Kekuasaan, Kemunafikan, dan Kehidupan

http://1.bp.blogspot.com/

Penafsiran Ulang atas Pemikiran Friedrich Nietzsche

Oleh Reza A.A Wattimena

Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya

         Dunia politik di Indonesia diwarnai kemunafikan. Para politisi mengumbar janji pada masa pemilu, guna mendapatkan suara dari rakyat. Namun setelah menduduki kursi kekuasaan, mereka lupa, dan menelantarkan rakyatnya. Tak hanya itu ketika menjabat, mereka melakukan korupsi atas uang rakyat, demi memperkaya diri mereka sendiri, atau menutup pengeluaran mereka, ketika pemilu. Seringkali uang hasil korupsi dibagi ke teman-teman dekat, bahkan ke institusi agama, untuk mencuci tangan. Jika sudah begitu mereka lalu mendapatkan dukungan moral dan politik dari teman-teman yang “kecipratan” uang, dan bahkan dukungan moral-religius dari institusi agama. Bukan rahasia lagi inilah pemandangan sehari-hari situasi politik di Indonesia. Kekuasaan diselubungi kemunafikan yang bermuara pada penghancuran kehidupan rakyat jelata.

Membaca dan mendengar fenomena ini, saya teringat pemikiran Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman. Ia berpendapat bahwa manusia dan alam semesta didorong oleh suatu kekuatan purba, yakni kehendak untuk berkuasa (the will to power). Apa yang dimaksud dengan kehendak untuk berkuasa ini? Apa kaitan dari kehendak untuk berkuasa dengan kehidupan manusia secara khusus, dan alam semesta secara umum? Apa yang membuat kehendak untuk berkuasa akhirnya bermuara pada kemunafikan-kemunafikan hidup, seperti yang seringkali dialami dunia politik Indonesia? Dengan berpijak pada pemikiran Nietzsche, saya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Untuk itu tulisan ini akan dibagi ke dalam tiga bagian. Awalnya saya akan memperkenalkan siapa itu Friedrich Nietzsche secara singkat (1). Lalu saya akan menjabarkan pemikiran Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa, terutama yang tercantum di dalam bukunya yang berjudul Between Good and Evil. Pada bagian ini saya juga terbantu oleh tulisan James I. Porter tentang Nietzsche (2). Pada bagian akhir saya akan memberikan kesimpulan, sekaligus mengajukan satu tanggapan terhadap pemikiran Nietzsche (3).

1. Friedrich Nietzsche

Friedrich Nietzsche lahir pada 1844,[1] dan meninggal pada 1900. Ia adalah seorang filsuf Jerman di akhir abad ke-19, dan dikenal sebagai seorang pemikir yang melakukan serangan terhadap Kristianitas dan moralitas tradisional di Eropa pada jamannya. Fokus filsafatnya adalah pengembangan diri manusia semaksimal mungkin, dan analisis kebudayaan di jamannya. Ia menekankan sikap menerima dan merayakan kehidupan, kreativitas, kekuasaan, segala kontradiksi, serta absurditas hidup manusia. Ia menolak untuk mengakui adanya dunia lain di luar dunia ini. Ide paling penting di dalam filsafat Nietzsche, menurut saya, adalah ide penerimaan pada hidup. Konsekuensinya semua ajaran dan pemikiran di dalam peradaban manusia yang menolak kehidupan ditolak olehnya. Dengan pemikirannya ini ia memberikan inspirasi besar bagi para penyair, psikolog, filsuf, sosiolog, artis, dan para pemikir progresif di kemudian hari.

