Antipluralisme di Abad 21

Stefano Ilad

Oleh Reza A.A Wattimena

Ada hal menarik di abad 21 terkait dengan para pembunuh massal. Mereka menulis sebuah manifesto.

Di masa lalu, pembunuh massal, dan pembunuh berseri, bertindak, karena mereka menderita trauma. Mereka tidak sehat secara mental.

Di abad 21, terutama belakangan ini, pembunuh massal bertindak, karena ideologi. Mereka memiliki pandangan sempit tertentu tentang kenyataan, dan ingin menyebarkan ketakutan, guna mewujudkan pandangan itu.

Rasisme Esensialis

Seperti dicatat oleh David Brooks, pelaku pembunuhan massal di New Zealand dan Amerika Serikat menulis sebuah manifesto. Mereka memuji keberagaman budaya dan ras di dunia, serta tidak ingin itu semua bercampur baur. (Brooks, 2019) Lanjutkan membaca Antipluralisme di Abad 21

Buku Filsafat Terbaru: Antara Ingatan Kolektif, Pengakuan dan Rekonsiliasi

Buku terbitan terbaru dalam bahasa Jerman. Bisa diperoleh di

https://www.amazon.com/dp/1973363046/ref=sr_1_1?ie=UTF8&qid=1511483407&sr=8-1&keywords=reza+wattimena

Versi kindle bisa diperoleh di

Yang Tak Bernama, Yang Terlupakan

blogspot.com
blogspot.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, sedang di München, Jerman

Ada sekitar 6 juta orang Yahudi yang dibunuh oleh Nazi di kamp konsentrasi mulai dari 1936 sampai dengan 1945 di Eropa. Perang dunia kedua sendiri telah membunuh lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia. Kita tentu tahu nama-nama terkenal dari orang-orang yang pernah hidup di konsentrasi, seperti Viktor Frankl dan Primo Levi. Korban-korban lainnya tetap tak bernama, dan terlupakan dari aliran sungai sejarah.

Mulai dari Awal Oktober 1965 sampai dengan Desember 1966, anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi-organisasi yang bekerja sama dengannya ditangkap dan dibunuh begitu saja. Jumlah korban sekitar 500.000 orang sampai 1,5 juta orang yang tersebar di seluruh Indonesia. Beberapa orang ditahan sebagai tahanan politik. Kita di Indonesia tentu kenal dengan nama Pramoedya Ananta Toer, yang menjadi tahan politik dari peristiwa ini. Tapi bagaimana dengan ratusan ribu orang lainnya yang juga dibunuh, dan mayatnya dibuang begitu saja? Mereka tanpa nama, dan juga terlupakan dari ingatan kita sebagai bangsa.

Kita bisa menderet mayat-mayat tanpa nama dan yang terlupakan ini di berbagai peristiwa keji lainnya sepanjang sejarah peradaban manusia. Bencana alam juga melahirkan mayat-mayat tanpa nama ini, seperti bencana di Filipina beberapa waktu lalu. Mereka bukan orang-orang terkenal. Mereka hanya orang-orang biasa yang menjadi korban dari sebuah peristiwa, dan kini wajahnya hilang ditelan waktu, dan terlupakan. Lanjutkan membaca Yang Tak Bernama, Yang Terlupakan