
Oleh Reza A.A Wattimena
Penulis, Peneliti dan Doktor dari Universitas Filsafat Muenchen, Jerman
Cerita sedih Yuyun yang meninggal di Bengkulu, akibat kekerasan seksual, bukanlah cerita baru di Indonesia.
Pondok Indah, Jakarta Selatan, entah mengapa, Susan, bukan nama sebenarnya, harus berjumpa dengan 7 pria biadab. Selama 2 hari, Susan ditangkap, diajak ke rumah kosong, lalu diperkosa secara bergiliran. Mereka mengaku telah membayar sejumlah uang, namun itu tentu saja tidak membenarkan tindakan tersebut.
Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat, Marina, bukan nama sebenarnya, selama 5 tahun harus hidup di dalam tirani ayahnya sendiri. Selama 5 tahun itu, ia dipaksa untuk melayani nafsu seks ayahnya yang tak terkendali. Ia berusaha menolak, namun ancaman akan dibunuh tentu membuatnya takut.
Sejak 2004-2008, menurut data dari Kepolisian Daerah Bali, ada sekitar 137 anak yang menjadi korban pelecehan seksual. Pelakunya adalah orang lokal ataupun turis asing. Padahal, menurut pemaparan Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Kepolisian Bali, jumlah ini belum sungguh mencerminkan kenyataan sebenarnya.
Epistemologi Pemerkosa
Mengapa orang memperkosa orang lain? Setidaknya, saya melihat ada tiga sebab. Pertama, pelaku tidak melihat korbannya sebagai manusia, melainkan semata sebagai benda atau mesin untuk memuaskan nafsunya. Ini yang saya sebut sebagai epistemologi pemerkosa. Ironisnya, cara pandang ini, yakni melihat manusia semata sebagai benda dan obyek untuk tujuan lain, berakar begitu kuat di dalam dunia pendidikan kita.
Siswa dan siswi tidak dilihat sebagai pribadi yang unik dan bermartabat, melainkan sebagai benda atau obyek untuk memenuhi kepentingan sekolah akan akreditas atau hibah uang dari pemerintah. Oleh sebab itu, siswa dimasukan ke dalam proses yang panjang dan seragam dalam bentuk kurikulum pendidikan, mirip seperti pabrik mur yang memiliki prosedur yang panjang dan seragam.
Kedua, pelaku pemerkosa jelas adalah orang yang tidak mampu menata hasrat seksual di dalam dirinya. Hasrat seksual ini meledak, karena ia tidak pernah belajar untuk mengenali dan memahaminya. Ini terjadi, karena seumur hidupnya, ia dibekali oleh ajaran-ajaran moral munafik yang “mengharamkan” hasrat seksual. Karena tidak dipahami dan dikenali, sekali muncul, hasrat itu akan mengarah pada tindakan-tindakan biadab, seperti pemerkosaan maupun bentuk pelecehan seksual lainnya.
Pendidikan moral dan agama akan menjadi percuma, jika tidak dibarengi dengan pendidikan hasrat yang lebih dalam dan manusiawi. Bahkan, pendidikan moral dan agama yang semata mengharamkan hasrat seksual manusia justru akan menciptakan hasil sebaliknya: karena hasrat ditekan, maka suatu saat, ia akan meledak tak terkendali.
Ketiga, faktor lingkungan jelas berpengaruh besar. Masyarakat yang menekan hasrat atas nama agama dan moralitas biasanya akan bermuara pada kemunafikan, yang merupakan akar dari segala tindakan biadab. Masyarakat yang mengatur perempuan atas dasar agama dan moralitas justru akan mendorong perilaku-perilaku yang melecehkan martabat perempuan itu sendiri. Paradoks pemerkosaan inilah yang perlu untuk kita cermati lebih jauh.
Memperkosa Alam
Rupanya naluri pemerkosaan ini tidak hanya ditujukan kepada manusia, tetapi juga kepada alam. Hutan digunduli untuk mendapatkan uang lebih banyak, sementara alam tidak lagi memiliki area peresapan air. Ruang-ruang hijau digunduli untuk membangun apartemen mewah dan mall-mall besar. Pemerkosaan atas alam inilah yang mengakibatkan bencana banjir yang nyari menenggelamkan ibu kota awal 2013 ini.
