangkan karakter diri yang cakap, mulai dari tepat waktu, jujur, patuh hukum serta beragama dengan beradab.

Mutu pimpinan politik tentu memainkan peranan penting. Maka, orang Jakarta harus memilih gubernur yang tepat. Jangan terpesona dengan mulut manis, namun korup serta radikal dalam beragama. Perhatikan kinerja nyata.

Hanya dengan begini, persoalan ekonomi dan hukum bisa mulai diperbaiki. Pendidikan bisa dikembangkan dengan melenyapkan budaya hafalan, kepatuhan buta dan gila hormat. Paham radikal beragama pun bisa dilenyapkan dari pendidikan Jakarta sampai ke akarnya. Jika ini semua dilakukan, Jakarta sungguh bisa menjadi ibukota Indonesia.

Jakarta bisa menjadi teladan untuk semua daerah lainnya. Jangan ditunda lagi.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

6 tanggapan untuk “Jiwa Warga Jakarta”

  1. analisa dan gambaran jiwa warga jakarta memang seperti diatas.
    saya bukan asal/lahir/besar di jakarta, hanya lah 1-2 kali berkunjung ke jakarta, kota yg saya hindari sebisa nya.
    menurut pandangan saya, kota terlalu besar dengan segala kericuhan/kesibukan/bising dsb dsb.
    hal2 tsb memacu manusia sebagai penduduk utk menyesuaikan diri demi bertahan hidup di jkt.
    keadaan kota membuat manusia menjadi sakit/gila/menderita apa pun….
    harapan / saran utk memungkinkan jakarta melestari, hanya lah radikal kerja sama dari semua pimpinan dan rakyat.
    gila hormat, gila seragam, segala macam kebanggaan hanya lah hindaran utama utk kemajuan apa pun.
    kita lihat, kalau pejabat lewat dgn konvoi, staff berbondong2, dsb dsb .
    semua nya hanya utk pamer, sok. lain2 tidak ada !!
    banya salam !!

    Suka

  2. Sebagai orang daerah yg merantau ke Jakarta, ada ciri orang Jakarta yg saya rasakan langsung, Bung Reza, yaitu “merasa superior” jika berhadapan dgn orang daerah. Orang Jakarta merasa kalau kita orang daerah tdk lebih tahu tentang banyak hal dibanding mereka. Pertanyaan2 yg dilontarkan saat bertemu orang daerah juga cukup kurang menyenangkan & terkesan bodoh. Contoh yg sering saya dapati, “Di sana ada mall?” “Ada Alfam*rt atau Indoma*et?” “Ada kereta juga?” “Itu di pulau mana?” “Provinsi apa?” “Logatmu lucu ya!” “Wah, kamu tahu tentang hal “a” juga ya?”

    Mungkin efek media, buku2 pelajaran, dan acara2 di pertelevisian nasional juga yg sangat Jawa-Jakarta sentris ya, jadi merasa kalo Jakartalah pusat perhatian di Indonesia tercinta ini. 😄 Jadi kurang peka dan tertarik untuk mempelajari budaya & kebiasaan di luar lingkungan Jakarta.

    Padahal banyak orang daerah yg memiliki kemampuan mumpuni & bisa berkontribusi di Ibukota, hal sederhananya, orang daerah berani merantau & bersaing di kota Jakarta.

    Satu lagi, (hampir) semua diukur dengan materi. Seseorang dianggap baik kalau suka mentraktir atau memberikan barang. Padahal banyak hal dilakukan orang2 di daerah sebagai bentuk peduli sesama & sama sekali tdk berhubungan dgn materi, misalkan marsialapari di daerah saya. Menanyakan kabar & menjenguk saat sakit pun bentuk kepedulian, tapi perbuatan/perhatian2 seperti ini kurang dihargai, jika tdk ada bingkisan atau amplopnya, dirasa “baik” atau “peduli”-nya tidak nyata.

    Tapi tentu saja ada hal yg menyenangkan juga dari orang Jakarta yg saya rasakan.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.