Di abad ke-20 lalu, pengaruh pemikiran Nietzsche amat terasa di daratan Eropa.  Di mata para pemikir progresif, pembaharu-pembaharu keilmuwan, maupun seniman, Nietzsche dianggap sebagai seorang “nabi”. Beragam bidang kehidupan mulai dari arsistektur, metodologi penelitian ilmiah, filsafat, seni, sampai dengan fashion mengambil inspirasi dari ide-idenya yang kreatif dan mencerahkan. Percikan-percikan pemikirannya selalu terasa segar, baru, dan inspiratif. Di dalam bidang psikologi, Nietzsche berpetualang mengangkat aspek-aspek hewani dan ketidaksadaran manusia, yang kemudian memberikan inspirasi bagi Freud untuk mengembangkan psikoanalisisnya. Tak jarang pula pemikiran-pemikiran Nietzsche digunakan untuk membenarkan hal-hal kejam, seperti perang, penaklukan, diskriminasi, seperti yang dilakukan oleh NAZI Jerman dan partai fasis Italia.

Pada era 1960-an, pengaruh filsafat Nietzsche hanya terasa di kalangan seniman dan penulis. Pada masa-masa itu dunia akademik belum mengangkat kekayaan pemikirannya. Dunia filsafat sendiri masih terpesona pada pemikiran-pemikiran Hegel, Husserl, dan Heidegger. Strukturalisme Saussure dan Levi-Strauss baru mulai berkembang. Namun pada akhir dekade 1960-an, terutama di Prancis, para filsuf mulai menengok ke filsafat Nietzsche untuk mengembangkan tradisi filsafat mereka sendiri. Inilah yang nantinya mengental menjadi posmodernisme yang menantang cara berpikir lama, dan melakukan kritik sosial yang bersifat menyeluruh (dari kritik ekonomi sampai gaya hidup) pada jamannya. Di negara-negara berbahasa Inggris, karena kaitannya dengan fasisme dan NAZI Jerman, para filsuf baru mulai membuka diskusi tentang pemikirannya setelah 1970-an.

Walaupun hidup sakit-sakitan, Nietzsche tetap mampu menulis dengan amat baik dan kreatif selama bertahun-tahun di masa hidupnya. Rasa sakit tubuh pun terus datang dan pergi. Ini semua menggambarkan kekuatan mental yang ia miliki di dalam berpikir dan mencipta. Bahkan menurut saya rasa sakit dan penderitaan itulah yang menjadi sumber inspirasi dari tulisan-tulisan filsafatnya. Dari rasa sakit dan ketabahannya, ia menuliskan gagasan-gagasan pencerahan yang mempengaruhi peradaban manusia, sampai sekarang ini.

2. Kehendak untuk Berkuasa

Konsep kehendak untuk berkuasa adalah salah satu konsep yang paling banyak menarik perhatian dari pemikiran Nietzsche.[2] Dengan konsep ini ia bisa dikategorikan sebagai seorang pemikir naturalistik (naturalistic thinker), yakni yang melihat manusia tidak lebih dari sekedar insting-insting alamiahnya (natural instincts) yang mirip dengan hewan, maupun mahluk hidup lainnya. Nietzsche dengan jelas menyatakan penolakannya pada berbagai konsep filsafat tradisional, seperti kehendak bebas (free will), substansi (substance), kesatuan, jiwa, dan sebagainya. Ia mengajak kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia dengan cara-cara baru. Sebagaimana dicatat oleh Porter, ada tiga konsep dasar yang mewarnai seluruh pemikiran Nietzsche, yakni penerimaan total pada kontradiksi hidup (1), proses transendensi insting-insting alamiah manusia (2), dan cara memandang realitas yang menyeluruh (wholism) (3).[3] Pemikiran tentang kehendak untuk berkuasa terselip serta tersebar di dalam tulisan-tulisannya sebagai fragmen-fragmen yang terpecah, dan seolah tak punya hubungan yang cukup jelas. Dari semua fragmen tersebut, menurut Porter, setidaknya ada tiga pengertian dasar tentang kehendak untuk berkuasa, yakni kehendak untuk berkuasa sebagai abstraksi dari realitas (1), sebagai aspek terdalam sekaligus tertinggi dari realitas (the nature of reality) (2), dan sebagai realitas itu sendiri apa adanya (reality as such) (3).