Papua Barat, Wasior, 2010, hutan sudah rusak, karena digunduli. Akibatnya, ketika hujan deras terjadi, banjur pun tak bisa dihindari. Sungai Batang Salai meluap dan menghancurkan lapangan udara Wasior, rumah sakit, perumahan sipil, jembatan, dan gereja. Listrik terputus, dan hampir semua aktivitas sosial berhenti.
Ibu kota Jakarta pun tak asing dari bencana serupa. Februari 2007, banjir besar melanda Jakarta. Daerah resapan yang dibantai dibarengi dengan sistem pengendalian banjir yang tertimbun sampah membuat banjir tak bisa dielakkan. Penyebab yang sama juga bisa dilihat pada banjir besar yang melanda Jakarta di awal 2013 ini, yakni pembangunan perkantoran, perumahan mewah, dan mall yang membantai ruang terbuka hijau.
Sebab terdalamnya adalah manusia yang menjadi pemerkosa alam. Epistemologi pemerkosa juga beroperasi disini. Pertama, alam dilihat sebagai sesuatu yang hanya bernilai guna, sehingga bisa dimanipulasi dan dimanfaatkan untuk memuaskan kepentingan manusia. Akibatnya, alam rusak, dan manusia pun menghadapi bencana.
Kedua, ini juga terjadi, karena kita tidak pernah mendidik hasrat kita sebagai manusia, terutama hasrat untuk menaklukan dan menguasai alam. Pada akhirnya, kita hidup dalam masyarakat yang buta pada kepentingan alam. Perilaku membuang sampah sembarangan juga adalah bentuk pemerkosaan atas alam yang pada akhirnya berujung pula pada musnahnya manusia.
Mendidik hasrat, yakni hasrat seksual dan hasrat penguasaan, jauh lebih penting daripada sekedar mengulang-ulang perintah moral dan agama, yang akan segera hilang tertiup angin, ketika kesempatan berbuat jahat tampil di depan mata. Tanpa pendidikan hasrat, kita akan menjelma menjadi mahluk pemerkosa, yang siap memperkosa manusia tak berdaya, dan tanpa henti memperkosa alam. Ironisnya, ketika kita menjelma menjadi mahluk pemerkosa, yang sesungguhnya hancur tidak hanya alam dan orang lain, tetapi juga diri kita sendiri.
Sebenarnya dalam pemahaman “Epistemologi Pemerkosa” terutama Alam yang terlibat adalah semua MAKLUK HIDUP yang namanya MANUSIA — kita semua hidup dari sumber daya alam, mulai dari kendaraan yg kita pakai sampai jalan sepanjang perjalanan kita — katakan kita pakai BENSIN, menginjak ASPAL, pakai logam mulai Fe, Mn,Ni, Au, Cu dll adalah hasil dari memPERKOSA ALAM– dan pastilah pada saatnya jika namanya MANUSIA tidak bijak terhadap alam akan menuai karena pada saatnyapun sumber daya alam TERBATAS akan sama-2 “TAK TER ULANG lagi kecuali 3 R (Recycle, ReUse, ReCovering) atas SUMBER DAYA ALAM yg terbatas dan terPERKOSA oleh MANUSIA ini. Yang paling kritis dalam memPerkosa Alam adalah orang hanya mau “madu”nya dan “racun”nya disuruh makluk lain menikmati –> contoh orang memPERKOSA ALAM untuk diambil LOGAM yang katanya MULIA (Emas) dengan SIANIDA atau dengan Mercuri (Hg)
SukaSuka
hehehe… saya tak begitu bisa menangkap maksud anda. Tapi, saya rasa, saya bisa mengerti sedikit intinya. Intinya hubungan kita dengan alam harus dipikirkan ulang dan diubah total. Saya sepakat soal ini. Tapi bagaimana prosesnya?
SukaSuka
topik ini menggelitik pikiran saya untuk bertanya tentang pemerkosaan dan kasus2 yang terjadi di Indonesia. menurut bapak, apakah pria memang diciptakan seperti itu adanya? penuh nafsu sex sehingga jika pria tersebut tidak dapat menahan dirinya, timbullah tindakan biadab2 seperti yang bapak jelaskan diatas? seiring dengan maraknya Facebook dan social network lainnya, terkadang saya melihat itu dijadikan sarana untuk para pria memuaskan diri dan berbohong kepada orang lain. Berhubungan dengan wanita di dunia maya dan melihat foto2 sexy dari profile picture mereka, itu seperti sudah menjadikan hal yang wajar bagi sebagian orang karena pria memang begitu….kalau memang demikian, apakah harus begitu? jujur pak sebagai wanita saya risih dan malu sendiri kalau melihat ada wanita yg dengan sengaja mengirim atau memperlihatkan foto2nya yang seksi dan maaf terkadang fulgar untuk dilihat oleh para pria, mengapa seperti seolah-olah wanita sendiripun mau dijadikan obyek seperti itu karena pria membutuhkan itu.
