
oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala Surabaya
Parkir di pasar-pasar kaget di Surabaya bisa menjadi masalah. Tiba-tiba, datang orang yang berlagak jadi tukang parkir, dan kemudian meminta uang parkir. Biasanya, saya bertanya, apakah ada karcis parkir resmi? Jika dia bilang ya, dan menunjukannya, saya dengan senang hati membayar. Jika tidak, yah selamat tinggal.
Menjelang Lebaran, kita juga banyak menemukan, banyak orang antri zakat di berbagai daerah di Jawa. Jumlahnya berkisar 20 sampai dengan 30 ribu rupiah. Namun, untuk uang itu, orang bersedia antri desak-desakan dari pagi sampai sore. Beberapa di antaranya ada yang pingsan, karena terdesak sehingga tak bisa bernapas, atau ada juga yang mengalami dehidrasi, sampai akhirnya pingsan di tengah kerumunan ratusan orang.
Juga seringkali dialami oleh para pengemudi kendaraan bermotor, bagaimana mereka harus menyuap polisi di jalan raya, supaya lolos dari hukuman tilang. Bahkan, polisi tersebut yang minta disuap, tanpa malu-malu, supaya mereka mendapat tambahan uang yang, tentunya, bebas pajak. Sikap minta disuap semacam ini juga banyak ditemukan di kalangan petugas kelurahan. Tanpa malu-malu, mereka meminta uang lebih untuk sekedar mengurus dokumen resmi yang sebenarnya merupakan bagian dari tanggung jawab resmi mereka.
Dengan dana APBN lebih dari 1500 Triliun rupiah, lebih dari 50 persen bolong di dalam birokrasi pemerintahan, sehingga rakyat tidak merasakan dampak perbaikan langsung dari uang sebanyak itu. Dalam kasus-kasus hukum, banyak juga ditemukan para penegak hukum yang minta dibayar lebih untuk memenangkan atau mengalahkan suatu perkara hukum. Inilah musuh terbesar Indonesia sekarang ini. Jika pada masa Orde Baru, korupsi terjadi di lingkaran kekuasaan Soeharto dan kerabatnya, kini korupsi menjadi wabah yang menjangkiti seluruh birokrasi pemerintahan di Indonesia, dari pusat di Jakarta sampai dengan daerah.
Di hadapan bangsa-bangsa lainnya, Indonesia pun cenderung diremehkan. Banyak Tenaga Kerja Indonesia hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga yang amat rawan akan pelecehan seksual dan berbagai bentuk kekerasan lainnya (lihat kasus-kasus di Negara-negara Arab dan Malaysia). Dalam berbagai perjanjian bisnis, misalnya pengolahan tambang di Indonesia, pemerintah dan masyarakat Indonesia cenderung dirugikan, sehingga keuntungan terbesar justru dibawa keluar dari negara Indonesia. Sampai sekarang, Indonesia tak punya karya produksi bermutu yang diperhitungkan di level internasional (kecuali mungkin beberapa produk jamu, batik dan makanan yang juga seringkali perang hak cipta dengan negara tetangga).
Krisis Harga Diri
Dari beberapa peristiwa yang saya kutip di atas, ada satu benang merah yang sama, yakni krisis harga diri kita sebagai bangsa. Orang tak malu minta uang, walaupun ia tak bekerja (tukang parkir preman). Orang tak malu mengemis, terutama bila tindak mengemis tersebut diselubungkan dengan slogan-slogan agamais (pengemis zakat). Orang berseragam yang berprofesi sebagai penegak hukum tak malu merampok uang orang lain (penegak hukum korup). Pejabat publik yang dipercaya oleh rakyat untuk memimpin bangsa ini menuju keadilan dan kemakmuran justru menjadi musuh utama yang merugikan rakyat demi kekayaan pribadi mereka (birokrat pemerintahan).
Krisis harga diri inilah yang menjadi akar dari nyaris semua penyakit sosial di Indonesia. Ketika orang tak punya harga diri sebagai orang yang bermoral dan memiliki integritas, ia akan mudah untuk disuap dan menyuap. Ia juga akan mudah terjatuh ke dalam perilaku korupsi, yang kemudian menjadi banal, karena tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang salah. Ia akan mudah mencuri, bahkan mencuri dari orang miskin, untuk memperkaya diri dan kerabatnya. Harga diri yang rendah, nyaris menghilang, inilah yang perlu untuk kita cermati bersama.
Orang yang harga dirinya rendah juga akan mudah melanggar peraturan. Ia akan dengan mudah dan bahkan bangga (walaupun sesungguhnya hina), ketika berhasil menerobos lampu merah. Ia juga tak peduli, ketika membuang sampah sembarangan di jalan raya. Ia juga cuek, ketika merokok di tempat umum, dan merugikan orang yang ada di sekitarnya. Jelaslah, orang yang tak punya harga diri akan bangga, justru ketika ia melanggar peraturan, dan merugikan orang lain.
Membangun Harga Diri
Bagaimana membangun dan merawat harga diri kita sebagai bangsa? Ini pertanyaan yang jelas amat penting, dan perlu untuk menjadi kegelisahan kita bersama sebagai bangsa. Setidaknya, saya punya satu cara untuk membangun harga diri kita sebagai bangsa, yakni melalui pembentukan rasa bangga yang merugikan bibit kecil dari patriotisme. Namun, bagaimana melahirkan rasa bangga tersebut?
Rasa bangga lahir dari keberhasilan orang atau suatu bangsa untuk berkarya. Karya tersebut adalah karya yang bermutu, yang diakui berkualitas baik oleh berbagai pihak. Bahkan, karya tersebut menjadi semacam ukuran bagi karya-karya lainnya yang sejenis. Kebanggaan atas karya yang bermutu, yang mendapat pengakuan penuh dari beragam pihak, akan menciptakan harga diri bangsa, yang merupakan alat budaya untuk melawan segala macam bentuk korupsi di tubuh bangsa Indonesia.
Saya ambil contoh negara Jerman. Sampai sekarang, Jerman amat bangga dengan industri mobil mereka, sebut saja BMW, VW, dan Audi. Mereka juga amat bangga dengan industri mereka yang mampu menghasilkan benda-benda elektronik yang begitu rumit dan kecil. Bahkan, mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai bangsa yang “menghasilkan benda di dalam benda di dalam benda yang kamu lihat.” Karya-karya elektronik bermutu tinggi dan mendapat pengakuan dari seluruh dunia atas kualitasnya inilah yang membangkitkan rasa bangga dan harga diri negara Jerman.
Akibatnya, mereka melihat semua tindak melanggar hukum dan aturan dengan rasa jijik yang mencoreng harga diri mereka. Mereka tidak mau dibayar murah, atau bekerja di posisi-posisi rendah di berbagai perusahaan global. Harga diri yang lahir dari rasa bangga akan karya bangsa yang bermutu inilah yang membuat mereka juga jijik terhadap korupsi. Jika orang Jerman melanggar aturan atau malah korupsi, ia tidak hanya dihukum, tetapi harga dirinya sebagai manusia juga tercoreng.
Sebenarnya, Indonesia punya potensi amat besar untuk menghasilkan karya bermutu, mulai dari industri garmen sampai dengan elektronik. Begitu banyak orang berbakat dan kreatif di Indonesia. Begitu banyak sumber daya alam yang bisa digunakan. Tinggal semuanya itu dipadu dengan manajemen pemerintahan dan aparat hukum yang bersih dan efektif, maka kita bisa menghasilkan karya-karya bermutu yang mempesona dunia, melahirkan rasa bangga terhadap bangsa Indonesia, membentuk harga diri yang luhur sebagai bangsa, dan akhirnya malu serta jijik, ketika melakukan korupsi.
Semua itu ada di tangan generasi muda yang kini tersebar tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Pulanglah, dan bangkitkanlah bangsa ini dari keterpurukannya.
mana mau pulang, kalau sudah enak di luar negeri pak.
SukaSuka
di luar negeri ga selalu enak.. itu mitos memang.. yg bikin banyak orang indo terpukau
SukaSuka
Tanpa sadar Bangsa ini sementara menjual Harga dirinya sendiri. Banyak orang hanya untuk mendapatkan sepiring kacang merah (kebutuhan hidup red) mereka nekat untuk menjual harga dirinya. Modus Penjualan harga diri di ini bangsa sangat beragam. ada yang individu, namun ada juga secara kelembagaan, Lembaga-lembaga termasuk lembaga keagamaanpun digunakan sebagai pasar untuk menjual harga diri. Itulah Indonesia saat ini. Ketamakan dan KErakusan telah menutup mata hikmat. Harga diri akan dapat dipertahankan dan ditingkatkan hanya bila kita tahu sumber pemberi kacang merah. Hanya orang berhikmat yang tidak menjual Harga dirinya. Burung di udara saja tidak kelaparan,
SukaSuka
saya setuju. Terima kasih atas komentarnya.
SukaSuka