Anorexia Kudus dan Kesucian Manusia
Bulan Maret 1918, Therese Neumann jatuh pingsan, ketika ia berada di rumah pamannya. Pada 1919, ia buta sepenuhnya. Dan sejak 1922 sampai waktu kematiannya, 1962, ia mengklaim tidak pernah makan ataupun minum apapun (mulai dari 1926), kecuali Sakramen Ekaristi di dalam Gereja Katolik Roma.
Sebelum ia meninggal, ia beberapa kali berbicara dalam bahasa Yunani Kuno dan bahasa Aram, bahasa yang tidak pernah ia pelajari sedikit pun semasa hidupnya. Fenomena apakah ini?
Ada yang bilang, ini adalah fenomena simbol kesucian manusia. Ada juga yang bilang, ini adalah bukti kuatnya pengaruh pengalaman religius bagi diri manusia. Pengalaman religius, apa itu?
Memang, manusia memiliki banyak pengalaman. Pengalaman tersebut dimungkinkan, tepat karena manusia itu dinamis dan terbuka untuk berbagai kemungkinan.
Di dalam dirinya, ia bisa merasa sedih, bahagia, hampa, ataupun berduka. Seringkali, perasaan yang ada pun tumpang tindih, ia bisa sekaligus bahagia dan bersedih, ia juga bisa merasa berduka sekaligus bersuka ria. Yang terakhir ini kiranya menjadi perasaan kolektif bangsa Indonesia pada momen meninggalnya Soeharto beberapa waktu yang lalu.
Salah satu jenis pengalaman yang paling menarik untuk dikaji adalah pengalaman religius. Beberapa orang juga menyebutnya sebagai pengalaman mistik, yakni suatu momen, ketika manusia merasa bersatu dengan Tuhan, atau merasa begitu dekat denganNya.
Hanya sedikit orang yang bisa sungguh memaknai pengalaman semacam ini. Lebih sedikit lagi orang yang mampu mengulangnya secara konstan, dan menjadikan pengalaman ini bagian dari hidupnya.
Di dalam kajian psikologi agama, pengalaman religius bukanlah pengalaman mistik yang tak terjangkau oleh manusia. Sebaliknya, pengalaman religius merupakan bagian dari dinamika psikis manusia, dan bisa direkayasa dengan cara-cara yang tepat.
Dengan kata lain, setiap orang bisa mendapatkan dan merasakan pengalaman religius, jika ia mengerti cara-cara yang perlu ditempuh untuk memperolehnya. Dari sudut pandang ini, pengalaman religius bukanlah monopoli para kudus ataupun orang suci semata, melainkan pengalaman yang universal dapat dirasakan oleh semua manusia, asal dia mengerti dan mau berusaha mendapatkannya.
Ada beberapa cara yang bisa ditempuh. Salah satu cara yang paling sering ditempuh adalah dengan melakukan gerak tubuh secara konstan dan dengan irama yang tetap. Yang terakhir ini bisa menciptakan keadaan ekstase, trance, dan bisa membuat orang menjadi pingsan, ataupun amnesia sementara.
Berpuasa dan Anorexia Kudus
Cara yang juga biasa ditempuh supaya orang bisa sungguh memahami dan memaknai pengalaman religius adalah dengan berpuasa.
Disini, puasa bisa diartikan sebagai suatu tindak untuk memperoleh displin spiritual, atau sebagai tanda kepatuhan religius kepada Tuhan yang diimani oleh seseorang. Puasa juga bisa menjadi simbol bagi beberapa hal yang obyektif yang menyangkut dinamika psikis manusia, seperti simbol berduka, pemurnian diri, penitensi atau pengampunan dosa, niat untuk mendapatkan wahyu atau inspirasi dari Tuhan, dan untuk mengurangi dorongan seksual.
Jadi jelas, puasa seringkali berkait erat dengan penghayatan religius seseorang. Puasa pun seringkali diidentikan dengan agama, walaupun tidak selalu seperti itu.
Ada ragam tipe puasa, yang tentu saja disesuaikan dengan ragam agama yang ada di dunia. Di dalam agama Islam, puasa merupakan salah satu tindakan wajib untuk memenuhi lima pilar Islam. Di Gereja Katolik Ortodoks di Ethiopia, puasa dua belas jam sehari adalah hal yang biasa, supaya orang bisa memperoleh pengampunan dari Tuhan.
Seperti halnya semua berkah selalu membutuhkan pengorbanan, puasa pun juga memiliki dampak negatif bagi orang yang melakukannya. Di beberapa tempat, tindak puasa secara bersama bisa mengakibatkan terjadinya kelaparan massal, menyebarkan penyakit menular, serta keterbelakangan mental dan fisik.
Secara personal, tindak berpuasa juga bisa menimbulkan perasaan depresi, gejala fisik yang melambat, malnutrisi, ataupun neurotik pada tingkat tertentu. Malnutrisi pun juga bisa dengan mudah ditemukan di dalam kebudayaan yang menjadikan puasa sebagai ritual wajib dan rutin mereka.
Gejala malnutrisi semacam ini seringkali disebut sebagai Anorexia Kudus (holy anorexia). Jadi, orang berpuasa secara total, sampai ia menunjukkan tanda-tanda malnutrisi, untuk menunjukkan kesetiaannya pada Tuhan, atau untuk memperdalam penghayatan religius yang ia miliki.
Gejala ini banyak ditemukan di dalam kehidupan orang-orang kudus Gereja Katolik Roma, atau para sufi di dalam Agama Islam. Mereka berpuasa secara total untuk memperoleh kesempurnaan spiritual dan religius. Bisa juga dikatakan, anorexia kudus ini adalah suatu cara yang dilakukan oleh manusia untuk memanipulasi Tuhan, supaya Ia mau mematuhi dan mewujudkan keinginan manusia.
Tindak berpuasa juga bisa menciptakan perasaan tenang dan damai di dalam diri manusia. Ketenangan dan kedamaian yang diperoleh melalui tindakan ini bisa mendorong peningkatan kesadaran, spiritualitas, dan konsentrasi seseorang.
Alasan Politik
Selain didorong oleh alasan religius, tindak berpuasa juga kerap digunakan untuk merealisasikan alasan-alasan politik. Pada beberapa kesempatan, tindak berpuasa secara kolektif juga merupakan simbol dari perlawanan terhadap represi ataupun ketidakadilan.
Di beberapa kebudayaan, kaum wanita seringkali melakukan puasa total untuk menunjukkan perlawanannya terhadap perjodohan yang dibuat oleh orang tua mereka. Toh, sikap berpuasa menjangkau mulai dari alasan religius yang paling suci sampai alasan politik yang paling revolusioner. Hakekat terdalam dari tindakan ini adalah kesediaan manusia untuk berkorban untuk mewujudkan dunia yang lebih baik. Pertanyaannya tetap: bersediakah anda berkorban?
Reza A.A Wattimena
Pengajar di UNIKA Atma Jaya, Jakarta