SukaSuka
Pemerkosa melakukan aksi ”naluriah”nya dengan biadab amoral.
Naluri berkuasa atas ‘korban’,, naluri penguasaan situasi ‘hidup atau mati’.
Pria pemerkosa merasa menghidupkan/melampiaskan hasrat seksual.
Pria ‘pejabat’ ber p i k i r ‘mati’ jika tidak memperkosa alam mengkorupsi hasilnya.
Saya telah tengah memperkosa ‘diri sendiri’ retorika self construction-Kalau yang terjadi self destruction,itu resiko yang mesti dihadapi !!
Apa yang ter’tabur’ a k a n ter’tuai’.
SukaSuka
Tidak. Itu bentukan sosial. Pria yang tak mampu menata hasratnya lahir dari masyarakat yang memang terbelakang. Wanita boleh saja telanjang. Tetapi apakah itu akan merangsang atau tidak, amat tergantung dari cara berpikir orang yang melihatnya. Maka hasrat dan imajinasi pun harus ditata dan dididik. Pria yang otaknya porno akan melihat jempol kaki wanita, dan terangsang. Itulah bodohnya kita
SukaSuka
hmm.. saya setuju dengan argumen awal anda.. tetapi selanjutnya, saya tak begitu mengerti…
SukaSuka
maaf pak mau tanya lagi, kalau memang pemerkosaan, itu bentukan sosial dan pria yang tak mampu menata hasratnya, mengapa banyak kasus-kasus yang terjadi bukan hanya tentang pemerkosaan tetapi juga tentang pernikahan siri, dan kasus2 semacam ini, yang melakukan adalah orang-orang yang berpendidikan dan menjadi pejabat di pemerintahan ? apakah yang bapak maksud bentukan sosial itu awalnya dari lingkungan sosial keluarga?
SukaSuka
ternyata argumen bahwa di dalam setiap manusia itu ada etika dan hati nurani yang begitu saja sudah ada dan tertanam, tidak terbukti ya dengan adanya kasus-kasus ini..hmm….
SukaSuka
saya tau anda dari Buku “Filsafat Kata”
SukaSuka
itulah hasrat yang tak terdidik. Hasrat yang tak terdidik ini menjangkiti banyak orang, termasuk orang-orang yang “merasa terdidik”
SukaSuka
tapi ada kasus-kasus lainnya yang menunjukkan, bahwa manusia punya etika dan hati nurani cu.. tinggal kita aja mau liat yang mana…
SukaSuka
tapi ada kasus-kasus lainnya yang menunjukkan, bahwa manusia punya etika dan hati nurani cu.. tinggal kita aja mau liat yang mana…
SukaSuka
salam kenal…
SukaSuka
Reblogged this on ahmattafsir.
SukaSuka
setuju sangat dengan kalimat ini “Ironisnya, ketika kita menjelma menjadi mahluk
pemerkosa, yang sesungguhnya
hancur tidak hanya alam dan orang
lain, tetapi juga diri kita sendiri”
SukaSuka
ya… salam kenal…
SukaSuka
dialekika hidup..
SukaSuka
maksudnya?
SukaDisukai oleh 1 orang
Mantap!
SukaSuka
terima kasih
SukaSuka
Saya tertarik dg “Masyarakat yang menekan hasrat atas nama agama dan moralitas biasanya akan bermuara pada kemunafikan, yang merupakan akar dari segala tindakan biadab”. Apa maksud dr “menekan” hasrat atas nama agama dan moralitas? Apakah kemudian menekan sama dengan menghindari, mengabaikan, atau mengapus? Mohon pencerahannya. Terimakasih.
SukaSuka
Terima kasih. Menekan berarti menyangkal, melarang berbicara, melarang berekspresi.. sehingga daya-daya tersebut menjadi bom waktu di dalam.
SukaSuka