Ketiga makna itu bisa disingkat dalam rumusan berikut, sebagai hakekat terdalam dari alam semesta beserta dengan geraknya yang dilihat dari sisinya yang paling gelap. Dalam bahasa Nietzsche kehendak untuk berkuasa adalah “klaim kekuasaan yang paling tiranik, tak punya pertimbangan, dan tak dapat dihancurkan.”[4] Bisa dikatakan ketika berbicara tentang kehendak untuk berkuasa, Nietzsche berubah menjadi seorang filsuf monistik, yang melihat realitas tersusun dari satu unsur terdalam (fundamental aspect) yang menentukan segalanya. Unsur terdalam itulah yang disebutnya sebagai kehendak untuk berkuasa.

“Jika tubuh ini hidup dan tidak mati, tubuh ini tetap harus memperlakukan tubuh-tubuh lain sama seperti ia memperlakukan tubuhnya sendiri. Tubuh itu sendiri tetap merupakan pembadanan dari kehendak untuk berkuasa, tubuh itu akan ingin tumbuh, menyebar, memegang, memenangkan dominasi – bukan karena soal moralitas atau imoralitas, melainkan karena tubuh itu hidup, dan karena hidup itu sendiri adalah kehendak untuk berkuasa.”[5]

Ini adalah gambaran intuitif realistik tentang realitas kehidupan manusia, dan kehidupan alam semesta pada umumnya. Dorongan ini tidak dapat ditahan, apalagi dimusnahkan, karena segala sesuatu yang ada berasal dari padanya. Jadi seluruh realitas ini, dan segala yang ada di dalamnya, adalah ledakan sekaligus bentuk lain dari kehendak untuk berkuasa. Ia ada di dalam kesadaran sekaligus ketidaksadaran manusia. Ia ada di dalam aspek intelektual sekaligus instingtual manusia. Kehendak untuk berkuasa adalah dorongan yang mempengaruhi sekaligus membentuk apapun yang ada, sekaligus merupakan hasil dari semua proses-proses realitas itu sendiri.[6] Semua ini terjadi tanpa ada satu sosok yang disebut sebagai pencipta, atau subyek agung. Semua ini adalah gerak realitas itu sendiri yang berjalan mekanis, tanpa pencipta dan tanpa arah.

Bagi Nietzsche dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak memiliki pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Di dalam dunia semacam ini, tidak ada pengetahuan obyektif. Yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan adalah subyektivitas (subjectivity) dan kemampuan untuk menafsir (interpretation). Dua hal ini menurut Nietzsche lahir dari kehendak untuk berkuasa itu sendiri.[7] Dengan subyektivitas dan kemampuan untuk menafsir, manusia bisa melihat hubungan sebab akibat (causality) di dalam dunia. Dengan dua kemampuan ini, manusia bisa menempatkan diri, sekaligus menempatkan benda-benda yang ada di dalam dunia pada tempat yang semestinya. Kehendak untuk berkuasa mendorong manusia untuk menjadi subyek yang aktif di dalam menjalani hidup, sekaligus menjadi penafsir dunia yang memberi makna (meaning) atasnya. Dengan kehendak untuk berkuasa, manusia bisa menciptakan dan menata dunia. Dalam arti ini dunia adalah tempat yang bukan-manusia (inhuman). Dunia menjadi bermakna karena manusia, dengan subyektivitas serta kemampuannya menafsir, memberinya makna, dan menjadikannya “manusiawi” (human).

Nietzsche terkenal sebagai filsuf yang melihat dunia secara positif. Ia menyarankan supaya kita memeluk dunia, dengan segala aspeknya, dan merayakan kehidupan. Dunia dan kehidupan adalah suatu permainan yang tidak memiliki kebenaran, tidak memiliki awal, serta selalu terbuka untuk dimaknai dan ditafsirkan. Dunia bukanlah melulu milik manusia untuk dikuasai dan digunakan, melainkan memiliki nilai pada dirinya sendiri. Dengan kata lain dunia memiliki nilai kosmik, dan tak semata antropomorfik. Manusia harus belajar melihat alam tidak melulu dari kaca matanya sendiri, tetapi juga dari kaca mata alam itu sendiri. Dari kaca mata alam, kehidupan ini sendiri adalah kehendak untuk berkuasa. Maka kehendak berkuasa adalah “afirmasi yang penuh suka cita pada hidup itu sendiri.”[8] Hidup memang tak bertujuan dan tak memiliki nilai. Namun manusia diminta untuk menerima dan merayakannya sepenuh hati.

