
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala, Surabaya, sedang di München, Jerman
Keunggulan suatu bangsa adalah karya tangan dari bangsa itu sendiri, dan bukan otomatis turun dari langit. Ratusan ribu doa akan percuma, jika orang tetap merampok dan bertindak merusak. Ini yang menurut saya harus ditekankan terlebih dahulu, sebelum kita berupaya merancang budaya yang melahirkan keunggulan di berbagai bidang di Indonesia.
Di era globalisasi sekarang ini, kekuatan suatu bangsa bukan semata sumber daya alam atau luas wilayahnya, melainkan pertama dan terutama adalah kekuatan kultur yang melahirkan manusia-manusia yang kreatif dan luhur. Namun, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, kultur tidak jatuh dari langit, melainkan hasil dari karya manusia. Kekuatan kultur dari suatu bangsalah yang mendorong bangsa itu mampu berkompetisi sekaligus bekerja sama untuk melahirkan kemakmuran bersama.
Kebebasan dan Rasa Aman
Pertanyaan kunci berikutnya adalah, bagaimana membentuk kultur yang melahirkan manusia-manusia kreatif sekaligus luhur tersebut? Saya melihat setidaknya adalah lima hal yang bisa dan perlu untuk diusahakan. Yang pertama adalah kebebasan. Dalam arti ini, masyarakat mendorong setiap warganya untuk secara bebas mengejar panggilan hidup dan mengembangkan keahlian mereka, tanpa paksaan.
Ini adalah unsur yang amat penting. Kebebasan, dalam wujud kesempatan untuk mengejar panggilan hati dan mengembangkan diri semaksimal mungkin, adalah tenaga pendorong kreativitas dan keluhuran manusia yang utama. Maka, ia tak boleh diinjak atas alasan apapun, baik itu alasan budaya, ataupun alasan agama. Jika kebebasan diancam, maka kreativitas pun akan bungkam.
Kebebasan harus dibarengi juga dengan rasa aman. Orang perlu merasa aman dari bahaya kriminal (dari anggota masyarakat lain) ataupun kejahatan negara, supaya ia bisa mencipta. Ia juga butuh rasa aman, bahwa ketika ia sakit atau terluka, negara dan masyarakat akan siap membantunya. Kebebasan tanpa rasa aman adalah sia-sia.
Orang juga harus bebas dari diskriminasi atas dasar agama, ras, suku, ataupun usia. Ia harus diperlakukan setara sebagai manusia yang juga memiliki hak dan kewajiban. Kesetaraan murni memang mitos, karena tak akan pernah terwujud di dalam realitas. Namun, sebagai kecenderungan umum, kesetaraan perlu untuk diciptakan, guna mendorong terbentuknya budaya unggul yang kreatif dan luhur.
Komunitas dan Pengakuan
Orang tak bisa mencipta sendirian. Ia membutuhkan dukungan dalam bentuk komunitas yang secara bersama-sama mencipta. Komunitas ini tempat orang bertukar pikiran dan informasi, guna mendorong upaya masing-masing untuk mencipta. Komunitas juga sumber motivasi, ketika orang lelah dalam upaya kreatif, dan tergoda untuk berhenti.
Orang juga tak bisa mencipta melulu dalam keadaan aman dan nyaman. Ia juga perlu tekanan dan kendala, walaupun sedapat mungkin, tekanan dan kendala tersebut tak menghambat kebebasan maupun rasa amannya. Tegangan antara rasa aman-nyaman di satu sisi dan hambatan maupun tekanan di sisi lain ini mendorong orang untuk sungguh termotivasi untuk mencipta. Contoh konkretnya: tekanan dalam bentuk deadline, perbaikan kualitas kerja, target kerja yang lebih tinggi, dan bentuk-bentuk tekanan kreatif lainnya.
Orang juga tak tergerak untuk mencipta, ketika ia tahu, bahwa ia tak akan mendapatkan pengakuan atas karyanya. Maka, pengakuan adalah sesuatu yang penting. Saya tak bermaksud memberikan orang uang, supaya ia mencipta, melainkan nama dan karyanya diakui sebagai suatu sumbangan nyata bagi perkembangan peradaban manusia. Perjuangan hidup manusia, sebagaimana berulang kali dikatakan oleh Axel Honneth, filsuf Jerman asal Frankfurt, ditandai dengan tujuan abadi manusia untuk mendapatkan pengakuan.
Memanusiakan Warga
Kelima nilai ini, yakni kebebasan, rasa aman, komunitas, kesetaraan, adanya hambatan kreatif, dan pengakuan, pada hemat saya, adalah kondisi-kondisi yang memungkinkan (die Bedigungen der Möglichkeit) untuk lahirnya budaya unggul di Indonesia. Dengan adanya budaya unggul ini, orang bisa dengan gembira menghasilkan karya-karya baik untuk perkembangan hidup manusia. Ini kekuatan sejati suatu bangsa, dan ini jauh lebih penting dari sumber daya alam yang berlimpah atau doa panjang yang berbusa-busa yang biasanya menutupi borok moral tertentu.
