
Oleh Reza A.A Wattimena,
Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya
Tidak sulit menemukan mobil-mobil mewah seri terbaru di jalan-jalan besar Surabaya. Setiap hari, saya berdecak kagum melihat kendaraan mewah berlalu lalang, seolah tanpa henti dan tak kenal waktu. Mall besar menjual barang-barang mewah, namun tetap tak pernah kekurangan pembeli di kota pahlawan ini. Namun, kemewahan ini tetap hanya satu sisi dari wajah Surabaya.
Di antara jajaran rel kereta api, pemukiman kumuh yang tak layak tinggal juga dapat dengan mudah ditemukan di Surabaya. Pinggir kali juga kerap menjadi tempat huni, dimana airnya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti mencuci baju ataupun memasak. Anak-anak di bawah umur 10 tahun juga masih berjualan di jalan-jalan raya, supaya bisa membantu orang tuanya mencari nafkah. Surabaya bagaikan terbelah di antara dua dunia, yakni di antara orang-orang kaya bermobil dan berumah mewah di satu sisi, dan orang-orang miskin yang masih amat kesulitan untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai manusia yang bermartabat.
Di ujung Surabaya Timur dan Barat, rumah-rumah mewah berdiri bagaikan raksasa arogan yang tak malu menampilkan dirinya. Pagar besi dengan ukiran mewah menjulang tinggi. Harganya konon mencapai 300 juta rupiah, hanya untuk pagarnya saja. Kemewahan ini dipadu dengan berbagai aksesoris rumah mewah yang seringkali terlihat tak pas secara artistik.
Di Surabaya Barat sudah berdiri sebuah mall yang memang secara khusus menjual barang-barang mewah. Namun, mereka tak pernah kekurangan pembeli. Tas seharga 5 sampai 10 juta rupiah tetap laku, bak kacang goreng. Alat elektronik mewah juga menjadi target serbuan orang-orang kaya di Surabaya ini. Saya yakin, pemandangan yang sama juga mulai dapat ditemukan di kota-kota besar Indonesia lainnya.
Kesenjangan Sosial
Satu kata yang bisa langsung menggambarkan situasi kontras di Surabaya ini: kesenjangan sosial. Ketika jarak antara si kaya dan si miskin semakin besar, kesenjangan sosial pun semakin besar. Akar dari kesenjangan sosial adalah ketidakadilan sosial, yakni ketika kemakmuran hanya dirasakan segelintir orang, sementara kelompok orang lainnya harus hidup di dalam kemelaratan. Kekayaan Indonesia yang harusnya disebarkan secara merata ke semua warga negara, kini hanya dinikmati oleh segelintir orang yang cukup beruntung ataupun cukup licik untuk bisa menikmatinya.
Semua itu harus disaksikan oleh kelompok masyarakat lainnya, yang harus berjuang keras, sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasar diri dan keluarganya. Untuk makan sehari-hari, mereka harus bekerja keras, belum lagi untuk memikirkan biaya pendidikan anaknya, atau biaya pengobatan, ketika musibah penyakit menimpa diri. Sikap iri hati sosial jelas merupakan dampak alami dari situasi semacam ini. Ketika kesenjangan, ketidakadilan, dan sikap iri hati sosial menjadi aura masyarakat kita, maka perpecahan dan konflik sosial sudah menunggu di depan mata.
Salah satu akar penyebabnya adalah sistem pajak Indonesia yang sudah tak pas lagi dengan situasi sekarang. Pajak progresif, dimana semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi pajak yang harus dibayar, sehingga uangnya bisa digunakan untuk kebijakan-kebijakan yang bisa memperkecil kesenjangan sosial, masih belum berjalan.
Sistem pajak hanya bisa diubah, jika parlemen Indonesia (DPR) memiliki kepedulian untuk memerangi kesenjangan sosial, yang menjadi akar banyak masalah sosial di Indonesia. Namun, itu menjadi sulit, karena kualitas sistem pemilu untuk mendapatkan anggota DPR yang bermutu amatlah jelek, sehingga orang-orang yang bermutu rendahlah yang bisa memegang posisi terhormat sebagai wakil rakyat tersebut.
Kesulitan dari segi hukum ini semakin ditambah dengan aparat birokrasi pemerintahan yang cenderung korup di dalam kerja sehari-harinya. Walaupun pajak progresif sudah diterapkan, namun jika pajaknya kemudian menjadi bahan korupsi, maka semuanya pun akan menjadi sia-sia. Sebuah negara itu bagaikan sebuah rumah yang harus rajin dibersihkan dengan sapu dan pel. Semuanya menjadi sulit, ketika sapu dan pel yang digunakan untuk membersihkan justru amat kotor.
Kesenjangan sosial juga tercipta, akibat ideologi yang salah dari liberalisme ekonomi. Kata kunci disini adalah pasar bebas, dimana negara didorong untuk mundur, sehingga para pelaku bisnis bisa melakukan transaksi dengan bebas dan aman. Tugas negara dalam hal ini hanyalah menjadi penjaga keamanan. Semua bentuk peraturan dan pajak yang menghalangi pergerakan modal haruslah dihilangkan.
Di dalam ideologi liberalisme ekonomi, negara dianggap akan makmur, ketika pemerintahan bersikap semata hanya sebagai penjaga keamanan, dan modal bisa bergerak bebas, nyaris tanpa aturan, sehingga kekayaan bisa menetes dari atas (orang kaya) ke bawah (orang miskin). Efek kekayaan yang menetes inilah yang menjadi kunci utama dari kemakmuran sebuah bangsa. Pertanyaannya adalah, apakah efek menetes ini adalah suatu kepastian dan keniscayaan, atau tidak? Fakta menunjukkan, tidak.
Kekayaan tidak pernah menetes, karena tidak ada sistem yang menjamin proses tersebut. Orang kaya semakin kaya, dan juga memperkaya keluarganya. Sebaliknya, orang miskin justru tetap miskin, bahkan semakin miskin, karena mereka tak punya akses yang tepat untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Akibat penerapan yang buta dari ideologi liberalisme ekonomi, kesenjangan sosial semakin besar. Artinya, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sila kelima dari Pancasila, sama sekali jauh dari kenyataan.
Melampaui Kesenjangan
Namun, situasi ini tentu bisa diubah. Negara tak bisa hanya dilihat sebagai penjaga keamanan semata. Ia tetap memiliki peranan besar, guna menciptakan keadilan dan kemakmuran sosial untuk semua warganya. Ideologi liberalisme ekonomi adalah pandangan yang sudah dari akarnya salah, dan perlu ditinggalkan. Namun, negara tentu saja harus kompeten dalam membuat pelbagai kebijakan dan penerapannya sebagai alternatif dari liberalisme ekonomi. Setidaknya, pada hemat saya, ada 6 langkah yang bisa diambil.
Pertama, proses pendidikan untuk menghasilkan manusia-manusia kompeten adalah sesuatu yang mutlak diperlukan. Manusia kompeten hanya dapat ada, jika ada proses kaderisasi yang bermutu tinggi, guna menyaring orang-orang yang memiliki kualitas kepemimpinan, supaya mereka juga bisa naik ke posisi yang lebih tinggi. Dalam konteks politik, peran partai politik jelas amat besar. Jika pucuk kepemimpinan politik di negeri ini diisi oleh orang-orang yang kompeten, maka sistem bisa mulai diperbaiki, supaya bisa menunjang keadilan sosial bagi seluruh warga Indonesia.
Kedua, pembenahan sistem politik, dan sistem-sistem sosial lainnya, tetap tidak cukup, tanpa ada perubahan budaya. Racun budaya pertama yang perlu disingkirkan disini, menurut saya, adalah feodalisme, yakni keyakinan, bahwa orang tertentu memiliki status lebih tinggi dari orang lainnya, maka ia berhak untuk mendapatkan perlakuan khusus. Selama feodalisme masih bercokol di budaya Indonesia, selama itu pula kesenjangan sosial dilestarikan tidak hanya melalui kebijakan politik dan ekonomi, tetapi juga dari budaya.
Ketiga, semua sistem perdagangan juga harus diatur sesuai dengan konstitusi Indonesia (UUD 1945) dan Pancasila. Pasar tidak boleh dibiarkan bebas, tanpa aturan, melainkan harus selalu terus dikawal dengan aturan-aturan yang demokratis dan masuk akal sehat. Aparat hukum memegang ujung tombak terdepan dalam hal ini. Parlemen dan masyarakat (pers, lembaga masyarakat) harus mengawal terus proses ini.
Empat, setelah pajak progresif diterapkan dengan bersih dan berpijak pada UUD maupun Pancasila, maka pemerintah akan memiliki uang untuk berinvestasi pada perkembangan nyata masyarakat. Dalam soal ini, fokusnya harus pada pendidikan dan kesehatan universal bagi semua warga, tanpa kecuali. Keduanya harus dibuat gratis, atau amat murah, sehingga bisa dirasakan oleh seluruh rakyat. Infrastruktur yang menunjang pelayanan ini pun juga harus dirawat sebaik mungkin dengan dana yang ada, yang diperoleh dari pajak progresif.
Lima, gizi dan makanan untuk rakyat harus mendapatkan subsidi sebesar mungkin dari pemerintah, sehingga rakyat bisa memperolehnya dengan harga yang murah dan stabil. Berbicara soal manusia yang kompeten berarti juga berbicara soal tingkat gizi dari tubuh manusia tersebut, yang tentu saja harus mendapat perhatian penuh dari negara. Kualitas dan kuantitas makanan bergizi harus dibuat tersedia untuk seluruh rakyat di seluruh pelosok penjuru tanah air, tanpa kecuali. Sekali lagi perlu ditekankan, pembangunan yang bermutu oleh manusia-manusia yang kompeten hanya dapat dilakukan, jika tingkat gizi masyarakat itu sudah memadai.