Sebagai bagian dari dunia yang dimotori kehendak untuk berkuasa, manusia pun tidak lagi dipandang sebagai mahluk rasional, melainkan sebagai mahluk yang hidup dengan rasa dan sensasi-sensasi (sensational being) yang diterimanya dari dunia. Sensasi itu mendorong manusia untuk mencipta dunia (world-creating activity). Jadi karena dikelilingi oleh kehendak untuk berkuasa, manusia pun terdorong untuk mencipta dunia. Tindak mencipta dianggap sebagai dorongan alamiah, dan bahkan kebutuhan eksistensial manusia. Dalam arti ini manusia bukanlah subyek seutuhnya, karena ia adalah bentuk konkret saja dari kehendak untuk berkuasa. Manusia adalah subyek yang bukan subyek. Manusia dan dunia adalah cerminan dari kehendak untuk berkuasa.

“Para ahli fisiologi”, demikian tulis Nietzsche, “harus berpikir dua kali sebelum menempatkan dorongan untuk mempertahankan diri sebagai dorongan paling utama dari mahluk hidup. Di atas semua itu, mahluk hidup mau mengeluarkan kekuatannya –hidup itu sendiri adalah kehendak untuk berkuasa-: mempertahankan diri hanya salah satu konsekuensi yang tidak langsung dan paling sering muncul dari ini.”[9]

Pemahaman Nietzsche tentang ini didapatkan dari pola berpikir metafisisnya, bahwa hakekat dari sesuatu bisa dilihat dari efek-efek yang ditimbulkannya. Hakekat dari dunia dan manusia adalah efek-efek yang ditimbulkannya, yakni penciptaan. Penciptaan hanya mungkin jika entitas tersebut memiliki kuasa.

Pemikiran Nietzsche tentang kehendak untuk berkuasa bukanlah sebuah pandangan dunia yang sistematis (systematic worldview). Konsep ini lebih merupakan upayanya untuk menyibak berbagai situasi di dalam dunia, dan menemukan apa yang menjadi dasar dari semuanya. Maka konsep ini tidak bisa diperlakukan sebagai konsep metafisika tradisional, entah sebagai arche di dalam filsafat Yunani Kuno, atau substansi.[10] Menurut Porter konsep kehendak berkuasa, yang dirumuskan oleh Nietzsche, adalah sebuah simbol dari kegagalan manusia untuk memahami hakekat terdalam dari realitas. Artinya pengetahuan manusia itu terbatas, sehingga tak mampu untuk memahami dunia seutuhnya. Dalam konteks ini Nietzsche kemudian menawarkan sebuah pemahaman yang lebih “puitis” tentang hakekat dunia yang memang tak bisa sepenuhnya tertangkap oleh akal budi manusia.[11] Konsep kehendak untuk berkuasa tidak lahir dari penalaran rasional, tetapi dari imajinasi manusia yang melihat dan tinggal di dalam dunia. Bisa dibilang bahwa Nietzsche hendak melepaskan logos sebagai alat utama manusia untuk memahami dunia, dan menawarkan penjelasan mitologis (mythological explanation) yang lebih imajinatif, deskriptif, dan kaya di dalam memahami dunia. Akal budi (reason) menyempitkan dunia, sementara imajinasi dan rasa menangkap kerumitannya, dan merayakannya.

