
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Mengapa ada orang yang tidak tahu diri? Pertanyaan ini menjadi penting di tengah pengajuan presiden dan calon presiden untuk Pilpres 2019 nanti. Fenomenologi mencoba mendekati keadaan sebagaimana adanya (zurück zu den Sachen selbst). Pendekatan ini kiranya penting untuk memahami sepak terjang politisi Indonesia sekarang ini.
Nuansa ketidaktahudirian tercium pekat di udara. Masa depan politik Indonesia pun dipertaruhkan.
Tidak Tahu Diri
Tidak tahu diri memiliki tujuh unsur. Pertama, ketidaktahudirian berakar pada ketidaktahuan (Unwissenheit). Orang yang tak sadar kemampuan, lalu berlagak untuk mengambil peran besar, akan menjadi orang yang tak tahu diri. Sayangnya, di Indonesia, banyak orang tak kenal dirinya sendiri, sehingga tak sadar pada kemampuannya. Mereka lalu berlagak di panggung politik untuk menjadi pemimpin yang penuh dengan omong kosong.
Dua, ketidaktahudirian berakar pada miskinnya pengalaman. Pengalaman yang diolah akan membuat orang menjadi bijak. Biasanya, orang-orang semacam itu akan hidup sederhana dan bersahaja, walaupun mereka bermutu dan kaya raya. Orang yang tidak tahu diri itu miskin pengalaman dan kebijaksanaan, tetapi berlagak untuk menjadi pemimpin masyarakat. Politik pun seolah menjadi panggung para badut yang tidak lucu.
Tiga, orang tidak tahu diri melajut pesat karirnya, karena ia pandai menjilat. Keutamaan tertingginya adalah kecerdikan merayu pada penguasa. Uang tentu memainkan peranan disini. Orang berusia muda, namun memiliki banyak harta, tak mungkin berakar pada bisnis yang patuh hukum. Ada permainan curang di belakangnya yang tertutup dari mata masyarakat luas.
Empat, orang tak tahu diri juga suka dijilat. Mereka memilih rekan kerja tidak berdasarkan pada kemampuan maupun integritas, melainkan dari seberapa lezat jilatan yang diberikan. Mereka menciptakan gang-gang mafia di berbagai tempat yang mengikis rasa keadilan dan kedaulatan hukum masyarakat. Dengan politik jilat menjilatnya, mereka mengangkangi semua nilai-nilai peradaban luhur.
Lima, orang tak tahu diri adalah orang yang takabur. Mereka ditipu oleh kisah sukses semu mereka. Kesombongan pun terpancar langsung dari tutur kata maupun tindakan. Padahal, kesombongan adalah pertanda awal dari sebuah kejatuhan.
Enam, selain takabur, ketidaktahudirian selalu bergandengan dengan kerakusan. Karena tak kenal dirinya sendiri, rasa hampa selalu datang menghantui. Rasa rakus tumbuh secara alami, dan berusaha dipuaskan dengan uang dan kekuasaan. Sayangnya, penderitaan tetap menghantui, dan rasa kosong di dalam hati tetap menggerogoti diri.
Tujuh, ketika diberikan kedudukan, orang-orang yang tidak tahu diri akan langsung menyalahgunakannya. Kekuasaan mereka tidak akan berkelanjutan, karena berpijak pada kerakusan dan kebutaan. Yang terjadi justru sebaliknya, kerugian moral, spiritual dan ekonomis akan langsung tercipta di dalam kepemimpinan mereka. Setelah 2017, kota Jakarta menjadi saksi langsung akan hal ini.
Mendidik Tahu Diri
Dua hal kiranya diperlukan, guna mencegah menyebarnya ketidaktahudirian. Pertama, unsur pendidikan yang bermutu amatlah penting disini. Bangsa kita sedang menuai akibat dari buruknya mutu pendidikan selama bertahun-tahun di era Orde Baru dan Era Reformasi. Tak heran, radikalisme agama, kesempitan berpikir dan ketidaktahudirian menyebar begitu luas.
Dua, politisi harus berperan di dalam memberi teladan yang baik bagi masyarakat luas. Ketika politisi bermuka dua, munafik, korup dan tak tahu diri, maka rakyat yang tak kritis akan melihat keburukan tersebut sebagai keutamaan. Ingatlah bahwa ikan membusuk dari kepala. Artinya, masyarakat membusuk dimulai dari kebusukan para pemimpinnya.
Mau sampai kapan kita membiarkan orang-orang tidak tahu diri berlagak menjadi pemimpin masyarakat dan bangsa?
Sangat super
SukaSuka
karya diatas maknanya sangat jitu.
fenomena ketidak tahuan bukan hanya terjadi di indonesia, tapi global melanda negara2 industri yg begitu maju.
menurut hemat saya, fenomena ini terjadi, kalau kita hanya mementingkan dunia karrier, materi, bisnis, kuasa dsb dsb tanpa memupuk dunia spiritual dgn nilai yg sama. percobaan yg berat utk menyadari nya !! “melihat tanpa mengingat / menilai” sebagai langkah pertama !!
salam hangat !!
SukaSuka
Saya baru kali ini mampir di blog bapak. Terimakasih atas ilmunya. Tetap menulis pak!
SukaSuka
Menurut Hemat saya,Bangsa ini berada pada Ketidak Tahuan diri Model Gado gado,sudah rancu dan memerlukan Identifikasi yg rumit untuk dpt memahami Keinginannya.
Secara umum Unsur yg ke 6 (enam) dan Ke 7 (tujuh) terasa sangat Dominan dalam Realita ketidak tahuan diri di Negri ini.
SukaSuka
Ketidak tahuan diri yg kita rasakan adalah dari unsur gado gado,semua serba salah. Penyebabnya berasal dari unsur fundamental,yaitu Pemahaman Tafsir Agama yg sering ditekankan kepada Kepentingan yg Subjektifitas,serta menafikan Hakekat Kesucian Agama itu sendiri. Tuhan sdh menjadi “boneka” yg Existensinya adalah mengikuti Keinginan Penciptanya,yaitu “Keserakahan Manusia”.
SukaSuka
Terima kasih. Salam
SukaSuka
ini memang gejala global sekarang ini. Manusia terkena kanker materialisme. Salam hangat selalu.
SukaSuka
Terima kasih kembali.
SukaSuka
Salam. Terima kasih sudah berbagi.
SukaSuka
Agama memang sudah menjadi komoditi bisnis dan politik. Ini memang mengerikan.
SukaSuka
ketidaktahuan diri mungkin akibat fallacy dari cara berpikir statisme saintisme
SukaSuka
trimakasih pak, salam dari saya paka
SukaSuka
menarik. Bisa dijelaskan lebih jauh?
SukaSuka
Salam juga. Terima kasih
SukaSuka
Selalu menarik tulisan-tulisan Pak Reza. Termasuk juga fenomenologi ketidaktahuan ini. Akan tetapi menurut saya, tulisan ini biarlah terlihat liar dan menampar siapapun atau ditafsirkan oleh pembaca dengan bebas. Karena statement terakhir…
//Setelah 2017, kota Jakarta menjadi saksi langsung akan hal ini//
…pasti terbaca sebagai penggiringan kemana arah tulisan yang sangat bagus ini di arahkan dengan tanda lokal dan waktunya. Kita tahu bahwa fenomena ketidaktahudirian ini adalah penyakit global dimana saja manusia berada yang kemudian direspon oleh tulisan Pak Reza yang juga bertaraf global ini. Akan tetapi statement terakhir tersebut membuat kesangatbagusan tulisan ini menjadi turun ke taraf yang sangat kecil. Hanya bagian ini yang agak saya sayangkan.
Mungkin kira-kira demikian, terima kasih atas tulisan-tulisan bagusnya. Salam sukses.
SukaSuka
Selalu menarik tulisan-tulisan Pak Reza. Termasuk juga fenomenologi ketidaktahuan ini. Akan tetapi menurut saya, tulisan ini biarlah terlihat liar dan menampar siapapun atau ditafsirkan oleh pembaca dengan bebas. Karena statement terakhir…
//Setelah 2017, kota Jakarta menjadi saksi langsung akan hal ini//
…pasti terbaca sebagai penggiringan kemana arah tulisan yang sangat bagus ini di arahkan dengan tanda lokal dan waktunya. Kita tahu bahwa fenomena ketidaktahudirian ini adalah penyakit global dimana saja manusia berada yang kemudian direspon oleh tulisan Pak Reza yang juga bertaraf global ini. Akan tetapi statement terakhir tersebut membuat kesangatbagusan tulisan ini menjadi turun ke taraf yang sangat kecil. Hanya bagian ini yang agak saya sayangkan.
Mungkin kira-kira demikian, terima kasih atas tulisan-tulisan bagusnya. Salam sukses.
SukaSuka
Terima kasih. Begitulah. Kami di Jakarta harus menanggung kebodohan kami sendiri. Semoga tidak terulang di masa depan atau di tempat-tempat lainnya.
SukaSuka