Enam, untuk mendukung ekonomi, sebuah negara membutuhkan infrastruktur yang kokoh, mulai dari jalan raya sampai dengan transportasi publik. Ekonomi jelas memainkan peranan besar untuk menunjang stabilitas politik sebuah negara. Oleh karena itu, uang yang ada harus disuntikan ke pembangunan transportasi publik yang memadai, guna memacu ekonomi rakyat secara keseluruhan. Di dalam perjalanan, ketika gizi, pendidikan, kesehatan, dan transportasi publik sudah cukup mapan, maka subsidi terhadap BBM pelan-pelan bisa dicabut.
Secara prinsipiil dapat dikatakan, bahwa pemerintah beserta jajaran birokrasinya harus menjamin rasa aman rakyatnya. Dalam hal ini, kehadiran preman-preman yang bersembunyi di balik organisasi paramiliter yang seolah mendukung partai politik atau organisasi keagamaan tertentu harus diberantas. Polisi dan TNI jelas harus menjadi satu-satunya lembaga yang boleh melakukan kekerasan atas nama hukum dan konstitusi. Ini adalah langkah penting untuk membangun tata kelola negara yang baik, guna menciptakan negara Indonesia yang paripurna, yang mampu memenuhi seluruh tujuan berdirinya, sebagaimana tertera dalam pembukaan UUD.
Kesenjangan sosial yang besar (dan semakin besar) antara si kaya dan si miskin jelas merupakan salah satu masalah terbesar bangsa Indonesia sekarang ini. Kesenjangan ini begitu tinggi, sehingga menghasilkan fenomena-fenomena ketimpangan yang begitu mudah dilihat di dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena ini begitu mencekik jiwa, dan jelas tidak boleh dibiarkan terus berlangsung. Taruhannya terlalu mengerikan: Indonesia akan pecah melalui proses berdarah yang memakan begitu banyak korban jiwa. Apakah itu yang kita inginkan?
setuju pak! pemerintah itu dapat duit gede pak dari orang kaya. makanya mereka nggak peduli.
SukaSuka
Hukum’rimba kini..yang ‘kaya’ dan ‘cerdik’ berkuasa. Berkuasa dari ‘balik layar’ JUGA dari ‘bilik jeruji’. – Orang jadi kaya karena ‘cerdik’ (ada pula ‘bodoh tapi kaya’,misalnya BLSM demi nepotism)_ _bila si’kaya ber’moral,ia akan meneteskan ‘kekayaan’nya.. s e n j a n g .. si’miskin tetep ‘seneng’ asal mangan dan ngumpul_si’miskin ‘males’ ber’usaha_si’miskin ‘rajin’ tapi ngga ngerti/tertutup a k s e s menuju kaya. – Tibalah saatnya ” Kesenjangan yang Mencekik ” .. si’miskin melawan si’kaya / repoeblik melawan belanda s a m p a i meraih ke’Merdeka’an.. flashback?? sebab hari ini hari Kemerdekaan. Jangan lupakan sejarah..kita musti revolusi mendukung 6 langkah’Reza,demi Kemerdekaan tanpa Kesenjangan. Merdeka ataoe Hidoep !! 🙂
SukaSuka
iya.. mau sampai kapan ya begitu terus?
SukaSuka
hehehe.. thx
SukaSuka
Sebenarnya pasar bebas hanyalah fantasi. Cuaca ekonomi-politik secara deskriptif (baik de facto maupun de jure), adalah pengistimewaan kelas pemodal, dan eksternalisasi ongkos dan resiko kepada rakyat luas, via intervensi hukum dan penegakan aparatus negara. Ini sebenarnya antitesis dari konsep pasar bebas, karena membutuhkan intervensi negara yang masif demi menjamin dan menegakkan monopoli-monopoli penting (uang dan tanah terutama) dan mengistimewakan aksesnya kepada segelintir kaum pemodal. “Pasar bebas” adalah retorika/kedok yang dipromosikan untuk memberikan sebuah kesan/ilusi sebuah kebebesan memilih, kenyataannya tentu sebaliknya, George Orwell menyebut ini sebagai “doublespeak”, jargon yang kontradiktif dengan keadaan sebenarnya.
SukaSuka
sampai satu generasi dari mereka habis meninggal semua mungkin ya pak hahahha…
SukaSuka
pasar bebas tidak pernah ada. Sama seperti marxisme tidak pernah sungguh diwujudkan dalam realitas.. saya setuju dengan pendapatmu Ndre soal ini..
SukaSuka
hehehe.. biasanya, manusia selalu menemukan cara untuk beradaptasi, bahkan di situasi paling buruk sekalipun.. itu salah satu kekuatan kita sebagai manusia
SukaSuka
Salah satu akar penyebabnya adalah sistem pajak Indonesia yang sudah tak pas lagi dengan situasi sekarang. Pajak progresif, dimana semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi pajak yang harus dibayar, sehingga uangnya bisa digunakan untuk kebijakan-kebijakan yang bisa memperkecil kesenjangan sosial, masih belum berjalan. SANGAT SETUJU SEKALI PAK… Terimakasih artikelnya
SukaSuka
iya.. sama2
SukaSuka