Nietzsche sendiri tidak pernah menyatakan, bahwa konsepnya tentang kehendak untuk berkuasa adalah suatu mitos. Konsep ini lahir dan berkembang, ketika ia membahas pemikiran Schopenhauer, bahwa dunia adalah representasi dari kehendak dan ide manusia (world as will and representation).[12] Walaupun begitu kita tetap harus membedakan model berpikir dari dua filsuf besar ini. Nietzsche melihat dunia sebagai kehendak untuk berkuasa, namun bersikap optimis, dan memilih untuk merayakan kehidupan dengan segala kerumitannya. Sementara Schopenhauer melihat dunia sebagai kehendak buta, bersikap pesimis, serta memilih untuk melarikan diri darinya.[13] Dua sikap ini pada hemat saya juga dapat digunakan untuk memahami mentalitas manusia jaman ini di dalam memandang kehidupan.[14] Di tengah kehidupan yang tak selalu jelas, ada orang yang memilih untuk putus asa, dan kemudian bunuh diri, atau melarikan diri ke berbagai “candu”. Namun ada pula orang yang menanggapi semua itu dengan berani, dan bahkan merayakan absurditas kehidupan itu sendiri. Sikap yang terakhir inilah yang disarankan oleh Nietzsche.

Konsep kehendak untuk berkuasa memang bersifat ambigu, dan mengundang banyak tafsiran. Di satu sisi kehendak untuk berkuasa adalah inti sari filsafat Nietzsche, yang mencakup sikap merayakan hidup dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya, dan keberpihakan ada energi-energi mabuk khas Dionysian yang selama ini ditekan oleh agama dan moral tradisional. Di sisi lain konsep itu juga bisa dilihat sebagai simbol dari kritiknya terhadap modernitas, yang dianggap telah menyempitkan kekayaan diri manusia semata pada akal budinya, dan telah memasung manusia menjadi subyek yang patuh pada tata hukum dan moral yang mengikat daya-daya hidupnya. Pada hemat saya dengan konsep kehendak untuk berkuasa, Nietzsche ingin membongkar kemunafikan manusia modern, yang walaupun merindukan dan menghasrati kekuasaan, berpura-pura menolaknya, karena alasan-alasan moral. “Keberatan-keberatan, ketidaksetiaan-ketidaksetiaan kecil, ketidakpercayaan yang gembira, rasa senang di dalam sikap menghina”, demikian tulisnya, “adalah tanda-tanda kesehatan. Segala sesuatu yang tanpa pamrih berasal dari patologi (ketidaknormalan, atau sakit yang bermuara pada kejahatan –Reza).”[15]

Penolakan terhadap kehendak untuk berkuasa menciptakan ketegangan di dalam diri manusia, karena ia sedang melawan dorongan alamiahnya sendiri. Ia menolak kekuasaan namun menghasratinya. Tegangan yang tak terselesaikan ini menghasilkan kemunafikan-kemunafikan yang amat gampang ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari manusia. Nietzsche mengajak kita untuk menerima diri kita apa adanya, tidak menolak, atau bahkan mengutuk, apa yang sesungguhnya merupakan dorongan alamiah kita sebagai manusia, yakni kekuasaan.[16] “Masa-masa hebat dalam hidup kita”, demikian tulisnya, “datang ketika kita mendapatkan keberanian untuk melihat kejahatan-kejahatan di dalam diri kita sebagai bagian terbaik dari kita.”[17] Dengan penerimaan semacam ini, kekuasaan tidak lagi menjadi destruktif, tetapi bisa didorong sebagai kekuatan untuk mencipta.

“Siapa yang bertarung dengan monster”, demikian tulis Nietzsche, “harus melihat bahwa ia sendiri tidak menjadi monster. Dan ketika kamu melihat dalam waktu lama ke dalam jurang yang kosong, jurang tersebut melihat kembali kepadamu.”[18] Inilah orang-orang yang munafik, yang mengingkari kehendak untuk berkuasa atas nama moralitas. Ia bertarung melawan kejahatan atas nama kebaikan, namun dalam perjalanan, ia sendiri berubah menjadi kejahatan itu sendiri, yang, mungkin sekali, lebih parah dari kejahatan yang ia perangi. Ketika ia mengutuk kejahatan, maka kejahatan kembali menatapnya, dan menjadi satu dengan dirinya. Pengakuan pada sisi-sisi jahat diri membawa manusia pada kebijaksanaan, bahwa ia adalah ketidaksempurnaan itu sendiri. Hidup yang dirayakan tidak akan pernah jatuh ke dalam pemutlakkan tertentu yang mencekik, termasuk pada pemutlakkan nilai-nilai kebaikan itu sendiri.

3. Penutup

Nietzsche menggunakan konsep kehendak untuk berkuasa sebagai model untuk menjelaskan alam semesta beserta manusia yang ada di dalamnya. Bisa dibilang menurut saya, konsep kehendak untuk berkuasa adalah kosmologi sebagai ontologi Nietzsche, ketika ia berbicara tentang kehidupan. Artinya kehendak untuk berkuasa adalah alam itu sendiri, sekaligus unsur terdasar dari kehidupan. Tentu saja kita tidak bisa membayangkan, bahwa konsep ini adalah penjelasan sistematik tentang alam. Yang lebih tepat menurut saya, kita menempatkan konsep kehendak untuk berkuasa sebagai upaya deskriptif dan mitologis untuk menjelaskan alam, tanpa membunuh beragam kekayaan, kerumitan, serta kontradiksi yang ada di dalamnya. Penjelasan saintifik tentang alam, menurut Nietzsche, terlalu kering, dan tak mampu menangkap kerumitan, kekayaan, serta kontradiksi kehidupan itu sendiri.

Kehendak untuk berkuasa bagi Nietzsche juga merupakan akar dari semua proses destruksi yang dilakukan manusia. Perang, intrik politik, serta beragam pelanggaran HAM mengakar pada nafsu manusia, yang merupakan bagian dari alam, untuk mendapatkan kekuasaan. Untuk memperoleh kuasa manusia bersedia untuk melakukan apapun, termasuk merugikan orang lain, atau merusak alam. Dengan kekuasaan yang ia punya, manusia bisa memaksakan kehendaknya pada dunia. Namun di sisi lain, sejauh saya pahami, Nietzsche juga mengatakan, bahwa kehendak untuk berkuasa juga merupakan akar dari kehendak manusia untuk mencipta. Dengan kata lain kehendak untuk berkuasa adalah energi yang mendorong manusia untuk menciptakan peradaban, mulai dari penciptaan masyarakat, teknologi, sains, filsafat. Di balik semua ciptaan manusia tersebut, ada kehendak untuk berkuasa (menguasai manusia lain, menguasai alam) yang tersembunyi di baliknya. Kehendak untuk berkuasa bagi Nietzsche adalah akar dari destruksi dan kreasi.

Berbicara tentang sisi gelap manusia, kehendak untuk berkuasa memang bisa langsung diacu. Dengan kata lain akar dari sisi gelap manusia, yang bersifat merusak, menurut Nietzsche, adalah kehendak untuk berkuasa yang ada di dalam diri setiap manusia, sekaligus merupakan daya gerak dari dunia dan kehidupan itu sendiri. Namun pada hemat saya, akar dari sisi gelap manusia bukanlah kehendak untuk berkuasa semata, tetapi penyangkalan atas kehendak tersebut atas nama moralitas tradisional. Penyangkalan tersebut menghasilkan kemunafikan-kemunafikan yang dengan mudah kita temukan pada orang-orang yang berkata-kata luhur, namun bertindak jahat dan kejam. Jadi akar dari kejahatan adalah kemunafikan, yakni penolakan naif terhadap kehendak untuk berkuasa atas nama moralitas.

Berhadapan dengan semua itu, apa yang mesti kita lakukan sebagai manusia? Menurut Nietzsche sejauh tafsiran saya, yang perlu dilakukan oleh setiap orang adalah mengenali dan menerima kehendak untuk berkuasa sebagai bagian dari dirinya. Jangan pernah menyangkal bahwa diri kita semua, lepas dari sebaik apa pribadi kita, memiliki kehendak untuk berkuasa atas orang lain, dan atas alam semesta. Penyangkalan hanya berbuah pada ketakutan dan kemunafikan, yang nantinya bermuara pada kejahatan. Tipe moralitas yang mengakui dan merayakan kehendak untuk berkuasa adalah moralitas Dionisian (berasal dari dewa di dalam mitologi Yunani Kuno, yakni dewa kemabukan).

“Jiwa yang luhur”, demikian tulis Nietzsche, “menerima fakta egoismenya sendiri tanpa tanda tanya, dan juga tanpa merasa kasar, terpaksa, ataupun sikap berubah-ubah di dalamnya, tetapi sebagai sesuatu yang berpijak pada hukum-hukum primordial dari segala sesuatu. Jika jiwa yang luhur mencoba untuk memberi nama fenomena ini, ia akan menyebutnya sebagai “keadilan itu sendiri.””[19]

Orang yang menganut moralitas semacam ini tidak munafik menolak kekuasaan, melainkan merayakan dan mengendarai kekuasaan di dalam hidupnya. Ia mengakui dan menerima kehidupan sebagai sebuah kontradiksi yang tiada akhir. Ia merayakan daya-daya hidup, dan menjalaninya dengan penuh semangat serta antusiasme.

Saya sepakat dengan Nietzsche. Kekuasaan bukan untuk diingkari, melainkan untuk diraih, dirayakan, dan digunakan untuk mencipta. Catatan saya bukanlah ketidaksetujuan, melainkan sekedar pemikiran untuk mengekspresikan kehendak untuk berkuasa secara kontekstual. Yang pertama tentu kita harus mengakui, bahwa diri kita merindukan kekuasaan, dalam segala bentuknya. Yang kedua, fakta alamiah ini kita tafsirkan dan pahami dengan kerangka berpikir humanistik Kantian, yang menjadikan manusia sebagai tujuan dari segala sesuatu. Inilah prinsip imperatif kategoris Immanuel Kant di dalam filsafat moralnya. Orang tak boleh hanya jadi alat, melainkan harus selalu menjadi tujuan dari segala sesuatu.[20] Yang ketiga, kehendak untuk berkuasa, setelah ditafsirkan secara humanistik, harus diterapkan secara  indah. Artinya penerapan kehendak untuk berkuasa di dalam kehidupan harus memiliki aspek estetik yang tepat dan mendalam. Keindahan ini mencakup mulai desain penerapan kekuasaan (termasuk rencana, tata kelola, evaluasi, sampai ciri fisik), sampai dengan fungsi kontrol yang sudah ada di dalam kekuasaan itu sendiri. Hanya begini kekuasaan yang dirindukan manusia tidak bermuara pada kemunafikan, dan semakin membantu kita merayakan kehidupan.***

Daftar Rujukan

Budi Hardiman, F., Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 2004

Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, Cambridge University Press, Cambridge, 2002

Porter, James. I., “Nietzsche’s Theory of The Will to Power”, A Companion to Nietzsche, Pearson, Keith, Ansell, (ed), Blackwell, London, 2006

Wattimena, Reza A.A., Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 2011

http://plato.stanford.edu/entries/nietzsche/ diakses 19 Desember 2011 pk. 8.44


[1] Bagian ini diinspirasikan dari pembacaan saya atas http://plato.stanford.edu/entries/nietzsche/ diakses 19 Desember 2011 pk. 8.44

[2] Bagian ini diinspirasikan dari Porter, James. I., “Nietzsche’s Theory of The Will to Power”, A Companion to Nietzsche, Pearson, Keith, Ansell, (ed), Blackwell, London, 2006, hal. 548. “The so-called theory of the will to power is one of the most contested aspects of Nietzsche’s writings, and rightly so. The theory presses the idea of a naturalistic moral psychology to startling extremes”

[3] Ibid, “It calls for a radical revision of our concepts of self and reality, in ways that will become clear below. Concepts like the sublimation of the instincts, the affirmation of life, and holism float across its surface like so many bright images of a life better conceived. And yet, for all its brilliance, the will to power presents difficulties of interpretation that often appear insuperable.”

[4] Ibid, hal. 550. “the tyrannically inconsiderate and relentless enforcement of claims of power,”

[5] Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, Cambridge University Press, Cambridge, 2002, hal. 153. if this body is living and not dying, it will have to treat other bodies in just those ways that the individuals it contains refrain from treating each other. It will have to be the embodiment of will to power, it will want to grow, spread, grab, win dominance, – not out of any morality or immorality, but because it is alive, and because life is precisely will to power.”

[6] Porter, James. I., “Nietzsche’s Theory of The Will to Power”, hal. 550.the will to power is then an activity that affects and in fact constitutes the character of everything in the world and that is itself the result of such effects”

[7] Ibid, hal. 551. Interpretation and subjectivity are essential; they furnish the world with relations, and therefore endow it with features – or so Nietzsche seems willing to concede at least some of the time (e.g., WP 560 and 564). But where do these activities occur? The answer is in the will to power, the activity that selects and arranges things from a perspective, and whose effects condition the whole.”

[8] Ibid, “as a joyous affirmation of life”

[9] Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, hal. 15. Physiologists should think twice before positioning the drive for self- preservation as the cardinal drive of an organic being. Above all, a living thing wants to discharge its strength – life itself is will to power –: self- preservation is only one of the indirect and most frequent consequences of this.”

[10] Wattimena, Reza A.A., Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 2011, hal. 67.

[11] Porter, “Nietzsche’s Theory of The Will to Power”, hal. 553. The will to power, I will be proposing, does not describe the nature of the world, or rather of the reality that underlies everyday appearances. Rather, it describes a process of misrecognition, the poetic manufacture of the world; and it does this by rendering itself circular and incoherent, and its objects inconceivable.”

[12] Budi Hardiman, F., Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 2004, hal. 219.

[13] Ibid. hal. 220.

[14] Porter, “Nietzsche’s Theory of The Will to Power”, hal. 554. And although there are marked differences in their respective views of the world, at least on the surface (for instance, Schopenhauerian pessimism and Nietzschean optimism, to cite the most familiar contrast), taking note of these still leaves intact the premise of the will’s primacy as the key to the intelligibility of the world”

[15] Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, hal. 70. Objections, minor infidelities, cheerful mistrust, a delight in mockery – these are symptoms of health. Everything unconditional belongs to pathology.”

[16] Porter, “Nietzsche’s Theory of The Will to Power”, hal. 556. Thus, Nietzsche’s account of the will to power actually functions something like an allegory of the modern subject. As I have argued elsewhere (Porter 1998), the will to power is a faintly disguised genealogy of the modern subject and its fascination with the one trait it absolutely lacks: power.”

[17] Nietzsche, Friedrich, Beyond Good and Evil, hal. 65. “The great epochs of our lives come when we gather the courage to recon- ceive our evils as what is best in us.”

[18] Ibid, hal. 69. Whoever fights with monsters should see to it that he does not become one himself. And when you stare for a long time into an abyss, the abyss stares back into you.”

[19] Ibid, hal 162. The noble soul accepts this fact of its egoism without any question-mark, and also without feeling any harshness, compulsion, or caprice in it, but rather as something that may well be grounded in the primordial law of things. If the noble soul were to try to name this phenomenon, it would call it “justice itself.”

[20] Budi Hardiman, F., Filsafat Modern, hal. 149.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

3 tanggapan untuk “Kekuasaan, Kemunafikan, dan Kehidupan”

  1. Kehendak untuk berkuasa adalah kritik Nietzsche bagi kita untuk menyadari kecenderungan2 alamiah kita. Namun ternyata ia tidak memberikan sumbangan pemikiran bagaimana mengelolah “kehendak untuk berkuasa” itu manakala setiap manusia akan berhadapan dgn manusia yg lain yang memiliki “kehendak untuk berkuasa” itu. Apakah moralitas menurut dia ditentukan oleh “kehendak untuk berkuasa” itu. Atau apakah “kehendak untuk berkuasa” dapat melahirkan kehidupan bersama untuk merayakan kehidupan?

    Suka

  2. Kehendak berkuasa bisa dikontrol dengan dikenali dan dipahami. itu saja kuncinya, sejauh saya memahami Nietzsche. Kehendak untuk berkuasa adalah sumber dari segala sesuatu, termasuk kehidupan itu sendiri, demikian kata Nietzsche

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.