Kita perlu berusaha, supaya kelima nilai ini merasuk ke dalam segala sendi kehidupan berbangsa di Indonesia, mulai dari nilai-nilai keluarga, pendidikan, politik, ekonomi-bisnis, sampai dengan seni dan budaya. Di dalam bangsa yang unggul, yang ada tidak hanya kultur kreatif, melainkan juga upaya nyata untuk memanusiakan warganya. Ini berarti, setiap warga, apapun ras, suku, maupun agamanya, dipenuhi haknya yang utuh sebagai manusia, dan didukung semaksimal mungkin untuk mengembangkan dirinya (Selbstverwirklichung). Mustahil? Saya rasa tidak, karena berhasil atau tidaknya proses ini ada di tangan kita sebagai warga negara. Ya,.. di tangan kita.
Kreatifitas tidak akan muncul dengan sendirinya dalam suatu budaya hanya dengan memberikan ke lima atau enam faktor tersebut diatas. Di dalam budayanya itu sendiri harus ada penghargaan khusus atau tempat khusus buat kreatifitas. Masyarakatnya bisa saja terbagi dalam kasta-kasta sebagaimana di India atau di Bali (tidak sekuat di India) atau seperti di Jepang pada jaman feodalisme. Kondisi di Korea, Taiwan, China dan Singapura mungkin bisa jadi lebih represif daripada di Indonesia saat ini, tetapi mereka bisa lebih unggul. Apakah karena faktor ras? Karena tekanan yang sedang melanda itu justru membuat mereka kreatif? Atau memang mereka punya budaya yang lebih menghargai keunggulan?
Keberhasilan dalam menanamkan nilai-nilai itu tidak bisa ditentukan oleh “kita” saja sebagai warga. Contoh nyata di bidang pendidikan. Ternyata kita tidak berdaya dalam bidang pendidikan persekolahan dan pendidikan informal di luar sekolah. Campur tangan warga negara terhadap proses penyusunan Kurikulum 2013 terbukti diabaikan, dinafikan oleh Pemerintah dan DPR. Warga juga tidak pernah diajak oleh pihak sekolah untuk berpartisipasi dalam proses sekolah kecuali dalam hal mobilisasi dana (bukan partisipasi) , itupun secara sepihak. Padahal sudah ada peraturan menteri yang mengatur partispasi masyarakat. Ternyata itu hanya kopi-dan-tempel dari ilmu pendidikan ayang berasal dari negara maju yang baru sampai ke angan-angan para ‘pakar pendidikan’.
SukaSuka
Apa yang anda tulis kebetulan setopik dengan buku yang sedang saya susun, tapi yang saya lakukan masuk ke area manajemen praktis untuk menyambut SE Kementrian BUMN tentang pengembangan budaya anti korupsi.
Buku tersebut mencoba memberikan inspirasi dan motivasi untuk melakukan “intervensi budaya” yang diperlukan dalam menghadapi budaya BUMN (bisa juga diterapkan secara luas untuk negara misalnya) melalui langkah-langkah manajemerial yang taktis. Idenya adalah”
1. Membatasi kesempatan berprilaku dan bertindak koruptif.
2. Membangun ketakutan untuk melaksanakan tindakan tersebut melalui konsistensi konsekuensib dari tindakan tersebut.
3. Mengendalikan motivasi atau munculnya niat melakukan tindakan tersebut melalui: Eliminasi dorongan dan tekanan (insentive and temptation) yang dapat dikendalikan; Sistem rekrutmen karakter; sistem pembinaan karakter; pembagian peran pimpinan; Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pengembangan budaya anti koruptif.
I hope some day we can share our thought.
Good article.
SukaSuka
saya setuju dengan pak reza, tetapi , tetapi bagaimana mewujudkan , rasa aman sementara tindakan kriminalitas antar manusia sangat memprihatinkan
SukaSuka
kita sebagai warga bisa terus menekan, atau masuk ke jajaran pemerintahan untuk sungguh mengubah keadaan.Faktor-faktor yang saya tawarkan ini memainkan peranan penting dalam menciptakan budaya unggul. Masalahnya, ini tidak ada di Indonesia, atau minimal sekali. Jadi yang tentu saja, kita tidak bisa bersaing dengan siapapun…
SukaSuka
terima kasih. Semoga lancar dengan kegiatan ini, karena ini sangat penting untuk kemajuan Indonesia
SukaSuka
harus ada monopoli kekerasan dari negara, sebagai satu-satnya pihak yang berhak melakukan kekerasan secara legal dan konstitusional.. tidak ada cara lain
SukaSuka