Resensi Buku
Brooks, David, The Social Animal: The Hidden Sources of Love, Character, and Achievement, Random House, New York, 2011, ISBN: 978-1-4000-6760-2
Rob dan Julia berjumpa. Entah bagaimana –tanpa pertimbangan rasional sedikit pun- mereka merasa, bahwa mereka telah menemukan pasangan jiwanya. Tak lama mereka makan malam. Waktu berlalu mereka pun menikah. Mereka melahirkan seorang putra, dan menjadi sebuah keluarga.
Proses perkenalan dua orang sampai jenjang pernikahan jelas adalah proses yang rumit. Banyak faktor yang terlibat di dalamnya, mulai dari warna rambut, tutur kata, pilihan kata, gerak tubuh, bahkan warna kuku kedua orang yang terlibat. Jelaslah bahwa manusia adalah mahluk yang amat rumit, yang juga hidup dan berkembang melalui proses yang amat rumit pula. Manusia adalah teka-teka sejuta arti yang menanti untuk disikap dengan penuh ketekunan, sekaligus kekaguman.
Memang seperti yang dinyatakan oleh Immanuel Kant, pada akhirnya, pertanyaan terdalam semua ilmu pengetahuan adalah, siapa atau apa itu manusia, dan apa artinya menjadi manusia? Pertanyaan inilah yang ingin dijawab oleh David Brooks di dalam buku terbarunya yang berjudul The Social Animal, The Hidden Sources of Love, Character, and Achievement.
David Brooks adalah seorang jurnalis New York Times yang rajin menulis kolom di harian terkemuka di Amerika Serikat tersebut. Ia juga menulis banyak buku. Diantaranya adalah On Paradise Drive dan Bobos in Paradise.
Sebagai seorang jurnalis gaya menulis Brooks amatlah bagus. Ia menulis dengan gaya yang memikat, sekaligus informatif. Di sisi lain terutama di dalam buku The Social Animal, Brooks mengutip banyak penelitian bermutu terbaru tentang manusia.
Kombinasi antara gaya menulis seorang jurnalis yang memikat di satu sisi, dan penelitian-penelitian terbaru tentang manusia, menghasilkan karya yang juga amat informatif, mencerahkan, sekaligus enak dibaca.
Brooks menghindari kecenderungan para filsuf klasik untuk berspekulasi tentang manusia, maka ia memilih menggunakan penelitian-penelitian empiris tentang manusia sebagai dasar tulisannya. Ia juga menghindari gaya bahasa yang kering, yang biasa digunakan oleh para ilmuwan untuk menyajikan hasil penelitiannya.
Tesis utama Brooks adalah, bahwa manusia adalah mahluk sosial yang didorong oleh emosi maupun ketidaksadaran di dalam semua langkah hidupnya. Manusia bukanlah mahluk rasional yang memperhitungkan semua kemungkinan secara logis. Sebaliknya akal budi hanyalah alat untuk membenarkan apa yang sebelumnya telah dipilih oleh emosi manusia sebelumnya.
Saya ingin memberikan satu catatan disini. Brooks memang menggunakan kata emosi (emotion) dan perasaan (feeling) di dalam tulisannya. Namun dua kata itu, yakni emosi dan perasaan, memiliki arti yang berbeda di dalam buku tersebut.
Di dalam komunikasi sehari-hari orang Indonesia, kata emosi seringkali disamakan dengan emosian. Orang yang emosian berarti orang yang labil, gampang sedih, gampang marah, dan cenderung dianggap suatu sikap yang negatif.
Begitu pula dengan kata perasaan (feeling). Di Indonesia kata perasaan seringkali dianggap sesuatu yang tidak rasional. Perasaan disamakan dengan kelemahan akal budi. Brooks tidak menggunakan dua kata itu, yakni emosi dan perasaan, dengan dua arti umum tersebut.
Kata yang lebih tepat, menurut saya, adalah kemampuan untuk merasa, atau sentimen. Dengan kata lain yang mendorong manusia bukanlah pertimbangan rasional, tetapi kemampuannya untuk merasa pada satu waktu dan tempat tertentu, serta pada satu konteks peristiwa.
