
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen Filsafat di Unika Widya Mandala Surabaya
“Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.” Benarkah? Karena satu kesalahan, lalu semua hal baik juga ikut rusak? Karena kesalahan satu orang, lalu seluruh kelompoknya juga ikut bersalah?
Inilah salah satu pertanyaan terpenting yang perlu kita ajukan sekarang ini. Banyak orang hidup dengan prasangka. Pikirannya melihat sesuatu, lalu menyamaratakan kesalahan itu ke konteks yang lebih luas. Misalnya, ada satu orang Ambon yang menjadi preman. Lalu, kita dengan gampangnya menarik kesimpulan, “semua orang Ambon itu preman”.
Kesalahan satu orang lalu dianggap sebagai kesalahan kelompok. Ada orang asing berbuat kriminal, maka semua orang asing lalu dicurigai sebagai kriminal. Inilah yang sekarang ini berkembang di Jerman, dan di berbagai tempat lainnya. Saya menyebut gejala ini sebagai pola pikir “menyamaratakan”.
Kecenderungan ini lalu juga meluas. Kesalahan kelompok dianggap sebagai kesalahan ras. Kesalahan ras lalu dianggap sebagai kesalahan seluruh peradaban. Dunia lalu terpecah di antara berbagai kelompok yang saling membenci satu sama lain.
Prasangka
Pola pikir menyamaratakan adalah ibu kandung dari prasangka. Prasangka adalah pandangan kita akan sesuatu, sebelum sesuatu itu terjadi. Ia tidak nyata. Ia hanya khayalan di kepala kita yang berpijak pada ketakutan dan kesalahpahaman. Lanjutkan membaca Menyamaratakan