“Korupsi” atas Korupsi

UNDP in Indonesia

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

“Korupsi adalah bumbu birokrasi,” begitu kata seorang teman yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Bavaria, Jerman. “Asalkan tak besar, korupsi itu variasi,” begitu lanjutnya.

Ungkapan ini secara jelas menggambarkan sulitnya menumpas korupsi sampai ke akarnya. Bahkan di negara seketat Jerman, korupsi tetap bercokol di jantung birokrasi pelayanan publik.

Memang, masalahnya bukannya melenyapkan korupsi, tetapi membuatnya terkontrol. Ini lalu masalah jumlah, bukan masalah keberadaan.

Bagaimana dengan di Indonesia? Membaca berbagai berita soal korupsi membuat kita tercengang akan betapa mengakarnya korupsi di birokrasi pelayanan publik Indonesia.

Banyak kepala daerah dan pejabat negara tertangkap melakukan korupi. Bahkan, (mantan) Ketua Dewan Perwakilan Rakyat pun terjebak kasus korupi triliyunan.

Ini jelas sudah tidak masuk akal. Jika sudah begini, korupsi bukan lagi sekedar bumbu ataupun variasi birokrasi, tetapi sudah jadi kanker akut yang merusak.

Seluk Beluk Korupsi

Sebenarnya, apa itu korupsi? Akar kata korupsi adalah corruptus, atau pembusukan. Ini berasal dari bahasa Latin. Segala sesuatu yang ditempel dengan kata korup berarti sudah busuk.

Misalnya, pendidikan yang korup atau persahabatan yang korup, yang berarti pendidikan dan persahabatan tersebut sudah kehilangan keluhurannya. Ada unsur kebohongan di dalamnya yang merusak inti dari pendidikan maupun persahabatan yang ada.

Kata korupsi kemudian berkembang di dalam berbagai wacana ilmu sosial. Ia menjadi penggunaan barang milik bersama untuk kepentingan pribadi.

Misalnya, cukup jelas, ketika uang pajak rakyat digunakan untuk memperkaya diri, korupsi telah terjadi. Juga ketika fasilitas umum, seperti jalan raya dan trotoar, digunakan untuk jualan demi kepentingan ekonomi pribadi atau keluarga, maka korupsi telah terjadi.

Akar Korupsi

Ada empat akar korupsi. Pertama, korupsi terjadi, karena banyak orang tak paham definisi korupsi yang sebenarnya. Mereka mengira, bahwa menggunakan barang milik bersama untuk kepentingan pribadi adalah hal yang biasa. Ketidaktahuan inilah yang menyebabkan orang terjebak pada korupsi.

Dua, walaupun orang sudah paham arti korupsi, tetapi mereka tetap melakukannya, karena semua orang melakukannya. Inilah yang disebut sebagai mentalitas kerumunan.

Korupsi berubah menjadi korupsi berjamaah yang dilakukan secara berbondong-bondong. Ini terjadi, ketika orang tidak memiliki sikap kritis dan akal sehat yang mencukupi.

Tiga, korupsi juga terjadi, karena lemahnya sistem pengawasan, atau korupnya para penegak hukum. Masalah korupsi memang menjadi semakin rumit, ketika para penegak hukum juga terjerat virus korupsi ini.

Empat, korupsi menjadi budaya, karena pola pendidikan yang salah kaprah. Ketika orang tua, guru dan tokoh masyarakat suka berkata hal-hal luhur, namun korup dalam hidup keseharian mereka, maka kemunafikan telah terjadi.

Anak melihat perilaku orang tua maupun gurunya. Kata-kata menjadi tak berarti, ketika tindakan berbunyi berbeda.

Misalnya, sang ayah berkata, bahwa hidup harus jujur. Namun, ia hidup dengan mencuri uang orang lain, atau berselingkuh dari istrinya. Maka, ini jelas mengajarkan kemunafikan. Pola pendidikan semacam ini yang membuka ruang untuk berbagai bentuk kejahatan, termasuk korupsi.

Melampaui Korupsi

Ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk memerangi korupsi. Pertama, sistem pengawasan dan penegakan hukum terhadap koruptor jelas harus dikembangkan.

Terdakwa koruptor harus dihukum seberat mungkin, dan diminta mengembalikan semua hasil korupsinya beserta denda kepada negara. Ini langkah yang amat penting untuk dilakukan.

Dua, seluruh pola pendidikan di Indonesia haruslah diubah. Penekanan pada formalisme agama haruslah dihilangkan.

Orang tua, guru dan tokoh masyarakat harus berperilaku sesuai dengan apa yang mereka ajarkan. Segala bentuk kemunafikan sedapat mungkin dilenyapkan dari kehidupan bersama.

Tiga, korupsi haruslah dibuat menjadi “korup”. Artinya, tindakan korupsi haruslah dilihat sebagai sesuatu yang amat busuk di dalam kehidupan bersama.

Perilaku korupsi tidak hanya merugikan banyak orang, tetapi juga membunuh harga diri. Para koruptor harus dilihat sebagai mahluk hina di dalam hidup bersama, sampai mereka menyelesaikan hukumannya seadil mungkin.

Korupsi atas korupsi berarti membuat segala unsur korupsi menjadi busuk dan hina di dalam hidup bersama. Inilah jalan keluar budaya dan rebranding korupsi yang harus dilakukan secara sistematik.

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

12 tanggapan untuk ““Korupsi” atas Korupsi”

  1. sepakat !! sehemat saya, dimana ada manusia disana ada korupsi ( dengan perbedaan “besar /kecil”). hanya bila korupsi tidak terkontrol dan tak terawasi, bisa merajalela ( sifat kerakusan manusia sebagai mahluk).
    pertanyaan : dimana/bagaimana kita mulai nya mengatasi korupsi ?
    selamat berkarya, thema2 di website ini sangat menggugah hati dan pikiran saya !!
    banya salam !!

    n.b.: (sengaja kata “membasmi” tak tertulis dikomentar, sebab tidak mungkin terwujud )

    Suka

  2. Susah bung, pendidikan di Indonesia masih ‘terikat’ pada formalisme Agama.Artinya, masih banyak guru dan wali murid yang terikat penekanan formalisme Agama.Dimana akal kritis ‘dikaburkan’ dan iman buta (kepatuhan sesat) terus ditanamkan pada anak didik.
    Maaf kalau bahasa saya terbelit-belit.

    Suka

  3. Korupsi itu tetap harus ada karena masih ada subyek yang memanfaatkan kekosongan, karena negara itu hanya ruang kosong .
    Inilah salah satunya bahaya kekosongan dari subyek

    Suka

  4. Pak sya msih sdkit bingung dngn solusi d bidang pndidikan yakni “penekanan formalisme agama harus dhilangkan”. Maksudnya pak? 🙏

    Suka

  5. Sedikit tanggapan mas. Jadi korupsi memang tidak bisa di hapuskan dan harusnya bisa di kontrol. Lalu dikontrol oleh siapa mas ? Apakah dikontrol oleh stakeholder yg ada di dewan atau oleh masyarakat atau oleh si koruptor ?. Lalu apakah mungkin akurat ketika kita memberikan sebuah punishment terhadap koruptor itu yang bersifat langsung dan umum seperti yg di lakukan oleh orang orang terdahulu yang ketika ada kesalah langsung di jatuhkan punishment yang dilihat oleh masyarakat nya. Karna kalo hanya sebatas penjara sekarang sudah tumpul buat dijadikan sebuah punish terhadap koruptor

    Suka

  6. Ini memang menjadi salah satu masalah. Sampai sekarang ini, media dan berbagai lembaga masyarakatlah yang harus memantau korupsi di dalam pemerintahan, dengan segala keterbatasannya. Soal hukuman, sita seluruh harta kiranya bisa menjadi kemungkinan.

    Suka

  7. budaya itu hampir hilang dalam persoalan korupsi… orang lebih sibuk dengan moral dangkal yang mementingkan penampilan belaka, namun tidak memperhatikan karakter-karakter yang penting

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.