Dengan lugas Brooks menulis, bahwa ia adalah pengikut aliran Pencerahan Inggris yang lebih mengedepankan kemampuan manusia untuk merasa, daripada aliran Pencerahan Prancis yang memang lebih mengedepankan rasionalitas sebagai tolok ukur hidup manusia.
Brooks tidak berspekulasi untuk sampai pada argumen itu. Sebaliknya ia justru membaca banyak sekali penelitian terbaru tentang manusia, supaya bisa sampai dan mengembangkan argumen itu. Ia membalik pandangan kita tentang apa atau siapa itu manusia, dan apa artinya menjadi manusia. Dengan buku The Social Animal, Brooks melakukan revolusi paradigma tentang pemahaman kita mengenai manusia!
Karena memiliki kemampuan untuk merasa, manusia kemudian keluar dari dirinya, dan menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan ini juga tidak didasarkan oleh sesuatu yang rasional, melainkan justru amat emosional, yakni di dalam sentimennya, atau kemampuannya untuk merasa.
Jaringan yang terbentuk dari hubungan ini memiliki beragam nama, seperti persahabatan, cinta, keluarga, masyarakat, dan bahkan bangsa. Dasar dari bangsa bukanlah perjanjian ataupun perhitungan rasional, tetapi emosi-perasaan yang mendorong orang untuk menyatu.
Di dalam buku ini, Brooks juga mematahkan berbagai mitos atau kesalahan berpikir yang berkembang di masyarakat. Misalnya melalui berbagai penelitian yang telah ada, ia membuktikan, bahwa ketika pertama kali lahir, bayi sama sekali bukanlah kertas putih. Bayi sudah membawa beragam aliran informasi di dalam genetikanya, yang juga merupakan warisan dari peradaban sebelumnya.
Brooks juga mematahkan mitos, bahwa emosi dan perasaan (sentimen) adalah hal yang harus dijauhi di dalam pembuatan keputusan. Sebaliknya bagi Brooks orang yang tanpa emosi ataupun sentimen tidak akan mampu membuat keputusan. Dengan mengutip berbagai penelitian empiris terbaru, ia ingin menegaskan, bahwa dengan sentimenlah manusia memilih, lalu dengan akal budilah manusia mencari pembenaran atas pilihannya itu.
Brooks juga menulis soal proses membuat keputusan. Pandangan lama menyatakan bahwa keputusan adalah proses sadar yang dibuat dengan berpijak pada data-data yang ada. Maka keputusan adalah sesuatu yang dibuat dengan sadar dan rasional.
Namun setelah menelusuri berbagai penelitian yang ada, Brooks sampai pada kesimpulan, bahwa pandangan lama itu salah. Keputusan adalah suatu proses perantauan. Orang memilih satu dari berbagai kemungkinan. Namun pilihannya tetap sebuah kemungkinan yang bisa berubah dan berkembang bersama keadaan.
Seluruh buku ini diikat dengan satu tesis, bahwa manusia adalah mahluk yang merasa. Dengan kemampuannya untuk merasa, manusia menciptakan moralitas, dan bahkan peradaban itu sendiri. Dengan kemampuannya untuk merasa, manusia keluar dari dirinya sendiri, menyentuh hidup orang lain, dan menciptakan komunitas. Dan dengan kemampuannya untuk merasa, manusia membuat pilihan-pilihan penting dalam hidupnya.
Brooks merasa bahwa semua upaya untuk menciptakan hidup bersama yang lebih baik gagal, karena kita menggunakan pendekatan yang salah. Kita masih menggunakan paradigma lama, bahwa manusia adalah mahluk rasional yang bertindak dengan perhitungan. Akhirnya kita pun membuat kebijakan maupun intervensi dengan paradigma yang salah tersebut. Hasilnya sia-sia.
Yang diperlukan adalah perubahan paradigma di dalam memahami manusia. Lalu pembuatan kebijakan ataupun intervensi pun perlu dilakukan dengan berpijak pada pemahaman yang tepat tentang apa atau siapa itu manusia, yakni mahluk yang merasa. Pada hemat saya ini upaya yang patut dicoba. Siapa tahu pada akhirnya, dengan menggunakan cara pandang ini di dalam setiap keputusan yang kita buat, dan di dalam setiap kebijakan yang kita rumuskan, kita bisa sungguh mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk semua orang…. Siapa tahu?
Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya