Mengembalikan “Manusia” ke dalam Ilmu-ilmu Manusia

dev.null.org

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti Lintas Ilmu, Tinggal di Jakarta

Sejujurnya, tidak ada satu pun orang yang memahami seluruh pendekatan metodik di dalam  ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu politik, pendidikan, sosiologi, ekonomi, manajemen, antropologi, hubungan internasional, psikologi, sejarah dan beragam cabangnya, hendak memahami manusia di dalam konteks sosialnya. Ia merupakan bagian dari sesuatu yang lebih besar, yakni ilmu-ilmu manusia, atau humaniora. Kesemuanya itu sudah mengembangkan beragam metode yang rumit, canggih dan sangat terspesialisasi.

Di era komputer seperti sekarang, beragam angka dan algoritma digunakan tidak hanya untuk memahami perilaku manusia, tetapi juga untuk meramalkannya. Tentu saja, kepastian adalah sesuatu yang selalu lolos dari genggaman. Namun, berkat kecanggihan dan kerumitan metode penelitian yang telah dikembangkan, orang bahkan berani memastikan temuan dari penelitiannya. Statistik dan algoritma seolah menjadi rumus pasti di dalam memahami manusia dengan segala dimensinya.

Positivisme

Cara berpikir semacam ini sebenarnya adalah buah dari positivisme di dalam ilmu-ilmu manusia. Di abad 18, ilmu-ilmu alam berkembang sangat pesat, dan menghasilkan beragam teknologi yang dapat membantu kehidupan manusia. Kunci dari keberhasilan ilmu-ilmu alam adalah metode penelitian ilmiah yang bisa mengantarkan orang pada kesimpulan yang obyektif. Metode ilmu-ilmu alam ini kemudian digunakan di dalam ilmu-ilmu manusia, supaya juga bisa meniru keberhasilan ilmu-ilmu alam.

Artinya, metode untuk memahami gerak batu oleh hukum gravitasi digunakan untuk memahami kehidupan manusia. Tentu saja, beragam masalah pun muncul. Manusia lalu dilihat semata sebagai benda yang bisa diukur, dimanipulasi dan dikontrol sesuai dengan kebutuhan. Pendek kata, manusia dilihat sebagai obyek mati semata. Beragam unsur di dalam dirinya pun terabaikan.

Dalam arti ini, positivisme di dalam ilmu-ilmu manusia justru menciptakan dehumanisasi, yakni proses-proses yang merendahkan manusia itu sendiri. Ilmu-ilmu manusia kehilangan sikap kritisnya, dan menjadi hamba dari kekuasaan. Itulah yang kita lihat berkembang di berbagai perguruan tinggi sekarang ini. Kosa kata efisiensi dan efektivitas dianggap sebagai kata-kata suci, walaupun itu kerap kali merendahkan harkat dan martabat manusia.

Akal budi manusia dipersempit penggunaannya menjadi semata-semata pencipta efisiensi dan efektivitas produksi. Para pemikir Sekolah Analisis Sosial Frankfurt di Jerman menyebutnya sebagai dialektika pencerahan (Dialektik der Aufklärung). Abad Pencerahan yang mengedepankan akal budi manusia justru berubah menjadi mitos baru yang mendatangkan petaka kepada hidup manusia. Buahnya adalah senjata canggih berteknologi tinggi dengan tujuan yang amat merusak: menghancurkan manusia lain.

Mengembalikan “Manusia”

Sebagai ilmu yang hendak memahami kehidupan manusia di dalam segala unsurnya, ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu-ilmu sosial, harus mengembalikan manusia sebagai titik utama kajiannya. Segala perhitungan teknis yang berkembang dari kerumitan metodologi positivistik harus ditempatkan hanya sebagai alat bantu di dalam memahami kompleksitas hidup manusia. Manusia tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk mencapai kepentingan tertentu, seperti keuntungan finansial ataupun suara di dalam pemilihan politik. Ia bukanlah obyek untuk dikontrol ataupun dimanipulasi demi kepentingan lainnya.

Pada titik ini, kiranya ilmu-ilmu manusia bisa belajar dari pemikiran Immanuel Kant, terutama di dalam bukunya yang berjudul Grundlegung zur Metaphysik des Sittens. Kant menegaskan, bahwa manusia haruslah menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Ia tidak boleh dilihat sebagai faktor sampingan bagi kepentingan-kepentingan lain, seperti kepentingan ekonomi ataupun kepentingan politik. Hal inilah yang kiranya terlupakan, ketika ahli manajemen berbicara soal manajemen kinerja, ataupun para ilmuwan politik yang berusaha memanipulasi rakyat di dalam pemilihan umum.

Pemikiran Kant menjadi benih bagi pemahaman modern tentang hak-hak asasi manusia. Manusia ditempatkan sebagai mahluk yang bermartabat, berakal budi dan unik di dalam karakter maupun kemampuannya. Hal inilah yang kiranya harus kembali ditekankan di dalam berbagai cabang ilmu-ilmu manusia dan ilmu-ilmu sosial. Alternatifnya cuma satu, yakni dehumanisasi yang akan bermuara kepada diskriminasi.. dan kamp konsentrasi.

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

8 tanggapan untuk “Mengembalikan “Manusia” ke dalam Ilmu-ilmu Manusia”

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.