Belajar dari Lenin dan Marx

Masyarakat Komunis yang Ideal, Kekuasaan Diktator Proletariat, dan Partai Revolusione di dalam Marxisme-Leninisme

Reza A.A Wattimena[1]

1. Pendahuluan

Marxisme-Leninisme adalah suatu teori politik dan ekonomi yang dirumuskan Lenin dalam kerangka tafsirannya terhadap pemikiran Marx.[2] Teori politik dan ekonomi ini nantinya akan menjadi ideologi yang mendasari semua partai komunis pada abad kedua puluh. Di dalam teori ini, pada hemat saya, ada satu pandangan yang kiranya cukup menarik untuk dibahas, yakni tentang konsep masyarakat komunis yang ideal, dan upaya-upaya yang kiranya diperlukan untuk mewujudkannya. Komunisme sendiri, sebagai bagian dari Marxisme-Leninisme, adalah suatu paham yang menyatakan bahwa negara haruslah ditata berdasarkan pada kepemilikan kolektif (collective ownership) atas semua harta benda, dan pengaturan di dalam tata politik ini dilakukan oleh pemerintah yang juga bertanggungjawab pada kepentingan semua warganya.[3]

Pada tulisan ini, saya akan mengajukan argumen, bahwa konsep masyarakat komunis yang ideal hanya dapat terwujud, jika konsep kekuasaan diktator proletariat dan konsep partai revolusioner telah ada terlebih dahulu. Partai revolusioner, yang memiliki tugas untuk menciptakan kesadaran revolusioner di dalam kaum proletar, dan kekuasaan diktator proletariat, yang diperlukan untuk melawan musuh-musuh yang hendak menentang terciptanya masyarakat komunis, adalah kondisi-kondisi kemungkinan bagi terciptanya masyarakat komunis yang ideal. Argumen ini sebenarnya sudah ada di dalam tulisan-tulisan Lenin. Yang saya lakukan hanyalah mengangkatnya menjadi satu tema tulisan secara spesifik.

Untuk itu, saya akan membagi tulisan ini ke dalam lima bagian. Awalnya, saya akan menjelaskan proyek spesifik tulisan ini (1). Lalu, saya akan memberikan gambaran mengenai keterkaitan Lenin dan Marx. Dalam hal ini, saya akan fokus pada dua konsep, yakni konsep kekuasaan diktator proletariat, dan konsep partai revolusioner. Saya berpendapat bahwa di dalam pemikiran Lenin, dua konsep ini adalah kondisi kemungkinan bagi terciptanya masyarakat komunis yang ideal (2). Pada bagian berikutnya, saya akan mencoba menjabarkan masyarakat komunis yang ideal di dalam paradigma Marxisme-Leninisme (3). Setelah itu, saya akan memberikan kesimpulan singkat mengenai isi seluruh tulisan ini (4). Tulisan ini akan diakhiri dengan beberapa tanggapan saya terhadap pemikiran Lenin (5).

2. Marxisme-Leninisme

Tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa Leninlah yang membawa pemikiran Marx, sedikit banyak, menjadi realitas. Di dalam tulisan-tulisannya, Marx memang sudah menuliskan bahwa kapitalisme akan hancur pada akhirnya, dan kemudian terciptalah masyarakat sosialis. Akan tetapi, Leninlah yang memikirkan, bagaimana supaya kapitalisme bisa hancur. Dialah pendiri Uni Soviet, sebuah negara yang menjadi pusat gerakan komunisme internasional, sekaligus negara adikuasa kedua di dunia selama hampir seluruh abad kedua puluh. Pada masa-masa jayanya, komunisme menjadi bentuk pemerintahan dari 18 negara di dunia.[4]

Melalui pikiran dan tindakannya yang agresif-revolusioner, Lenin membantu tegaknya komunisme di Russia pada revolusi 1917.[5] Yang pada hemat saya menarik adalah, bagaimana relasi Lenin dengan Marx? Apakah pemikiran mereka berdua sama, atau berbeda? Dan jika berbeda, dimana perbedaannya? Yang pasti, tidak lama setelah Lenin meninggal pada 1924, Stalin, penggantinya, langsung memberikan label pada pemikiran-pemikiran Lenin sebagai Leninisme. Dengan demikian, pemikiran Lenin kemudian lebih dikenal sebagai Marxisme-Leninisme. Ajaran inilah yang nantinya akan menjadi inti dari seluruh ideologi Komunisme di seluruh dunia. Ajaran ini jugalah yang menjadi inspirasi bagi perjuangan revolusioner hampir di keseluruhan abad kedua puluh. Kiranya tidaklah berlebihan apa yang ditulis Magnis-Suseno, bahwa komunisme, sebagai kekuatan politik yang paling ditakuti pada abad keduapuluh, tidak akan pernah ada tanpa Lenin.[6]

Kiranya, dalam hal relasi antara Lenin dengan Marx, ada dua konsep yang relevan untuk dibicarakan, yakni tentang konsep proletariat sebagai penguasa, dan tentang konsep partai revolusioner. Seperti sudah disinggung pada bagian pendahuluan, kedua konsep ini dapat dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan untuk mewujudkan ideal masyarakat komunis, yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.

Konsep partai revolusioner berangkat dari pengandaian, bahwa kaum proletariat tidak bisa secara sendirian mengembangkan kesadaran revolusioner mereka. Mereka memerlukan partai untuk menyuntikkan kesadaran tersebut. Hal ini tentunya bertentangan langsung dengan pemikiran Marx. Menurut Marx, apa yang disebut sebagai kesadaran revolusioner bukanlah suatu konsep yang dihasilkan dari refleksi para intelektual, melainkan hasil dari dialektika perjuangan proletariat itu sendiri.[7] Jadi, kesadaran revolusioner proletariat akan tumbuh dan berkembang di dalam pergulatannya. Jika kesadaran revolusioner itu dipompakan dari luar oleh partai, apakah kesadaran tersebut masih sungguh-sungguh otentik? Jika hal itu yang terjadi, maka perjuangan kaum proletariat adalah suatu tandan penindasan baru, yakni penindasan partai. Emansipasi pun tidak akan bisa berlangsung. Buruh akan tetap bergantung pada kekuatan dari luar. Dengan kata lain, konsep partai revolusioner menggambarkan apa yang secara jelas akan ditolak oleh Marx sejak awal, yakni ketertindasan dari luar.[8]

Lenin sendiri berpendapat, bahwa revolusi tidak akan secara niscaya datang. Kesadaran revolusioner kaum buruh pun tidak otomatis tumbuh. Oleh karena itu dibutuhkanlah sebuah partai yang akan mendorong terciptanya kesadaran tersebut. Ada tidaknya revolusi sangat tergantung dari kehendak revolusioner, dan kehendak revolusioner tidak dapat otomatis ada, melainkan harus ‘diadakan’. Disitulah fungsi partai revolusioner. Dalam arti ini, revolusi adalah sesuatu yang dikehendaki, sesuatu yang harus secara aktif diperjuangkan.

Setelah kekuasaan di Russia berada di tangan Kaum Bolshevik, Lenin lalu menghapus semua hak-hak demokratis masyarakat, dan secara sistematik menghancurkan semua pemberontakan. Kekuasaan yang diperlukan untuk membangun sebuah masyarakat komunis, hanya dapat diraih dan dipertahankan dengan adanya kediktatoran kaum proletariat. Jelas, Marx tidak pernah merumuskan ide semacam ini. Ia tidak memikirkan keberadaan sebuah partai yang akan melakukan represi guna menciptakan masyarakat komunis. Baginya, revolusi baru dapat terjadi, jika mayoritas masyarakat adalah kaum proletariat yang akan berhadapan langsung dengan para pemilik modal. Untuk sementara, kaum proletar memang harus menjalankan pemerintahan dengan tangan besi guna menumpas semua pemberontakan dari pemilik modal. Akan tetapi, ini pun hanya berlangsung sebentar. Jika seluruh masyarakat terdiri atas kaum proletar yang tidak lagi mempunyai musuh, maka kekuasaan tangan besi itu pun tidak lagi diperlukan.[9]

Secara historis, kondisi yang dihadapi oleh Lenin pada jamannya sangatlah berbeda dengan apa yang dipikirkan Marx. Pada masa itu, kelas yang merebut kekuasaan adalah kelas yang merupakan minoritas di Russia. Sementara, kelompok lainnya secara jelas menentang kekuasaan partai Bolshevik dan penerapan sosialisme. Dalam situasi semacam itu diperlukanlah suatu bentuk kediktatoran untuk menata keadaan. “Hanya dengan menindas segala perlawanan dan melalui tindakan diktatoris”, demikian tulis Magnis-Suseno tentang Lenin, “sosialisme akan dapat dibangun dan kelas-kelas yang berbeda lama-kelamaan dileburkan menjadi satu kelas pekerja”.[10] Dalam kasus Lenin, kediktatoran partai tersebut akan berlangsung secara permanen.

Dua konsep ini, yakni keberadaan partai revolusioner dan keberadaan partai proletar yang memiliki kekuasaan permanen, akan menjadi penyangga bagi masyarakat komunis yang dirumuskan oleh Lenin. Dengan kata lain, untuk mendirikan masyarakat komunis, seperti yang menjadi cita-cita Marxisme-Leninisme, dua konsep tersebut haruslah ada terlebih dahulu. Tanpanya, masyarakat komunis tidak akan pernah bisa diwujudkan. Lalu, masyarakat komunis macam apakah yang sungguh menjadi cita-cita Marxisme-Leninisme? Pada bab berikutnya, saya akan mencoba menjelaskan versi masyarakat komunis yang menjadi impian Lenin, yang kemudian upaya perwujudannya diteruskan oleh Partai Komunis Uni Soviet.

3. Masyarakat Komunis

Di dalam merumuskan pandangannya mengenai ideal masyarakat komunis, Lenin jelas banyak berhutang pada Marx. Pada bab ini, saya akan mencoba untuk membaca tulisan Marx, Lenin, dan Engels untuk memberikan gambaran umum tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat komunis. Tentang masyarakat komunis, Marx pernah menulis,

“.. Setelah subordinasi yang memperbudak dari individu kepada pembagian kerja, dan dengan itu antitesis antara kerja fisik dan kerja mental telah hilang; setelah kerja tidak lagi merupakan alat untuk hidup melainkan tujuan utama dari hidup itu sendiri; setelah kekuatan-kekuatan produktif telah berkembang sejalan dengan perkembangan individu, … hanya dengan begitulah, masyarakat dapat menyatakan hal ini: Dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya.”[11]

Masyarakat komunis adalah masyarakat yang ditata berdasarkan sistem masyarakat tanpa kelas (classless society). Di dalam masyarakat tersebut, semua sistem diatur berdasar kepemilikkan publik dan kesetaraan bagi semua orang. Tidak ada hak milik pribadi. Prinsip ‘dari setiap orang sesuai kemampuannya dan kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya’ pun akan terwujud. “Komunisme”, menurut definisi yang diberikan oleh Partai Komunis Uni Soviet pada 1962, “adalah masyarakat yang terorganisir secara rapi yang terdiri dari orang-orang bebas, yang sadar secara sosial… dan bekerja demi kebaikan bagi semua orang.”[12] Orang-orang yang hidup di dalam masyarakat komunis adalah orang-orang yang sadar betul, bahwa pekerjaan mereka bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagai keseluruhan, dan bukan kesejahteraan mereka sendiri.

Seperti yang menjadi judul tulisan ini, prinsip dasar dari masyarakat komunis adalah ‘dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, dan kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya’. Apa yang dimaksud dengan dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya? Pertama, dengan memastikan bahwa setiap orang dapat merealisasikan bakat-bakat mereka sepenuhnya, maka setiap orang akan bekerja sesuai dengan minat dan kemampuannya, dan tingkat produktivitas pun akan meningkat dengan niscaya. Kedua, dengan adanya penghapusan pembagian kerja (division of labour), setiap orang akan bekerja tidak atas paksaan atau perintah dari orang lain, tetapi atas apa yang menjadi kecocokannya, yang membuat hidupnya bermakna. Dengan itu, kepribadian dan kemanusiaan setiap orang akan berkembang sejalan dengan pekerjaan yang mereka jalani. Ketiga -dan inilah yang membedakan komunisme dari sosialisme- jika di dalam masyarakat sosialis, penghasilan diberikan sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan, sebaliknya, di dalam masyarakat komunis, setiap orang bekerja dengan dorongan moral (moral stimuli) mereka. Dengan kata lain, setiap orang bekerja tanpa bayaran. Kepuasan bahwa mereka sudah mengabdi pada masyarakat yang lebih luas sudah menjadi bayaran yang lebih dari cukup.[13]

Jelaslah, di dalam masyarakat komunis, kegiatan bekerja bukanlah suatu kegiatan yang didasarkan pada keterpaksaan, melainkan sebuah tujuan tertinggi dari hidup. Hal ini muncul bukan hanya karena kesadaran masyarakatnya saja yang sudah berubah, melainkan juga karena hakekat dari kerja itu sendiri yang telah diubah di dalam masyarakat komunis. Kerja tidak lagi merupakan suatu bentuk eksploitasi terhadap manusia. Kerja-kerja yang dianggap eksploitatif, seperti kerja-kerja fisik, kini digantikan oleh mesin. Sementara, setiap manusia hanya diharuskan bekerja sesuai dengan apa yang menjadi kemampuan dan minatnya. Hakekat kerja yang lama, yakni yang eksploitatif dan melumpuhkan manusia, kini digantikan oleh kerja yang mengembangkan manusia sebagai keseluruhannya. Inilah hakekat kerja di dalam masyarakat komunis.[14]

Partai Komunis Uni Soviet menggarisbawahi beberapa hal operasional mengenai hakekat kerja di dalam masyarakat komunis. Pertama, seperti sudah dijelaskan sebelumnya, setiap orang melakukan pekerjaan sesuai dengan minat dan kemampuannya. Kedua, setiap orang boleh berganti pekerjaan, bila ia merasa bahwa pekerjaannya yang lama telah membuatnya tidak berkembang. Ketiga, setiap orang bekerja 20-25 jam dalam seminggu. Artinya, setiap orang bekerja empat sampai lima jam sehari, bahkan kurang. Keempat, semua bakat dan kemampuan yang ada di dalam setiap orang akan dikembangkan semaksimal mungkin, baik di dalam kegiatan kerja mereka, maupun di dalam aktivitas mereka di waktu santai. Kelima, setiap orang tidak usah berpikir tentang berapa penghasilan yang mereka peroleh dari kerja-kerja mereka, karena pemerintah telah menjamin bahwa semua kebutuhan setiap orang akan dipenuhi. Keenam, setiap pekerja akan memperoleh penghormatan tertinggi di masyarakat. Apa yang dikerjakan oleh seseorang akan menjadi cermin dari kualitas orang itu sebenarnya.[15]

Di dalam kondisi semacam itu, kerja akan menjadi suatu tindakan yang bebas dan volunter. Dan seperti yang pernah ditulis oleh Engels, kerja menjadi “kenikmatan tertinggi yang diketahui oleh manusia.”[16] Kerja memberikan kebahagiaan kepada setiap orang yang melakukannya. Orang tidak memerlukan hiburan instan guna mencapai kebahagiaan, karena dengan pekerjaannya pun orang bisa merasa bahagia. “Seorang pekerja yang bebas”, demikian tulis Marx, “misalnya seorang penggubah lagu, adalah sekaligus kerja yang membahagiakan dan sekaligus kerja yang serius, yang membutuhkan ketegangan yang intensif.”[17] Jadi, setiap pekerjaan, entah itu seorang penulis, seorang komponis, atapun seorang guru, adalah sekaligus pekerjaan yang membahagiakan dan serius. Setiap pekerjaan adalah sekaligus mekanis dan sekaligus kreatif.

Di dalam masyarakat komunis, kebahagiaan dan kepuasan hidup pun akan lebih bisa didapatkan, karena orang tidak hanya sibuk dengan urusan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup semata, yang memang sudah tidak diperlukan, tetapi mereka juga bisa terlibat dalam kegiatan-kegiatan lainnya yang bermakna, seperti seni, ilmu pengetahuan, dan literatur. Harapannya adalah, kebudayaan di dalam masyarakat komunis akan berkembang begitu pesat, dan ini nantinya akan membuat kemakmuran masyarakat tersebut bertambah.

Dengan demikian, kita dapat menemukan pengandaian-pengandaian yang bersifat humanistik di dalam konsep masyarakat komunis, tepat karena komunisme bertujuan untuk membuat hidup setiap orang menjadi lebih bebas dan lebih bermakna, terutama dengan memberikan waktu luang untuk melakukan hal-hal yang mereka sungguh sukai, demi perkembangan relasi mereka dengan orang lain, ataupun perkembangan pribadi mereka sendiri.

Prinsip dasar pembagian kekayaan di dalam masyarakat komunis adalah, ‘kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya’. Dengan kata lain, setiap orang, siapapun dan apapun status sosialnya, akan menerima semua kebutuhannya secara gratis dari pemerintah. Dengan pemahaman ini, yang berubah bukan hanya pemahaman tentang kerja, tetapi seluruh relasi antar manusia, seperti hilangnya konsumsi berlebihan oleh satu pihak karena daya beli yang tinggi, dan relasi antar manusia yang dihitung tidak lagi dengan menggunakan logika ekonomi dan komoditi. Pertimbangan-pertimbangan yang bersifat egoistis akan hilang. Dorongan untuk mencari kekayaan material secara berlebihan juga akan lenyap.

Kebijakan yang hendak memberikan secara gratis semua kebutuhan hidup bagi setiap orang akan mengubah cara berpikir masyarakat. Orang tidak lagi dibebani oleh tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar. Di dalam paradigma semacam ini, orang akan bebas dari keinginan untuk mengejar pendapatan ataupun hak milik pribadi, sesuatu yang seolah menjadi ‘makna’ bagi orang-orang yang hidup di dalam masyarakat kapitalis. Dan pada akhirnya, setiap orang akan menyibukkan diri mereka dengan hal-hal yang sungguh bermakna dan memiliki budaya yang tinggi. Inilah yang sungguh dihargai di dalam masyarakat komunis.[18]

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, distribusi kekayaan di dalam masyarakat komunis akan dibagi seadil-adilnya. Di dalamnya termasuk juga kebutuhan ekonomi material maupun kebutuhan yang bersifat spiritual. Proses ini akan menguntungkan kedua belah pihak, baik masyarakat sebagai keseluruhan, maupun individu-individu partikular yang hidup di dalam masyarakat tersebut. “Distribusi”, demikian tulis Engels, “sejauh itu diatur dengan pertimbangan yang murni ekonomis, akan ditata dengan kepentingan yang mengacu pada produksi, dan produksi itu akan mendorong modus distribusi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan, mempertahankan, dan melatih kemampuan mereka dengan universalitas yang maksimal.”[19]

Pada titik ini, kita bisa mengajukan pertanyaan kritis. Jika setiap kebutuhan dipenuhi oleh pemerintah, lalu bukankah setiap orang akan menuntut dipenuhi keinginan-keinginannya, seperti keinginan akan rumah yang besar, ataupun kendaraan yang mewah? Lalu, bagaimana jika ada orang yang ingin menjadi kolektor perhiasan ataupun benda-benda seni yang memiliki nilai tinggi? Apakah mereka juga bisa menuntutnya dari pemerintah?

Pertanyaan itu memang tepat untuk diajukan, tetapi persis menggambarkan kesalahpahaman terhadap konsepsi masyarakat komunis. Sistem pengaturan masyarakat komunis memang berusaha memenuhi kebutuhan hidup setiap anggota masyarakatnya. Akan tetapi, kebutuhan yang dipenuhi adalah kebutuhan yang bersifat mendasar, dan bukan kebutuhan akan barang-barang mewah. Tujuan dari proses pengaturan ini adalah “untuk menjamin kepuasan dari kebutuhan-kebutuhan yang masuk akal..”[20] Memang, ada pengandaian yang cukup problematis disini. Siapakah yang punya otoritas untuk menentukan, kebutuhan mana yang masuk akal, dan kebutuhan mana yang tidak? Jawabannya, tidak ada! Setiap orang yang hidup di dalam masyarakat komunis sudah memiliki kesadaran penuh untuk tidak menuntut sesuatu yang tidak masuk akal dari pemerintahnya. “Komunisme”, demikian tulis Lenin, “mengandaikan produktivitas tenaga kerja..dan bukan… orang-orang yang memiliki kemampuan untuk merusak kekayaan publik untuk bersenang-senang dan dengan menuntut yang tidak mungkin.”[21]

Di dalam masyarakat komunis, pola konsumsi masyarakat juga akan berubah. Konsumsi akan berada di level yang lebih tinggi. Selera masyarakat akan berubah, dan akan menjadi semakin tidak individual. Pemerintah akan menciptakan alat transportasi publik yang nyaman, sambil secara perlahan menghilangkan alat transportasi pribadi. Rumah mewah personal akan digantikan dengan rumah peristirahatan publik. Klub-klub eksklusif akan dibongkar, dan digantikan oleh arena publik yang terbuka untuk setiap orang. Semua hal ini, menurut Lenin, akan membawa keuntungan bagi masyarakat sebagai keseluruhan. Dan yang terutama, masyarakat akan dijauhkan dari hasrat untuk memperoleh hak milik pribadi yang hanya boleh digunakan untuk dirinya sendiri.[22]

Sekolah di dalam masyarakat komunis akan mendidik setiap orang untuk tidak menjadikan konsumsi sebagai tolok ukur. Bukanlah kemewahan dan tingkat kemampuan konsumsi yang menjadi nilai dari seseorang, tetapi kemampuannya untuk mengapresiasi keindahan di dalam segala bentuknya, mulai dari seni sampai ilmu pengetahuan. Keindahan tersebut tidak hanya berguna bagi orang itu sendiri, tetapi juga bisa berguna untuk masyarakat sebagai keseluruhan. Pola pendidikan di dalam masyarakat komunis adalah pola pendidikan yang mengedepankan keindahan dan kesadaran orang untuk mengabdi pada kepentingan publik.

4. Kesimpulan

Argumen yang saya ajukan di dalam tulisan ini adalah, bahwa masyarakat komunis yang ideal tidak akan pernah terwujud, selama partai revolusioner belum terbentuk, ataupun tidak melakukan apa yang menjadi tugas mereka secara baik. Masyarakat komunis yang ideal juga tidak akan terbentuk, jika proletariat tidak meraih kekuasaan dan menerapkannya dengan gaya diktator untuk menekan pihak-pihak yang tidak ingin diciptakannya masyarakat komunis.

Partai revolusioner sendiri adalah suatu konsep yang dirumuskan Lenin untuk menanggapi minimnya kesadaran revolusioner di dalam kaum proletariat. Di dalam sejarahnya, kesadaran revolusioner memang tidak tumbuh secara otomatis. Oleh karena itu diperlukanlah partai revolusioner, yang secara aktif membangun kesadaran revolusioner tersebut di kalangan kaum proletariat, sehingga revolusi pada akhirnya bisa berlangsung. Pada akhirnya dapatlah dikatakan, bahwa partai revolusioner, menurut Lenin, mewakili kesadaran revolusioner kaum proletariat yang sesungguhnya.

Setelah revolusi berhasil dilaksanakan, kekuasaan yang diperlukan untuk menciptakan masyarakat komunis yang ideal belumlah stabil. Maka dari itu diperlukan suatu jaminan tersendiri. Jaminan itu hanya dapat diberikan, jika kaum proletar memegang kekuasaan secara diktatorial, dan menerapkannya untuk menghancurkan musuh-musuh yang menentang keberadaan masyarakat komunis. Di dalam pemikiran Lenin, yang memang nantinya diterapkan di Russia, kekuasaan kaum proletar tersebut diwakilkan pada partai komunis. Partai komunislah yang nantinya akan secara permanen menjaga kesadaran revolusioner seluruh negara, dan memastikan bahwa tidak ada lagi musuh-musuh yang menentang berdirinya masyarakat komunis.

Lenin sendiri berpendapat, dalam hal ini agak searah dengan Marx, bahwa masyarakat komunis adalah masyarakat yang paling ideal di dalam sejarah manusia. Di dalam masyarakat komunis, seluruh kebijakan politis diciptakan dengan berpegang pada satu prinsip, yakni dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, dan kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya. Artinya, setiap orang bekerja sesuai dengan minat dan kemampuannya. Kerja adalah sesuatu yang mengembangkan keseluruhan diri manusia, dan bukan lagi suatu keterpaksaan demi mempertahankan keberadaan. Kerja juga merupakan suatu bentuk pengabdian nyata pada kepentingan publik, dan tidak lalu berorientasi melulu pada kepentingan pribadi. Mekanisme kerja akan dibuat sedemikian membebaskan, sehingga orang dapat mengembangkan suatu budaya tinggi (high culture). Budaya tinggi inilah yang mencegah berbagai kecurangan dan pelanggaran hukum di dalam masyarakat komunis.

Semua pelanggaran hukum juga akan hilang, karena setiap orang tidak lagi perlu memikirkan bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarga mereka. Pemerintahlah yang akan memenuhi semua kebutuhan hidup. Tentu saja, di dalam masyarakat komunis, setiap orang akan sadar, bahwa mereka tidak akan menuntut pemerintah untuk memenuhi kebutuhan yang mengada-ada, seperti rumah ataupun mobil mewah. Pola konsumsi dan selera masyarakat akan sepenuhnya berubah. Selera masyarakat tidak lagi hanya akan berfokus pada kepentingan pribadi ataupun kelompok partikular semata, melainkan berorientasi sepenuhnya pada kepentingan publik. Tidak hanya kerja, selera dan pola konsumsi pun kini ditujukan sebagai suatu bentuk pengabdian pada kepentingan publik sebagai keseluruhan.

Masyarakat komunis yang ideal semacam itu, menurut Lenin, hanya dapat terwujud, jika kesadaran revolusioner kaum proletar di dalam alam kapitalisme bisa ditumbuhkan. Proses menciptakan kesadaran revolusioner tersebut hanya dapat dijamin dengan keberadaan suatu partai revolusioner. Partai revolusioner inilah yang mewakili kesadaran revolusioner yang otentik. Masyarakat komunis yang ideal juga hanya dapat terwujud, jika pihak-pihak yang menentang keberadaannya bisa ditumpas. Memang, segala sesuatu ada harganya, dan, menurut Lenin, harga yang harus dibayar demi terciptanya masyarakat komunis adalah adanya semacam kekuasaan diktatorial dari partai komunis. Partai inilah yang memastikan, bahwa masyarakat komunis yang ideal nantinya bisa terwujud di dalam realitas.

5. Tanggapan Kritis

Tanggapan saya diajukan dari suatu pengandaian, bahwa kekuasaan pada hakekatnya memiliki kecenderungan untuk bersifat koruptif. Dan seperti yang apa yang menjadi isi dari hukum Marshall, “what can go wrong will go wrong“, demikian pulalah kekuasaan diktatorial yang diberikan kepada kaum proletariat, yang kemudian diwakilkan pada partai, akan berjalan tidak sesuai dengan tujuan awalnya. Siapa yang bisa menjamin, bahwa setelah memperoleh kekuasaan, partai revolusioner akan tetap konsisten menciptakan masyarakat komunis, seperti yang dicita-citakan oleh Lenin? Bukankah kemungkinan sebaliknya juga bisa terjadi, bahwa yang tercipta bukanlah masyarakat komunis, melainkan masyarakat yang ditata dengan suatu gaya totalitarianisme diktatorial tertentu, yang mengatasnamakan komunisme?

Sejarah sendiri sudah membuktikan, bahwa yang terakhirlah yang terjadi. Alih-alih menjadi suatu masyarakat komunis yang diimpikan oleh Lenin dan Marx, Russia justru menjadi suatu negara totaliter yang menjadikan komunisme sebagai legitimasi bagi penindasannya. Hal ini tepat terjadi, karena tidak adanya kontrol kritis langsung dari masyarakat terhadap pemerintahnya. Dan juga, karena setiap orang yang bersikap kritis terhadap pemerintah akan dianggap sebagai musuh komunisme, dan haruslah ditumpas, juga atas nama komunisme.

Dengan kata lain dapatlah dikatakan, bahwa masyarakat komunis yang sesunguhnya belumlah pernah tercipta di dalam sejarah manusia. Apa yang menjadi cita-cita Lenin dan Marx masihlah berada di tataran mimpi dan cita-cita semata. Suatu masyarakat yang menghargai manusia bukan karena uangnya, tetapi karena kemanusiaannya. Suatu masyarakat yang membuat orang bekerja bukan karena terpaksa, tetapi karena orang itu merasa perlu untuk mengembangkan dirinya sendiri. Pertanyaan penutup kiranya dapatlah diajukan; apakah kita dapat belajar sesuatu dari konsep masyarakat komunis ideal yang dirumuskan Lenin dan Marx? Jika ya, apakah kita punya cita-cita dan keberanian yang mencukupi untuk mewujudkan idealitas tersebut ke dalam realitas?***

Daftar Pustaka

K. Marx and F. Engels, Selected Works, F.L.P.H (Foreign Language Publishing House), 1962, Vol. II.

——————–, On Britain, F.L.P.H, 1962.

Lenin, V.L, Selected Works, F.L.P.H, 1952, Vol. II.

————-, The State and The Revolution, F.L.P.H, 1961.

Lukacs, Georg, History and Class Consciousness, America, Merlin Press, 1971.

Magnis-Suseno, Franz, Dalam Bayangan Lenin, Jakarta, Gramedia, 2003

O. V. Kuusinen, Y. A. Arbatov, A. S. Belyakov, S. L. Vygodsku, A. G. Mileikovsky, dan

L. M. Sheidin, Fundamentals of Maxism-Leninism, Moscow, Progress Publishers, 1964

Dari Internet:

http://www.thefreedictionary.com/Marxism-Leninism

http://www.thefreedictionary.com/communism



[1] Pengajar di Fakultas Psikologi dan Fakultas Teknik Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta. Menulis dua buku dan beberapa artikel di surat kabar, jurnal filsafat, dan jurnal ilmu-ilmu sosial. Beberapa karyanya antara lain: Melampaui Negara Hukum Klasik (Kanisius, 2007) dan Filsafat Sains (Grasindo, 2008).

[4] Lihat, Franz Magnis-Suseno, Dalam Bayangan Lenin, Jakarta, Gramedia, 2003, hal. 2. Bab ini banyak terinspirasi dari paparan Magnis-Suseno di dalam buku ini.

[5] Paparan lebih lengkap bisa dilihat pada ibid, hal. 2-9.

[6] Lihat, ibid, hal. 44.

[7] Lihat, ibid, hal. 45.

[8] Lukacs memiliki argumen yang kurang lebih serupa. Lihat Georg Lukacs, History and Class Consciousness, America, Merlin Press, 1971. Ada beberapa catatan, bahwa Marx akan mengubah pandangannya di kemudian hari.

[9] Lihat, ibid, hal. 50.

[10] Ibid, hal. 51.

[11] Karl Marx and F. Engels, Selected Works, F.L.P.H, 1962, Vol. II, hal. 25, dalam O. V. Kuusinen, Y. A. Arbatov, A. S. Belyakov, S. L. Vygodsku, A. G. Mileikovsky, dan L. M. Sheidin, Fundamentals of Maxism-Leninism, Moscow, Progress Publishers, 1964, hal. 698, selanjutnya akan disingkan Kuusinen, 1964. Bab ini banyak diinspirasikan dari tulisan Kuusinen ini.

[12] Program of the Communist Pary of the Soviet Union, F.L.P.H., 1962, hal. 509, dalam Kuusinen, 1964, hal. 699.

[13] Lihat, N. S. Khruschov, Educate Active and Politically Conscious Buliders of Communist Society, Moscow, 1958, hal. 11-13, dalam Kuusinen, 1964, hal. 702.

[14] Lihat V.L. Lenin, Selected Works, F.L.P.H, 1952, Vol. II, Part 2, hal. 339.

[15] Lihat, Kuusinen, 1964, hal. 703-704.

[16] K. Marx, F. Engels, On Britain, F.L.P.H, 1962, hal. 152.

[17] Seperti dikutip oleh Kuusinen, 1964, hal. 704.

[18] Lihat, ibid, hal. 705.

[19] F. Engels, Anti-Duehring, F.L.P.H, 1962, hal. 276, dalam Kuusinen, 1964, hal. 705.

[20] K. Marx dan F. Engels, Selected Works, F.L.P.H, 1958, Vol. II, hal. 165.

[21] Lenin, The State and The Revolution, F.L.P.H, 1961, hal. 166.

[22] Lihat, Kuusinen, 1964, hal. 707.

Multikulturalisme di dalam Masyarakat Majemuk

Multikulturalisme

di dalam Masyarakat Majemuk[1]


Reza A.A Wattimena



Di dalam dunia ilmu-ilmu sosial telah muncul semacam kesadaran, bahwa penelitian sosial tidak pernah boleh berhenti pada pengumpulan data-data semata. Penelitian sosial haruslah menekankan dan mengajarkan nilai-nilai yang berguna bagi kehidupan bersama. Hal yang sama kiranya juga berlaku di dalam penelitian-penelitan mengenai multikulturalisme. Seorang ilmuwan sosial asal Swedia, Gunnar Myrdal, mempunyai pendapat menarik tentang hal ini.[2] Pertama, baginya ilmu-ilmu sosial haruslah melibatkan sesuatu yang lebih dari sekedar penggambaran fakta-fakta. Dalam arti ini ilmu sosial haruslah menyentuh problem-problem mendasar kehidupan manusia, seperti soal nilai dan makna. Kedua, setelah menggambarkan fakta ilmu-ilmu sosial haruslah menjelaskan keterkaitan antara fakta-fakta yang beragam tersebut tersebut. Ilmu sosial haruslah mampu menunjukkan relasi yang memberikan kerangka berbagai data yang ada. Ketiga, di dalam ilmu-ilmu sosial problem mengenai sudut pandang sangatlah penting untuk diperhatikan. Suatu masalah bisa begitu signifikan di lihat dari satu sudut pandang tertentu, tetapi juga bisa menjadi sangat tidak signifikan jika dilihat dari sudut pandang lain. Seorang ilmuwan sosial haruslah memberikan argumen yang kuat, jika ia hendak memutuskan bahwa satu sudut pandang dianggap lebih penting daripada sudut pandang lain. Myrdal merumuskan pandangannya ini dalam konteks analisisnya problem multikulturalisme di Amerika. Pertanyaan yang menjadi fokusnya adalah struktur, institusi, dan kebijakan macam apakah yang diperlukan untuk mencapai tujuan akhir yang sesuai dengan konstitusi dasar Amerika?

Pertanyaan itu tentunya kurang relevan untuk kita. Akan tetapi problematika yang muncul akibat fakta adanya kehidupan bersama antara orang-orang yang berasal dari kultur maupun agama yang berbeda jelas sangat relevan untuk Indonesia. Dalam hal ini tentunya kita bisa banyak belajar dari pada peneliti dan ilmuwan yang sudah banyak melakukan analisis di bidang ini. Pelajaran yang ditarik bisa di level deskripsi data, tetapi juga lebih dari itu, yakni suatu konsep tentang masyarakat multikultural, seperti Indonesia, yang ideal. Pada bagian ini, saya akan mencoba untuk menelusuri beberapa pendapat John Rex mengenai problematika multikulturalisme di dalam masyarakat majemuk.

Multikulturalisme untuk Masyarakat Majemuk

Mari kita telusuri beberapa gagasan mengenai tata masyarakat di dalam konteks masyarakat majemuk. Teori sosiologi klasik biasanya selalu berfokus pada konflik-konflik sosial yang muncul di dalam masyarakat yang kurang lebih homogen. Pada 1939 Furnivall membuat terobosan baru dengan mencoba memahami dinamika dan problematika masyarakat plural.[3] Kebetulan juga ia mencoba mempelajari dinamika masyarakat Indonesia pada saat itu. Ia menemukan fakta menarik. Di Indonesia banyak orang yang berasal dari beragam latar belakang suku dan agama hidup di dalam daerah yang sama. Akan tetapi interaksi sesungguhnya justru dilakukan di dalam pasar, dan bukan di tempat tinggal mereka. Artinya walaupun setiap orang hidup di dalam wilayah yang memiliki nilai moral dan agama yang berbeda-beda, tetapi mereka bisa bertemu di pasar. Pasar dianggap sebagai tempat yang tidak memiliki kontrol moral ataupun religius partikular. Di Eropa kapitalisme berkembang sangatlah lambat, dan melibatkan interaksi yang luar biasa rumit dengan nilai-nilai moral di dalam budaya maupun agama. Hal ini tidaklah terjadi di Indonesia. Perkembangan kapitalisme di Indonesia selalu melibatkan pasar, di mana relasi yang terjadi adalah relasi dominasi antara kelompok yang satu atas kelompok yang lain.[4]

Suatu masyarakat disebut sebagai masyarakat majemuk, jika masyarakat tersebut memenuhi satu dari dua definisi berikut ini. Pertama, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari komunitas etnik yang berbeda-beda. Komunitas etnik tersebut hidup terpisah-pisah, dan masing-masing memiliki moralitasnya sendiri. Yang kedua, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang hidup di dalam satu komunitas yang sama, namun dipisahkan satu sama lain oleh pasar. Pada titik ini ada baiknya kita bertanya, apakah masyarakat majemuk semacam itu akan mendorong terciptanya semacam moralitas bersama untuk memampukan mereka hidup bersama secara harmonis, atau mereka justru akan menciptakan relasi dominatif antara kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah, di mana justru relasi dominatif itu yang akan menjadi pengikat kehidupan bersama?

Salah satu sosiolog yang mencoba menganalisis hal ini adalah M.G Smith.[5] Menurutnya suatu masyarakat yang homogen selalu memiliki seperangkat aturan sistem sosial yang uniter. Artinya masyarakat tersebut mempunyai seperangkat aturan yang mengatur kehidupan privat, religius, hukum, politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Akan tetapi masyarakat majemuk tidaklah memiliki hal semacam itu. Masyarakat majemuk ditandai dengan beragamnya perangkat aturan nilai yang digunakan untuk menata kehidupan sosial manusia, dan masing-masing aturan nilai tersebut bersifat total hanya bagi orang-orang yang berada di dalam kultur ataupun agama tertentu. Di dalam masyarakat semacam ini tidak ada sabuk pengikat kehidupan bersama. Bahkan menurut Smith, masyarakat majemuk justru diikat oleh adanya dominasi kelompok yang satu atas kelompok yang lain. Jadi elemen yang mengikat masyarakat majemuk untuk tetap eksis sebagai masyarakat justru adalah dominasi. Dalam konteks ini Smith menawarkan suatu model untuk menjelaskan terjadinya diskriminasi rasial di dalam masyarakat majemuk.

Tentu saja model ini bukanlah suatu model yang ideal bagi masyarakat multikultur. Untuk mencoba merumuskan model ideal bagi suatu masyarakat multikultur, kita pertama-tama perlu untuk membedakan wilayah privat dan wilayah publik dari kehidupan sosial. Rex menawarkan tiga model dalam konteks ini. Pertama, kita dapat memikirkan sebuah masyarakat yang memiliki ruang publik yang tunggal, namun justru mendorong terciptanya perbedaan di dalam ruang privat. Kedua, kita dapat membayangkan sebuah model masyarakat, di mana masyarakat sekaligus mendorong kesatuan di dalam ruang publik maupun di dalam ruang privat. Kesatuan tersebut tentunya didasarkan pada seperangkat nilai-nilai moral yang disepakati bersama. Ketiga, suatu masyarakat juga dapat mendorong perbedaan dan mengakui pluralitas nilai sekaligus di ruang publik, dan di dalam ruang privat. Masyarakat multikultur yang ideal, menurut Rex, adalah masyarakat yang memenuhi model pertama, di mana setiap orang dan setiap kelompok diberi kebebasan untuk mengekspresikan nilai-nilai maupun cara hidup mereka, namun tetap mengacu terus pada ruang publik bersama sebagai satu kesatuan. Model kedua adalah model yang dipakai oleh praktek-praktek kolonialisme, seperti pada sistem Apartheid di Afrika Selatan.

Saya tertarik untuk membahas lebih jauh pandangan Rex mengenai ruang privat dan ruang publik ini. Menurutnya refleksi tentang ruang publik dan ruang privat masihlah jarang ditemukan di dalam teori-teori sosiologi klasik. Para pemikir klasik cenderung untuk memandang masyarakat sebagai kumpulan institusi yang saling terhubung, dan kemudian membentuk satu sistem tunggal. Pandangan semacam ini dengan mudah dapat ditemukan di dalam pemikrian Talcott Parsons,[6] serta para pemikir Strukturalis Perancis, seperti Althusser.[7] Mereka cenderung untuk berpendapat bahwa ruang publik dibentuk oleh semacam moralitas bersama, dan moralitas itu pula yang mengatur kehidupan ruang privat melalui institusi-institusi sosial, seperti institusi agama.

Institusi-institusi sosial yang ada sekarang sangatlah didasarkan pada paradigma fungsionalis semacam ini. Sistem ekonomi dan sistem hukum telah dilepaskan dari tata nilai tradisional, dan mengadopsi tata nilai yang sama sekali baru. Tentu saja nilai-nilai kultural dan nilai-nilai agama tradisional tidak otomatis sama sekali lenyap. Akan tetapi praktek-praktek yang didasarkan atas tata nilai tradisional tidak pernah boleh mencampuri kinerja sistem-sistem sosial yang ada, baik sistem politik, ekonomi, maupun hukum.

Teori-teori sosiologi klasik cenderung untuk memfokuskan analisisnya pada sistem nilai yang berlaku di dalam sebuah masyarakat. Sistem nilai itulah yang menjadi aturan moral yang menata kehidupan masyarakat tersebut. Ferdinand Tőnnies pernah menulis, bahwa suatu masyarakat harus mendasarkan kerja sama dan interaksinya pada suatu dasar yang bersifat historis.[8] Durkheim juga pernah menulis tentang "solidaritas organik" (organic solidarity) yang didasarkan pada pembagian kerja (division of labour). Solidaritas organik ini dibedakannya dari solidaritas mekanik pada masyarakat kecil yang didasarkan pada kekeluargaan (kinship).[9] Solidaritas organik ini juga dibedakan dari logika yang menjalankan suatu masyarakat egoistik, di mana nilai-nilai yang menata kehidupan bersama terletak pada beberapa individual yang dominan saja. Beragam pandangan ini semakin dilengkapi oleh Weber, ketika ia menulis bahwa etika Protestan dan Calvin mendorong terciptanya rasionalisasi di bidang agama. Dalam konteks ini, kehidupan bersama semakin didasarkan pada otoritas legal-rasional, dan bukan lagi pada otoritas religius-metafisis.[10]

Dalam arti ini proses perubahan sosial, pembentukan sistem negara modern, dan pembentukan sistem ekonomi kapitalis didorong oleh rasionalitas moral dan hukum di dalam masyarakat. Dengan inilah, menurut Parsons, problematika mengenai bagaimana terbentuknya tatanan masyarakat untuk mencegah ‘perang semua melawan semua’ dapat diselesaikan. Akan tetapi proses rasionalisasi bidang-bidang kehidupan ini tampaknya tidak berjalan secara universal. Seperti yang pernah dirumuskan oleh Furnivall, proses terbentuknya sistem negara modern dan sistem ekonomi kapitalis berdasarkan kehendak bersama tidaklah terjadi di Indonesia. Di Indonesia proses rasionalisasi identik dengan proses kolonialisasi dan dominasi dunia kehidupan bangsa Indonesia oleh kekuatan-kekuatan asing dari Eropa. Tidak seperti di Indonesia, proses pembentukan sistem di Eropa berjalan paralel dengan proses perubahan kulturalnya, sehingga terjadi kesinambungan yang harmonis di antara keduanya.[11] Inilah yang disebut Rex sebagai kultur publik (public culture).

Kultur publik ini terlihat dengan jelas di dalam moralitas publik, hukum, dan agama yang didasarkan pada rasionalitas. Munculnya kultur publik ini juga menandakan berakhirnya kultur rakyat (folk culture) yang terwujud di dalam moralitas, hukum, dan agama rakyat. Hukum, politik, dan moralitas yang didasarkan pada rasionalitas ini kemudian memiliki fungsi sosial yang baru. Di satu sisi, elemen-elemen publik ini mengikat orang-orang yang berbeda untuk bisa hidup di dalam satu komunitas tertentu. Tidak hanya mengikat, elemen-elemen publik ini juga memberikan orang-orang tersebut identitas sosial yang solid. Di sisi lain, elemen publik ini juga memberikan apa yang Parsons sebut sebagai "pemeliharaan pola dan pengaturan tegangan" (pattern maintenance and tension management). Parsons juga lebih jauh berpendapat, bahwa kehidupan di dalam dunia yang rumit dan plural ini hanya mungkin, jika orang memiliki semacam ‘ruang tenang’ yang memungkinkan mereka untuk merasa nyaman. Ruang tenang inilah yang disebutnya sebagai ruang intim.

Tentu saja, pengandaian-pengandaian yang ada di dalam masyarakat multikultur itu hanya mungkin, jika masyarakat telah mengalami perubahan menjadi masyarakat bermentalitas modern. Di dalam masyarakat yang masih sederhana, seluruh kehidupan masyarakat diatur oleh seperangkat aturan nilai tertentu. Hal yang sama kiranya berlaku di dalam masyarakat multikultur, walaupun dengan pola yang berbeda. Seperangkat nilai yang didasarkan pada moralitas bersama haruslah diterapkan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat dalam skala yang masif. Sementara, perangkat nilai yang sama haruslah juga memungkinkan individu-individu yang ada di masyarakat tersebut untuk memperoleh kenyamanan dan stabilitas eksistensial. Masyarakat multikultur haruslah memiliki perangkat nilai semacam itu. Dengan kata lain adalah suatu keharusan, bahwa perangkat nilai yang didasarkan pada moralitas bersama dapat mengatur kehidupan masyarakat, baik di dalam ruang publik maupun di dalam ruang privat. Tanpa perangkat nilai semacam itu, kehidupan bermasyarakat di dalam masyarakat multikultur tidak akan mungkin dapat terjadi.

Institusionalisasi Ruang Publik

Di dalam masyarakat multikultur, menurut Rex, ruang publik dan ruang privat seringkali bersinggungan. Ketika bersinggungan, tegangan dan konflik kepentingan pun tidak dapat dihindarkan. Bidang-bidang yang kiranya menandai persinggungan itu adalah bidang pendidikan dan bidang politik. Pendidikan dan pengaruh ideologi politik terasa dari ruang publik sampai ke dalam ruang privat. Ketika sudah terhubung di dalam ruang publik, pendidikan dan ideologi politik pun kini juga berurusan dengan hukum dan ekonomi.

Hukum menentukan bagaimana orang, baik secara individual dan komunal, dapat hidup bersama dan terintegrasi secara positif ke dalam masyarakat. Inilah yang kiranya menandai ciri dari masyarakat modern, bahwa orang-orang yang berasal latar belakang berbeda dapat terintegrasi secara positif ke dalam masyarakat. "Di dalam masyarakat multikultur yang ideal", demikian tulis John Rex, "bagaimanapun juga, kita mengandaikan bahwa semua individu secara setara terintegrasi dan dan bahwa mereka memiliki kesetaraan di hadapan hukum."[12] Ideal semacam ini tidak akan pernah tercapai ke dalam realitas, jika banyak orang masih mengalami diskriminasi di hadapan hukum, atau hak-haknya sebagai warga negara tidak lagi diakui sepenuhnya.

Dalam konteks politik misalnya, kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat multikultur seringkali juga memiliki kekuatan politis yang berbeda-beda pula. Ini tentu saja bukanlah suatu kondisi yang ideal. Di dalam masyarakat multikultur yang ideal, kelompok-kelompok sosial yang berbeda haruslah memiliki kekuatan politik yang setara. Kesetaraan ini dapat dirasakan dalam bentuk partisipasi yang setara di dalam kehidupan-kehidupan publik, maupun di dalam proses-proses pembuatan keputusan yang terkait dengan kehidupan bersama.

Salah satu bidang yang memiliki dampak besar bagi kehidupan bersama adalah bidang ekonomi. Artinya, bidang ekonomi haruslah memiliki seperangkat aturan moral yang memungkinkan bidang tersebut bisa ditata demi kepentingan publik. Bidang ekonomi haruslah mengalami proses institusionalisasi. Proses ini melibatkan proses tukar menukar dan kompetisi antara penjual dengan penjual, ataupun pembeli dengan pembeli. Proses tukar menukar dan kompetisi ini haruslah dibebaskan dari penggunaan kekerasan ataupun pemaksaan. Moralitas yang berlaku di dalam bidang ekonomi adalah moralitas pertukaran yang damai (peaceful bargaining). Upaya untuk mempertahankan proses pertukaran yang adil dan harmonis sangatlah menentukan tingkat keberadaban suatu masyarakat multikultur.[13]

Akan tetapi, walaupun masyarakat multikultur telah memiliki seperangkat tata nilai yang dianggap sebagai moralitas bersama, hal ini sama sekali tidak menjamin bahwa masyarakat tersebut akan selalu hidup dalam keadaan damai. Seringkali, upaya-upaya untuk mewujudkan tujuan-tujuan politis menghasilkan konflik politik yang lebih besar intensitasnya. Upaya-upaya politis tersebut tidak pernah boleh menyangkal hak-hak individual seorang pun, terutama atas dasar alasan-alasan perbedaan etnis.

Dengan demikian, proses pembentukan hukum, politik, dan ekonomi merupakan suatu proses institusionalisasi ruang publik. Proses institusionalisasi tersebut haruslah didasarkan pada nilai-nilai moral yang telah disepakati bersama. Nilai-nilai moral yang sama jugalah yang dapat digunakan untuk menata kehidupan privat yang berkaitan dengan moralitas dan agama. Akan tetapi, terutama pada praktek politik welfare state, ruangp publik, dengan menggunakan kekuasaan birokratis politiknya, bisa memaksakan otoritasnya juga pada persoalan-persoalan agama maupun moralitas.

Dalam batas tertentu, ekspansi kekuasaan birokrasi negara ini memiliki dampak negatif. Negara, misalnya, memiliki kekuatan untuk melakukan intervensi ke dalam ekonomi melalui mekanisme kontrol kepemilikan, dan campur tangan melalui subsidi maupun peraturan hukum. Lebih dari itu, negara juga memiliki otoritas untuk ikut campur tangan dalam soal-soal moralitas privat maupun keluarga. Mekanisme intervensi ini tentu saja juga mempunyai dampak positif, yakni memungkinkan terjadinya pembagian kekayaan yang merata. Negara juga memiliki otoritas untuk menjamin berfungsinya serikat buruh, sekaligus memastikan bahwa setiap orang, apapun sukunya, memiliki pekerjaan yang layak.[14] Dengan otoritas politiknya, negara juga bisa menjamin bahwa setiap orang yang tidak memiliki pekerjaan memperoleh pendapatan secukupnya. Negara juga bisa membentuk suatu instansi pemerintahan yang memperhatikan problem-problem di dalam keluarga maupun problem individual. Semua ini tentunya membutuhkan pelampauan batas antara ruang publik maupun ruang privat. Dalam arti ini, negara wajib untuk melampaui batas ruang publik dan ruang privat, dan menjamin bahwa kepentingan yang lebih besar dan lebih universal dapat tercapai.

Di dalam bukunya, T. Marshall pernah berpendapat bahwa di dalam masyarakat multikultur, negara tidak hanya memenuhi hak-hak politik maupun hak-hak legal rakyatnya, tetapi juga hak-hak sosial maupun kultural warganya. Harapannya adalah, dengan diperhatikan hak-hak sosial maupun kulturalnya, warga bisa memahami bahwa kepentingan bersama lebih penting dari sekedar kepentingan kelas sosial semata. Dengan kata lain, rakyat jadi memiliki loyalitas yang otentik pada negaranya, dan bukan hanya pada kelas sosialnya semata. Rex menulis begini, "banyak dari perasaan identifikasi yang dimiliki individu dulunya hanya pada ruang privat, kini ditransfer ke level negara."[15] Setiap orang menghargai dan menghormati kepentingan partikular kelas sosialnya, tetapi lebih dari itu, setiap orang lebih menghargai dan menghormati kepentingan negaranya yang melingkupi kelas sosial yang lebih luas.

Memang, yang terjadi disini adalah seolah peran keluarga kini telah digantikan oleh negara. Akan tetapi, tidak ada yang salah dengan hal ini, terutama ketika justru negara dapat menjalankan fungsi sosialisasi dan penanaman nilai-nilai secara lebih efektif daripada keluarga. Pada titik inilah ruang publik dan ruang privat menyatu. Namun, ketika negara dengan otoritas politiknya mulai mencampuri urusan pendidikan, ada beberapa masalah baru muncul.

Pendidikan, Ruang Publik, dan Ruang Privat

Di dalam masyarakat modern, pendidikan setidaknya memiliki tiga fungsi. Pertama, pendidikan berfungsi untuk memilih individu-individu sesuai dengan kriteria keahlian mereka, untuk kemudian mempersiapkan mereka menempati peran-peran tertentu di dalam masyarakat. Peran-peran sosial tersebut tentunya sesuai dengan apa yang menjadi keahlian mereka. Kedua, pendidikan juga mengajarkan kemampuan-kemampuan praktis yang dibutuhkan oleh setiap orang untuk mempertahankan hidupnya, seperti untuk bekerja di bidang industri, ekonomi, ataupun bidang-bidang lainnya. Dan ketiga, pendidikan berfungsi untuk mengajarkan nilai-nilai moral. Fungsi terakhir inilah yang seringkali mengalami konflik dengan kepentingan privat.

Memang adalah wajar, jika pemerintah ikut campur dalam soal pendidikan. Yang terpenting adalah, proses pendidikan ini tidak bersifat eksklusif. Sejauh pengajaran nilai-nilai moral tersebut terkait dengan moralitas kehidupan bernegara, maka sebenarnya campur tangan pemerintah di dalam pendidikan dapatlah dibenarkan. Akan tetapi, setiap kultur di dalam masyarakat memiliki nilai-nilai partikularnya sendiri yang dijunjung tinggi. Masalah muncul, ketika nilai-nilai partikular tersebut bertentangan dengan moralitas kehidupan bernegara yang diajarkan secara umum oleh pemerintah.

Konflik semacam ini banyak terjadi di Inggris. Orang-orang Asia yang tinggal di Inggris seringkali sudah merencanakan pernikahan anak-anak mereka, ketika anak-anak mereka masih dalam usia muda. Dalam beberapa kesempatan, sekolah seirng mengadakan kegiatan berenang bersama, dan kegiatan ini seringkali bertentangan dengan nilai-nilai Asia yang tidak memperbolehkan wanita yang sudah menikah memakai pakaian renang di hadapan orang yang bukan suaminya. Para pemikir dan aktivis feminisme juga memberikan tanggapan kritis mengenai praktek ini. Mereka berpendapat bahwa pernikahan haruslah muncul dari keinginan individual, dan bukan karena kehendak orang tua. Praktek semacam ini dianggap sebagai praktek yang menindas.

Tentu saja, pandangan itu tidaklah disetujui oleh keluarga yang masih meyakini nilai-nilai ketimuran tertentu. Perjodohan, menurut mereka, adalah tanda kepedulian orang tua pada anak perempuannya, yakni bahwa anak perempuannya sudah ada yang menjaga dan mengusahakan kebahagiaannya. Kemungkinan untuk memperoleh calon suami yang baik juga jauh lebih besar di dalam proses perjodohan, daripada jika hanya mengandalkan pencarian yang acak dan romantis, seperti yang kiranya menjadi cita-cita banyak gadis Eropa. Benturan budaya juga terjadi, ketika kultur Eropa yang sangat terbuka pada seksualitas berhadapan dengan kultur ketimuran tertentu yang masih menempatkan seks sebagai persoalan privat semata. Para feminis, dalam hal ini, menuntut diperbesarnya kebebasan kaum perempuan untuk mengekspresikan seksualitas mereka. Akan tetapi, hal ini secara langsung bertentangan dengan nilai-nilai ketimuran.

Data tentang terjadinya benturan-benturan nilai semacam itu bisa diperpanjang lagi. Yang penting untuk diketahui adalah bahwa benturan itu terjadi, dan frekuensinya semakin sering sekarang ini. Sebuah masyarakat yang ingin memberi tempat bagi keberagaman kultural sekaligus tetap hendak menjamin kesetaraan kesempatan bagi semua pihak, haruslah berhadapan dengan benturan-benturan nilai semacam ini. Juga diperlukan kesadaran, bahwa pemerintah tetap dapat menjamin kesetaraan partisipasi sosial semua pihak sekaligus tetap memberikan ruang bagi pluralitas kultural anggota masyarakatnya.

Seperti sudah dilihat sebelumnya, pendidikan merupakan bidang yang kental dengan benturan nilai semacam ini. Banyak kultur yang merasa, bahwa sistem pendidikan yang dilangsungkan oleh pemerintah tidaklah menampung nilai-nilai kultural mereka. Oleh sebab itu, mereka kemudian menuntut untuk diberikannya kesempatan mendirikan sekolah yang mengajarkan secara langsung nilai-nilai kultural mereka. Hal ini banyak terjadi, baik di Eropa, Amerika, maupun Indonesia, dan belum ada kebijakan yang jelas tentang hal ini. Banyak orang-orang yang berasal dari kultur minoritas lalu memutuskan untuk menanamkan nilai-nilai kultural mereka di luar jam sekolah. Hal yang sebenarnya ingin saya tekankan disini adalah, bahwa walaupun kultur minoritas haruslah belajar dari kultur mayoritas, tetapi kultur mayoritas tetap juga harus belajar dari kultur minoritas. Proses ini tentunya akan mendorong terciptanya penghormatan terhadap kesetaraan kultur di dalam masyarakat majemuk.

Persoalan tentang bahasa juga menimbulkan banyak dilema. Bagi kelompok minoritas kultural, pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan bahasa kultur mereka sudah sejak dahulu dianggap sebagai sesuatu yang penting. Hal ini tentunya haruslah mendapatkan akomodasi lebih jauh. Menurut John Rex, adopsi penggunaan bahasa kultur minoritas justru dapat mendorong terjadinya asimilasi yang positif di dalam masyarakat majemuk. Pengakuan terhadap keberadaan bahasa kultur minoritas justru dapat mendorong terciptanya kesetaraan sosial di dalam masyarakat multikultur.

Apa yang ingin ditekankan disini adalah, bahwa tegangan internal di dalam sistem pendidikan haruslah diakui keberadaanya terlebih dahulu, termasuk tegangan antara kepentingan privat dan kepentingan publik di dalam sistem pendidikan. Sekolah, sebagai agen pendidikan, haruslah mengajarkan ketrampilan dan moralitas publik kepada warga negara. Dan lebih dari itu, komunitas sebagai keseluruhan haruslah berpartisipasi di dalam proses pendidikan, termasuk di dalamnya adalah pendidikan bahasa, agama, dan moral-moral privat. Hanya dengan begitulah masyarakat multikultur yang harmonis dapat terwujud.

Memang, persoalan pendidikan di dalam masyarakat multikultur selalu berkisar di dalam perdebatan ini, apakah pendidikan harus mengacu pada kepentingan untuk mempertahankan kultur minoritas tertentu, atau untuk mengabdi pada kepentingan publik luas secara keseluruhan? Jika pendidikan terlalu mengabdi pada kepentingan publik yang lebih luas, maka identitas kultural akan terancam musnah. Dan sebaliknya, jika pendidikan terlalu berfokus pada nilai-nilai kultural yang bersifat partikular, maka nilai-nilai publik yang lebih luas juga dapat terancam.

Persoalan diperumit dengan problematika kebijakan yang terkait dengan kesejahteraan sosial seluruh warga negara. Banyak ahli berpendapat, bahwa kebijakan yang terkait dengan kesejahteraan sosial warga negara haruslah sensitif terhadap perbedaan kultur dan kepercayaan. Jadi diperlukan adanya kesadaran multikulturalisme di dalam kebijakan-kebijakan politik yang terkait dengan kesejahteraan sosial. Penerapan kesadaran semacam ini memang sangatlah sulit. Yang seringkali terjadi bukanlah para pemegang kebijakan publik memiliki kesadaran akan pentingnya penghargaan terhadap kultur minoritas, melainkan orang-orang yang berasal dari kultur minoritas dipaksa menyesuaikan diri dengan keinginan dan kultur para pemegang kebijakan publik. Dilihat secara khusus ataupun secara umum, persoalan pendidikan di dalam masyarakat multikultur masihlah merupakan problematika yang terbuka, dan menuntut refleksi lebih jauh.

Struktur dasar Ruang Privat

Di dalam masyarakat multikultur, anggota masyarakat yang mayoritas memandang keluarga dan komunitas mereka sebagai bagian integral dari keseluruhan masyarakat. Anggota masyarakat ini berfungsi secara maksimal di dalam dinamika sistem sosial yang ada. Sementara itu, anggota masyarakat yang berasal dari kultur minoritas mengalami nasib yang sama sekali berbeda. Bagi mereka, keluarga dan komunitas mereka merupakan bagian dari sistem sosial yang lain; yang berbeda. Mereka seolah berasal dari kebudayaan yang sama sekali berbeda dari kebudayaan yang dominan di dalam masyarakat.

Juga di dalam masyarakat multikultur, orang-orang yang berasal dari kultur dominan hidup harmonis sebagai bagian dari sistem sosial secara keseluruhan. Proses pendidikan di dalam keluarga pun relatif tidak bermasalah, karena nilai-nilai pendidikan di dalam keluarga searah dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Akan tetapi, hal yang sama kiranya tidak berlaku bagi orang-orang yang berasal dari kultur minoritas. Mereka harus menyeimbangkan antara pendidikan nilai-nilai kultural mereka yang khas di satu sisi, dan pendidikan berkaitan dengan nilai-nilai publik yang lebih luas di sisi lain. Dan bagi orang-orang yang berasal dari kultur minoritas, pernikahan tidak pernah bisa menjadi melulu soal individu. Pernikahan, bagi mereka, adalah soal pertukaran nilai antara satu kultur dengan kultur lainnya. Pernikahan adalah suatu proses asimilasi budaya yang tentunya menuntut banyak pertimbangan dari berbagai dimensi.

Pernikahan adalah salah satu cara yang paling efektif untuk melakukan proses asimilasi budaya. Proses ini membuat orang tidak lagi bersandar melulu pada nilai kultural mereka yang spesifik, tetapi juga mampu melihat realitas dari sudut pandang kultur yang berbeda. Rex berpendapat, bahwa proses asimilasi setidaknya memiliki empat akibat.[16] Pertama, proses asimilasi dapat menolong suatu kultur untuk mampu melepaskan diri dari isolasi sosial yang mungkin saja mereka alami. Kedua, proses asimilasi juga memungkinkan diselesaikannya berbagai dilema moral ataupun sosial, yang muncul akibat dari benturan budaya di dalam masyarakat multikultur. Ketiga, proses asimilasi juga memungkinkan kultur yang bersangkutan untuk menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka dengan menggunakan ‘bahasa-bahasa’ yang bisa dimengerti secara publik, tepat karena interaksi di antara kultur yang berbeda tersebut telah terjadi sebelumnya. Dan keempat, proses asimilasi juga memungkinkan terciptanya nilai-nilai dan identitas baru, yang didasarkan pada interseksi berbagai nilai kultural yang beragam di dalam masyarakat multikultur.

Nilai dan aturan moral, yang merupakan hasil dari proses interseksi berbagai kultur yang beragam tersebut, nantinya akan menjadi sistem nilai yang bersifat otonom yang mampu menjelaskan pola ideal hubungan antar manusia, maupun hubungan dasar antara manusia dengan alam. Tentu saja, nilai hasil proses interseksi berbagai kultur tersebut tidaklah dapat menggantikan seluruhnya peran yang tadinya dimiliki oleh identitas kultural. Sebut saja bahwa, nilai-nilai masyarakat modern tidak akan pernah sepenuhnya dapat menggantikan nilai-nilai tradisional yang telah diyakini sebelumnya. Akan tetapi, nilai-nilai modern hasil interseksi beragam kultur tersebut tetap mampu berperan di dalam menciptakan solidaritas bagi masyarakat sebagai keseluruhan, maupun kenyamanan eksistensial bagi individu yang terkait. Dua hal yang kiranya menjadi kebutuhan utama dari sebuah masyarakat multikultur.

Nilai-nilai modern itulah yang, menurut Parsons, akan menjadi alat untuk mempertahankan pola-pola berlaku di masyarakat, dan mengatur tegangan-tegangan sosial yang muncul akibat benturan antar kultur.[17] Nilai-nilai tersebut memberikan identitas bagi individu-individu di dalam masyarakat multikultur, sekaligus membantu mereka untuk mengatasi berbagai problematika yang muncul, baik dalam konteks moral maupun material. Jika semua anggota masyarakat sudah menjalankan nilai-nilai tersebut ke dalam praktek sosial, maka nilai-nilai modern akan menjadi bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan.

Jadi tetaplah harus disadari, keberadaan kultur minoritas tidak pernah dapat dipandang sebagai ancaman bagi kesatuan sebuah masyarakat. Keberadaan kultur minoritas, menurut Rex, juga tidak pernah dapat dianggap sebagai suatu celah bagi terjadinya ketidaksetaraan kultural.[18] Masyarakat multikultur haruslah menerima perbedaan kultural yang ada di dalamnya, sekaligus menjamin terciptanya kesempatan yang sama bagi setiap warganya. Jika yang pertama terlalu ditekankan, maka yang terjadi adalah ketidaksetaraan kultural yang akan bermuara pada kesenjangan ekonomi, sosial, maupun politik. Sementara, penekanan berlebihan pada aspek kedua justru akan menciptakan suatu bentuk pemerintahan totaliter baru yang tertutup pada semua bentuk perbedaan. Keduanya tidaklah boleh terjadi di dalam masyarakat multikultur.

Beberapa Butir Kesimpulan

Haruslah diakui, bahwa kultur minoritas memiliki cara hidup dan cara memandang dunia yang berbeda, jika dibandingkan dengan kultur dominan. Bagi beberapa orang, ide-ide yang muncul dari kultur minoritas terdengar revolusioner. Sementara, bagi beberapa orang lainnya, cara hidup kultur minoritas seolah terlihat sangat asing. Apakah ini berarti bahwa kultur minoritas itu berbahaya, dan harus ditekan?

Saya, dan begitu juga John Rex, berpendapat bahwa keberadaan kultur minoritas tidak bisa dicap sebagai suatu bahaya ataupun ancaman tertentu.[19] Hal ini berangkat dari suatu fakta sederhana, bahwa tidak ada satupun kultur di muka bumi ini yang sepenuhnya homogen. Kultur, dalam arti Marxian, selalu bisa ditafsirkan sebagai suatu bentuk perjuangan kelas (class struggle). Kelas pekerja telah membentuk semacam organisasi bersama yang berbasiskan pada solidaritas sosial untuk kemudian menantang tatanan sosial yang sudah mapan, sekaligus mempertanyakan otoritas kultur dominan yang sudah lama memerintah sebelumnya. Tentu saja, konflik tidak terelakkan. Akan tetapi, konflik disini adalah suatu proses yang harus ditempuh untuk merumuskan suatu bentuk identitas kultural yang baru. Tatanan sosial multikultural yang ada sekarang sebenarnya juga bisa dilihat dengan menggunakan kerangka teoritis ini.

Semua bentuk kultur bisa hidup bersama di dalam masyarakat multikultur. Hanya kultur yang menolak kesetaraan kesempatan dari individu ataupun kelompoklah yang tidak bisa menjadi bagian dari masyarakat multikultur. Masyarakat multikultur sekaligus juga adalah, dalam bahasa Rex, masyarakat yang menolak semua bentuk rasisme dan diskriminasi di dalam segala bentuknya.

Penutup

Saya akan menyimpulkan beberapa pendapat Rex pada bagian ini. Pertama, di dalam masyarakat multikultur, kita harus membedakan secara jelas antara ruang publik dan ruang privat. Ruang publik adalah ruang, di mana setiap individu diikat oleh satu set norma-norma yang menjamin kesetaraan kesempatan di dalam segala bidang. Sementara, ruang privat adalah ruang, di mana setiap keragaman kultur diberi tempat, dan diberi pengakuan sepenuhnya. Kedua, ruang publik mencakup dunia hukum, politik, dan ekonomi. Ruang publik mencakup pula pendidikan, sejauh pendidikan terkait dengan pembentukan moralitas publik yang harus dimiliki oleh semua warga negara.

Ketiga, pendidikan moral, terutama yang terkait dengan sosialisasi dan penanaman ajaran-ajaran religius, haruslah tetap berada di dalam ruang privat. Keempat, keberadaan nilai-nilai kultur minoritas tetaplah harus dipertahankan, karena nilai-nilai tersebutlah yang memberikan makna dan identitas bagi setiap orang yang hidup di dalam kelompok tersebut. Nilai-nilai tersebut mencakup mulai dari tata organisasi sosial yang ada di masyarakat, sampai keyakinan religius yang menjadi ciri unik dari kelompok kultur minoritas yang ada. Dan kelima, konflik dan benturan budaya antara kultur minoritas dan kultur dominan tidaklah terelakkan. Di dalam masyarakat multikultur, benturan tersebut haruslah dimaknai sebagai bagian dari dialog, dan dialog adalah satu-satunya cara yang mungkin, supaya masyarakat yang terdiri dari beragam kultur bisa hidup secara harmonis bersama.

Apakah Indonesia sudah siap mewujudkan masyarakat semacam itu? Saya rasa tidak. Kehidupan di Indonesia sekarang ini hampir sama sekali tidak memberikan peluang bagi kelompok minoritas untuk berkembang. Bahkan bisa dikatakan, bahwa masyarakat kita masihlah jatuh pada apa yang disebut Rex sebagai masyarakat totaliter yang menolak hampir semua bentuk perbedaan cara hidup, cara pandang, dan cara beragama. Cita-cita tentang kehidupan masyarakat multikultur yang harmonis masih jauh dari jangkauan tangan kita.



[1] Tulisan ini diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap tulisan John Rex, "Multicultural and Plural Societies", dalam The Ethnicity Reader, Montserrat Guibernau dan John Rex (eds), Great Britain, Polity Press, 1997, hal. 205-228.

[2] Lihat, Gunnar Myrdal, The American Dilemma: The Negro Problem and Modern Democracy, New York, Harper & Row, 1944, seperti dalam Rex, ibid, hal. 205.

[3] Lihat, Furnivall, Netherlands India, Cambridge, Cambridge University Press, 1939, seperti dalam Rex, 1997, hal. 207.

[4] Lihat, Rex, 1997, hal. 208.

[5] Lihat, Smith, The Plural Society in the British West Indies, Berkeley and Los Angeles, University of California Press, 1965.

[6] Lihat Talcott Parsons, The Social Systems, London, Tavistock, 1952.

[7] Lihat Louis Althusser, For Marx, London, Lane, 1969.

[8] Lihat F. Tőnnies, Community and Association, London, Routledge and Kegan Paul, 1963, dalam Rex, 1997, hal. 209.

[9] Lihat E Durkheim, The Division of Labour in Society, Illinois, Free Press, 1933.

[10] Lihat Max Weber, The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism, London, Allen an Unwin, 1930.

[11] Lihat, Rex, 1997, hal. 209.

[12] Rex, 1997, hal. 210.

[13] Lihat, ibid, hal. 211.

[14] Lihat, hal. 212.

[15] Rex, 1997, hal. 212.

[16] Lihat, ibid, hal. 217.

[17] Lihat, Parsons, 1952.

[18] Lihat, Rex, 2003, hal. 218.

[19] Lihat, ibid.

Peran “Para Penyair” untuk Membentuk Solidaritas Sosial di dalam Ruang Publik

Peran “Para Penyair” untuk

Membentuk Solidaritas Sosial

di dalam Ruang Publik

Sebuah Tematisasi Konsep Ruang Publik di dalam

Filsafat Politik Richard Rorty

“..karena kebenaran adalah milik dari kalimat-kalimat, dan karena kalimat bergantung keberadaannya pada kata-kata, dan karena kata-kata adalah buatan manusia, maka begitu pula dengan kebenaran…”

Richard Rorty

1. Pendahuluan

Konsep ruang publik, secara normatif, seringkali didefinisikan sebagai suatu arena kehidupan sosial, di mana orang dapat berkumpul bersama, dan secara bebas mengidentifikasi dan mendiskusikan berbagai bentuk permasalahan sosial. Sejalan dengan meningkatnya intensitas diskusi dan berjalannya waktu, proses-proses yang terjadi di dalam ruang publik nantinya akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik di masyarakat.[1] Secara ideal, ruang publik juga sering dibayangkan sebagai ruang diskursif, di mana setiap orang dan setiap kelompok dapat berkumpul untuk membicarakan soal-soal yang berkaitan dengan kepentingan bersama, sehingga, bila mungkin, mereka bisa sampai pada keputusan bersama. Ruang publik dapat dipandang sebagai suatu bentuk teater raksasa di dalam masyarakat modern, di mana partisipasi politik didorong melalui pembicaraan dan diskusi politik. Di dalam ruang publiklah opini publik yang sesungguhnya bisa dibentuk.[2]

Ruang publik juga seringkali dipahami sebagai ruang penghubung antara ruang privat di satu sisi, dan ruang otoritas publik (sphere of public authority) di sisi lain. Ruang privat berkaitan dengan keluarga, sementara ruang otoritas publik berkaitan langsung dengan legitimasi suatu pemerintahan negara tertentu. Ruang publik bergerak di dalam tegangan di antara dua ruang ini sedemikian rupa, sehingga negara, mau tidak mau, menjalankan pemerintahannya dengan terus menerus berkonsultasi pada opini publik melalui ruang publik. Jadi, ruang publik secara konseptual berbeda dengan negara. Ruang publik juga berbeda dengan ‘pasar’. Ruang publik bukanlah suatu arena, di mana relasi-relasi jual beli terjadi. Ruang publik adalah suatu arena, di mana relasi-relasi diskusif dapat berlangsung, yakni suatu arena untuk mempertimbangkan dan memperdebatkan semua hal yang berkaitan dengan kepentingan bersama. Ketiga distingsi ini, yakni antara negara, pasar, dan asosiasi-asosiasi organisasi bernapaskan semangat demokrasi, sangatlah sentral di dalam teori tentang demokrasi sekarang ini. Selain distingsi ini, ideal tentang partisipasi seluruh rakyat di dalam proses demokratis juga menjadi bagian sentral di dalam teori tentang demokrasi dan ruang publik.[3]

Teori tentang ruang publik mendasarkan diri pada pengandaian normatif, bahwa setiap keputusan politik terbentuk di dalam ruang publik, dan pemerintah yang dianggap sah adalah pemerintah yang setiap tindakannya mengacu terus pada proses diskursif yang berlangsung di dalam ruang publik. Akan tetapi, ini tetap merupakan suatu bentuk pengandaian ‘normatif’. Faktanya, ruang publik selalu didistorsi oleh kekuasaan, sehingga tidak pernah ada keputusan politik yang didasarkan pada mekanisme diskursif ruang publik yang sungguh adil, serta mencerminkan apa yang sesungguhnya menjadi kepentingan bersama. Menurut Richard Rorty, ruang publik juga tidak selalu didasarkan pada rasionalitas. Banyak keputusan-keputusan yang diperdebatkan di dalam ruang publik seringkali lebih memberi porsi pada sentimen-sentimen dan afeksi-afeksi, yang tidak didasarkan pada argumentasi rasional. Ruang publik ini disebut juga sebagai ruang publik poetik (poetic public sphere).

Jelas, Richard Rorty menawarkan suatu bentuk konsep ruang publik yang berbeda dengan apa yang sudah menjadi wacana umum. Di dalam tulisan ini, saya hendak mentematisasi konsep ruang publik tersebut. Buku utama yang saya gunakan adalah Contingency, Irony, and Solidarity tulisan Richard Rorty, terutama hal 1-95.[4] Tesis dari Rorty yang hendak saya jabarkan sekaligus tanggapi adalah tesisnya tentang ruang publik yang tidak lagi digerakan oleh pemikiran dari teoritikus sosial maupun filsuf, tetapi oleh para penyair, novelis, dan jurnalis. ‘Bahasa’ yang digunakan di dalam ruang publik pun tidak lagi bahasa argumentasi rasional, tetapi bahasa puitis (poetic language). Inilah yang disebut Rorty sebagai kultur poetik (poetic culture). Untuk tujuan itu, saya akan membagi tulisan ini ke dalam lima bagian. Setelah memberikan gambaran atas keseluruhan tulisan (1), saya akan menjabarkan konsepsi Rorty tentang ruang publik dan ruang privat (2). Setelah itu, saya akan merumuskan peran penyair di dalam ruang publik menurut Rorty (3). Pada bagian berikutnya, saya akan coba memberikan kesimpulan mengenai pendapat Rorty tentang ruang publik dan peran para penyair (4). Tulisan ini akan ditutup dengan tanggapan saya terhadap pemikiran Rorty (5).

2. Konsep Ruang Publik dan Ruang Privat

Rorty membedakan secara jelas antara filsafat politik tradisional di satu sisi, dan pragmatisme teoritisnya di sisi lain. Filsafat politik tradisional berfokus pada hasrat untuk mencapai obyektifitas pemahaman (desire for objectivity). Sementara, pragmatisme teoritis yang menjadi posisi argumentatif Rorty lebih berfokus pada hasrat untuk mencapai solidaritas (desire for solidarity). Hasrat untuk mencapai obyektifitas ditandai dengan upaya untuk memberikan fondasi yang kuat bagi semua bentuk praktek sosial di dalam masyarakat dengan mengacu pada prinsip-prinsip metafisis, seperti kebenaran, rasionalitas, ataupun prinsip-prinsip lainnya. Kontras dengan itu, hasrat untuk mencapai solidaritas lebih ditandai dengan upaya untuk mencari kerangka etis yang berguna bagi kerja untuk memajukan kehidupan bersama. Dalam kerangka ini, tidak ada pretensi untuk memberikan fondasi metafisis yang tunggal dan universal. Yang penting adalah perumusan kerangka kerja yang memungkinkan solidaritas di antara orang-orang yang berbeda bisa tercipta.

Dengan pola argumen yang sama, Rorty kemudian menegaskan ketidaksetujuannya terhadap liberalisme, sekaligus menyatakan kesetujuannya pada demokrasi liberal. Baginya, liberalisme memberikan tempat terhormat bagi nilai-nilai liberal, seperti keadilan dan kesetaraan. Nilai-nilai tersebut didasarkan pada fondasi metafisis tentang hakekat manusia. Artinya, liberalisme mengklaim memahami secara penuh hakekat manusia, dan kemudian merumuskan sebuah konsep masyarakat yang didasarkan pada pemahaman tentang hakekat manusia tersebut. Liberalisme masih jatuh ke dalam filsafat fondasionalistik yang hendak mencari dasar-dasar metafisis bagi suatu rumusan teoritis.

Guignon dan Hiley berpendapat, bahwa pola yang sama dapat ditemukan di dalam kritik Michael Sandel terhadap teori keadilan yang dirumuskan oleh John Rawls.[5] Sandel tidak sepakat dengan pengandaian antropologis John Rawls yang cenderung individualistik dan mencabut manusia dari pengaruh komunitasnya. Jadi, konsepsi keadilan Rawls masihlah didasarkan pada pandangan metafisis tentang siapa atau apa itu manusia. Sementara, menurut Rorty, konsepsi keadilan tidak bisa didasarkan pada hakekat manusia yang bersifat tetap. Untuk ini, ia pun mengutip pendapat dari Thomas Jefferson, yakni bahwa “kita tidak akan melukai tetangga kita dengan mengatakan bahwa ada dua puluh Tuhan atau tidak ada Tuhan.”[6] Artinya, masyarakat tidak memerlukan kepercayaan metafisis yang dianut bersama, supaya mereka bisa hidup bersama. Semua bentuk konsepsi filosofis tentang hakekat manusia, tentang manusia sebagai subyek yang aktif, tidaklah diperlukan untuk menata masyarakat yang demokratis dan liberal.

Konsekuensi dari pandangan ini adalah penolakan terhadap semua upaya untuk mencari dasar moral bagi kehidupan bersama, distingsi yang tegas antara kehidupan publik dan kehidupan privat, dan pembedaan tegas antara perwujudan potensi-potensi diri dengan penciptaan solidaritas sosial. Ruang privat adalah ruang yang bersifat personal, di mana proses mewujudkan potensi-potensi diri dapat berlangsung. Sementara, ruang publik adalah tempat untuk berbicara mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan keadilan dan solidaritas sosial.

Relasi antara ruang publik dan ruang privat memang menjadi salah satu tema refleksi utama di dalam teori-teori sosial maupun filsafat politik. Misalnya, manakah di antara kedua jenis ruang tersebut yang memiliki prioritas lebih tinggi? Para sosiolog dan para ahli kajian budaya menyatakan bahwa pemahaman tentang konsep ruang publik dan ruang privat selalu ditentukan oleh faktor-faktor historis tertentu, sehingga tidak bisa ditentukan secara universal. Bahkan, dalam banyak kasus, misalnya dalam konteks refleksi feminisme, pembedaan ruang publik dan ruang privat justru membenarkan sistem penindasan terhadap perempuan. Jadi memang, dua kategori ini terus menjadi kategori yang problematis di dalam refleksi-refleksi sosial.

Kecenderungan untuk merumuskan hakekat dari ruang publik maupun ruang privat manusia telah menjadi kecenderungan dominan di dalam teori-teori sosial maupun filsafat politik. Setidaknya, ada dua kecenderungan utama, yakni merumuskan suatu teori yang mencoba menjelaskan relasi antara kehidupan privat dan kehidupan publik secara jelas dan terpilah, atau menyatukan kedua “bentuk kehidupan” tersebut di dalam satu konsep yang mencangkup semuanya. Rorty lebih dekat pada kecenderungan yang pertama. Pada bagian pendahuluan buku Contingency, Irony, and Solidarity, ia menulis, “buku ini mencoba untuk menunjukkan bagaimana segala sesuatu dapat dilihat jika kita meninggalkan tuntutan akan sebuah sebuah teori yang menyatukan yang publik dan yang privat, dan puas untuk memperlakukan tuntutan akan penciptaan diri dan solidaritas manusia sebagai sesuatu yang sah secara setara, namun selamanya tidak bisa diperbandingkan.”[7]

Di dalam buku ini, Rorty merumuskan konsepnya yang disebut sebagai “ironis liberal” (liberal ironist).

“Saya meminjam definisi tentang liberal dari Judith Shklar,” demikian Rorty, “yang berpendapat bahwa orang-orang liberal adalah orang-orang yang berpikir bahwa kekejaman merupakan hal yang paling buruk yang bisa dilakukan. Saya menggunakan kata ironis untuk menamakan orang-orang yang menghadapi dengan kontingensi semua kepercayaan dan hasrat-hasrat utamanya- seseorang yang juga seorang historis dan nominalis yang mengabaikan ide bahwa semua kepercayaan sentral mengacu kembali pada sesuatu yang melampaui jangkauan ruang dan waktu.”[8]

Masyarakat liberal adalah masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang punya gaya berpikir ironis liberal semacam itu. Di dalam masyarakat itu, semua bentuk kekejaman akan dihilangkan, dan solidaritas sosial akan tercipta.

Selain berupaya melenyapkan semua bentuk kekejaman, liberalisme yang dirumuskan Rorty jugalah hendak meningkatkan solidaritas sosial di dalam masyarakat. “Solidaritas”, demikian tulisnya, “tidaklah dipikirkan sebagai pengakuan terhadap diri yang esensial,.. di dalam semua manusia. Alih-alih begitu, solidaritas dipikirkan sebagai kemampuan untuk melihat semakin banyaknya perbedaan-perbedaan tradisional (dari suku, agama, ras, adat istiadat, dan sebagainya) sebagai sesuatu yang tidak penting ketika dibandingkan keprihatinan terhadap kekejaman dan penghinaan..”[9]

3. Penyair dan Solidaritas Sosial

Filsafat dengan huruf besar “F” sudah hilang, dan digantikan oleh filsafat dengan huruf kecil “f”. Bagi Rorty, perubahan ini adalah sesuatu yang positif, karena pada akhirnya, kita bisa melepaskan diri dari kesibukan bergulat dengan problem-problem filosofis, seperti identitas, substansi, metafisika dan mulai berpikir tentang “manusia”. Pemikiran tentang manusia ini berkembang melalui percakapan-percakapan (conversations), dan filsafat bisa sangat membantu untuk memperdalam percakapan-percakapan tersebut. Bagi Rorty, percakapan ini haruslah dianggap sebagai sesuatu yang serius, karena hanya dengan begitulah pihak yang satu dapat berkomunikasi dengan pihak yang lain. Dengan percakapan, pengertian, toleransi, berkembangnya pemaknaan terhadap dunia bersama bisa diciptakan. Dalam hal ini, ia memiliki kesamaan dengan para sofis di jaman Yunani Kuno, yakni sama-sama memberi prioritas terhadap persuasi dan retorika. Argumentasi rasional dan saintifik hanya menciptakan kebingungan dan kekacauan pikiran. Oleh karena itu, komunikasi yang bermakna harus juga memuat metafor-metafor untuk menyampaikan ide-idenya. Melalui metafor, ide-ide dasar yang menjadi panduan bagi hidup bersama dapat disampaikan secara konkret, dan dapat dengan mudah menyentuh kesadaran kita. “Metafor-metafor itu”, demikian tulis Grange, “adalah makanan di mana nilai-nilai kita dirawat.”[10] Nada dan dinamika retorika dari sebuah refleksi filsafat jauh lebih penting daripada isinya. Dengan demikian, metafora menyingkirkan rasionalitas, dan bahasa-bahasa figuratif menggantikan skemata logis. Dan bahkan, karena kehidupan manusia lebih merupakan suatu aktivitas menginterpretasikan pengalaman dengan menggunakan bahasa, maka realitas pun hanya bisa dipahami sebagai proses pergantian metafor yang pada dasarnya bersifat kontingen. Tampaknya, Rorty semacam mengumumkan terjadinya perubahan kultur, yakni dari kultur saintifik (scientific culture) menuju ke kultur puitis (poetic culture).

Peran yang dulu ditempati oleh para filsuf kini digantikan oleh para penyair dan penulis novel. Merekalah yang kini dapat menggambarkan penderitaan manusia, serta kemudian mendorong manusia untuk bergerak ke arah kemajuan moral. Di dalam dunia yang tidak memiliki fondasi dasar, semua pembicaraan mengenai esensi, substansi, dan rasio universal tidaklah memiliki makna. Makna di dalam dunia sekarang ini hanya dapat ditemukan melalui tulisan-tulisan para sastrawan jenius. Para novelis tersebut menceritakan berbagai keutamaan moral yang muncul di dalam ruang privat, dan kemudian berkembang ke dalam ruang publik. Melalui tulisan-tulisan orang-orang seperti Dickens, Kundera, dan Whitman, kita semua diajak untuk memikirkan ulang peran privat kita di dalam dunia yang bersifat publik. Di dalam dunia yang tidak memiliki kepastian dan memiliki sejarah panjang yang kelam, para penyair dan novelislah yang kini mampu membentuk makna dan memberikan kerangka bagi kehidupan. “Kita hidup tidak hanya dengan roti saja”, demikian Grange, “metafor dan fiksi juga merupakan sumber nutrisi bagi kehidupan.”[11]

Kesepian dan keabsurdan keberadaan manusia hanya dapat dilenyapkan melalui cerita-cerita, narasi, metafor, dan bukan dengan argumentasi rasional yang seringkali bersifat sangat abstrak. Kita hanya dapat memahami nasib dan kehidupan orang lain, jika kita mau mendengarkan cerita mereka. Dan semua cerita selalu bermula dari ruang privat. Jika ruang privat dilenyapkan, maka sama saja kita menghilangkan setiap bentuk kesempatan untuk mencapai pemahaman bersama. Dengan kata lain, kita harus membiarkan setiap individu di dalam ruang privatnya masing-masing, supaya proses kreasi makna di dalam dunia yang absurd ini dapat terus berjalan.

Ada alasan lain yang kiranya bisa membenarkan pemisahan tajam antara ruang publik dan ruang privat. Inilah yang disebut David Hall sebagai “pencarian kesempurnaan privat”.[12] Jika apa yang kita lakukan di dalam kehidupan pribadi kita adalah urusan kita masing-masing, maka apapun yang terjadi di depan kita juga merupakan bagian dari urusan dan tanggung jawab pribadi. Hal ini tentunya semakin jelas, jika kita sepakat dengan pengandaian antropologis Rorty, yakni bahwa manusia itu tidak memiliki pusat (centerless). Dengan tidak adanya hakekat ontologis yang pasti, manusia menjadi mahluk yang sepenuhnya kontingen. Dengan bersikap ‘liberal’, manusia yang kontingen mencoba untuk memahami dunianya, memahami kontradiksi dan paradoks di dalam hidupnya, serta berusaha memberi makna bagi keberadaannya sendiri. Ini adalah upaya yang tidak akan pernah selesai.

Jadi, “yang publik” dan “yang privat” tidak pernah boleh disamakan begitu saja. Pemisahan ini juga memiliki dasar linguistik. “Bahasa dari ruang privat”, demikian tulisnya, “adalah bahasa penciptaan diri individual. Bahasa dari ruang publik adalah bahasa dari penderitaan dan penghinaan – bagaimana mengenali mereka, siapa yang menderita paling besar, dan bagaimana mereka dapat diringankan.”[13] Ruang publik disini dapat dimengerti sebagai ruang untuk bercerita, yakni bercerita tentang berbagai peristiwa negatif maupun penderitaan yang dialami manusia. Cerita ini tidak tinggal bungkam di dalam kesunyian ruang privat, melainkan keluar untuk menjadi bagian dari kehidupan bersama.

Cerita tentang penderitaan ini juga janganlah dihadapi dengan menggunakan argumentasi rasional, karena penderitaan tidak akan mentransendir dirinya melalui argumentasi. Rorty mengajak kita untuk memaknai cerita tentang penderitaan (pain) dan penghinaan (humiliation) di dalam ruang publik dengan sikap ironi. Artinya, tidak ada kata akhir di dalam ruang publik. Yang ada adalah kontingensi yang tak terbatas. Dengan mengambil sikap ironi, orang tidak akan mengabsolutkan pemikiran maupun pernyataan-pernyataannya. Akibatnya, ia bisa tetap terbuka bagi “yang lain-yang tidak mungkin” (the impossible other). Fondasi dasar dari sikap ironi bukanlah sebuah argumentasi abstrak rasional, melainkan sebuah pernyataan sederhana, yakni bahwa “kita adalah orang-orang liberal yang berpikir bahwa kekejaman adalah hal yang paling jelek yang mungkin dilakukan.”[14] Kekejaman disini dapat diartikan sebagai semua tindakan yang menciptakan penderitaan kepada orang lain. Kekejaman juga dapat diartikan sebagai tindakan menghina orang lain dengan merendahkan cara pandang maupun kulturnya, supaya orang lain itu bisa beradaptasi dan mengikuti cara pandang maupun kultur “saya”.

Inilah peran penyair dan novelis yang dirumuskan oleh Rorty di dalam membentuk solidaritas sosial. Melalui tutur kata dan tulisan-tulisan para penyair, mata kita dibuka untuk melihat penderitaan yang dialami orang lain. Dengan itu, kepekaan dan solidaritas kita diasah, serta kita didorong untuk melenyapkan semua bentuk penderitaan, atau minimal menguranginya. Melalui cerita serta tulisan-tulisan para penyair dan novelis, solidaritas yang didasarkan atas imajinasi atas penderitaan bersama dapat tercipta. Hanya melalui puisi dan novellah kita bisa sungguh-sungguh mengenali penderitaan. Apa yang disebut sebagai keresahan tentang kebaikan publik (public good) pun tidak muncul di dalam diskusi-diskusi rasional, melainkan dari halaman-halaman yang ditulis oleh para novelis dan penyair. Narasi tentang hak-hak asasi manusia tidak lagi didasarkan pada fondasi metafisis tentang manusia, melainkan teriakan dalam hati yang muncul gambaran manusia yang menderita dan terhina.

Memang, ada dilema di dalam argumentasi ini. Rorty pun sudah menyadarinya. Seolah-olah, walaupun ingin dipisahkan sedemikian rupa, ruang publik dan ruang privat tetap terhubung serta jalin menjalin, terutama karena apa yang menjadi kegelisahan privat para penyair dan novelis ditampilkan di dalam tulisan, dan kemudian menjadi bagian dari keprihatinan publik. Menanggapi dilema ini, Rorty menegaskan sekali lagi pentingnya distingsi antara ruang privat dan ruang publik. Di dalam ruang privat, setiap orang berupaya memaknai dunia, serta mewujudkan otonominya. Sementara di dalam ruang publik, orang mengajukan pertanyaan tentang keadilan di dalam ranah sosial politik.

Menurut Rorty, pengandaian dasar Plato, bahwa ruang publik dan ruang privat dapat disatukan di dalam konsep keadilan, tidaklah tepat. Pengandaian semacam itu haruslah ditinggalkan. Apa yang disebut kebaikan publik, bagi Rorty, adalah sesuatu yang kontingen yang sangat tergantung pada bentuk-bentuk wacana serta puisi metaforikal yang berlangsung di suatu tempat tertentu, dan pada kurun waktu tertentu pula. Jadi, ruang publik dan kebaikan publik adalah suatu konsep yang partikular, dan tertanam pada konteks tempat ataupun waktu tertentu. Ruang publik juga bersifat kontingen, yakni terbuka terhadap berbagai konsekuensi ataupun wacana yang sebelumnya tidak terbayangkan. Akan tetapi, ada dua pertanyaan yang kiranya cukup sah untuk diajukan kepada Rorty, yakni apakah solidaritas sosial itu sesuatu yang bersifat imajinatif, dan oleh karenanya bersifat kontingen? Dan, lalu apakah solidaritas sosial itu sekarang ini hanya muncul di antara halaman-halaman tulisan para penulis novel dan penyair?

Rorty sendiri, jika ditanya langsung, tampak akan langsung menjawab pertanyaan ini secara positif. Baginya, di dalam masyarakat majemuk kontemporer dewasa ini, kehidupan bersama di antara orang-orang yang berbeda latar belakang hanya dapat terwujud, jika setiap orang dapat tergerak oleh deskripsi yang diberikan oleh para penulis novel dan penyair tentang identitas masyarakat di mana mereka hidup. Jadi, tugas untuk merekatkan orang-orang yang berbeda di dalam kehidupan bersama tidak lagi berada di tangan filsafat dan teori-teori sosial, tetapi pada kajian-kajian etnografis, laporan-laporan jurnalistik, dan yang terutama adalah melalui novel. Para penulis fiksi terkenal, seperti Dickens, Olive Schreiner, dan Richard Wright mampu menggambarkan secara detil bentuk-bentuk penderitaan yang dialami dan mampu diciptakan oleh manusia. Mereka dapat membantu kita untuk mendefinisikan kembali ‘kesiapaan’ kita. “Oleh karena itulah”, demikian Rorty, “novel, film, dan acara TV telah, secara bertahap namun pasti, menggantikan khotbah dan perjanjian sebagai prinsip untuk perubahan moral dan kemajuan.”[15]

Di dalam pemikiran Rorty, pergantian peran ini akan dapat memenuhi semua bentuk tuntutan akan pengakuan di dalam masyarakat liberal. Tuntutan akan pengakuan ini adalah suatu bentuk perlawanan terhadap semua pemikiran dan teori yang masih menjadikan ‘metafisika tentang manusia’ sebagai landasannya. Dengan menjadikan ruang publik sebagai arena para penyair untuk mengartikulasikan penderitaan dan merumuskan identitas manusia, kita kemudian memahami politik sebagai arena kontingensi bahasa, yakni suatu arena, di mana setiap orang menyadari fleksibilitas kosa kata final yang mereka gunakan, serta terbuka untuk ‘berproses’ bersama orang-orang yang menggunakan kosa kata final yang berbeda. Di dalam tulisannya, Rorty sangat menyadari bahwa ini adalah suatu utopia, atau apa yang disebutnya sebagai utopia liberal (liberal utopia). Ini adalah cita-cita yang terus berusaha untuk diwujudkan, sebuah mimpi yang terus berada di dalam proses. Utopia liberal ini bukanlah sebuah cita-cita tentang kebenaran metafisis yang dirindukan oleh para filsuf, melainkan suatu ide tentang kebebasan yang terus dikejar dan berupaya untuk diwujudkan.[16]

Rorty juga lebih jauh mengidealkan cara berpikir para penyair Romantik (Romantic poets). Menurut Rorty, para penyair Romantik telah menunjukkan dengan sangat jelas bagaimana seni tidak lagi merupakan sebuah imitasi atas alam, melainkan seni sebagai suatu bentuk penciptaan diri.[17] Tempat yang dulunya dimiliki oleh agama dan filsafat kini digantikan oleh seni. Cita-cita pencerahan tentang idealitas cara berpikir ilmiah juga kini digantikan oleh cara berpikir estetik di dalam seni. Novel-novel, puisi, syair, drama, lukisan, patung hasil pahatan, dan bangunan-bangunan yang punya ciri estetik, kesemuanya itu telah mempengaruhi berbagai bentuk perubahan sosial di dalam masyarakat, lebih dari abad-abad sebelumnya. Tempat yang dulu dengan nyaman diduduki oleh para agamawan, filsuf, dan ilmuwan, kini ditempati oleh para penyair, penulis novel, dan seniman.[18] “Apa yang para pemikir Romantik ekspresikan sebagai klaim bahwa imajinasi, dan bukan akal budi, adalah fakultas manusia yang paling utama,” demikian Rorty, “adalah suatu bentuk realisasi dari kemampuan orang untuk berbicara berbeda, dan bukan berargumentasi secara baik, yang sekaligus merupakan elemen utama perubahan budaya.”[19]

Di dalam ruang publik, kebenaran tidak lagi ditemukan, melainkan dirumuskan secara bersama-sama. Kecenderungan untuk merumuskan semacam kriteria filosofis-rasional guna menentukan apa yang dimaksud dengan ‘esensi dunia’ dan ‘esensi manusia’ telah ditinggalkan. Kecenderungan semacam itu adalah kecenderungan berpikir para filsuf tradisional yang secara jelas ingin ditinggalkan oleh Rorty. Apa yang disebut kebenaran lebih merupakan sesuatu yang dirumuskan, dan bukan sesuatu yang sudah ada di sana, serta siap untuk direngkuh untuk diketahui. Pengetahuan manusia sepenuhnya dimediasi dan mengharuskan adanya bahasa. Bahasa juga sudah selalu merupakan sebuah hasil konstruksi sosial. Kebenaran pun sudah selalu merupakan bentukan bahasa yang juga sudah selalu merupakan hasil kreasi manusia. Oleh karena itu, kebenaran sifatnya kontingen, sama kontingennya seperti perubahan pemahaman bahasa itu sendiri.[20]

Dengan menekankan peran penyair dalam proses pembentukan solidaritas sosial di dalam ruang publik, Rorty tidak hanya mau mengubah konstelasi peran sosial di dalam masyarakat, tetapi ia juga mengajak kita untuk “…mengubah cara kita berbicara, dan dengan demikian mengubah apa yang ingin kita lakukan, dan apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri.”[21] Dengan mengubah cara kita ‘berbicara’, berarti kita juga mengubah identitas kita sebagai manusia. Di dalam ruang publik, masalah-masalah yang muncul tidak lagi dipandang sebagai masalah filosofis tentang politik, ekonomi, ataupun kehidupan sosial, tetapi lebih merupakan masalah poetik (poetic problems). Artinya, permasalahan yang ada tidaklah berkaitan dengan akar fundamental dari pemahaman tentang realitas ataupun tentang manusia, tetapi lebih merupakan masalah ‘penggunaan metafora-metafora’ (metaphors) yang berbeda untuk menjelaskan dan memahami realitas. “Sebuah kesadaran tentang sejarah manusia sebagai sejarah tentang metafora-metafora yang diteruskan”, demikian Rorty, “akan membuat kita melihat para penyair, dalam arti yang umum sebagai sang pencipta dunia-dunia baru, yang menajamkan bahasa-bahasa baru, dan sebagai barisan depan spesies-spesies.”[22]

Di dalam ruang publik, seperti sudah sedikit disinggung sebelumnya, konsep kebenaran tidak lagi merupakan sesuatu yang berada di luar waktu dan bersifat universal, tetapi lebih merupakan sebagai “tentara metafor-metafor yang terus bergerak” (mobile army of metaphors). Artinya, upaya kita untuk merumuskan kebenaran yang berlaku untuk semua manusia dan untuk semua konteks haruslah ditinggalkan. Dalam arti itu hanya para penyairlah yang sungguh-sungguh mampu menyadari aspek kontingensi dari kebenaran. Orang-orang pada umumnya selalu terjebak pada kecenderungan untuk menjadi filsuf, yang hendak merumuskan esensi universal dari realitas yang ada di hadapan mereka. “Kita,” demikian Rorty, “dikutuk untuk menggunakan hidup sadar kita mencoba untuk melarikan diri dari kontingensi daripada, seperti para penyair, mengakui dan mengizinkan kontingensi.”[23] Rorty memperoleh argumen semacam ini dari pemikiran Nietzsche. Perbedaan antara para penyair di satu sisi dan orang-orang pada umumnya di sisi lain adalah perbedaan antara manusia yang sesungguhnya di satu sisi, dan binatang di sisi lain. Walaupun para penyair tetaplah merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan alam, sama seperti binatang, tetapi mereka mampu merumuskan serta menyampaikan refleksi mereka atas dunia dengan cara-cara baru yang belum pernah digunakan sebelumnya. Di dalam ruang publik, perbedaan antara orang kuat dan orang lemah dipandang sebagai perbedaan antara orang-orang yang menggunakan kosa kata baru untuk medeskripsikan realitas di satu sisi, dan orang-orang yang masih terjebak pada kosa kata lama. Perubahan di dalam pemahaman tentang realitas bukanlah tanda kemajuan pengetahuan manusia, tetapi merupakan perubahan cara menggunakan metafor untuk mendeskripsikan realitas yang ada.[24]

Di dalam ruang publik, perubahan politik tidak lagi dipandang sebagai suatu perubahan yang rasional, tepat karena kriteria apa yang rasional dan apa yang tidak rasional tersebut tidak lagi bisa dipastikan. Menurut Rorty, ketika kita menyadari hal ini, maka kita tidak akan lagi menggunakan kata-kata berikut: “rasional”, “kriteria”, “argumen”, “fondasi”, dan “absolut”. Ruang publik yang dirumuskan Rorty adalah ruang publik liberal plus kesadaran akan kontingensi radikal dari realitas, di mana segala sesuatu diperbolehkan untuk mengalir, bergerak, dan merumuskan apa yang sesungguhnya menjadi keprihatinan bersama. Pertanyaan dasarnya tidak lagi, “bagaimana kamu sampai pada pengetahuan, atau bagaimana kita dapat sampai pada kebenaran?”, tetapi lebih “mengapa kita membicarakan pengetahuan dan kebenaran dengan cara-cara yang kita gunakan sekarang?”[25]

Ruang publik menurut Rorty adalah juga merupakan ruang publik liberal. Di dalam masyarakat liberal, politik persuasi jauh lebih penting daripada politik represi. Persuasi melalui argumentasi adalah sentral. Represi dengan menggunakan senjata dan sensor ditolak. Hal ini menandakan adanya keterbukaan pemikiran di dalam masyarakat liberal tersebut. Akan tetapi, ruang publik yang liberal dalam arti umum masih membutuhkan semacam pengandaian filosofis, bahwa manusia itu merupakan mahluk yang pada esensinya adalah bebas. Hal inilah yang ingin ditolak oleh Rorty. Ruang publik, dengan demikian, adalah ruang publik liberal minus asumsi metafisis tentang apa itu manusia.

4. Kesimpulan

Seperti sudah dilihat sebelumnya, Rorty hendak menggabungkan proses dekonstruksi terhadap semua bentuk fondasi metafisis di satu sisi, serta komitmen politik terhadap institusi dan praktek-praktek demokrasi liberal di sisi lain.[26] Salah satu aspek penting di dalam argumen ini adalah distingsi tegas yang dibuat oleh Rorty antara ruang publik dan ruang privat. Ruang privat, menurutnya, adalah ruang, di mana setiap orang bebas untuk mengejar cita-cita dan rencana pribadinya. Ruang privat adalah ruang kreasi diri (self-creation). Di dalamnya, setiap orang berhak untuk mewujudkan semua pemikirannya tentang apa itu hidup yang baik. Setiap orang berhak untuk mewujudkan fantasi-fantasi personalnya di dalam ruang privat. Sementara, di dalam ruang publik, orang harus memperhitungkan pendapat dan pemikiran orang lain. Sebagai warga negara di dalam ruang publik, setiap orang haruslah bekerja sama untuk menciptakan kehidupan yang harmonis, toleran, dan mendukung kebahagiaan dari orang-orang yang memiliki pandangan dunia yang berbeda.

Di dalam ruang publik, para penyair, jurnalis, dan penulis novel telah menduduki tempat yang sudah selama berabad-abad diduduki oleh para filsuf. Para penyair dan penulis novel berhasil mengartikulasikan penderitaan manusia ke dalam bahasa-bahasa fiksi dan metafor, serta mendorong kemajuan moral di dalam masyarakat. Di dalam tulisan-tulisan merekalah makna dari kehidupan bisa ditemukan. Keutamaan moral dirumuskan di dalam ruang privat para penyair dan penulis novel, serta kemudian berkembang di dalam ruang publik.

Ruang publik para penyair adalah ruang untuk bercerita tentang semua bentuk penderitaan yang dialami manusia. Cerita-cerita ini memang berangkat dari ruang privat, tetapi alirannya menggaung di dalam kehidupan publik, dan menjadi bagian dari ruang publik. Mata kita seolah terbuka terhadap penderitaan yang dialami banyak manusia, ketika kita membaca tulisan-tulisan para penyair dan penulis novel. Solidaritas pun tumbuh. Kepekaan sosial mulai tercipta. Penderitaan yang sesungguhnya hanya dapat dirasakan dan direfleksikan di dalam syair, puisi, dan novel. Apa yang disebut sebagai keresahan tentang kebaikan publik (public good) pun tidak muncul di dalam diskusi-diskusi rasional, melainkan dari halaman-halaman yang ditulis oleh para novelis dan penyair. Narasi tentang hak-hak asasi manusia tidak lagi didasarkan pada fondasi metafisis tentang manusia, melainkan teriakan dalam hati yang muncul gambaran manusia yang menderita dan terhina.

Di dalam ruang publik, konsep kebenaran tidak lagi merupakan sesuatu yang berada di luar waktu dan bersifat universal. Kebenaran lebih dipandang sebagai “tentara metafor-metafor yang terus bergerak” (mobile army of metaphors). Artinya, upaya kita untuk merumuskan kebenaran yang berlaku untuk semua manusia dan untuk semua konteks haruslah ditinggalkan. Dalam arti itu hanya para penyairlah yang sungguh-sungguh mampu menyadari aspek kontingensi dari kebenaran. Orang-orang pada umumnya selalu terjebak pada kecenderungan untuk menjadi filsuf, yang hendak merumuskan esensi universal dari realitas yang ada di hadapan mereka. Di dalam ruang publik para penyair, perbedaan antara orang kuat dan orang lemah dipandang sebagai perbedaan antara orang-orang yang menggunakan kosa kata baru untuk medeskripsikan realitas di satu sisi, dan orang-orang yang masih terjebak pada kosa kata lama. Perubahan di dalam pemahaman tentang realitas bukanlah tanda kemajuan pengetahuan manusia, tetapi merupakan perubahan cara menggunakan metafor untuk mendeskripsikan realitas yang ada. Menurut Rorty, ruang publik adalah suatu arena tempat setiap orang untuk mengartikulasikan penderitaan dengan menggunakan metafor-metafor yang kontingen dan berbeda.

5. Tanggapan Terhadap Pemikiran Rorty

Sikap sinis Rorty terhadap semua bentuk klaim kebenaran yang mendasarkan diri pada pengandaian mengenai hakekat manusia mengundang kritik dari berbagai pihak. Bagi para filsuf di abad ke-20, Rorty dijuluki sebagai seorang filsuf yang sembrono dan destruktif. Simon Blackburn, salah seorang filsuf Inggris asal Cambridge, menanggapi keengganan Rorty untuk terlibat dalam perdebatan filosofis sebagai “bakat yang yang luar biasa untuk membungkuk, menghindar, dan bersembunyi di balik asap.”[27]

Salah satu titik kritik utama para filsuf adalah, bahwa Rorty menolak semua bentuk filsafat sebelumnya, yang sebenarnya justru mendefinisikan cara berpikir filosofis di era sekarang. Memang, Rorty memahami filsafat tradisional sebagai suatu refleksi teoritis yang bertujuan untuk menyediakan jawaban yang bersifat konklusif sekaligus didasarkan pada argumentasi rasional terhadap pertanyaan-pertanyaan dasar yang diwariskan oleh sejarah peradaban manusia. Jika dipahami seperti itu, maka sebenarnya filsafat pada hakekatnya bersifat fondasionalistik dan esensialis. Inilah cara berpikir yang disebut Nietzsche sebagai cara berpikir Platonisme. Bagi Rorty, kita harus meninggalkan cara berpikir semacam ini. Filsafat dapat tetap berkembang tanpa harus menggunakan metode Platonis tersebut. Rorty berpendapat bahwa cara berpikir Platonis tersebut sangat mirip dengan cara berpikir filsafat abad pertengahan, yang mengklaim mampu mengetahui realitas yang independen di luar diri manusia, yakni Tuhan beserta semua kehendak maupun perintahNya. Konsekuensi terjauhnya adalah, manusia menjadi budak dari realitas yang berada independen dari manusia tersebut. Dalam konteks ini, Rorty berpendapat bahwa filsafatnya sangat mirip dengan filsafat Sartre, yakni untuk melihat apa yang terjadi, “jika kita mencoba menarik kesimpulan penuh dari posisi seorang ateis yang konsisten”.[28] Tugas filsafat tidak lagi berusaha menampilkan entitas-entitas yang berada di luar diri manusia secara konseptual, melainkan berupaya terus menerus untuk memperbesar kebebasan manusia, dan memperluas kemungkinan untuk terus menafsirkan dan memahami diri (self)-nya.

Jika kita mencoba membaca langsung tulisan-tulisan Rorty, kita akan mendapatkan kesan bahwa kemampuan retorikal yang dimilikinya memang sangatlah kuat. Dengan kemampuan retorikalnya, Rorty mengajak kita untuk mengubah cara kita berpikir tentang dunia maupun tentang diri kita. Misalnya, pada satu waktu, ia mencoba memaparkan pandangan salah satu filsuf yang hendak dikritiknya, sehingga kita bisa langsung tahu bahwa pandangan filsuf tersebut tidak tepat. Pada waktu yang lain, ia seringkali mengajukan argumen yang bertentangan secara langsung dengan pandangan filsuf yang sedang dibahasnya. Dalam hal ini, Rorty tampaknya mengabaikan keketatan logika dan argumentasi yang dirumuskan oleh para filsuf yang hendak dikritiknya. Bagi filsuf yang masih percaya pada adekuasi pandangan filsafat tradisional, memang apa yang dilakukan Rorty ini tampak seperti menghindar dan bersembunyi di balik asap.[29]

Untuk memahami Rorty secara lebih tepat, kita harus memahami tujuan dari filsafatnya. Ia hendak mengganti Filsafat, dengan huruf “F” besar, dengan filsafat, yakni filsafat dengan huruf “f” kecil. Filsafat yang dirumuskannya adalah apa yang disebut sebagai minimalisme filosofis (philosophical minimalism). Ia sangat yakin, bahwa apa yang disebut filsafat selama ini lebih merupakan suatu pemecahan terhadap teka teki (puzzle solving), tidak berguna (useless), tidak memiliki relevansi langsung dengan kehidupan orang sebenarnya, dan sangat berpotensi untuk merusak, yakni membekukan budaya dan memutus rangkaian pencarian epistemis lebih jauh. Daripada sibuk menyusun argumentasi-argumentasi filosofis yang rumit, Rorty mengajak kita untuk melihat realitas secara pragmatis, dan memahami apa yang terjadi sedapat mungkin secara jernih. Rorty sering menulis begini, “Marilah kita mencoba suatu cara berpikir yang baru”, atau “mari kita lihat apa yang terjadi, jika kita mencoba dengan cara ini”. Dengan demikian, Rorty lebih memilih untuk merumuskan cara berpikir baru daripada melanjutkan perdebatan klasik yang telah ada sepanjang sejarah filsafat.

Akan tetapi, saya pribadi tidak puas dengan argumentasi Rorty yang memang tampak seperti “mengelak” dari perdebatan tersebut. Saya sendiri merasa, bahwa jika Rorty masih tetap berpikir dengan menggunakan pola minimalisme filosofisnya, maka ia justru akan kehilangan hakekat dan faktor-faktor penting yang membuat filsafat sungguh dapat memberikan makna bagi kehidupan manusia. Upayanya untuk dapat merumuskan suatu ‘cara berpikir baru’ justru akan menjadi sia-sia, jika ia melepaskan segala sesuatu yang justru dianggap bernilai di dalam kehidupan manusia. Jean Bethke Elshtain, seorang komentator Rorty, berpendapat bahwa apa yang dirumuskan Rorty terlalu dangkal untuk bisa membuat orang lain bisa memahami diri maupun dunia mereka. Konsep Rorty tentang manusia dan kesadaran moralnya tampak terlalu dangkal dan superfisial untuk dihayati. Jika diterapkan, konsep tersebut tidak akan bisa menjelaskan mengapa ada orang yang bersedia mati demi cita-cita mereka, serta mampu memiliki kesetiaan pada kewajiban mereka, entah sebagai warga negara, ataupun sebagai orang tua misalnya.

Di dalam buku Contingency, Irony, and Solidarity, Rorty merumuskan konsep yang disebutnya sebagai ‘kosa kata-kosa kata final’ (final vocabularies), yakni suatu klaim bahwa ada berbagai macam orientasi fundamental di dalam kehidupan manusia, di mana orang bisa hidup dan berkembang. Kosa kata final inilah yang menjadi titik tolak bagi seseorang untuk mengekspresikan pandangan-pandangan maupun aspirasinya. Jadi, orang bisa menyatakan bahwa saya merasa “senang”, “sedih”, atau saya berpendapat bahwa anda adalah seorang yang “pintar”, “memalukan”, atau “mulia” dengan mengacu pada tolok ukur fundamental yang orang tersebut yakini. Tolok ukur fundamental itulah kriteria yang diyakini secara subyektif, dan kemudian digunakan untuk mengekspresikan pikiran-pikiran seseorang. Jika kita melihat orang yang menolak penindasan buruh, maka cukuplah kita melihat dan memahami kosa kata final yang diyakini orang itu. Dan sebagai seorang yang mengidealkan nilai-nilai ironisme liberal, Rorty berpendapat bahwa kosa kata final seseorang juga bersifat kontingen, yakni suatu produk dari konstruk sosial tertentu yang tentu saja dapat berubah.[30]

Akan tetapi, pada hemat saya, argumen Rorty tidaklah cukup untuk menjelaskan keterlibatan seseorang pada suatu nilai tertentu yang mendorong dia, mungkin saja, untuk mengorbankan dirinya sendiri. Rorty tidak berhasil menjelaskan, mengapa seseorang bisa mengorbankan segalanya untuk mewujudkan apa yang ia anggap sebagai benar. Ia hanya menjelaskan, bahwa seseorang ‘menggunakan kosa kata tertentu’ yang membuat dia melakukan suatu hal yang mungkin saja bertentangan dengan akal sehat. Dengan argumentasi ini, Rorty kehilangan nuansa makna yang justru sebenarnya sangat fundamental untuk memahami komitmen moral seseorang, yang mendorongnya untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Kedalaman pemahaman tentang makna dan komitmen inilah yang, menurut saya, kurang direfleksikan oleh Rorty.

Pada hemat saya, kritik paling dalam yang juga dapat diajukan bagi konsep ruang publik maupun filsafat politik Rorty adalah konsepsinya tentang peran filsuf dan para teoritikus sosial di dalam masyarakat yang sangat bersifat minimalis dan reduktif. Seperti yang sudah dipaparkan di tulisan ini, Rorty berpendapat bahwa tugas memahami penderitaan manusia, dan kemudian menyebarkan kesadaran akan penderitaan tersebut tidak lagi berada di pundak para filsuf dan teoritikus sosial, tetapi kini menjadi tugas para novelis, jurnalis, dan para penyair. Hanya merekalah yang dapat sungguh memahami kompleksitas realitas kehidupan manusia. Mungkin, Rorty berpendapat bahwa para filsuf dan para teoritikus sosial mudah sekali jatuh ke dalam cara berpikir yang hendak merumuskan metafisika tentang penderitaan, dan tepat inilah yang ditolak oleh Rorty. Akan tetapi, bukankah jauh lebih baik jika dikatakan, bahwa semua pihak sekarang ini haruslah diberikan ruang secukupnya untuk mengartikulasikan realitas yang mereka hayati, dan kemudian mengajak orang untuk lebih memahami mereka? Alih-alih mereduksikan peran memahami dan mendeskripsikan penderitaan hanya kepada para novelis, jurnalis, dan penyair, bukankah lebih baik setiap orang punya hak dan kewajiban untuk mengartikulasikan penderitaan mereka, juga dengan ‘bahasa-bahasa’ yang mereka yakini?

Lepas dari itu, satu hal yang juga, menurut saya, cukup bisa dipelajari dari pemikiran Rorty adalah keberaniannya untuk merumuskan suatu bentuk ‘cara berpikir’ yang baru. Ia mengajak kita untuk melihat berbagai hal dengan sudut pandang yang baru, yakni cara berpikir kontingen. Cara berpikir ini dibangun atas dasar kesadaran, bahwa realitas dan segala sesuatu yang ada di dalamnya bersifat kontingen. Artinya, segala sesuatu itu bersifat tidak pasti, terbuka pada perubahan. Konsep ruang publik pun, di mana wacana tentang keadilan dan solidaritas berkembang, juga selalu bersifat kontingen. Keadilan dan solidaritas tersebut mengalir di dalam artikulasi para penulis novel, penyair, dan jurnalis. Dari tulisan mereka, kita bisa sungguh memahami apa arti penderitaan, keadilan, dan solidaritas sebenarnya. Melalui tulisan mereka jugalah, menurut Rorty, kita bisa memahami apa arti kehidupan.***


Daftar Pustaka

Charles Guignon dan David R. Hiley, Richard Rorty, Cambridge, Cambridge University Press, 2003.

Grange, Joseph, “The Disappearance of the Public Good: Confusius, Dewey, and Rorty”, dalam Philosophy East & West, Volume 46, Number 3, July 1996, hal. 351-366.

O’Neill, Shane, “Private Irony and the Public Hope of Richard Rorty’s Liberalism”, dalam Public & Private. Legal, Political, and Philosophical Perspectives, Maurizio Passerin d’Entrèves dan Ursula Vogel (ed), London, Routledge, 2000

Rorty, Richard, Contingency, Irony, and Solidarity, Cambridge, Cambridge University Press, 1989.

Wattimena, Reza A.A, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta, Kanisius, 2007

http://en.wikipedia.org/wiki/Public_sphere

http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/136


[2] Lihat, Reza A.A Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta, Kanisius, 2007, hal. 97-150.

[3] Bdk, Ibid.

[4] Saya menggunakan Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity, Cambridge, Cambridge University Press, 1989.

[5] Lihat, Charles Guignon dan David R. Hiley, Richard Rorty, Cambridge, Cambridge University Press, 2003, hal. 24.

[6] Ibid, hal. 25.

[7] Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity, hal. xv, seperti dikutip oleh ibid, hal. 26.

[8] Ibid.

[9] Rorty, Contingency…., hal. 192. dalam ibid.

[10] Grange, Joseph, “The Disappearance of the Public Good: Confusius, Dewey, and Rorty”, dalam Philosophy East & West, Volume 46, Number 3, July 1996, hal. 359.

[11] Ibid.

[12] Hall, 1994, hal. 230-236, dalam Grange, 1996, hal. 360.

[13] Ibid.

[14] Richart Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity, Cambridge, Cambridge University Press, 1989, hal. xv, dalam Grange, ibid.

[15] Rorty, 1989, hal. xvi.

[16] Lihat, ibid.

[17] Keterangan lebih jauh dapat dilihat dalam http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/136

[18] Lihat, Rorty, 1989, hal. 3.

[19] Ibid, hal. 7.

[20] Lihat, ibid.

[21] Ibid, hal. 20.

[22] Ibid.

[23] Ibid, hal. 28.

[24] Lihat, ibid, hal. 29.

[25] Lihat, ibid, hal. 51.

[26] Lihat, Shane O’Neill, “Private Irony and the Public Hope of Richard Rorty’s Liberalism”, dalam Public & Private. Legal, Political, and Philosophical Perspectives, Maurizio Passerin d’Entrèves dan Ursula Vogel (ed), London, Routledge, 2000, hal. 51.

[27] Simon Blackburn, “The Professor of Complacence”, dalam The New Republic, 225, 20 Agustus, 2001, hal. 39-42, dalam Guignon dan Hiley, 2003, hal. 30.

[28] Ibid.

[29] Ibid.

[30] Lihat, ibid, hal. 37.

Ingatan Sosial, Trauma, dan “Maaf”: Sebuah Refleksi untuk Indonesia

Ingatan Sosial, Trauma, dan “Maaf”

Sebuah Refleksi untuk Indonesia

Reza A.A Wattimena[1]

“One may say that the individual remembers by placing himself in the perspective of the group, but one may also affirm that

the memory of the group realizes

and manifests itself in individual memories.”

Maurice Halbwachs

Abstract: In this paper, I will explore the concept of social memory through three perspectives, namely philosophy, history, and social psychology. Social memory is the accumulation of individual memory, and beyond. It means that, social memory have its ontological status which different compare to individual memory. Social memory contains both kind of memories, the memories of positive events in the past, and the memories traumatic negative events. In Indonesia, the memory of traumatic events buried deeply. This act will change the social memory concerning traumatic events to social trauma. This kind of trauma will create further crises in Indonesia, namely the identity crisis, nationalism crisis, and will create the culture of fear. In the end, the people of Indonesia will have to uplift and maintain its social memories, and forgive all the traumatic events that already happened in the past.

Kata-kata Kunci: Ingatan, Ingatan Sosial, Trauma Sosial, Identitas Sosial, Maaf.

Pendahuluan

Michel de Montaigne pernah menulis, “ingatan memberikan tahu kepada kita bukan apa yang kita pilih, tetapi apa yang menyenangkan kita.”[1] Sementara, kelupaan, sebagaimana ditulis oleh Plutarch, mengubah setiap peristiwa menjadi bukan-peristiwa (non-occurrence).[2] Kelupaan melenyapkan peristiwa. Tentu saja, pandangan Plutarch dan Montaigne tersebut masih mendasarkan dirinya pada pengandaian, bahwa ingatan adalah suatu organ yang berfungsi untuk melihat ke masa lalu, sama seperti mata adalah organ untuk melihat ke masa sekarang. Dalam arti ini, ingatan adalah suatu sumber pengetahuan, semacam mesin waktu yang memungkinkan kita bisa melihat kembali masa lalu.

Akan tetapi, ingatan bukanlah sebuah sumber pengetahuan yang memadai. Menjadikan ingatan sebagai sumber pengetahuan adalah suatu tindakan yang penuh dengan resiko. Ingatan selalu muncul di masa sekarang, dan keberadaannya selalu dipenuhi dengan ambiguitas. Ingatan tidaklah pernah sungguh akurat. Ingatan selalu bercampur dengan imajinasi dan spekulasi yang seringkali berbeda dengan fakta.

Dalam konteks hukum misalnya, kesaksian dari seorang korban ataupun saksi mata dapat dengan mudah menjadi tidak bisa diandalkan. Pengadilan hukum yang ideal sedapat mungkin menggabungkan berbagai saksi dari satu peristiwa yang sama untuk memperoleh gambaran yang lebih akurat. Memang, kesaksian dari orang kedua dapat sangat membantu, walaupun dua orang yang berbeda bisa menceritakan dua versi yang berbeda pula tentang satu peristiwa yang sama. Ingatan dapat berubah. Ingatan dapat menjadi semakin detil, atau justru semakin kabur. Ingatan juga terus mengalami distorsi dengan berlalunya waktu.

Akan tetapi, walaupun ingatan adalah suatu bentuk sumber pengetahuan yang amat meragukan, peran ingatan di dalam pembentukan intelektualitas maupun identitas seseorang amatlah besar. Intelektualitas seseorang sangatlah terkait dengan ingatan. Ketidakmampuan seseorang untuk mengakses informasi terkait dengan pengalaman masa lalunya dapat menghalangi perkembangan mentalnya. Hal yang sama kurang lebih berlaku di dalam proses pembentukan identitas. Ketika seseorang kehilangan ingatannya, maka ia sekaligus kehilangan jati dirinya. Apa yang membuat orang tetap sama seumur hidupnya adalah kumpulan ingatan yang ia bawa sepanjang hidupnya. Ketika ingatan ini hilang, ia bisa kehilangan individualitasnya, dan menjadi orang yang sama sekali berbeda.

Di sisi lain, orang yang memiliki terlalu banyak beban ingatan juga tidaklah menguntungkan. Di dalam cerita Funes and the Memorious, Jorge Luis Borges menggambarkan kegelisahan seseorang yang tidak dapat melupakan apapun. Orang tersebut tersiksa oleh beban ingatannya yang sangat akurat dan tajam. Sholem Asch, salah seorang korban holocaust di Jerman, pernah menulis, “bukan hanya kekuatan untuk mengingat, tetapi justru kebalikannya, eksistensi kita memerlukan juga kemampuan untuk melupakan.”[3] Kebenaran dari pernyataan ini pada akhirnya diakui juga oleh para korban holocaust lainnya. Kemampuan untuk melupakan merupakan kemampuan yang sangat penting demi terciptanya proses penyembuhan dari trauma sosial, yang diakibatkan oleh terjadinya peristiwa negatif traumatis di level sosial, seperti perang ataupun genosida.

Aeschylus menyebut ingatan sebagai “Ibu dari semua permenungan”.[4] Para pemikir Yunani sering menyebut permenungan dengan kata Mneiai, yang berarti kenangan. Dalam arti ini, ingatan tidaklah pernah merupakan kegiatan yang sungguh-sungguh personal. Ingatan adalah suatu tindakan sosial. Tanpa aspek sosial ini, kita tidak akan pernah menemukan tulisan-tulisan, musik, sejarah, ataupun ilmu pengetahuan, karena semua ini berpijak pada ingatan yang terkumpul, yakni perkembangan dari proses pembelajaran atas kesalahan-kesalahan sebelumnya. Ingatan sosial memiliki ontologi yang membedakannya secara tegas dari ingatan personal, walaupun ingatan sosial tersebut terbentuk dari kumulasi maupun distribusi dari ingatan personal.

Ingatan sosial yang dikubur akan menghasilkan trauma sosial. Trauma sosial ini akan mempengaruhi mentalitas kultural suatu bangsa, sekaligus menciptakan krisis identitas. Maka adalah merupakan suatu imperatif, bahwa trauma, baik pada level sosial maupun pada level personal, haruslah dilampaui. Pelampauan tersebut tentu saja membutuhkan waktu tersendiri yang tidak bisa ditentukan sebelumnya.

Lima puluh tahun setelah perang dunia kedua berakhir, semua fakta terkait dengan kekejaman NAZI di Jerman telah menjadi bagian dari pengetahuan publik. Banyak penelitian dilakukan oleh para ilmuwan untuk menjabarkan apa yang sesungguhnya terjadi pada masa-masa itu. Walaupun fakta dan data telah terkumpul, serta keabsahannya telah diakui, proses pencairan trauma sosial yang terjadi tetap membutuhkan usaha yang besar dan waktu yang panjang. Semakin banyak data terungkap, baik mengenai penderitaan orang-orang Yahudi, lokasi kamp-kamp konsentrasi, dan pembunuhan massal jutaan laki-laki, perempuan, orang tua, dan anak-anak yang mungkin masih terlalu kecil untuk berjalan, semakin besar pula kegelisahan moral yang terjadi. Semua upaya ini perlu dan harus untuk terus dilakukan. Ini adalah upaya pemulihan dan pelestarian ingatan sosial. Dari ingatan sosial ini, kita bisa belajar untuk memotong akar-akar dari rasisme, nasionalisme semu, dan fundamentalisme yang sampai sekarang masih terlihat di dalam konflik massal di beberapa belahan dunia, seperti Tibet, Rwanda, Indonesia, dan di Balkan.

Dengan cita-cita inilah berbagai gerakan yang mendukung penegakan hak-hak asasi manusia tumbuh dan berkembang. Dan juga dengan cita-cita inilah semua perjuangan untuk melestarikan ingatan sosial terus dilakukan untuk melawan semua bentuk kelupaan sejarah dan campur tangan politik di dalamnya. Inilah cita-cita kemanusiaan yang seutuhnya. Cita-cita yang juga menjadi bagian dari perjuangan pemulihan dan pelestarian ingatan sosial. Cita-cita yang harus terus diperjuangkan, sampai holocaust, dimanapun di dunia ini, tidak lagi mungkin untuk terjadi. [5]

Di dalam tulisan ini, saya akan mencoba memahami dinamika internal ingatan sosial suatu masyarakat, termasuk di dalamnya ada ciri-ciri dasar ingatan sosial, serta fungsinya. Lebih dari itu, saya akan mencoba menyoroti proses pembentukan dan pelestarian ingatan sosial di Indonesia. Argumen saya adalah, bahwa masyarakat Indonesia gagal memelihara ingatan sosialnya, dan ini mengakibatkan terjadi trauma sosial yang bermuara pada krisis identitas sosial, serta masalah-masalah sosial lainnya, seperti terciptanya kultur impunitas, krisis identitas sosial, krisis nasionalisme, dan kultur ketakutan. Ingatan sosial tidak hanya harus dipelihara, tetapi juga harus dibawa ke level hukum, dan pada proses akhir, semua trauma sosial akibat peristiwa negatif di masa lalu haruslah dimaafkan. Tindak memaafkan ini tidak hanya berhenti di level struktural-institusional, tetapi juga harus sampai pada level metafisis, yakni level terdalam kehidupan manusia. Dalam arti ini, kemampuan memaafkan haruslah sampai pada apa yang disebut Derrida sebagai, “memaafkan yang tak termaafkan”. Hanya dengan begitulah ingatan sosial bisa menjadi sumber daya positif bagi pembentukan identitas sosial manusia Indonesia, dan kemudian bisa berkontribusi menyelesaikan beragam masalah sosial-kultural yang muncul sekarang ini.

Saya banyak terinspirasi dari tulisan Halbwachs, Paez, Basabe, dan Luis Gonzalez.[6] Saya membagi tulisan ini ke dalam delapan bagian. Pada bagian berikutnya, saya akan menjabarkan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan ingatan sosial (1). Lalu, saya akan merumuskan beberapa argumen yang berkaitan dengan konsep trauma sosial (2). Pada bagian berikutnya, saya akan mencoba mengkaitkan konsep ingatan sosial dan identitas sosial (3). Saya akan memberikan beberapa kesimpulan sementara pada bagian berikutnya (4). Setelah itu, saya akan mencoba memaparkan konsep memaafkan (5) dan konsep ‘memaafkan yang tak termaafkan’ dalam konteks menghadapi berbagai trauma sosial (6). Pada bagian berikutnya, saya akan mencoba menyoroti situasi Indonesia dengan berdasarkan kerangka teori yang ada (7). Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan (8). Selamat membaca!

1. Ingatan Sosial

Menurut Halbwachs, ingatan sosial suatu kelompok dapat mendorong terciptanya kohesi sosial. Ingatan sosial juga menciptakan identitas sosial sekaligus memberikan alasan atas semua tindakan maupun kebutuhan sosial suatu kelompok. Semua itu hanya bisa terjadi, jika ingatan sosial berkembang menjadi ‘peringatan’ (commemoration) yang diulang terus menerus. Akan tetapi, hal ini hanya lazim untuk bentuk-bentuk ingatan sosial yang positif. Misalnya, setiap tahun kita merayakan hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus. Peristiwa-peristiwa sosial yang negatif-traumatis biasanya tidak menjadi bagian dari peringatan sosial (social commemoration). Inilah yang disebut Halbwachs sebagai ‘peristiwa politik traumatis’ (traumatic political event), atau apa yang saya sebut sebagai ‘trauma sosial’ (social trauma). Trauma sosial adalah ingatan sosial yang membisu, ditekan, dipaksa untuk dilupakan, dan pada akhirnya memecah belah suatu masyarakat.[7]

Di dalam penelitiannya, Paez, Basabe, dan Gonzalez berpendapat bahwa ada relasi yang sangat dekat antara ingatan sosial atas peristiwa-peristiwa negatif masa lalu di satu sisi, dan tindakan sosial negatif yang terjadi di masyarakat pada masa sekarang di sisi lain. Dalam konteks Indonesia misalnya, kultur impunitas terhadap para pelanggar hukum dan krisis nasionalisme tampaknya bisa disebabkan oleh ketidakmampuan bangsa ini untuk menghadapi masa lalunya sendiri, dan membentuk identitasnya melalui ingatan sosial. Inilah yang dsebut sebagai ‘konspirasi kebisuan’ (conspiracy of silence). Konspirasi kebisuan inilah yang memainkan peranan penting di dalam membentuk kultur masyarakat kita sekarang ini. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang punya tendensi untuk membisu ketika berbicara tentang masa lalunya, dan akibatnya identitasnya pun terbentuk di dalam kebisuan.

Di dalam tulisannya, Swindler dan Arditi berpendapat bahwa ingatan sosial pada dasarnya sama dengan ingatan kolektif.[8] Ingatan kolektif adalah konsep yang menggambarkan bagaimana suatu masyarakat dapat mengingat, melupakan, atau menempatkan kembali pengetahuan tentang masa lalu mereka. Jadi, ingatan kolektif adalah adalah ingatan masyarakat. Sementara, ingatan sosial dapat dipandang sebagai pengaruh dari faktor-faktor sosial di dalam pembentukan ingatan individual di dalam masyarakat. Ada tiga arah penelitian berkaitan dengan tema ingatan sosial dan ingatan kolektif.

Pertama, para sejarahwan dan para sosiolog berupaya menggambarkan bagaimana masa lalu suatu masyarakat dikonstruksi dan dipahami untuk bisa mengerti situasi sosial dan identitas sosial masyarakat tersebut.[9] Misalnya, orang-orang Israel melihat peristiwa pemberontakan bersenjata bangsa Yahudi melawan kekaisaran Romawi di Massada sebagai bagian dari proses pembentukan Tsahal, angkatan bersenjata Israel sekarang ini. Penafsiran ulang atas sejarah ini adalah salah satu bentuk untuk mempertegas identitas bangsa, sekaligus menjadi legitimasi bagi pendirian negara Israel dewasa ini.

Pendekatan kedua refleksi ingatan sosial dan ingatan kolektif hendak menganalisis faktor-faktor, yang memungkinkan peristiwa-peristiwa sosial tertentu diingat atau bahkan dilupakan dari ingatan sosial. Biasanya, suatu peristiwa sosial bisa menjadi bagian dari ingatan sosial, jika peringatan atas peristiwa tersebut rutin dilaksanakan. Lebih jauh dari itu, suatu peristiwa biasanya bisa menjadi bagian dari ingatan sosial, jika peristiwa tersebut dapat membawa perubahan pada aspek-aspek penting kehidupan bersama. Misalnya, sampai sekarang, rakyat Perancis masih merasakan dampak dari pembunuhan Raja Louis XVI pada masa Revolusi Perancis 1793. Masih banyak rakyat Perancis yang menyesali kejadian tersebut.

Pendekatan ketiga lebih tertarik untuk melakukan analisis mengenai faktor-faktor tertentu, yang membuat suatu peristiwa dicap sebagai peristiwa negatif, dan kemudian dilenyapkan dari ingatan sosial. Peristiwa tersebut tidak diperingati sebagai bagian dari ingatan sosial yang tetap harus dipelihara. Dengan kata lain, peristiwa itu tidaklah dianggap ‘penting’. Konflik di dalam masyarakat mengenai status dan makna dari peristiwa ‘terlarang’ di masa lalu ini dapat dengan mudah ditemukan di negara Chile, Argentina, Spanyol, dan, tentu saja, Indonesia. Pertanyaan dasanya tetap, apakah ‘konspirasi kebisuan’, seperti penyangkalan terhadap terjadinya pembantaian massal di Indonesia, sungguh mempengaruhi ingatan sosial, dan nantinya juga mempengaruhi persepsi individu tentang identitas sosialnya?

2. Trauma Sosial

Peristiwa-peristiwa negatif, yang sangat jarang terjadi di dalam ritme kehidupan normal, sering dikategorikan sebagai peristiwa-peristiwa traumatis. Peristiwa traumatis ini mempengaruhi secara mendalam masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok. Perang, tragedi politik, krisis ekonomi, depresi ekonomi, dan berbagai ‘situasi krisis’ lainnya adalah peristiwa-peristiwa yang turut membentuk identitas sosial, dan mempengaruhi proses reproduksi maupun rekonstruksi budaya di suatu masyarakat. Di negara-negara yang pernah mengalami masa-masa pemerintahan diktatorial, kultur ketakutan (culture of fear) dan penyangkalan terhadap semua bentuk kejahatan banyak ditemukan. Di dalam masyarakat tersebut, konspirasi kebisuan terjadi secara massal. Berbagai peristiwa traumatis, seperti terjadinya penculikan, penyiksaan, dan kekerasan massal, tidak lagi diingat. Peristiwa kekerasan yang berulang menciptakan kultur ketakutan, yang pada akhirnya memangkas kemampuan masyarakat tersebut untuk melakukan komunikasi yang sehat satu sama lain. Tidak hanya itu, gejala atomisasi individu di dalam masyarakat modern, gejala terjadinya isolasi sosial maupun prasangka antar kelompok juga secara langsung diakibatkan oleh kultur ketakutan tersebut. Misalnya, pada 1939-1975, Spanyol berada di dalam pemerintahan diktatorial. Pada masa-massa itu, banyak terjadi peristwa politik yang traumatis. Pada 1936, populasi penduduk Spanyol adalah 30 juta orang. Satu juta orang diantaranya meninggal antara 1939 sampai 1939. Itu adalah masa-masa perang saudara. Setelah perang berakhir, 200.000 tahanan politis dibunuh, dan sekitar 700.000 orang diasingkan dari Spanyol. Pada masa pemerintahan diktator di Chile, yakni pada 1873-1989, populasi Chile mencapai 10 juta orang. Sekitar 1,6 juta orang dipaksa untuk mengasingkan diri. 50.000 orang ditahan sebagai tahanan politik. Dan, 3000 orang dibunuh, atau ‘dihilangkan’.

Biasanya, setelah periode kebisuan pasca pemerintahan teror, banyak orang mulai mencari keadilan dengan pertama-tama mengartikulasikan penghinaan dan penderitaan yang mereka alami. Pada titik ini, problemnya tidak lagi terletak pada ingatan personal para korban, tetapi pada ingatan kolektif suatu bangsa yang mengalami teror tersebut. Menurut Halbwachs, ingatan sosial, atau yang disebutnya juga sebagai ingatan kolektif, adalah ingatan yang dimiliki bersama oleh suatu kelompok, kelas, ataupun suatu bangsa. Konsep ingatan sosial ini mengacu pada ingatan di tingkat masyarakat, terutama atas kejadian-kejadian yang membawa perubahan besar di dalam masyarakat tersebut. Ingatan sosial mengacu pada peristiwa-peristiwa yang memiliki dampak besar pada masyarakat, dan memaksa masyarakat tersebut mengubah institusi-institusi sosial, kepercayaan-kepercayaan (beliefs), dan nilai-nilainya. Penelitian yang dilakukan Pennebaker menunjukkan, bahwa peristiwa-peristiwa besar yang membawa perubahan besar lebih mudah menjadi bagian dari ingatan sosial, daripada peristiwa-peristiwa sehari-hari.[10] Dasar dari ingatan sosial ini adalah cerita-cerita yang dituturkan secara lisan, rumor-rumor, dan sikap sosial masyarakat yang biasanya luput dari penulisan sejarah sistematis. Ingatan sosial ini juga berbentuk pengetahuan maupun gambaran-gambaran mengenai kejadian di masa lalu yang dialami secara bersama, serta memiliki fungsi sosial.[11]

Seringkali, apa yang kita sebut sebagai ingatan sosial ini tidak pernah dialami secara individual. Data-data empiris menunjukkan bahwa selama 40 tahun terakhir, 66% mahasiswa di Chile dan Spanyol menjawab bahwa peristiwa-peristiwa politik traumatis dialami secara langsung oleh generasi kakek nenek mereka (8%), generasi orang tua mereka (44%), dan kelompok masyarakat secara umum (13%). Hanya 34% yang mengaku mengalami langsung peristiwa-peristiwa politik traumatis di masa lalu tersebut.[12]

Sebuah penelitian terhadap ingatan sebagai fenomena sosial juga didasarkan pada proses-proses distribusi sosial suatu masyarakat di dalam mengingat suatu peristiwa. Memang, ingatan adalah suatu gejala individual. Hanya individulah yang bisa mengingat. Akan tetapi, proses distribusi dari ingatan tersebut memiliki fungsi-fungsi dan akibat yang bersifat sosial. Ingatan sosial tentang suatu katastrofi politik adalah suatu ingatan yang didistribusikan secara sosial. Peristiwa-peristiwa ini memang tidak selalu diingat di dalam suatu seremoni historis tertentu. Bahkan, dalam beberapa kasus, ingatan tentang katastrofi politik ini justru ditekan. Akan tetapi, dengan ditekan, ingatan tersebut tidak otomatis hilang. Ingatan sosial yang ditekan tersebut tetap bertahan dan kemudian berubah menjadi legenda, tradisi, dan mengental menjadi kultur.

Beberapa ahli psikologi sosial berpendapat bahwa ingatan sosial adalah semacam proses-proses psikologis yang bergerak melampaui proses psikologis individual di dalam masyarakat. Proses-proses psikologis ini memang bersandar pada aktivitas individu, tetapi proses ini memiliki otonominya sendiri. Menurut Garzón dan Rodriguez, proses psikologis ini dapat juga disebut sebagai proses kolektif dari ingatan (collective process of memory).[13] Hal ini menjadi salah satu tema refleksi di dalam psikologi sosial. Pendekatan ini mau menyatakan bahwa proses-proses kognitif seseorang tidak hanya merupakan suatu tindakan personal, tetapi juga memiliki aspek sosial. “Ingatan dan pikiran”, demikian tulis Levine, Ressnick, dan Higgins, “dipandang sebagai suatu interaksi sosial, dan fokus analisisnya adalah unit sosial.”[14] Bukti-bukti empiris juga menunjukkan lebih jauh, bahwa kelompok mengingat jauh lebih baik daripada individu.

Buku Halbwachs yang berjudul On Collective Memory sangat menekankan bahwa aspek sosial selalu mewarnai hakekat dari ingatan manusia. Dengan kata lain, proses-proses sosial adalah sesuatu yang esensial bagi ingatan. Ada dua hal yang menjadi argumentasinya. Pertama, bahwa ingatan merupakan sesuatu yang bersifat sosial, terutama karena isi dari ingatan tersebut, yakni bahwa orang selalu mengingat tentang sebuah dunia, di mana orang lainnya juga hidup di dunia tersebut. Ingatan tentang masa lalu juga sudah selalu merupakan ingatan yang bersifat intersubyektif, yakni tentang masa lalu yang dihidupi dalam relasinya dengan orang lain. Ingatan yang sungguh bersifat individual sangatlah jarang ditemukan. Jadi, adalah benar jika dikatakan, bahwa aspek sosial di dalam ingatan itu selalu lebih besar. Kedua, ingatan juga bersifat sosial, karena orang selalu menggunakan medium-medium sosial untuk mengingat, seperti medium ritual, upacara-upacara, dan praktek-praktek sosial lainnya yang ditujukan untuk mengingat suatu peristiwa di masa lalu. Inilah yang disebut sebagai titik-titik referensial (referential points). Kelompok sosial yang berbeda menggunakan titik referensial yang juga berbeda.

Halbwachs lebih jauh melanjutkan, bahwa ingatan pada hakekatnya memiliki aspek sosial dan bersifat intersubyektif, karena ingatan didasarkan pada bahasa, serta pada semua bentuk komunikasi linguistik dengan orang lain. Ingatan juga merupakan suatu bentuk pengulangan yang memiliki fungsi-fungsi sosial, terutama di dalam level simbolik. Proses interaksi antara manusia memberikan pengaruh besar di dalam proses pembentukan dan pelestarian ingatan mengenai peristiwa negatif yang terjadi di masa lalu ini. Pada titik ini, peristiwa negatif di masa lalu dipandang sebagai pengalaman-pengalaman yang memiliki dampak sosial yang berkepanjangan. Ingatan akan pengalaman ini kemudian didistribusikan ke dalam kehidupan bersama, dan kemudian menjadi ingatan sosial. Inilah yang disebut sebagai proses pembagian sosial (social sharing). Menurut Paez, Basabe, dan Gonzales, proses pembagian sosial yang dilakukan secara terus menerus adalah merupakan sebuah cara yang paling efektif untuk berhadapan dengan ingatan tentang masa lalu yang menyakitkan. Proses pembagian sosial yang repetitif ini disebut juga sebagai proses perenungan (rumination).

Dengan melakukan proses perenungan, masyarakat bisa memandang masa lalu mereka yang menyakitkan dengan cara yang lebih positif. Dengan berbicara dan merenungkan semua bentuk peristiwa negatif traumatis di masa lalu, orang dapat menyatukan pengalaman emosional mereka, dan kemudian memberikannya makna secara positif. Jika setiap orang bisa melakukan ini, maka masyarakat akan bisa menatap masa lalunya secara konstruktif. Komunikasi dan pembagian sosial juga bisa berjalan lancar.

Di dalam penelitiannya, Tait dan Silver berpendapat bahwa proses pembagian sosial mengenai ingatan tentang masa lalu yang menyakitkan justru bisa membawa perpecahan emosional di dalam masyarakat.[15] Akibatnya, masyarakat justru membentuk identitasnya secara negatif. Proses perenungan atas ingatan masa lalu yang negatif bisa menciptakan polarisasi baru di dalam masyarakat, yang nantinya justru bisa merusak kohesi sosial. Dalam arti ini, proses perenungan dimengerti sebagai suatu bentuk kesadaran yang ditujukan langsung pada suatu peristiwa ataupun suatu periode waktu tertentu. Proses ini bisa bersifat otomatis, sekaligus disengaja. Proses perenungan dapat juga dilihat sebagai “pikiran-pikiran yang tidak disengaja dan bersifat obsesif yang terkait dengan suatu peristiwa.”[16] Proses ini terkait erat dengan depresi psikologis, dan justru bisa memperbesar reaksi-reaksi emosional negatif di dalam masyarakat.

Akan tetapi, proses perenungan juga bisa dilakukan secara sengaja. Suatu peristiwa negatif yang pernah terjadi di masa lalu bisa dilihat dengan cara yang positif, jika proses perenungan mengarah pada pemahaman, penjelasan, dan penghargaan pada peristiwa tersebut. Hal ini mungkin dilakukan. Para veteran perang dunia kedua mampu beradaptasi dengan kehidupan bermasyarakat setelah begitu banyak peristiwa traumatis di dalam perang yang mereka hadapi. Mereka berhasil mengatasi ingatan tentang peristiwa traumatis yang mereka alami. Tentu saja, apa yang mereka lakukan masihlah berada di level individual. Akan tetapi, pendekatan dengan menggunakan kerangka teori mengenai ingatan sosial hendak berfokus pada peristiwa-peristiwa di masa lalu yang mungkin sekali tidak pernah dialami oleh individu secara personal. Jadi, apakah ada kesamaan pola antara kemampuan individu melampaui ingatan tentang peristiwa traumatis di satu sisi, dan kemampuan kelompok untuk melakukan hal yang sama? Halbwachs berpendapat, bahwa keduanya selalu berkaitan dengan proses pembentukan identitas.

3. Ingatan Sosial dan Identitas Sosial

Menurut Halbwachs, ingatan itu bersifat sosial, karena ingatan memiliki fungsi-fungsi sosial. Dengan menjadi bagian dari suatu kelompok, berarti kita juga mengasumsikan dan menginternalisasikan tradisi dan kepercayaan yang ada di dalam kelompok itu. Dengan kata lain, kita berbagi ingatan sosial kelompok. Ingatan sosial tersebut memungkinkan kita untuk memperoleh identitas, baik di level individual maupun di level sosial.[17]

Halbwachs lebih jauh menambahkan, bahwa ingatan sosial memiliki fungsi-fungsi yang bersifat global (global function). Fungsi global itu adalah fungsi nostalgik (nostalgic function). Di dalam fungsi nostalgik, masa lalu dari suatu masyarakat dianggap sebagai suatu masa keemasan, di mana segala sesuatu berjalan stabil dan positif. PBG memberi contoh. Pada masa lalu, keluarga dianggap sebagai bagian dari kehidupan sosial. Keluarga memberikan dasar yang kuat bagi kehidupan sosial. Yang menarik adalah, bahwa hal ini seringkali tidak didasarkan pada data-data yang memadai. Penelitian sejarah lebih jauh menunjukkan, bahwa walaupun di masa sekarang kekerasan di dalam keluarga jauh lebih kecil daripada dulu, tetapi masyarakat tetap saja beranggapan, bahwa di masa lalu, keluarga merupakan sesuatu yang lebih baik dan harmonis daripada keluarga di masa sekarang. Schuman dan Scott pernah membuat penelitian yang menunjukkan bahwa orang-orang yang ikut berperang pada perang Vietnam merasa bahwa perang dunia kedua merupakan perang yang jauh lebih “heroik” dan indah. Perasaan itu bahkan lebih besar daripada yang dialami oleh para veteran perang dunia kedua itu sendiri.[18] Inilah yang disebut sebagai fungsi nostalgik dari ingatan sosial. Orang-orang yang hidup pada dekade 1960-an selalu mengidealkan masa lalu yang tidak pernah mereka ketahui sungguh-sungguh. Kenangan akan masa lalu yang indah tersebut dikontraskan dengan masa sekarang yang mereka hadapi, yang menurut mereka penuh dengan krisis dan ketidaktulusan.[19]

Fungsi sosial dari ingatan sosial kedua berkaitan dengan tujuan dasar dan kebutuhan dari kelompok. Ingatan selalu sudah berjangkar di dalam tujuan maupun kebutuhan aktual dari suatu kelompok. Menurut Halbwachs, ingatan sosial secara esensial adalah rekonstruksi tentang kejadian di masa lalu yang kemudian disesuaikan dengan kebutuhan di masa sekarang. Apa yang terjadi di masa lalu selalu ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan yang ada di masa sekarang, lepas daripada apakah tafsiran tersebut selalu akurat atau tidak. Biasanya, untuk kepentingan pembentukan identitas, apa yang terjadi di masa lalu selalu berusaha untuk ditafsirkan secara positif. Apa yang saya tulis tentang bagaimana Israel menafsirkan masa lalu mereka sebagai pembenaran bagi pembentukan angkatan bersenjata adalah contoh konkret, di mana ingatan akan masa lalu digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekarang.

4. Mengatasi Trauma Sosial: Kesimpulan Sementara

Apa yang disebut sebagai trauma sosial seringkali tidak dialami langsung oleh sebuah masyarakat. Peristiwa traumatis tersebut terjadi di masa lalu, dan dialami secara langsung oleh generasi sebelumnya. Akan tetapi, jejak dari peristiwa negatif tersebut tidaklah hilang, melainkan mengalir diam-diam di dalam struktur masyarakat yang sekarang. Akibatnya masihlah terasa, yakni terciptanya kultur ketakutan, kultur impunitas, dan krisis identitas sosial.

Trauma sosial juga terkait erat dengan konsep ingatan sosial. Tepatnya, trauma sosial adalah ingatan sosial tentang suatu peristiwa negatif yang proses peringatannya tidak dilakukan secara sistematis, melainkan secara terselubung di dalam struktur. Halbwachs lebih jauh menekankan, bahwa ingatan tentang masa lalu adalah suatu proses sosial, karena pada dasarnya, orang selalu mengingat dan mendistribusikan ingatan tersebut secara bersama-sama. Idealnya, proses mengingat dilakukan secara bersama-sama di dalam sebuah komunitas. Hal ini sangatlah penting, terutama supaya orang-orang yang mengalami peristiwa traumatis di masa lalu merasa memiliki komunitasnya sendiri yang mempunyai kesamaan nasib. Hal ini juga menandakan, bahwa pada hakekatnya, penghayatan internal seseorang selalu terhubung dengan penghayatan antar personal yang terbangun di antara individu. Menurut Halbwachs, penghayatan yang dibangun di dalam relasi dengan orang lainlah yang memiliki peran lebih besar.

Pada level sosial, terutama jika kita memperhatikan kasus-kasus di Chile dan Catalunya, kita akan menemukan bahwa masyarakat yang memiliki sejarah peristiwa traumatis dan tingkat konflik yang lebih tinggi justru menunjukkan tingkat pembagian sosial, pengakuan, dan permenungan yang juga tinggi. Hasil ini, menurut PSB, tentunya semakin meyakinkan kita, bahwa setelah masa traumatis dan represi sosial, masyarakat akan mulai menuntut pengakuan akan adanya kejahatan-kejahatan, kepedihan-kepedihan, dan penderitaan yang terjadi di masa lalu mereka. Setelah periode represi sosial usai, masyarakat akan mulai menuntut keadilan.

Halbwachs lebih jauh berpendapat, bahwa ingatan sudah secara sosial mengacu pada kebutuhan dan tujuan-tujuan suatu kelompok. Tidak ada ingatan yang bersifat netral. Ingatan sosial sudah selalu terkait dengan identitas sosial. Jika kita menjadi bagian dari suatu kelompok, maka kita sekaligus menginternalisasi tradisi dan ingatan yang dimiliki kelompok tersebut.

Secara esensial, ingatan sosial juga merupakan suatu bentuk rekonstruksi ingatan tentang masa lalu. Proses rekonstruksi tersebut hendak menafsirkan fakta dan data yang terjadi di masa lalu, dan kemudian menggunakannya untuk kepentingan di masa sekarang. Ingatan akan masa lalu tentang peristiwa-peristiwa sosial traumatik dapat secara langsung mempengaruhi mentalitas masyarakat di masa sekarang.

Ingatan sosial juga seringkali dipahami sebagai sesuatu yang normatif. Artinya, ingatan itu tidak selalu menggambarkan fakta, tetapi lebih merupakan sesuatu yang ‘seharusnya’ terjadi. Ingatan bukan sekedar menggambarkan apa yang terjadi, tetapi lebih merupakan suatu harapan tentang apa yang pernah terjadi.[20] Oleh karena itu, jika ada ingatan dalam jumlah besar tentang peristiwa traumatis yang pernah terjadi di masa lalu, maka akan semakin banyak orang yang mempersepsi masyarakatnya sendiri secara negatif. Ini juga merupakan alasan, mengapa pihak yang berkuasa seringkali mencoba menghapus ingatan tentang suatu peristiwa negatif di masa lalu.

Pada level individual, ingatan akan peristiwa traumatis seringkali bisa ditanggung secara personal. Tuntutan akan keadilan, atau yang banyak juga disebut sebagai aktivitas konfrontatif (confrontation activities), akan terjadi, jika ingatan traumatis tersebut dikomunikasikan di level antar individual. Akan tetapi, ingatan traumatis tetap merupakan sesuatu yang menyakitkan untuk dikonfrontasi. Maka, ingatan traumatis lalu sering dilupakan, walaupun tidak pernah bisa sungguh dilupakan. Proses penglupaan dilakukan dengan dalih untuk penciptaan stabilitas sosial. Inilah yang disebut sebagai konspirasi kebisuan. Walaupun bisu, tetapi resonansi dari konspirasi ini berbunyi lebih keras daripada kata-kata. Konspirasi kebisuan juga memiliki fungsi ideologis, yakni sebagai legitimasi bagi pemerintahan yang sedang berlangsung di masa sekarang. Jika konspirasi kebisuan ini diangkat ke publik, maka hampir pasti masyarakat akan terpecah. Masyarakat akan terpolarisasi di dalam kubu-kubu yang saling berbeda pendapat mengenai peristiwa traumatis yang mereka alami di masa lalu. Akan tetapi, polarisasi ini sifatnya hanya sementara. Dalam jangka panjang, semua bentuk konfrontasi terhadap masa lalu yang traumatis akan memberi dampak positif bagi masyarakat secara keseluruhan.

5. Tentang Memaafkan

Suatu sikap berhadapan dengan peristiwa masa lalu yang traumatis pada titik akhir selalu bermuara pada ajakan untuk memaafkan. Dalam arti ini, maaf diberikan hanya setelah proses peradilan telah dilaksanakan semaksimal mungkin. Proses peradilan disini setidaknya dapat dilakukan dalam dua bentuk, yakni pertama adalah proses pengakuan para pelaku atas apa yang terjadi di masa lalu, dan kedua proses hukum yang melibatkan para pelaku tersebut sesuai dengan tingkat perbuatannya. Namun, pada akhirnya, proses memaafkan di tingkat sosialah yang akan menentukan segalanya.

Apa yang dimaksud dengan memaafkan? Dalam kosa kata bahasa Inggris, kata yang biasa digunakan adalah apology, yang secara literer berarti permintaan maaf. Menurut Aaron Lazare, permintaan maaf mengacu pada pertemuan dua pihak, di mana pihak pertama, yakni sang pelaku kesalahan, mengakui dan bertanggungjawab pada semua tindakan yang ia lakukan, serta mengekspresikan penyesalan kepada pihak kedua, yakni sang korban.[21] Pihak yang saya maksud disini bukanlah hanya sekedar pihak individual, tetapi juga bisa mencakup kelompok yang lebih besar, seperti keluarga, kelompok etnis, kelompok bisnis, suku, dan bangsa.

Biasanya, tindak meminta maaf harus memenuhi beberapa kriteria mendasar, seperti penjelasan tentang tindak salah yang telah dilakukan, ekspresi dari perasaan malu atas perbuatan itu, intensi untuk tidak mengulangi lagi perbuatan yang sama di masa datang, dan tindak perbaikan semua luka yang telah disebabkan oleh kesalahan yang telah dilakukan. Akan tetapi, menurut Lazare, permintaan maaf menuntut lebih dari sekedar sikap penyerahan diri dari pelaku kesalahan. Permintaan maaf menuntut sebuah dialog antara dua pihak terkait.

Di dalam bahasa Inggris, kata apology memiliki akar katanya pada bahasa Yunani, yakni apologia yang berarti pembenaran, penjelasan, argumentasi, ataupun alasan. Suatu argumentasi yang ditujukan untuk mempertahankan pendapat disebut juga sebagai apologia, dan orang yang melakukannya disebut juga sebagai apologet. Dalam arti ini, apology bukanlah suatu tindak mengakui kesalahan di masa lalu. Oleh karena itu, kita tidak perlu menjabarkannya lebih jauh.

Di dalam kehidupan sehari-hari, orang cenderung menyamakan ekspresi “saya menyesal” dengan tidak meminta maaf. Seringkali, alasannya tidaklah begitu jelas. Jika saya mengatakan “saya menyesal mendengar kabar bahwa ibumu telah meninggal”, atau “saya menyesal bahwa sakitmu begitu parah”, maka saya sebenarnya tidaklah sedang meminta maaf. Sikap ini lebih tepat disebut sebagai sikap empati. Pernyataan “saya menyesal” seringkali tidak mengandung suatu bentuk pengakuan atas kesalahan di masa lalu. Pernyataan ini juga seringkali tidak mengandung keinginan untuk bertanggungjawab, atau tanda penyesalan dalam arti sesungguhnya.

Jika saya secara tak sengaja menghilangkan barang yang dipinjamkan kepada saya, maka saya akan berkata, “saya menyesal telah menghilangkannya. Saya merasa tidak enak. Seharusnya, saya lebih berhati-hati. Saya akan menggantinya.” Kata “menyesal” disini merupakan bagian dari tindak meminta maaf, karena saya mengakui adanya kesalahan. Kemudian, saya hendak bertanggungjawab atas kesalahan yang telah saya buat, serta menawarkan ganti rugi. Kebingungan biasanya muncul, ketika saya berkata bahwa saya menyesal. Kata menyesal disini memang bisa diartikan dua hal, yakni sebagai tindak meminta maaf, atau sebagai suatu bentuk bela sungkawa.

Lazare berpendapat, bahwa walaupun tindak meminta maaf memiliki kesamaan pola, tetapi pada hakekatnya, setiap tindak meminta maaf bersifat unik. Keunikan tersebut disebabkan oleh banyak faktor yang bersilang yang mempengaruhi tindak meminta maaf itu. Misalnya, salah satu aspek penting yang mendahului tindak meminta maaf adalah sikap berduka. Sikap berduka ini bisa disebabkan oleh suatu kejadian negatif, baik yang berskala personal ataupun yang sosial. Jadi, setiap bentuk duka itu bisa mengambil bentuk personal, ataupun bentuk yang impersonal. Sikap berduka bisa muncul dari suatu tindak kekejaman yang dilakukan oleh kelompok yang satu kepada kelompok yang lain, ataupun oleh satu individu kepada individu lain. Intensitas dari rasa duka itu sangatlah berbeda, tergantung pada konteks, di mana kejadian negatif tersebut berlangsung. Lebih jauh lagi, tingkat kerusakan yang dialami oleh korban kejadian negatif sangat variatif dan situasional.[22] Semua ini nantinya mempengaruhi, apakah korban tersebut akan menerima permintaan maaf dari pelaku, atau tidak.

Jadi, sikap meminta maaf memiliki variasi yang luar biasa banyak. Tindak meminta maaf yang dilakukan oleh pelaku peristiwa negatif juga beragam, mulai dari yang non-verbal, sampai penyampaian maaf verbal yang disertai alasan jelas, deskripsi, dan argumentasi yang lugas. Ekspresi dari penyesalan juga beragam, mulai dari penyesalan yang artifisial, sampai dengan penyesalan yang sungguh-sungguh tulus. Lazare sendiri sampai pada kesimpulan, bahwa suatu permintaan maaf yang berhasil merupakan hasil dari interaksi dan negosiasi antara pihak yang melakukan kesalahan dan korbannya.[23]

Menurut Lazare, tindak meminta maaf itu pada dasarnya bersifat paradoksal. “Saya percaya”, demikian tulisnya, “bahwa permintaan maaf, seperti juga manusia, adalah sekaligus sederhana dan kompleks, secara mendasar sama, tetapi secara individual bersifat unik.”[24] Di dalam tindak meminta maaf terdapat paradoks kesederhanaan di satu sisi, dan kompleksitas di sisi lain. Di dalam tindak meminta maaf juga terdapat paradoks kesamaan di satu sisi, dan keunikan di sisi lain. Inilah hakekat rumit dari salah satu tindak paling mulia yang mungkin dilakukan manusia, yakni meminta maaf.

6. Memaafkan yang Tak Termaafkan

Tindak meminta maaf memang mengandung paradoks yang mendalam di baliknya. Di balik tindak memaafkan, ada motivasi mulia yang bergandengan dengan kesulitan kata-kata. Tindak memaafkan sekaligus sederhana dan sekaligus rumit, hampir pada waktu bersamaan. Situasi paradoksal ini tidak hanya ada di dalam hakekat tindak memaafkan itu sendiri, tetapi di dalam diri orang yang hendak meminta maaf. Ia bisa sekaligus memaafkan, dan tetap membenci di dalam hatinya. Dua hal yang kontradiktif ini bisa dialami, baik oleh pelaku maupun oleh korban. Samuel Rachmat, di dalam tulisannya tentang Derrida, menyebut ini sebagai ‘rahasia hati yang tak terbahasakan’.[25] Pengalaman memaafkan dan meminta maaf adalah pengalaman personal yang tidak terukur oleh kriteria apapun.

Hal ini membuat sikap memaafkan dan tindak meminta maaf tidak pernah bisa direduksikan ke dalam bentuk kekuatan hukum ataupun politik semata. Di dalam hukum dan politik, kekuatan maaf menjadi bersyarat, teratur, dan terbatas, sehingga kehilangan kemurniannya. Di dalam hukum, tindak memaafkan menjadi tereduksi. Relasi memaafkan haruslah melampaui batasan-batas formal yang dianggap sah begitu saja di dalam hukum. Hanya dengan begitulah tindak memaafkan yang sejati baru dapat dirasakan dampaknya.

Menurut Rachmat, setiap pihak yang terlibat di dalam tindak memaafkan haruslah mempertimbangkan dan menghargai ‘rahasia hati yang tak terbahasakan’ dari setiap orang yang terlibat. Pendapat Rachmat sendiri rupanya searah dengan pendapat Jacques Derrida. Derrida berpendapat bahwa kebutuhan akan pertimbangan ‘rahasia hati’ ini adalah sebuah kewajiban, terutama untuk menghindari kesalahpahaman yang seringkali muncul akibat campur tangan pihak ketiga. Dengan semua bentuk sandiwara politik, hukum, ekonomi, dan bahkan militer, pihak ketiga ini hendak mempertahankan kekuasaan mereka. Inilah yang disebut sebagai hegemoni. Hegemoni inilah yang menodai kemurnian tindak meminta maaf dan memaafkan. Itulah sebabnya, mengapa Derrida sangat menekankan bahwa tindak memaafkan haruslah didasarkan pada ketakterbatasan, ketakterukuran, dan tanpa syarat, sehingga tindak memaafkan dan meminta maaf tidak lagi dinodai oleh kepentingan-kepentingan politik ataupun ekonomi yang ada di luarnya.

Tindak memaafkan sendiri, menurutnya, berakar pada pengandaian bahwa ada orang yang berbuat salah. Jadi, memaafkan ada, karena ada orang yang bersalah. Tanpa keberadaan orang yang bersalah, tindak memaafkan menjadi tidak masuk akal. Lebih dari itu, tindak memaafkan baru dapat menjadi sungguh bermakna justru karena adanya “yang tak termaafkan”. Tindak memaafkan yang sejati adalah tindak memaafkan ‘yang tak termaafkan’. Di dalam karakter mustahil dari tindakan inilah tindak memaafkan yang murni justru menjadi nyata. Inilah yang disebut sisi paradoks dari tindak memaafkan. “Jika seseorang hanya siap memaafkan apa yang kelihatan termaafkan”, demikian Derrida, “…maka ide asli dari tindak memaafkan akan sirna… Tindak memaafkan harus mengumandangkan dirinya sendiri sebagai kemustahilan itu sendiri. Ia hanya bisa menjadi niscaya ketika melakukan yang mustahil.”[26]

Tindak memaafkan yang otentik hanya dapat terjadi, jika tindak tersebut mampu melampaui semua batasan-batasan, baik batasan norma maupun batasan hukum. Tindak memaafkan menjadi bermakna, jika tindakan itu tidak lagi terkurung dalam kewajiban legalistik semata, tetapi mewujud menjadi suatu penyerahan batin. Hal ini memang terdengar mustahil, tetapi justru di dalam kemustahilannyalah tindak memaafkan menjadi sungguh bermakna. Sifat dari tindak memaafkan semacam ini sangatlah personal dan singular. Tendensi universalisasi atasnya hanya pada akhirnya akan merusak sisi otentisitasnya.

7. Konteks Indonesia

Ingatan sosial adalah salah satu konsep utama yang perlu direfleksikan terlebih dahulu, jika kita hendak merumuskan suatu bentuk identitas sosial dari sebuah bangsa. Di dalam tulisan ini, saya sendiri mencoba mengajukan argumentasi, bahwa identitas sosial yang sehat hanya dapat terbentuk, jika ingatan sosial akan berbagai peristiwa negatif di masa lalu dapat dimaafkan. Kata memaafkan disini memiliki makna mutlak. Tentu saja, yang saya maksud bukanlah impunitas, tetapi kesadaran eksistensial seseorang untuk memaafkan yang tak termaafkan. Kesadaran ini melampaui batas-batas hukum, politik, maupun ekonomi. Hukum tetap harus diperlakukan, tetapi itu semua akan sia-sia, jika tidak ada kesadaran akan maaf dibaliknya.

Kata ingatan sosial sendiri, menurut Haryatmoko, lebih tepat digunakan daripada kata ingatan kolektif. Ingatan sosial memiliki sifat yang abadi, dan keberadaanya melampaui sejarah. Mengapai konsep ini begitu penting di bahas dalam konteks Indonesia? Pada hemat saya, hal ini sangatlah penting, terutama karena banyak konflik sosial maupun kekerasan massal yang terjadi dewasa ini memiliki pola yang kurang lebih sama dengan apa yang pernah terjadi di masa lalu. Dengan kata lain, rantai kekerasan sosial di Indonesia selalu berulang. Rantai kekerasan tersebut jarang sekali ditanggapi dengan ketegasan hukum dan komitmen moral yang jelas. Pada hemat Haryatmoko, banyak orang mulai curiga, bahwa absennya proses hukum terhadap semua bentuk kekerasan dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi adalah suatu upaya yang dengan sengaja dilakukan untuk mengubur ingatan sosial sedalam mungkin.[27]

Di Indonesia, jarang sekali pelaku kekerasan massal tertangkap dan diminta bertanggungjawab. Tidak berhenti disitu, korban yang mengalami tindak kekerasan justru terus mengalami penghinaan. Dengan kata lain, korban mengalami viktimisasi kedua. Dalam proses ini, masyarakat dihalangi untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Proses mengingat dan belajar dari kesalahan masa lalu pun tidak terjadi. Semua fakta sejarah dikaburkan, supaya masyarakat lupa. Ingatan sosial dipenuhi oleh distorsi dan kebohongan. Haryatmoko menulis lebih jauh, bahwa upaya mengaburkan ingatan sosial adalah suatu upaya kompromi dengan kekerasan dan kejahatan. Semua ini memperbesar potensi untuk terulangnya lagi kekerasan massal di masa depan.[28]

Ingatan bukanlah merupakan gambaran akurat tentang masa lalu, melainkan bagian dari masa lalu yang terus hidup di dalam diri seseorang ataupun masyarakat tertentu, serta berada di dalam representasi maupun penghayatan yang ada di masa sekarang. Dalam arti ini, tindak mengingat berarti juga adalah tindak untuk mencari makna. Tindak mengingat juga melibatkan suatu proses negosiasi dan debat publik yang kritis tentang status kesaksian maupun dokumen, yang merupakan sumber utama untuk mengetahui masa lalu. Proses negosiasi dan debat publik kritis ini dapat dianggap sebagai proses pemurnian ingatan. Dengan berupaya menghidupkan lagi ingatan sosial, suatu masyarakat sedang mewujudkan suatu proses menuju perdamaian yang sesungguhnya. Dengan berupaya menghidupkan ingatan sosial, suatu masyarakat juga menyatakan bahwa mereka hendak belajar dari masa lalu, dan berniat untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama.

Pada dasarnya, ingatan diharapkan untuk menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi. Hal ini setidaknya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kredibilitas dua hal, yakni kredibilitas kesaksian dan dokumen.[29] Dengan kedua hal tersebut, orang memasuki sejarah. Menurut Haryatmoko, dokumen mempertegas kesaksian. Dokumen sekaligus memperpanjang kehadiran kesaksian. Dalam konteks ingatan sosial, kesaksian dan dokumen terbuka terhadap konfrontasi dari kesaksian maupun dokumen yang lain. Ingatan sosial adalah suatu “rekonstruksi kritis yang dibahas sebagai obyek pengetahuan.”[30]

Di dalam ilmu sejarah, diskusi mengenai ingatan tidak akan pernah terlepas dari eksistensi dokumen. Jika sudah menyentuh dokumen, orang sudah melampaui ingatan personalnya sendiri, dan memasuki wilayah ingatan sosial. Hal ini sangatlah masuk akal, terutama jika kita mengingat bahwa ketika orang menggunakan bahasa, orang tersebut berpartisipasi di dalam dunia sosial. Melalui bahasa, ingatan individual beririsan dengan ingatan sosial.

Akan tetapi, ingatan sosial tidaklah identik dengan sejarah. Sejarah berupaya memperluas tema-tema yang ada di dalam ingatan sosial. Sejarah bersifat deskriptif. Sedangkan, ingatan sosial tidak hanya menghadirkan kembali peristiwa yang tengah lalu, tetapi juga menghadirkan peristiwa menyedihkan yang telah terjadi, dan melakukan tuntutan etis atasnya. Menurut Taufik Abdullah, ingatan sosial Indonesia masih banyak memendam dendam. Masyarakat, menurutnya, masih menuntut pertanggungjawaban atas semua peristiwa tragis yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru.[31]

Selain melalui kesaksian dan dokumen, ingatan sosial juga bisa dihidupkan kembali melalui karya seni dan karya sastra. Pengetahuan dan kenangan manusia jauh lebih mudah disampaikan dengan melalui karya seni. Ingatan tentang pembantaian orang-orang Yahudi disampaikan dengan lebih detil di dalam tulisan-tulisan Primo Levi. Melalui karya seni, ingatan tentang peristiwa-peristiwa menyedihkan disampaikan dengan cara yang lebih hidup, menyentuh, dan memberi makna bagi generasi berikutnya. Ingatan tersebut bisa menjadi bahan refleksi sekaligus pelajaran bagi semua orang untuk tidak mengulanginya kembali di masa depan.

Tujuan dari ingatan sosial bukanlah untuk menyakiti hati sebuah masyarakat, melainkan lebih untuk membangun harapan. Ingatan sosial selalu berisi tentang harapan. Harapan bahwa masa depan selalu lebih baik daripada masa lalu, dan bahwa semua bentuk kejahatan serta kekejian yang pernah terjadi tidak akan terjadi lagi. Kewajiban dari setiap bangsa bukanlah untuk mengubur dalam-dalam sejarah gelap bangsa mereka, tetapi untuk mengangkatnya menjadi bagian dari ingatan sosial. Dalam arti ini, tindak melupakan sejarah adalah suatu tindak kejahatan.

Seseorang maupun sebuah bangsa didefinisikan oleh ingatannya. Individu oleh ingatan personal, dan bangsa oleh ingatan sosial. Artinya, identitas, baik personal maupun sosial, selalu terkait dengan ingatan. Jika ingatan sengaja untuk dilupakan, maka manusia akan kehilangan identitasnya. Jika bangsa Indonesia sengaja untuk melupakan ingatannya tentang berbagai peristiwa yang pernah terjadi, maka pasti pula bahwa bangsa Indonesia akan kehilangan identitasnya. Jika kepastian identitas tidak lagi dipunyai, keberadaan Indonesia sebagai bangsa pun sebenarnya tidak lagi berarti.

Di Indonesia, ingatan sosial tentang peristiwa negatif yang pernah terjadi di masa lalu hendak dikubur dalam-dalam. Selama bertahun-tahun, bangsa Indonesia telah menutup fakta, bahwa telah terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap sejumlah kelompok. Selama bertahun-tahun pula, kita disuapi argumen bahwa semua itu dilakukan demi mencapai kesejahteraan bersama maupun stabilitas nasional. Jadi, tindak pembunuhan besar-besaran tersebut adalah sesuatu yang seolah harus dan perlu untuk dilakukan.

Memang, banyak orang yang menyaksikan langsung kejadian tersebut sudah meninggal. Bersama dengan meninggalnya mereka, ingatan personal tentang kejadian tersebut pun juga hilang. Akan tetapi, ingatan sosial tetaplah ada. Ingatan sosial akan terus hidup, walaupun individu-individu personal yang mengalaminya sudah meninggal. Haryatmoko menyebut goresan ingatan sosial ini sebagai inskripsi sosial tindakan.[32] Di dalam inskripsi sosial tindakan ini, para pelaku, korban, dan peristiwa traumatis terkait akan meninggalkan bekasnya di dalam sejarah. Semua bentuk upaya memutarbalikan, memanipulasi, ataupun melenyapkan inskripsi sosial tidaklah dapat dibenarkan.

Dalam konteks Indonesia, menurut Haryatmoko, konsep ingatan sosial haruslah mengambil bentuk di dalam kebijakan-kebijakan politik maupun hukum yang konkret.[33] Semua peristiwa traumatis yang pernah terjadi di masa lalu haruslah diangkat ke level kesadaran, dan menjadi bagian utuh dari ingatan sosial bangsa. Hukum dan masyarakat sekarang ini haruslah mengakui, bahwa ada pelaku dan korban kekerasan akibat kejahatan masa lalu. Keadilan terhadap kedua pihak yang haruslah ditegakkan dalam bentuk sanksi hukum kepada para pelaku, dan rehabilitasi kepada para korban. Hanya dengan begitulah “maaf” di level politis dapat diberikan. Jadi, maaf sama sekali tidak boleh mengaburkan kepastian hukum dan prinsip keadilan.

Dengan menempuh proses ini, bangsa Indonesia akan mencoba membangun ingatan sosial tentang masa lalu mereka yang kelam. Artinya, bangsa Indonesia akan mulai merangkai harapan untuk masa depan yang lebih baik, di mana semua bentuk kekejaman, kejahatan, dan ketidakadilan tidak akan terulang lagi. Semua bentuk pengaburan sejarah dan penguburan ingatan sosial haruslah dihentikan. Hanya dengan beginilah penegakan keadilan dan kepastian hukum yang sesungguhnya dapat dilaksanakan.

Untuk catatan terakhir, kiranya perlu diperhatikan apa yang pernah ditulis oleh Haryatmoko,

“…ingatan sosial menuntut usaha untuk memberi makna, memverifikasi hipotesa pengingat, membangun kembali makna dengan melihat masa lalu. Menghidupkan ingatan sosial berarti membangun bersama proyek perdamaian dan berusaha untuk tidak mengulangi kekeliruan masa lampau yang tragis, yang menghantui dan melukai ingatan sosial. Bangsa tanpa ingatan sosial adalah bangsa tanpa masa depan…”[34]

8. Kesimpulan

Ingatan adalah sesuatu yang empiris sekaligus metafisis. Ingatan sekaligus melampaui fakta dan peristiwa, serta sekaligus peristiwa itu sendiri. Ingatan juga sekaligus melampaui batas-batas individual, dan menjangkau ke level sosial. Pada level sosial, ingatan memiliki status yang berbeda dengan ingatan individual. Ingatan sosial merupakan suatu proses dan distribusi yang dilakukan oleh suatu kelompok, masyarakat, ataupun bangsa untuk memahami masa lalu mereka. Seringkali, ingatan sosial tersebut terkait erat dengan peristiwa sosial yang menyakitkan, seperti perang, bencana alam, ataupun genosida. Oleh karena itu, ingatan sosial seringkali dikubur dalam-dalam. Ingatan sosial yang terkubur ini berubah menjadi trauma sosial. Trauma sosial mendistorsi mentalitas dan kultur suatu bangsa, sehingga terciptalah kultur impunitas, kultur ketakutan, dan krisis identitas sosial. Hal inilah yang sekarang terjadi di Indonesia. Bangsa kita memendam dalam-dalam ingatan sosialnya, dan kini ingatan sosial tersebut telah menjadi trauma sosial.

Pada titik ini, proses-proses hukum yang terkait dengan keadilan mutlak harus dilaksanakan. Melampaui semua proses tersebut, bangsa kita haruslah belajar untuk memaafkan. Tindak memaafkan itu sendiri adalah suatu tindak dialog dan negosiasi, dan harus bergerak dari tahap legal-institusional sampai ke tahap metafisis-eksistensial dalam bentuk kemampuan untuk ‘memaafkan yang tak termaafkan’. Itulah tindak memaafkan yang sungguh bermakna. Tindak memaafkan bukanlah sebuah impunitas, melainkan terletak pada level yang lebih dalam daripada itu. Pada titik ini, keadilan menjangkau dari level hukum, politik, maupun ekonomi, sampai ke level personal, eksistensial, dan metafisis. Pada titik ini pula, bangsa Indonesia harus berani mengungkap dan melestarikan ingatan sosialnya, sehingga jati diri kita sebagai bangsa, dan trauma sosial yang kita alami bisa secara perlahan dikupas dan disembuhkan. Salah satu tolok ukur kebesaran suatu bangsa adalah, seberapa jauh mereka mampu menghadapi masa lalu mereka, dan bersikap adil atasnya. Tuntutan keadilan itu tidak akan pernah hilang, walaupun ia dibungkam. Melalui ingatan sosial, tuntutan keadilan akan bergaung keras di dalam sejarah, dan akan terus mengetuk rasa kemanusiaan kita, sampai kita mau dan mampu untuk mendengarkannya.***

Daftar Pustaka

Graylings, A.C, The Meaning of Things, Great Britain, Phoenix Paperback, 2001

Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta, Kompas, 2003

Lazare, Aaron, On Apology, New York, Oxford University Press, 2004

Morrow & Nolen-Hoeksoma, “Effects of Reponses to Depression on the Remediation of Depressive Affect”, dalam Journal of Personality and Social Psychology, 58, 1990, hal. 519-527.

Paez, Nekane Basabe, Jose Luis Gonzalez, “Social Process and Collective Memory: A Cross-Cultural Approach to Remembering Political Events”, dalam Collective Memory of Political Events. Social Psychology Perspectives, New Jersey, Lawrence Erlbaum, 1997,

Pennebaker, Opening Up: The Healing Power of Confiding in others, New York: Morro, 1990

Rachmat, Samuel, “Rekonsiliasi: Mengampuni yang tak Terampuni”, Basis: Edisi Khusus Derrida, No. 11-12, tahun ke-54, November-Desember 2005

Schuman & Scott, 1989, “Generations and Collective Memory”, American Sociological Review, 54, hal. 359-381.

Tait dan Silver, “Coming to terms with Major Negative Life Events”, dalam J.S Uleman & J Bargh (eds), Unitended Thought, New York, Guilford, 1989,


[1] Reza A.A Wattimena adalah Staff Pengajar di Fakultas Psikologi dan Fakultas Teknik Industri Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.


[1] Dikutip dari A.C Graylings, The Meaning of Things, Great Britain, Phoenix Paperback, 2001, hal. 182. Pada bagian pendahuluan ini, saya banyak terinspirasi dari tulisan Graylings ini.

[2] Lihat, ibid.

[3] Dikutip Graylings, ibid, hal. 183.

[4] Ibid.

[5] Lihat, ibid, hal. 185.

[6] Lihat, Dari Paez, Nekane Basabe, Jose Luis Gonzalez, “Social Process and Collective Memory: A Cross-Cultural Approach to Remembering Political Events”, dalam Collective Memory of Political Events. Social Psychology Perspectives, New Jersey, Lawrence Erlbaum, 1997, hal. 147.

[7] Ibid.

[8] Dikutip Paez, Basabe, dan Gonzalez (selanjutnya PBG) dari Swindler. A dan Arditi. J, “The New Sociology of Knowledge”, dalam Annual Review of Sociology, 20, hal. 305-329.

[9] Ibid.

[10] Lihat, Pennebaker, Opening Up: The Healing Power of Confiding in others, New York: Morro, 1990.

[11] Lihat Schuman & Scott, 1989, “Generations and Collective Memory”, American Sociological Review, 54, hal. 359-381.

[12] Data diambil dari PBG, 1997, hal. 150.

[13] Dikutip dari ibid, hal. 151.

[14] Lihat, Levine, Ressnick, dan Higgins, Social Foundations of Cognition, Annual Review of Psychology, 44, 1993, hal, 585-612. sebagaimana dikutip dari ibid.

[15] Lihat, Tait dan Silver, “Coming to terms with Major Negative Life Events”, dalam J.S Uleman & J Bargh (eds), Unitended Thought, New York, Guilford, 1989, hal. 351-382.

[16] Morrow & Nolen-Hoeksoma, “Effects of Reponses to Depression on the Remediation of Depressive Affect”, dalam Journal of Personality and Social Psychology, 58, 1990, hal. 519-527.

[17] Lihat, PBG, 1997, hal. 157. Untuk pembahasan mengenai Halbwachs, saya menggunakan sumber dari PBG, 1997.

[18] Lihat Schuman dan Scott, “Generations and Collective Memory”, American Sociological Review, 54, 1989, hal. 359-381.

[19] Ibid.

[20] Lihat, PSB, 1997, hal. 170.

[21] Lihat, Aaron Lazare, On Apology, New York, Oxford University Press, 2004, hal. 23.

[22] Lihat, ibid, hal. 42.

[23] Lihat, ibid, hal. 43.

[24] Ibid.

[25] Lihat, Samuel Rachmat. “Rekonsiliasi: Mengampuni yang tak Terampuni”, Basis: Edisi Khusus Derrida, No. 11-12, tahun ke-54, November-Desember 2005, hal. 33.

[26] Jacques Derrida. On Cosmopolitanism and Forgiveness. Routledge Press, seperti dikutip Samuel Rachmat, 2005, hal. 35.

[27] Lihat Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta, Kompas, 2003, hal. 172. Seluruh bagian ini terinspirasi dari tulisan Haryatmoko tentang Ingatan Sosial di dalam buku ini.

[28] Lihat, ibid, hal. 173.

[29] Lihat, ibid.

[30] Ibid, hal. 174.

[31] Lihat, Kompas, 3 Oktober, 2000, dalam Ibid, hal. 175.

[32] Lihat, ibid, hal. 179.

[33] Lihat, ibid, hal. 183.

[34] Ibid.

Richard Rorty dan Ruang Publik Para “Penyair”? Sebuah Tematisasi Konsep Ruang Publik di dalam Filsafat Politik Richard Rorty

Richard Rorty dan Ruang

Publik ParaPenyair“?

Sebuah Tematisasi Konsep Ruang Publik di dalam Filsafat Politik Richard Rorty

“..karena kebenaran adalah milik dari kalimat-kalimat, dan karena kalimat bergantung keberadaannya pada kata-kata, dan karena kata-kata adalah buatan manusia, maka begitu pula dengan kebenaran…”

Richard Rorty

1. Pendahuluan

Konsep ruang publik, secara normatif, seringkali didefinisikan sebagai suatu arena kehidupan sosial, di mana orang dapat berkumpul bersama, dan secara bebas mengidentifikasi dan mendiskusikan berbagai bentuk permasalahan sosial. Sejalan dengan meningkatnya intensitas diskusi dan berjalannya waktu, proses-proses yang terjadi di dalam ruang publik nantinya akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik di masyarakat.[1] Secara ideal, ruang publik juga sering dibayangkan sebagai ruang diskursif, di mana setiap orang dan setiap kelompok dapat berkumpul untuk membicarakan soal-soal yang berkaitan dengan kepentingan bersama, sehingga, bila mungkin, mereka bisa sampai pada keputusan bersama. Ruang publik dapat dipandang sebagai suatu bentuk teater raksasa di dalam masyarakat modern, di mana partisipasi politik didorong melalui pembicaraan dan diskusi politik. Di dalam ruang publiklah opini publik yang sesungguhnya bisa dibentuk.[2]

Ruang publik juga seringkali dipahami sebagai ruang penghubung antara ruang privat di satu sisi, dan ruang otoritas publik (sphere of public authority) di sisi lain. Ruang privat berkaitan dengan keluarga, sementara ruang otoritas publik berkaitan langsung dengan legitimasi suatu pemerintahan negara tertentu. Ruang publik bergerak di dalam tegangan di antara dua ruang ini sedemikian rupa, sehingga negara, mau tidak mau, menjalankan pemerintahannya dengan terus menerus berkonsultasi pada opini publik melalui ruang publik. Jadi, ruang publik secara konseptual berbeda dengan negara. Ruang publik juga berbeda dengan ‘pasar’. Ruang publik bukanlah suatu arena, di mana relasi-relasi jual beli terjadi. Ruang publik adalah suatu arena, di mana relasi-relasi diskusif dapat berlangsung, yakni suatu arena untuk mempertimbangkan dan memperdebatkan semua hal yang berkaitan dengan kepentingan bersama. Ketiga distingsi ini, yakni antara negara, pasar, dan asosiasi-asosiasi organisasi bernapaskan semangat demokrasi, sangatlah sentral di dalam teori tentang demokrasi sekarang ini. Selain distingsi ini, ideal tentang partisipasi seluruh rakyat di dalam proses demokratis juga menjadi bagian sentral di dalam teori tentang demokrasi dan ruang publik.[3]

Teori tentang ruang publik mendasarkan diri pada pengandaian normatif, bahwa setiap keputusan politik terbentuk di dalam ruang publik, dan pemerintah yang dianggap sah adalah pemerintah yang setiap tindakannya mengacu terus pada proses diskursif yang berlangsung di dalam ruang publik. Akan tetapi, ini tetap merupakan suatu bentuk pengandaian ‘normatif’. Faktanya, ruang publik selalu didistorsi oleh kekuasaan, sehingga tidak pernah ada keputusan politik yang didasarkan pada mekanisme diskursif ruang publik yang sungguh adil, serta mencerminkan apa yang sesungguhnya menjadi kepentingan bersama. Menurut Richard Rorty, ruang publik juga tidak selalu didasarkan pada rasionalitas. Banyak keputusan-keputusan yang diperdebatkan di dalam ruang publik seringkali lebih memberi porsi pada sentimen-sentimen dan afeksi-afeksi, yang tidak didasarkan pada argumentasi rasional. Ruang publik ini disebut juga sebagai ruang publik poetik (poetic public sphere).

Jelas, Richard Rorty menawarkan suatu bentuk konsep ruang publik yang berbeda dengan apa yang sudah menjadi wacana umum. Di dalam tulisan ini, saya hendak mentematisasi konsep ruang publik tersebut, tepat karena Rorty tidak pernah secara eksplisit mendefinisikan tentang ruang publik. Buku utama yang saya gunakan adalah Contingency, Irony, and Solidarity tulisan Richard Rorty, terutama hal 1-95.[4] Tesis dari Rorty yang hendak saya jabarkan sekaligus tanggapi adalah tesisnya tentang ruang publik yang tidak lagi digerakan oleh pemikiran dari teoritikus sosial maupun filsuf, tetapi oleh para penyair, novelis, dan jurnalis. ‘Bahasa’ yang digunakan di dalam ruang publik pun tidak lagi bahasa argumentasi rasional, tetapi bahasa puitis (poetic language). Inilah yang disebut Rorty sebagai kultur poetik (poetic culture). Untuk tujuan itu, saya akan membagi tulisan ini ke dalam empat bagian. Setelah memberikan gambaran atas keseluruhan tulisan (1), saya akan menjabarkan beberapa argumentasi filsafat politik Rorty yang menjadi titik tolak tematisasi konsep ruang publiknya (2). Setelah itu, saya akan membuat tematisasi konsep ruang publik yang diasalkan dari filsafat politik Rorty (3). Kemudian, saya akan memberikan beberapa kesimpulan tentang apa sesungguhnya definisi konsep ruang publik menurut Rorty (4). Saya akan mengakhiri tulisan ini dengan mengajukan beberapa tanggapan terhadap tesis Rorty tersebut (5).

Judul tulisan ini adalah Richard Rorty dan Ruang Publik Para Penyair?. Pada bagian akhir judul, saya memberikan ‘tanda tanya’. Pada bagian ketiga tulisan ini, saya juga memberikan judul dengan menggunakan ‘tanda tanya’ pada bagian akhir. Hal ini bukan tanpa alasan. Ketika sedang dalam proses untuk mentematisasi konsep ruang publik di dalam filsafat politik Rorty, saya berhasil menemukan sudut pandang yang cukup menarik, sekaligus meragukan untuk saya sendiri. Walaupun Rorty telah mengajukan argumentasi untuk mendasari konsep ruang publiknya, tetapi argumen itu pun tidak pernah, setidaknya sampai saya selesai menulis paper ini, sungguh meyakinkan saya. Keraguan saya ini setidaknya didasarkan pada dua hal. Pertama, saya merasa argumen yang ditawarkan Rorty tidaklah memadai. Ia menyarankan agar kita berpaling dari para filsuf dan teoritikus sosial, dan mulai membaca serta mendengarkan berbagai bentuk pemahaman yang diartikulasikan oleh para penyair, penulis novel, dan jurnalis. Alasannya, mereka ini lebih memiliki kemampuan untuk mendeskripsikan apa yang sesungguhnya menjadi kepentingan dan keprihatinan bersama, daripada para filsuf dan para teorikus sosial. Para penyair, novelis, dan jurnalis tidak menyandarkan argumentasi mereka pada pengandaian-pengandaian metafisis untuk mengartikulasikan penderitaan ataupun hakekat manusia. Mereka terhindar dari apa yang disebut Rorty sebagai ‘cara berpikir fisafat tradisional’, atau apa yang disebutnya juga sebagai filsafat fondasionalistik.

Argumen Rorty ini membawa saya pada keraguan kedua, yakni apakah saya sungguh benar memahami maksud dari Rorty? Apakah Rorty sungguh memaksudkan konsepsi ruang publiknya dipahami sebagai “Ruang Publik Para Penyair”? ‘Tanda tanya’ di dalam judul tulisan ini dimaksudkan, supaya pembaca mengajukan argumentasi dan kritik terhadap tematisasi konseptual tentang ruang publik yang saya rumuskan di dalam tulisan ini. Tujuannya tidak lain tidak bukan adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih tepat dan lebih benar, walaupun tidak pernah sungguh tepat ataupun sungguh benar. Mungkin saja, seperti yang akan saya jelaskan tentang argumen Rorty nanti di dalam bagian-bagian tulisan ini, pemahaman saya pada dasarnya bersifat kontingen, dan selalu terbuka untuk perubahan terus menerus.

2. Filsafat Politik Richard Rorty

“…kita mencoba untuk sampai pada titik di mana kita tidak lagi memuja apapun,

di mana kita tidak memperlakukan apapun sebagai sesuatu yang kudus,

di mana kita memperlakukan segala sesuatu – bahasa kita, kesadaran kita, komunitas kita –

sebagai hasil dari waktu dan kebetulan…”

Richard Rorty

Sejak pertengahan dekade 1980-an, Rorty banyak memfokuskan refleksinya di dalam ranah filsafat politik dan filsafat sosial.[5] Di dalam tulisan-tulisannya yang berjudul Postmodernist Bourgeois Liberalism; The Priority of Democracy to Philosophy; Contingency, Irony, and Solidarity, dan di dalam Achieving Our Country, ia merumuskan pandangannya mengenai konsep diri (self), perbedaan antara kehidupan publik dan kehidupan privat, solidaritas sosial, kultur demokrasi, dan politik kiri (leftist politics).

Yang cukup menarik disoroti adalah, apakah filsafat politik Rorty ini merupakan konsekuensi dari epistemologinya yang bersifat anti-fondasionalistik? Memang, pada bagian akhir Philosophy and The Mirror of Nature, ia menegaskan bahwa epistemologinya memiliki komitmen moral yang tegas. “Filsafat tradisional”, demikian tulisnya, “mencari pengetahuan yang bersifat final, dan bila berhasil didapatkan, semua itu akan menghasilkan kebudayaan yang dibekukan dan dehumanisasi manusia.”[6] Seluruh filsafat sebelumnya, menurut Rorty, adalah pencarian kebenaran metafisis yang bersifat mutlak untuk menyangkal kodrat kontingensi manusia. Dan berlawanan dengan itu, Rorty secara gamblang mengajukan argumen bahwa justru manusia harus meningkatkan kepekaan terhadap kontingensi dirinya sendiri, sehingga ia terhindar dari dehumanisasi dan pembekuan atau stagnasi budaya. Inilah yang disebut sebagai cara berpikir antifondasionalisme. Intensi moral dari cara berpikir ini adalah untuk mengembangkan semua kemungkinan-kemungkinan yang dimiliki manusia dengan mengafirmasi kebebasannya, sekaligus mengembangkan potensi-potensi yang mungkin saja tidak terpikirkan sebelumnya.

Salah satu yang menjadi tujuan Rorty adalah untuk mengembalikan manusia pada kesadaran awalnya, bahwa mereka adalah mahluk yang kontingen dan terbatas. Dengan argumen ini, Rorty sebenarnya ingin mengkritik konsepsi manusia di dalam filsafat Cartesian yang menekankan faktor keutuhan diri dan kodrat manusia yang bersifat tetap. Cara pandang Cartesian terhadap manusia hanyalah salah satu cara pandang yang bersanding dengan berbagai cara pandang lainnya. Tidak ada analisis apapun yang mampu memahami dan mengkonseptualisasi keutuhan kodrat manusia secara penuh. Dalam hal ini, Rorty memang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Nietzsche dan Freud. Memang, di dalam berbagai tulisannya, Nietzsche dan Freud sudah mengakhiri semua usaha filosofis untuk merumuskan kodrat esensial manusia. Manusia itu lebih merupakan suatu kontingensi yang berkembang terus menerus melalui penemuan diri (self-discovery) dan pengaruh lingkungan sosial tempat ia hidup dan berkembang.[7]

Cara pandang semacam ini juga menjadi dasar bagi pandangannya mengenai solidaritas sosial. Argumennya begini, jika kita sudah menyadari sisi kontingensi dari diri manusia, maka kebenaran pun sebenarnya bukan sesuatu yang ditemukan di dalam realitas, tetapi sesuatu yang diciptakan. Dan karena kebenaran sendiri adalah sesuatu yang diciptakan, maka hakekat dari diri kita dan komunitas di mana kita hidup pun sebenarnya diciptakan. Dengan bekal kesadaran semacam ini, kita akan memperoleh lebih banyak kebebasan. Solidaritas kita terhadap manusia lain pun meningkat. Manusia tidaklah memiliki esensi yang tetap. Tidak ada kodrat manusia yang bersifat metafisis yang mengikat seluruh manusia di muka bumi ini di dalam konsep yang sama. Sikap solider kita terhadap manusia lain pun tidak lagi didorong oleh kesamaan kodrat, tetapi oleh kebersamaan di dalam menciptakan diri yang kontingen secara terus menerus.

Di titik ini, Rorty membedakan secara jelas antara filsafat politik tradisional di satu sisi, dan pragmatisme teoritisnya di sisi lain. Filsafat politik tradisional berfokus pada hasrat untuk mencapai obyektifitas pemahaman (desire for objectivity). Sementara, pragmatisme teoritis yang menjadi posisi argumentatif Rorty lebih berfokus pada hasrat untuk mencapai solidaritas (desire for solidarity). Hasrat untuk mencapai obyektifitas ditandai dengan upaya untuk memberikan fondasi yang kuat bagi semua bentuk praktek sosial di dalam masyarakat dengan mengacu pada prinsip-prinsip metafisis, seperti kebenaran, rasionalitas, ataupun prinsip-prinsip lainnya. Kontras dengan itu, hasrat untuk mencapai solidaritas lebih ditandai dengan upaya untuk mencari kerangka etis yang berguna bagi kerja untuk memajukan kehidupan bersama. Dalam kerangka ini, tidak ada pretensi untuk memberikan fondasi metafisis yang tunggal dan universal. Yang penting adalah perumusan kerangka kerja yang memungkinkan solidaritas di antara orang-orang yang berbeda bisa tercipta.

Dengan pola argumen yang sama, Rorty kemudian menegaskan ketidaksetujuannya terhadap liberalisme, sekaligus menyatakan kesetujuannya pada demokrasi liberal. Baginya, liberalisme memberikan tempat terhormat bagi nilai-nilai liberal, seperti keadilan dan kesetaraan. Nilai-nilai tersebut didasarkan pada fondasi metafisis tentang hakekat manusia. Artinya, liberalisme mengklaim memahami secara penuh hakekat manusia, dan kemudian merumuskan sebuah konsep masyarakat yang didasarkan pada pemahaman tentang hakekat manusia tersebut. Liberalisme masih jatuh ke dalam filsafat fondasionalistik yang hendak mencari dasar-dasar metafisis bagi suatu rumusan teoritis.

Guignon dan Hiley berpendapat, bahwa pola yang sama dapat ditemukan di dalam kritik Michael Sandel terhadap teori keadilan yang dirumuskan oleh John Rawls.[8] Sandel tidak sepakat dengan pengandaian antropologis John Rawls yang cenderung individualistik dan mencabut manusia dari pengaruh komunitasnya. Jadi, konsepsi keadilan Rawls masihlah didasarkan pada pandangan metafisis tentang siapa atau apa itu manusia. Sementara, menurut Rorty, konsepsi keadilan tidak bisa didasarkan pada hakekat manusia yang bersifat tetap. Untuk ini, ia pun mengutip pendapat dari Thomas Jefferson, yakni bahwa “kita tidak akan melukai tetangga kita dengan mengatakan bahwa ada dua puluh Tuhan atau tidak ada Tuhan.”[9] Artinya, masyarakat tidak memerlukan kepercayaan metafisis yang dianut bersama, supaya mereka bisa hidup bersama. Semua bentuk konsepsi filosofis tentang hakekat manusia, tentang manusia sebagai subyek yang aktif, tidaklah diperlukan untuk menata masyarakat yang demokratis dan liberal.

Konsekuensi dari pandangan ini adalah penolakan terhadap semua upaya untuk mencari dasar moral bagi kehidupan bersama, distingsi yang tegas antara kehidupan publik dan kehidupan privat, dan pembedaan tegas antara perwujudan potensi-potensi diri dengan penciptaan solidaritas sosial. Ruang privat adalah ruang yang bersifat personal. Sementara, ruang publik adalah tempat untuk berbicara mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan keadilan dan solidaritas sosial.

Relasi antara ruang publik dan ruang privat memang menjadi salah satu tema refleksi utama di dalam teori-teori sosial maupun filsafat politik. Misalnya, manakah di antara kedua jenis ruang tersebut yang memiliki prioritas lebih tinggi? Para sosiolog dan para ahli kajian budaya menyatakan bahwa pemahaman tentang konsep ruang publik dan ruang privat selalu ditentukan oleh faktor-faktor historis tertentu, sehingga tidak bisa ditentukan secara universal. Bahkan, dalam banyak kasus, misalnya dalam konteks refleksi feminisme, pembedaan ruang publik dan ruang privat justru membenarkan sistem penindasan terhadap perempuan. Jadi memang, dua kategori ini terus menjadi kategori yang problematis di dalam refleksi-refleksi sosial.

Kecenderungan untuk merumuskan hakekat dari ruang publik maupun ruang privat manusia telah menjadi kecenderungan dominan di dalam teori-teori sosial maupun filsafat politik. Setidaknya, ada dua kecenderungan utama, yakni merumuskan suatu teori yang mencoba menjelaskan relasi antara kehidupan privat dan kehidupan publik secara jelas dan terpilah, atau menyatukan kedua “bentuk kehidupan” tersebut di dalam satu konsep yang mencangkup semuanya. Nah, Rorty menolak bentuk kedua ini. Pada bagian pendahuluan buku Contingency, Irony, and Solidarity, ia menulis, “buku ini mencoba untuk menunjukkan bagaimana segala sesuatu dapat dilihat jika kita meninggalkan tuntutan akan sebuah sebuah teori yang menyatukan yang publik dan yang privat, dan puas untuk memperlakukan tuntutan akan penciptaan diri dan solidaritas manusia sebagai sesuatu yang sah secara setara, namun selamanya tidak bisa diperbandingkan.”[10]

Di dalam buku ini, Rorty merumuskan konsepnya yang disebut sebagai “ironis liberal” (liberal ironist).

“Saya meminjam definisi tentang liberal dari Judith Shklar,” demikian Rorty, “yang berpendapat bahwa orang-orang liberal adalah orang-orang yang berpikir bahwa kekejaman merupakan hal yang paling buruk yang bisa dilakukan. Saya menggunakan kata ironis untuk menamakan orang-orang yang menghadapi dengan kontingensi semua kepercayaan dan hasrat-hasrat utamanya- seseorang yang juga seorang historis dan nominalis yang mengabaikan ide bahwa semua kepercayaan sentral mengacu kembali pada sesuatu yang melampaui jangkauan ruang dan waktu.”[11]

Masyarakat liberal adalah masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang punya gaya berpikir ironis liberal semacam itu. Di dalam masyarakat itu, semua bentuk kekejaman akan dihilangkan, dan solidaritas sosial akan tercipta.

Walaupun Rorty menekankan bahwa liberalisme adalah paham yang sedapat mungkin akan mengurangi semua bentuk kekejaman, ia tidak mengajukan jawaban atas pertanyaan mendasar semacam ini, yakni “mengapa kekejaman adalah sesuatu yang buruk?” Rorty yakin bahwa pertanyaan semacam ini, dan juga semua pertanyaan yang bersifat moral lainnya, sudah selalu terjebak di dalam perdebatan pemikiran antara Kant dan Dewey. Kant berpendapat bahwa moralitas merupakan suatu arena tersendiri yang perlu direfleksikan secara filosofis. Refleksi semacam itu akan akan membantu kita menentukan kewajiban-kewajiban moral yang sudah inheren di dalam diri kita. Sementara, Dewey berpendapat bahwa semua bentuk antara tindakan bermoral dan tindakan tidak bermoral, antara kewajiban dan keutamaan, adalah bagian dari dualisme moral yang justru ingin ditolaknya. Bagi Rorty sendiri, kedua bentuk filsafat moral tersebut tidaklah memadai.

Tugas seorang filsuf, bagi Rorty, bukanlah menentukan apa yang seharusnya dan apa yang tidak boleh dilakukan. Peran unik dari seorang filsuf moral adalah merumuskan secara imajinatif cara-cara bagaimana manusia tidak lagi melakukan kekejaman terhadap sesamanya. Akan tetapi, hal ini juga tidak hanya bisa dilakukan oleh seorang filsuf. Para penyair, sejarahwan, dan novelis pun mampu melakukannya, bahkan dengan tingkat kedalaman yang lebih daripada apa yang telah dirumuskan para filsuf. Rorty mengajak kita untuk kembali membaca buku-buku yang bercerita tentang perbudakan, kemiskinan, eksploitasi. Harapannya adalah, dengan menyaksikan kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh satu manusia terhadap manusia lainnya, kita dapat menyadari kesalahan yang kita buat, dan menjadi semakin ‘tidak kejam’ (less cruel). Charles Guignon dan David R. Hiley bahkan mencatat, bahwa Rorty lebih sering memilih untuk menafsirkan novel-novel yang ditulis Nabokov dan Orwell, daripada merumuskan argumentasi filsafatnya sendiri.[12]

Selain berupaya melenyapkan semua bentuk kekejaman, liberalisme yang dirumuskan Rorty jugalah hendak meningkatkan solidaritas sosial di dalam masyarakat. “Solidaritas”, demikian tulisnya, “tidaklah dipikirkan sebagai pengakuan terhadap diri yang esensial,.. di dalam semua manusia. Alih-alih begitu, solidaritas dipikirkan sebagai kemampuan untuk melihat semakin banyaknya perbedaan-perbedaan tradisional (dari suku, agama, ras, adat istiadat, dan sebagainya) sebagai sesuatu yang tidak penting ketika dibandingkan keprihatinan terhadap kekejaman dan penghinaan..”[13]

Banyak pihak yang menanggapi argumen Rorty ini secara kritis. Beberapa pemikir mengkategorikan Rorty sebagai seorang relativis. Beberapa pemikir lainnya tidak setuju dengan intensi Rorty yang seolah tidak mau memberikan justifikasi rasional bagi liberalisme yang dianutnya. Bahkan, ada beberapa pemikir lainnya yang mencap pemikiran Rorty sebagai pemikiran yang bersifat etnosentris. Tentu saja, ia kemudian menanggapi berbagai kritik ini.

Pertama-tama, Rorty mau menanggapi para pemikir yang mengkritiknya sebagai seorang relativis. Rorty membedakan antara relativisme dalam arti yang merusak (pernicious), dan relativisme dalam arti tidak merusak (innocuous). Dalam arti yang merusak, relativisme dipahami sebagai pandangan yang menyatakan bahwa ada banyak arti kata ‘benar’ di dalam kehidupan manusia, dan setiap kata tersebut memiliki arti yang berbeda tergantung pada konteks yang berbeda pula. Pada titik ini, orang bisa menarik kesimpulan bahwa arti kata ‘benar’ yang satu berada kedudukan yang setingkat dengan arti kata ‘benar’ lainnya. Menurut Rorty, pandangan ini memiliki kontradiksi internal di dalam dirinya sendiri, sekaligus tidak mungkin dianut oleh siapapun.

Sementara, ia sendiri berpendapat bahwa pemikirannya lebih tepat dikategorikan dalam relativisme yang tidak merusak, terutama karena ia masih percaya pada semua praktek dan kebijakan yang diterapkan sekarang ini. Kontras dengan definisi sebelumnya, relativisme dalam arti yang tidak merusak adalah pandangan yang menyatakan bahwa semua praktek dan kepercayaan kita sekarang sama sekali tidak perlu didasarkan pada fondasi filosofis macam apapun. Dengan kata lain, relativisme yang dimaksud Rorty sebenarnya adalah suatu bentuk pragmatisme.

Rorty juga sering dikritik sebagai seorang pemikir yang merumuskan etnosentrisme baru. Menanggapi ini, ia pun membedakan antara etnosentrisme dalam arti yang merusak di satu sisi, dan etnosentrisme dalam arti yang tidak merusak di sisi lain. Dalam arti yang merusak, etnosentrisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa semua orang haruslah mengikuti cara hidup dan keyakinan kita, karena itu merupakan cara hidup dan keyakinan yang paling rasional, obyektif, dan benar. Bagi Rorty, cara pandang semacam ini sangatlah berbahaya. Ia bahkan mendeskripsikan pandangannya sendiri sebagai suatu bentuk ‘etnosentrisme ringan’ (mild ethnocentrism), yakni pandangan yang menyatakan bahwa cara untuk menentukan apakah suatu pandangan itu benar, obyektif, dan rasional adalah masalah prosedur untuk menjustifikasi pandangan tersebut, dan prosedur itu sendiri tidak lagi didasarkan pada satu budaya apapun. Tujuan akhir dari etnosentrisme semacam ini adalah suatu bentuk sikap setia terhadap kebudayaan dan praktek sosial yang kita anut, tetapi sekaligus juga terbuka pada kebudayaan maupun praktek-praktek sosial lainnya.[14]

Dengan demikian, Rorty adalah seorang relativis tanpa menghilangkan kemungkinan untuk melakukan evaluasi kritis terhadap pandangan-pandangan yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Dia juga adalah seorang etnosentris yang memiliki toleransi, dan berupaya menjauh dari sikap dogmatis. Ia adalah seorang liberal yang mendasarkan dirinya sepenuhnya pada demokrasi, dan bukan pada filsafat tentang hakekat manusia. Dan, Rorty adalah seorang pragmatis yang cukup puas dengan kontingensi sebagai bagian dari realitas dan kehidupan manusia, daripada sibuk merumuskan teori tentangnya.[15] Inilah ciri khas dari filsafat politik Richard Rorty.

3. Ruang Publik Para Penyair?

“Kebebasan sebagai pengakuan terhadap kontingensi”

Richard Rorty

David Hall pernah menyebut Richard Rorty sebagai “Penyair dan Nabi dari Pragmatisme baru.”[16] Status ini menjadi semakin masuk akal, ketika kita secara langsung coba membaca tulisan Rorty di dalam Contingency, Irony, and Solidarity. Buku itu memuat pemikirannya mengenai relasi antara ruang publik dan ruang privat, serta peran filsafat pada akhir abad ke-20.

Secara keseluruhan, pemikiran Rorty memang menjangkau berbagai tema. Misalnya, sebagai filsuf yang mendapatkan pengaruh oleh filsafat analitik, Rorty juga banyak merefleksikan problem bahasa dalam kaitannya dengan pengalaman manusia. Dan sebagai salah satu filsuf postmodernis, ia melihat diri (self) sebagai sesuatu yang tidak memiliki pusat (centerless), dan terdiri dari jaringan antara hasrat dan kepercayaan (belief). Dan akhirnya, sebagai seorang pemikir liberal, ia melihat perlunya pemisahan yang tegas antara ruang publik dan ruang privat. Filsafat politik Rorty banyak dikenal sebaagi “ironisme liberal” (liberal ironism). Pandangannya terhadap konsep kebaikan bersama (public good) juga terkait erat dengan konsep ironisme liberal ini. “Berbicara secara filosofis”, demikian tulis Grange dalam artikelnya tentang Rorty, “ia (Rorty) dengan demikian berpengaruh dalam apa yang saya sebut sebagai lenyapnya kebaikan publik.”[17]

Bagi Rorty, ciri hakiki dari realitas keberadaan manusia adalah kontingensi. Hanya kontingensilah yang satu-satunya tetap di dalam diri manusia. Hal ini didapatkannya, setelah ia banyak merefleksikan bagaimana kegagalan manusia di dalam merumuskan ciri mendasar dan permanen dari realitas. Di dalam dua bukunya yang berjudul Linguistic Turn: Philosophy and The Mirror of Nature dan Consequences of Pragmatism, Rorty berupaya memberikan pendasaran epistemologis bagi seluruh bangunan filsafatnya. Cerita besar buku itu begini. Dunia filsafat telah sampai pada kesadaran, bahwa kebenaran eksternal yang ada di dalam realitas tidak pernah bisa diketahui sepenuhnya. Oleh karena itu, filsafat haruslah mengubah pendekatannya, yakni dengan mengandaikan terlebih dahulu bahwa tidak ada jawaban yang final atas semua pertanyaan. Yang ada hanyalah jawaban-jawaban sementara yang terbentuk dalam konteks situasi tertentu yang bersifat partikular. Rorty juga berpendapat, bahwa filsafat analitik telah memberikan pemahaman yang luar biasa tentang relasi antara bahasa, pikiran, dan realitas. Manusia pun telah selalu terjebak di dalam pengalaman berbahasa (linguistic experience). Bahasa adalah pembentuk realitas, serta juga berfungsi sebagai tanda bahwa realitas pada dirinya sendiri tidak akan pernah dapat diketahui. Tidak ada pilihan lain. Tidak ada satupun filsafat ataupun teori yang mampu mengklaim kepastian dan kebenaran epistemisnya. Pencarian fondasi dari seluruh realitas dan kebenaran itu sendiri adalah sesuatu yang absurd. Semua argumen ini bermuara pada tiga hal yang kiranya bisa digunakan untuk memberikan gambaran tentang filsafat Rorty. Pertama, filsafat, baginya, nantinya akan berkembang menjadi studi-studi literatur. Kedua, demokrasi mendahului filsafat. Artinya, demokrasi menjadi penentu cara manusia memahami dan menata dunianya. Dan ketiga, kebenaran hilang, serta digantikan oleh kebebasan.[18]

Filsafat dengan huruf besar “F” sudah hilang, dan digantikan oleh filsafat dengan huruf kecil “f”. Bagi Rorty, perubahan ini adalah sesuatu yang positif, karena pada akhirnya, kita bisa melepaskan diri dari kesibukan bergulat dengan problem-problem filosofis, seperti identitas, substansi, metafisika dan mulai berpikir tentang “manusia”. Pemikiran tentang manusia ini berkembang melalui percakapan-percakapan (conversations), dan filsafat bisa sangat membantu untuk memperdalam percakapan-percakapan tersebut. Bagi Rorty, percakapan ini haruslah dianggap sebagai sesuatu yang serius, karena hanya dengan begitulah pihak yang satu dapat berkomunikasi dengan pihak yang lain. Dengan percakapan, pengertian, toleransi, berkembangnya pemaknaan terhadap dunia bersama bisa diciptakan. Dalam hal ini, ia memiliki kesamaan dengan para sofis di jaman Yunani Kuno, yakni sama-sama memberi prioritas terhadap persuasi dan retorika. Argumentasi rasional dan saintifik hanya menciptakan kebingungan dan kekacauan pikiran. Oleh karena itu, komunikasi yang bermakna harus juga memuat metafor-metafor untuk menyampaikan ide-idenya. Melalui metafor, ide-ide dasar yang menjadi panduan bagi hidup bersama dapat disampaikan secara konkret, dan dapat dengan mudah menyentuh kesadaran kita. “Metafor-metafor itu”, demikian tulis Grange, “adalah makanan di mana nilai-nilai kita dirawat.”[19] Nada dan dinamika retorika dari sebuah refleksi filsafat jauh lebih penting daripada isinya. Dengan demikian, metafora menyingkirkan rasionalitas, dan bahasa-bahasa figuratif menggantikan skemata logis. Dan bahkan, karena kehidupan manusia lebih merupakan suatu aktivitas menginterpretasikan pengalaman dengan menggunakan bahasa, maka realitas pun hanya bisa dipahami sebagai proses pergantian metafor yang pada dasarnya bersifat kontingen. Tampaknya, Rorty semacam mengumumkan terjadinya perubahan kultur, yakni dari kultur saintifik (scientific culture) menuju ke kultur puitis (poetic culture).

Peran yang dulu ditempati oleh para filsuf kini digantikan oleh para penyair dan penulis novel. Merekalah yang kini dapat menggambarkan penderitaan manusia, serta kemudian mendorong manusia untuk bergerak ke arah kemajuan moral. Di dalam dunia yang tidak memiliki fondasi dasar, semua pembicaraan mengenai esensi, substansi, dan rasio universal tidaklah memiliki makna. Makna di dalam dunia sekarang ini hanya dapat ditemukan melalui tulisan-tulisan para sastrawan jenius. Para novelis tersebut menceritakan berbagai keutamaan moral yang muncul di dalam ruang privat, dan kemudian berkembang ke dalam ruang publik. Melalui tulisan-tulisan orang-orang seperti Dickens, Kundera, dan Whitman, kita semua diajak untuk memikirkan ulang peran privat kita di dalam dunia yang bersifat publik. Di dalam dunia yang tidak memiliki kepastian dan memiliki sejarah panjang yang kelam, para penyair dan novelislah yang kini mampu membentuk makna dan memberikan kerangka bagi kehidupan. “Kita hidup tidak hanya dengan roti saja”, demikian Grange, “metafor dan fiksi juga merupakan sumber nutrisi bagi kehidupan.”[20]

Kesepian dan keabsurdan keberadaan manusia hanya dapat dilenyapkan melalui cerita-cerita, narasi, metafor, dan bukan dengan argumentasi rasional yang seringkali bersifat sangat abstrak. Kita hanya dapat memahami nasib dan kehidupan orang lain, jika kita mau mendengarkan cerita mereka. Dan semua cerita selalu bermula dari ruang privat. Jika ruang privat dilenyapkan, maka sama saja kita menghilangkan setiap bentuk kesempatan untuk mencapai pemahaman bersama. Dengan kata lain, kita harus membiarkan setiap individu di dalam ruang privatnya masing-masing, supaya proses kreasi makna di dalam dunia yang absurd ini dapat terus berjalan.

Ada alasan lain yang kiranya bisa membenarkan pemisahan tajam antara ruang publik dan ruang privat. Inilah yang disebut David Hall sebagai “pencarian kesempurnaan privat”.[21] Jika apa yang kita lakukan di dalam kehidupan pribadi kita adalah urusan kita masing-masing, maka apapun yang terjadi di depan kita juga merupakan bagian dari urusan dan tanggung jawab pribadi. Hal ini tentunya semakin jelas, jika kita sepakat dengan pengandaian antropologis Rorty, yakni bahwa manusia itu tidak memiliki pusat (centerless). Dengan tidak adanya hakekat ontologis yang pasti, manusia menjadi mahluk yang sepenuhnya kontingen. Dengan bersikap ‘liberal’, manusia yang kontingen mencoba untuk memahami dunianya, memahami kontradiksi dan paradoks di dalam hidupnya, serta berusaha memberi makna bagi keberadaannya sendiri. Ini adalah upaya yang tidak akan pernah selesai.

Jadi, “yang publik” dan “yang privat” tidak pernah boleh disamakan begitu saja. Pemisahan ini juga memiliki dasar linguistik. “Bahasa dari ruang privat”, demikian tulisnya, “adalah bahasa penciptaan diri individual. Bahasa dari ruang publik adalah bahasa dari penderitaan dan penghinaan – bagaimana mengenali mereka, siapa yang menderita paling besar, dan bagaimana mereka dapat diringankan.”[22] Ruang publik disini dapat dimengerti sebagai ruang untuk bercerita, yakni bercerita tentang berbagai peristiwa negatif maupun penderitaan yang dialami manusia. Cerita ini tidak tinggal bungkam di dalam kesunyian ruang privat, melainkan keluar untuk menjadi bagian dari kehidupan bersama.

Cerita tentang penderitaan ini juga janganlah dihadapi dengan menggunakan argumentasi rasional, karena penderitaan tidak akan mentransendir dirinya melalui argumentasi. Rorty mengajak kita untuk memaknai cerita tentang penderitaan (pain) dan penghinaan (humiliation) di dalam ruang publik dengan sikap ironi. Artinya, tidak ada kata akhir di dalam ruang publik. Yang ada adalah kontingensi yang tak terbatas. Dengan mengambil sikap ironi, orang tidak akan mengabsolutkan pemikiran maupun pernyataan-pernyataannya. Akibatnya, ia bisa tetap terbuka bagi “yang lain-yang tidak mungkin” (the impossible other). Fondasi dasar dari sikap ironi bukanlah sebuah argumentasi abstrak rasional, melainkan sebuah pernyataan sederhana, yakni bahwa “kita adalah orang-orang liberal yang berpikir bahwa kekejaman adalah hal yang paling jelek yang mungkin dilakukan.”[23] Kekejaman disini dapat diartikan sebagai semua tindakan yang menciptakan penderitaan kepada orang lain. Kekejaman juga dapat diartikan sebagai tindakan menghina orang lain dengan merendahkan cara pandang maupun kulturnya, supaya orang lain itu bisa beradaptasi dan mengikuti cara pandang maupun kultur “saya”.

Inilah inti dari ruang publik para penyair dan novelis yang dirumuskan oleh Rorty. Melalui tutur kata dan tulisan-tulisan para penyair, mata kita dibuka untuk melihat penderitaan yang dialami orang lain. Dengan itu, kepekaan dan solidaritas kita diasah, serta kita didorong untuk melenyapkan semua bentuk penderitaan, atau minimal menguranginya. Melalui cerita serta tulisan-tulisan para penyair dan novelis, solidaritas yang didasarkan atas imajinasi atas penderitaan bersama dapat tercipta. Hanya melalui puisi dan novellah kita bisa sungguh-sungguh mengenali penderitaan. Apa yang disebut sebagai keresahan tentang kebaikan publik (public good) pun tidak muncul di dalam diskusi-diskusi rasional, melainkan dari halaman-halaman yang ditulis oleh para novelis dan penyair. Narasi tentang hak-hak asasi manusia tidak lagi didasarkan pada fondasi metafisis tentang manusia, melainkan teriakan dalam hati yang muncul gambaran manusia yang menderita dan terhina.

Memang, ada dilema di dalam argumentasi ini. Rorty pun sudah menyadarinya. Seolah-olah, walaupun ingin dipisahkan sedemikian rupa, ruang publik dan ruang privat tetap terhubung serta jalin menjalin, terutama karena apa yang menjadi kegelisahan privat para penyair dan novelis ditampilkan di dalam tulisan, dan kemudian menjadi bagian dari keprihatinan publik. Menanggapi dilema ini, Rorty menegaskan sekali lagi pentingnya distingsi antara ruang privat dan ruang publik. Di dalam ruang privat, setiap orang berupaya memaknai dunia, serta mewujudkan otonominya. Sementara di dalam ruang publik, orang mengajukan pertanyaan tentang keadilan di dalam ranah sosial politik.

Menurut Rorty, pengandaian dasar Plato, bahwa ruang publik dan ruang privat dapat disatukan di dalam konsep keadilan, tidaklah tepat. Pengandaian semacam itu haruslah ditinggalkan. Apa yang disebut kebaikan publik, bagi Rorty, adalah sesuatu yang kontingen yang sangat tergantung pada bentuk-bentuk wacana serta puisi metaforikal yang berlangsung di suatu tempat tertentu, dan pada kurun waktu tertentu pula. Jadi, ruang publik dan kebaikan publik adalah suatu konsep yang partikular, dan tertanam pada konteks tempat ataupun waktu tertentu. Ruang publik juga bersifat kontingen, yakni terbuka terhadap berbagai konsekuensi ataupun wacana yang sebelumnya tidak terbayangkan. Akan tetapi, ada dua pertanyaan yang kiranya cukup sah untuk diajukan kepada Rorty, yakni apakah ruang publik itu sesuatu yang bersifat imajinatif, dan oleh karenanya bersifat kontingen? Dan, lalu apakah ruang publik itu sekarang ini hanya muncul di antara halaman-halaman tulisan para penulis novel dan penyair? Jika dibahasakan secara lebih lugas, apa ruang publik kini telah menjadi “ruang publik para penyair”?

Rorty sendiri, jika ditanya langsung, tampak akan langsung menjawab pertanyaan ini secara positif. Baginya, di dalam masyarakat majemuk kontemporer dewasa ini, kehidupan bersama di antara orang-orang yang berbeda latar belakang hanya dapat terwujud, jika setiap orang dapat tergerak oleh deskripsi yang diberikan oleh para penulis novel dan penyair tentang identitas masyarakat di mana mereka hidup. Jadi, tugas untuk merekatkan orang-orang yang berbeda di dalam kehidupan bersama tidak lagi berada di tangan filsafat dan teori-teori sosial, tetapi pada kajian-kajian etnografis, laporan-laporan jurnalistik, dan yang terutama adalah melalui novel. Para penulis fiksi terkenal, seperti Dickens, Olive Schreiner, dan Richard Wright mampu menggambarkan secara detil bentuk-bentuk penderitaan yang dialami dan mampu diciptakan oleh manusia. Mereka dapat membantu kita untuk mendefinisikan kembali ‘kesiapaan’ kita. “Oleh karena itulah”, demikian Rorty, “novel, film, dan acara TV telah, secara bertahap namun pasti, menggantikan khotbah dan perjanjian sebagai prinsip untuk perubahan moral dan kemajuan.”[24]

Di dalam pemikiran Rorty, pergantian peran ini akan dapat memenuhi semua bentuk tuntutan akan pengakuan di dalam masyarakat liberal. Tuntutan akan pengakuan ini adalah suatu bentuk perlawanan terhadap semua pemikiran dan teori yang masih menjadikan ‘metafisika tentang manusia’ sebagai landasannya. Dengan menjadikan ruang publik sebagai arena para penyair untuk mengartikulasikan penderitaan dan merumuskan identitas manusia, kita kemudian memahami politik sebagai arena kontingensi bahasa, yakni suatu arena, di mana setiap orang menyadari fleksibilitas kosa kata final yang mereka gunakan, serta terbuka untuk ‘berproses’ bersama orang-orang yang menggunakan kosa kata final yang berbeda. Di dalam tulisannya, Rorty sangat menyadari bahwa ini adalah suatu utopia, atau apa yang disebutnya sebagai utopia liberal (liberal utopia). Ini adalah cita-cita yang terus berusaha untuk diwujudkan, sebuah mimpi yang terus berada di dalam proses. Utopia liberal ini bukanlah sebuah cita-cita tentang kebenaran metafisis yang dirindukan oleh para filsuf, melainkan suatu ide tentang kebebasan yang terus dikejar dan berupaya untuk diwujudkan.[25]

Rorty juga lebih jauh mengidealkan cara berpikir para penyair Romantik (Romantic poets). Menurut Rorty, para penyair Romantik telah menunjukkan dengan sangat jelas bagaimana seni tidak lagi merupakan sebuah imitasi atas alam, melainkan seni sebagai suatu bentuk penciptaan diri.[26] Tempat yang dulunya dimiliki oleh agama dan filsafat kini digantikan oleh seni. Cita-cita pencerahan tentang idealitas cara berpikir ilmiah juga kini digantikan oleh cara berpikir estetik di dalam seni. Novel-novel, puisi, syair, drama, lukisan, patung hasil pahatan, dan bangunan-bangunan yang punya ciri estetik, kesemuanya itu telah mempengaruhi berbagai bentuk perubahan sosial di dalam masyarakat, lebih dari abad-abad sebelumnya. Tempat yang dulu dengan nyaman diduduki oleh para agamawan, filsuf, dan ilmuwan, kini ditempati oleh para penyair, penulis novel, dan seniman.[27] “Apa yang para pemikir Romantik ekspresikan sebagai klaim bahwa imajinasi, dan bukan akal budi, adalah fakultas manusia yang paling utama,” demikian Rorty, “adalah suatu bentuk realisasi dari kemampuan orang untuk berbicara berbeda, dan bukan berargumentasi secara baik, yang sekaligus merupakan elemen utama perubahan budaya.”[28]

Di dalam ruang publik para penyair, kebenaran tidak lagi ditemukan, melainkan dirumuskan secara bersama-sama. Kecenderungan untuk merumuskan semacam kriteria filosofis-rasional guna menentukan apa yang dimaksud dengan ‘esensi dunia’ dan ‘esensi manusia’ telah ditinggalkan. Kecenderungan semacam itu adalah kecenderungan berpikir para filsuf tradisional yang secara jelas ingin ditinggalkan oleh Rorty. Apa yang disebut kebenaran lebih merupakan sesuatu yang dirumuskan, dan bukan sesuatu yang sudah ada di sana, serta siap untuk direngkuh untuk diketahui. Pengetahuan manusia sepenuhnya dimediasi dan mengharuskan adanya bahasa. Bahasa juga sudah selalu merupakan sebuah hasil konstruksi sosial. Kebenaran pun sudah selalu merupakan bentukan bahasa yang juga sudah selalu merupakan hasil kreasi manusia. Oleh karena itu, kebenaran sifatnya kontingen, sama kontingennya seperti perubahan pemahaman bahasa itu sendiri.[29]

Dengan konsep ruang publik para penyair, Rorty tidak hanya mau mengubah konstelasi peran sosial di dalam masyarakat, tetapi ia juga mengajak kita untuk “…mengubah cara kita berbicara, dan dengan demikian mengubah apa yang ingin kita lakukan, dan apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri.”[30] Dengan mengubah cara kita ‘berbicara’, berarti kita juga mengubah identitas kita sebagai manusia. Di dalam ruang publik para penyair, masalah-masalah yang muncul tidak lagi dipandang sebagai masalah filosofis tentang politik, ekonomi, ataupun kehidupan sosial, tetapi lebih merupakan masalah poetik (poetic problems). Artinya, permasalahan yang ada tidaklah berkaitan dengan akar fundamental dari pemahaman tentang realitas ataupun tentang manusia, tetapi lebih merupakan masalah ‘penggunaan metafora-metafora’ (metaphors) yang berbeda untuk menjelaskan dan memahami realitas. “Sebuah kesadaran tentang sejarah manusia sebagai sejarah tentang metafora-metafora yang diteruskan”, demikian Rorty, “akan membuat kita melihat para penyair, dalam arti yang umum sebagai sang pencipta dunia-dunia baru, yang menajamkan bahasa-bahasa baru, dan sebagai barisan depan spesies-spesies.”[31]

Di dalam ruang publik para penyair, seperti sudah sedikit disinggung sebelumnya, konsep kebenaran tidak lagi merupakan sesuatu yang berada di luar waktu dan bersifat universal, tetapi lebih merupakan sebagai “tentara metafor-metafor yang terus bergerak” (mobile army of metaphors). Artinya, upaya kita untuk merumuskan kebenaran yang berlaku untuk semua manusia dan untuk semua konteks haruslah ditinggalkan. Dalam arti itu hanya para penyairlah yang sungguh-sungguh mampu menyadari aspek kontingensi dari kebenaran. Orang-orang pada umumnya selalu terjebak pada kecenderungan untuk menjadi filsuf, yang hendak merumuskan esensi universal dari realitas yang ada di hadapan mereka. “Kita,” demikian Rorty, “dikutuk untuk menggunakan hidup sadar kita mencoba untuk melarikan diri dari kontingensi daripada, seperti para penyair, mengakui dan mengizinkan kontingensi.”[32] Rorty memperoleh argumen semacam ini dari pemikiran Nietzsche. Perbedaan antara para penyair di satu sisi dan orang-orang pada umumnya di sisi lain adalah perbedaan antara manusia yang sesungguhnya di satu sisi, dan binatang di sisi lain. Walaupun para penyair tetaplah merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan alam, sama seperti binatang, tetapi mereka mampu merumuskan serta menyampaikan refleksi mereka atas dunia dengan cara-cara baru yang belum pernah digunakan sebelumnya. Di dalam ruang publik para penyair, perbedaan antara orang kuat dan orang lemah dipandang sebagai perbedaan antara orang-orang yang menggunakan kosa kata baru untuk medeskripsikan realitas di satu sisi, dan orang-orang yang masih terjebak pada kosa kata lama. Perubahan di dalam pemahaman tentang realitas bukanlah tanda kemajuan pengetahuan manusia, tetapi merupakan perubahan cara menggunakan metafor untuk mendeskripsikan realitas yang ada.[33]

Di dalam ruang publik para penyair, perubahan politik tidak lagi dipandang sebagai suatu perubahan yang rasional, tepat karena kriteria apa yang rasional dan apa yang tidak rasional tersebut tidak lagi bisa dipastikan. Menurut Rorty, ketika kita menyadari hal ini, maka kita tidak akan lagi menggunakan kata-kata berikut: “rasional”, “kriteria”, “argumen”, “fondasi”, dan “absolut”. Ruang publik para penyair adalah ruang publik liberal plus kesadaran akan kontingensi radikal dari realitas, di mana segala sesuatu diperbolehkan untuk mengalir, bergerak, dan merumuskan apa yang sesungguhnya menjadi keprihatinan bersama. Pertanyaan dasarnya tidak lagi, “bagaimana kamu sampai pada pengetahuan, atau bagaimana kita dapat sampai pada kebenaran?”, tetapi lebih “mengapa kita membicarakan pengetahuan dan kebenaran dengan cara-cara yang kita gunakan sekarang?”[34]

Ruang publik penyair adalah juga merupakan ruang publik liberal. Di dalam masyarakat liberal, politik persuasi jauh lebih penting daripada politik represi. Persuasi melalui argumentasi adalah sentral. Represi dengan menggunakan senjata dan sensor ditolak. Hal ini menandakan adanya keterbukaan pemikiran di dalam masyarakat liberal tersebut. Akan tetapi, ruang publik yang liberal dalam arti umum masih membutuhkan semacam pengandaian filosofis, bahwa manusia itu merupakan mahluk yang pada esensinya adalah bebas. Hal inilah yang ingin ditolak oleh Rorty. Ruang publik para penyair, dengan demikian, adalah ruang publik liberal minus asumsi metafisis tentang apa itu manusia.

4. Kesimpulan

Seperti sudah dilihat sebelumnya, Rorty hendak menggabungkan proses dekonstruksi terhadap semua bentuk fondasi metafisis di satu sisi, serta komitmen politik terhadap institusi dan praktek-praktek demokrasi liberal di sisi lain.[35] Salah satu aspek penting di dalam argumen ini adalah distingsi tegas yang dibuat oleh Rorty antara ruang publik dan ruang privat. Ruang privat, menurutnya, adalah ruang, di mana setiap orang bebas untuk mengejar cita-cita dan rencana pribadinya. Ruang privat adalah ruang kreasi diri (self-creation). Di dalamnya, setiap orang berhak untuk mewujudkan semua pemikirannya tentang apa itu hidup yang baik. Setiap orang berhak untuk mewujudkan fantasi-fantasi personalnya di dalam ruang privat. Sementara, di dalam ruang publik, orang harus memperhitungkan pendapat dan pemikiran orang lain. Sebagai warga negara di dalam ruang publik, setiap orang haruslah bekerja sama untuk menciptakan kehidupan yang harmonis, toleran, dan mendukung kebahagiaan dari orang-orang yang memiliki pandangan dunia yang berbeda.

Di dalam ruang publik, para penyair, jurnalis, dan penulis novel telah menduduki tempat yang sudah selama berabad-abad diduduki oleh para filsuf. Para penyair dan penulis novel berhasil mengartikulasikan penderitaan manusia ke dalam bahasa-bahasa fiksi dan metafor, serta mendorong kemajuan moral di dalam masyarakat. Di dalam tulisan-tulisan merekalah makna dari kehidupan bisa ditemukan. Keutamaan moral dirumuskan di dalam ruang privat para penyair dan penulis novel, serta kemudian berkembang di dalam ruang publik.

Ruang publik para penyair adalah ruang untuk bercerita tentang semua bentuk penderitaan yang dialami manusia. Cerita-cerita ini memang berangkat dari ruang privat, tetapi alirannya menggaung di dalam kehidupan publik, dan menjadi bagian dari ruang publik. Mata kita seolah terbuka terhadap penderitaan yang dialami banyak manusia, ketika kita membaca tulisan-tulisan para penyair dan penulis novel. Solidaritas pun tumbuh. Kepekaan sosial mulai tercipta. Penderitaan yang sesungguhnya hanya dapat dirasakan dan direfleksikan di dalam syair, puisi, dan novel. Apa yang disebut sebagai keresahan tentang kebaikan publik (public good) pun tidak muncul di dalam diskusi-diskusi rasional, melainkan dari halaman-halaman yang ditulis oleh para novelis dan penyair. Narasi tentang hak-hak asasi manusia tidak lagi didasarkan pada fondasi metafisis tentang manusia, melainkan teriakan dalam hati yang muncul gambaran manusia yang menderita dan terhina.

Di dalam ruang publik para penyair, konsep kebenaran tidak lagi merupakan sesuatu yang berada di luar waktu dan bersifat universal. Kebenaran lebih dipandang sebagai “tentara metafor-metafor yang terus bergerak” (mobile army of metaphors). Artinya, upaya kita untuk merumuskan kebenaran yang berlaku untuk semua manusia dan untuk semua konteks haruslah ditinggalkan. Dalam arti itu hanya para penyairlah yang sungguh-sungguh mampu menyadari aspek kontingensi dari kebenaran. Orang-orang pada umumnya selalu terjebak pada kecenderungan untuk menjadi filsuf, yang hendak merumuskan esensi universal dari realitas yang ada di hadapan mereka. Di dalam ruang publik para penyair, perbedaan antara orang kuat dan orang lemah dipandang sebagai perbedaan antara orang-orang yang menggunakan kosa kata baru untuk medeskripsikan realitas di satu sisi, dan orang-orang yang masih terjebak pada kosa kata lama. Perubahan di dalam pemahaman tentang realitas bukanlah tanda kemajuan pengetahuan manusia, tetapi merupakan perubahan cara menggunakan metafor untuk mendeskripsikan realitas yang ada. Ruang publik para penyair adalah ruang publik yang berupaya mengartikulasikan penderitaan dengan menggunakan metafor-metafor yang kontingen dan berbeda.

6. Tanggapan Terhadap Pemikiran Rorty

Sikap sinis Rorty terhadap semua bentuk klaim kebenaran yang mendasarkan diri pada pengandaian mengenai hakekat manusia mengundang kritik dari berbagai pihak. Bagi para filsuf di abad ke-20, Rorty dijuluki sebagai seorang filsuf yang sembrono dan destruktif. Simon Blackburn, salah seorang filsuf Inggris asal Cambridge, menanggapi keengganan Rorty untuk terlibat dalam perdebatan filosofis sebagai “bakat yang yang luar biasa untuk membungkuk, menghindar, dan bersembunyi di balik asap.”[36]

Salah satu titik kritik utama para filsuf adalah, bahwa Rorty menolak semua bentuk filsafat sebelumnya, yang sebenarnya justru mendefinisikan cara berpikir filosofis di era sekarang. Memang, Rorty memahami filsafat tradisional sebagai suatu refleksi teoritis yang bertujuan untuk menyediakan jawaban yang bersifat konklusif sekaligus didasarkan pada argumentasi rasional terhadap pertanyaan-pertanyaan dasar yang diwariskan oleh sejarah peradaban manusia. Jika dipahami seperti itu, maka sebenarnya filsafat pada hakekatnya bersifat fondasionalistik dan esensialis. Inilah cara berpikir yang disebut Nietzsche sebagai cara berpikir Platonisme. Bagi Rorty, kita harus meninggalkan cara berpikir semacam ini. Filsafat dapat tetap berkembang tanpa harus menggunakan metode Platonis tersebut. Rorty berpendapat bahwa cara berpikir Platonis tersebut sangat mirip dengan cara berpikir filsafat abad pertengahan, yang mengklaim mampu mengetahui realitas yang independen di luar diri manusia, yakni Tuhan beserta semua kehendak maupun perintahNya. Konsekuensi terjauhnya adalah, manusia menjadi budak dari realitas yang berada independen dari manusia tersebut. Dalam konteks ini, Rorty berpendapat bahwa filsafatnya sangat mirip dengan filsafat Sartre, yakni untuk melihat apa yang terjadi, “jika kita mencoba menarik kesimpulan penuh dari posisi seorang ateis yang konsisten”.[37] Tugas filsafat tidak lagi berusaha menampilkan entitas-entitas yang berada di luar diri manusia secara konseptual, melainkan berupaya terus menerus untuk memperbesar kebebasan manusia, dan memperluas kemungkinan untuk terus menafsirkan dan memahami diri (self)-nya.

Jika kita mencoba membaca langsung tulisan-tulisan Rorty, kita akan mendapatkan kesan bahwa kemampuan retorikal yang dimilikinya memang sangatlah kuat. Dengan kemampuan retorikalnya, Rorty mengajak kita untuk mengubah cara kita berpikir tentang dunia maupun tentang diri kita. Misalnya, pada satu waktu, ia mencoba memaparkan pandangan salah satu filsuf yang hendak dikritiknya, sehingga kita bisa langsung tahu bahwa pandangan filsuf tersebut tidak tepat. Pada waktu yang lain, ia seringkali mengajukan argumen yang bertentangan secara langsung dengan pandangan filsuf yang sedang dibahasnya. Dalam hal ini, Rorty tampaknya mengabaikan keketatan logika dan argumentasi yang dirumuskan oleh para filsuf yang hendak dikritiknya. Bagi filsuf yang masih percaya pada adekuasi pandangan filsafat tradisional, memang apa yang dilakukan Rorty ini tampak seperti menghindar dan bersembunyi di balik asap.[38]

Untuk memahami Rorty secara lebih tepat, kita harus memahami tujuan dari filsafatnya. Ia hendak mengganti Filsafat, dengan huruf “F” besar, dengan filsafat, yakni filsafat dengan huruf “f” kecil. Filsafat yang dirumuskannya adalah apa yang disebut sebagai minimalisme filosofis (philosophical minimalism). Ia sangat yakin, bahwa apa yang disebut filsafat selama ini lebih merupakan suatu pemecahan terhadap teka teki (puzzle solving), tidak berguna (useless), tidak memiliki relevansi langsung dengan kehidupan orang sebenarnya, dan sangat berpotensi untuk merusak, yakni membekukan budaya dan memutus rangkaian pencarian epistemis lebih jauh. Daripada sibuk menyusun argumentasi-argumentasi filosofis yang rumit, Rorty mengajak kita untuk melihat realitas secara pragmatis, dan memahami apa yang terjadi sedapat mungkin secara jernih. Rorty sering menulis begini, “Marilah kita mencoba suatu cara berpikir yang baru”, atau “mari kita lihat apa yang terjadi, jika kita mencoba dengan cara ini”. Dengan demikian, Rorty lebih memilih untuk merumuskan cara berpikir baru daripada melanjutkan perdebatan klasik yang telah ada sepanjang sejarah filsafat.

Akan tetapi, saya pribadi tidak puas dengan argumentasi Rorty yang memang tampak seperti “mengelak” dari perdebatan tersebut. Saya sendiri merasa, bahwa jika Rorty masih tetap berpikir dengan menggunakan pola minimalisme filosofisnya, maka ia justru akan kehilangan hakekat dan faktor-faktor penting yang membuat filsafat sungguh dapat memberikan makna bagi kehidupan manusia. Upayanya untuk dapat merumuskan suatu ‘cara berpikir baru’ justru akan menjadi sia-sia, jika ia melepaskan segala sesuatu yang justru dianggap bernilai di dalam kehidupan manusia. Jean Bethke Elshtain, seorang komentator Rorty, berpendapat bahwa apa yang dirumuskan Rorty terlalu dangkal untuk bisa membuat orang lain bisa memahami diri maupun dunia mereka. Konsep Rorty tentang manusia dan kesadaran moralnya tampak terlalu dangkal dan superfisial untuk dihayati. Jika diterapkan, konsep tersebut tidak akan bisa menjelaskan mengapa ada orang yang bersedia mati demi cita-cita mereka, serta mampu memiliki kesetiaan pada kewajiban mereka, entah sebagai warga negara, ataupun sebagai orang tua misalnya.

Di dalam buku Contingency, Irony, and Solidarity, Rorty merumuskan konsep yang disebutnya sebagai ‘kosa kata-kosa kata final’ (final vocabularies), yakni suatu klaim bahwa ada berbagai macam orientasi fundamental di dalam kehidupan manusia, di mana orang bisa hidup dan berkembang. Kosa kata final inilah yang menjadi titik tolak bagi seseorang untuk mengekspresikan pandangan-pandangan maupun aspirasinya. Jadi, orang bisa menyatakan bahwa saya merasa “senang”, “sedih”, atau saya berpendapat bahwa anda adalah seorang yang “pintar”, “memalukan”, atau “mulia” dengan mengacu pada tolok ukur fundamental yang orang tersebut yakini. Tolok ukur fundamental itulah kriteria yang diyakini secara subyektif, dan kemudian digunakan untuk mengekspresikan pikiran-pikiran seseorang. Jika kita melihat orang yang menolak penindasan buruh, maka cukuplah kita melihat dan memahami kosa kata final yang diyakini orang itu. Dan sebagai seorang yang mengidealkan nilai-nilai ironisme liberal, Rorty berpendapat bahwa kosa kata final seseorang juga bersifat kontingen, yakni suatu produk dari konstruk sosial tertentu yang tentu saja dapat berubah.[39]

Akan tetapi, pada hemat saya, argumen Rorty tidaklah cukup untuk menjelaskan keterlibatan seseorang pada suatu nilai tertentu yang mendorong dia, mungkin saja, untuk mengorbankan dirinya sendiri. Rorty tidak berhasil menjelaskan, mengapa seseorang bisa mengorbankan segalanya untuk mewujudkan apa yang ia anggap sebagai benar. Ia hanya menjelaskan, bahwa seseorang ‘menggunakan kosa kata tertentu’ yang membuat dia melakukan suatu hal yang mungkin saja bertentangan dengan akal sehat. Dengan argumentasi ini, Rorty kehilangan nuansa makna yang justru sebenarnya sangat fundamental untuk memahami komitmen moral seseorang, yang mendorongnya untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Kedalaman pemahaman tentang makna dan komitmen inilah yang, menurut saya, kurang direfleksikan oleh Rorty.

Pada hemat saya, kritik paling dalam yang juga dapat diajukan bagi konsep ruang publik maupun filsafat politik Rorty adalah konsepsinya tentang peran filsuf dan para teoritikus sosial di dalam masyarakat yang sangat bersifat minimalis dan reduktif. Seperti yang sudah dipaparkan di tulisan ini, Rorty berpendapat bahwa tugas memahami penderitaan manusia, dan kemudian menyebarkan kesadaran akan penderitaan tersebut tidak lagi berada di pundak para filsuf dan teoritikus sosial, tetapi kini menjadi tugas para novelis, jurnalis, dan para penyair. Hanya merekalah yang dapat sungguh memahami kompleksitas realitas kehidupan manusia. Mungkin, Rorty berpendapat bahwa para filsuf dan para teoritikus sosial mudah sekali jatuh ke dalam cara berpikir yang hendak merumuskan metafisika tentang penderitaan, dan tepat inilah yang ditolak oleh Rorty. Akan tetapi, bukankah jauh lebih baik jika dikatakan, bahwa semua pihak sekarang ini haruslah diberikan ruang secukupnya untuk mengartikulasikan realitas yang mereka hayati, dan kemudian mengajak orang untuk lebih memahami mereka? Alih-alih mereduksikan peran memahami dan mendeskripsikan penderitaan hanya kepada para novelis, jurnalis, dan penyair, bukankah lebih baik setiap orang punya hak dan kewajiban untuk mengartikulasikan penderitaan mereka, juga dengan ‘bahasa-bahasa’ yang mereka yakini?

Lepas dari itu, satu hal yang juga, menurut saya, cukup bisa dipelajari dari pemikiran Rorty adalah keberaniannya untuk merumuskan suatu bentuk ‘cara berpikir’ yang baru. Ia mengajak kita untuk melihat berbagai hal dengan sudut pandang yang baru, yakni cara berpikir kontingen. Cara berpikir ini dibangun atas dasar kesadaran, bahwa realitas dan segala sesuatu yang ada di dalamnya bersifat kontingen. Artinya, segala sesuatu itu bersifat tidak pasti, terbuka pada perubahan. Konsep ruang publik pun, di mana wacana tentang keadilan dan solidaritas berkembang, juga selalu bersifat kontingen. Keadilan dan solidaritas tersebut mengalir di dalam artikulasi para penulis novel, penyair, dan jurnalis. Dari tulisan mereka, kita bisa sungguh memahami apa arti penderitaan, keadilan, dan solidaritas sebenarnya. Melalui tulisan mereka jugalah, menurut Rorty, kita bisa memahami apa arti kehidupan.**


Daftar Pustaka

Charles Guignon dan David R. Hiley, Richard Rorty, Cambridge, Cambridge University Press, 2003

Grange, Joseph, “The Disappearance of the Public Good: Confusius, Dewey, and Rorty”, dalam Philosophy East & West, Volume 46, Number 3, July 1996, hal. 351-366.

O’Neill, Shane, “Private Irony and the Public Hope of Richard Rorty’s Liberalism”, dalam Public & Private. Legal, Political, and Philosophical Perspectives, Maurizio Passerin d’Entrèves dan Ursula Vogel (ed), London, Routledge, 2000

Rorty, Richard, Contingency, Irony, and Solidarity, Cambridge, Cambridge University Press, 1989.

Wattimena, Reza A.A, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta, Kanisius, 2007

http://en.wikipedia.org/wiki/Public_sphere

http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/136



[2] Lihat, Reza A.A Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta, Kanisius, 2007, hal. 97-150.

[3] Bdk, Ibid.

[4] Saya menggunakan Richard Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity, Cambridge, Cambridge University Press, 1989.

[5] Uraian pada bagian ini diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap Charles Guignon dan Davd R. Hiley, Richard Rorty, Cambridge, Cambridge University Press, 2003, hal. 1-40.

[6] Richard Rorty, Philosophy and The Mirror of Nature, hal. 377, dalam Guignon dan Hiley, 2003, hal. 22.

[7] Lihat, ibid, hal. 24.

[8] Ibid.

[9] Ibid, hal. 25.

[10] Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity, hal. xv, seperti dikutip oleh ibid, hal. 26.

[11] Ibid.

[12] Ibid, hal. 27.

[13] Rorty, Contingency…., hal. 192. dalam ibid.

[14] Lihat, Guignon dan Hiley, 2003, hal. 28.

[15] Ibid.

[16] Lihat David Hall, Richard Rorty: Poet and Prophet of New Pragmatism, Albany, State University of New York Press, 1994, seperti dikutip dari Joseph Grange, “The Disappearance of the Public Good: Confusius, Dewey, and Rorty”, dalam Philosophy East & West, Volume 46, Number 3, July 1996, hal. 351-366. Bagian ini banyak diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap artikel Grange ini.

[17] Grange, 1996, hal. 358.

[18] Ibid.

[19] Ibid, hal. 359.

[20] Ibid.

[21] Hall, 1994, hal. 230-236, dalam Grange, 1996, hal. 360.

[22] Ibid.

[23] Richart Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity, Cambridge, Cambridge University Press, 1989, hal. xv, dalam Grange, ibid.

[24] Rorty, 1989, hal. xvi.

[25] Lihat, ibid.

[26] Keterangan lebih jauh dapat dilihat dalam http://rezaantonius.multiply.com/journal/item/136

[27] Lihat, Rorty, 1989, hal. 3.

[28] Ibid, hal. 7.

[29] Lihat, ibid.

[30] Ibid, hal. 20.

[31] Ibid.

[32] Ibid, hal. 28.

[33] Lihat, ibid, hal. 29.

[34] Lihat, ibid, hal. 51.

[35] Lihat, Shane O’Neill, “Private Irony and the Public Hope of Richard Rorty’s Liberalism”, dalam Public & Private. Legal, Political, and Philosophical Perspectives, Maurizio Passerin d’Entrèves dan Ursula Vogel (ed), London, Routledge, 2000, hal. 51.

[36] Simon Blackburn, “The Professor of Complacence”, dalam The New Republic, 225, 20 Agustus, 2001, hal. 39-42, dalam Guignon dan Hiley, 2003, hal. 30.

[37] Ibid.

[38] Ibid.

[39] Lihat, ibid, hal. 37.

Filsafat Trauma Sosial

Filsafat Trauma Sosial

Sebuah kemungkinan

pemikiran bagi konsep Trauma Sosial

Reza A. A Wattimena

Untuk memahami trauma, menurut Mehta, kita perlu pertama-tama menggunakan pendekatan epistemologis (Mehta, 2006). Di dalam filsafat, epistemologi adalah cabang dari filsafat yang hendak merefleksikan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengetahuan manusia. Pertanyaan-pertanyaan dasar, seperti bagaimana kita bisa sampai pada pengetahuan, apa batas-batas pengetahuan manusia, dan apa perbedaan antara pengetahuan ilmiah dan pengetahuan yang tidak ilmiah, adalah pertanyaan-pertanyaan yang menjadi bahan refleksi epistemologi. Dengan demikian, epistemologi dapat juga disebut sebagai teori tentang pengetahuan (theory of knowledge). (Wattimena, 2008)

Konsep trauma juga dapat direfleksikan dengan pendekatan epistemologis. Dengan pendekatan ini, menurut Mehta, kita bisa sampai pada pengertian yang cukup spesifik tentang trauma, dan perbedaannya jika dibandingkan dengan kesedihan, ataupun shock. Kita hendak mencari definisi yang cukup rigid tentang trauma. Dengan rigid, Mehta mengartikannya sebagai berikut; jika ada sesuatu yang memiliki kondisi-kondisi yang diperlukan untuk terjadinya trauma, maka itu pastilah dapat dikategorikan sebagai trauma, dan bukan kesedihan, shock, ataupun depresi. Kita akan memulai refleksi tentang trauma dengan terlebih dahulu memahami kondisi-kondisi kemungkinan (condition of possibilities) bagi terciptanya trauma.

Pertama-tama, trauma bukanlah sesuatu yang muncul dari kekosongan, melainkan memiliki sebab yang jelas. Trauma adalah akibat yang disebabkan oleh faktor-faktor tertentu. Tanpa faktor-faktor tersebut, trauma tidak akan pernah tercipta. Artinya, penyebab dari trauma adalah sesuatu ‘yang lain’ dari trauma itu sendiri.Kedua, trauma memiliki kecenderungan untuk mengalami peningkatan intensitas. Selama sebab dari trauma itu masih ada, selama itu pula intensitas trauma akan terus meningkat. Ketiga, trauma akan terus ada, walaupun sebabnya sudah tidak ada. Jadi, walaupun sebabnya sudah tidak ada, trauma akan terus ada. Trauma tidak langsung lenyap, ketika sebabnya sudah tidak ada. “Selama korban dan keturunannya masih hidup”, demikian tulis Mehta, “trauma tidak akan hilang, tetapi menyelinap secara tidak kelihatan ke dalam waktu dan ketidaksadaran.” (ibid) Dan keempat, trauma akan berlangsung selama-lamanya. Bahkan jika orang yang mengalami dan keturunannya sudah tidak ada, trauma terus ada, dan berubah menjadi semacam legenda tragis dari masa lalu, serta terus menghantui peradaban selanjutnya. Jadi, trauma memiliki karaker ‘keabadian’. Dengan karakter ini, kita bisa dengan mudah membedakan trauma dari shock, kesedihan, ataupun stress, yang walaupun membuat korban mengalami penderitaan, tetapi penderitaan tersebut tidak berlangsung ‘abadi’.

Trauma, selain mempunyai sebab, juga membutuhkan korban. Tanpa korban, trauma tidak akan pernah tercipta. Korban dari trauma juga bukanlah sembarang korban, melainkan korban manusia (human victim). Secara psikologis, trauma adalah penghayatan subyektif-negatif atas suatu peristiwa obyektif. Dan hanya manusialah yang memiliki ‘privilese’ untuk mengalami itu. Walaupun korbannya adalah manusia, trauma tidak harus dialami oleh satu orang saja. Trauma bisa dialami oleh sebuah desa, sebuah suku, sebuah bangsa, dan bahkan di alami oleh ‘kemanusiaan’ sebagai keseluruhan.

Pada titik ini, anda seharusnya bisa meraba, bahwa definisi trauma bukanlah suatu definisi yang spesifik dan bisa dirampatkan ke dalam satu kalimat, melainkan definisi yang melibatkan beberapa parameter. Saya ingin menambahkan satu parameter lagi. Trauma itu adalah sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata inderawi. Trauma bukanlah suatu entitas fisik, maka trauma tidak pernah dapat dilihat, diraba, atau dihancurkan oleh kekuatan fisik. Sebab dari trauma mungkin bisa merupakan sebab material, seperti akibat ledakan bom atom, tetapi trauma itu sendiri tidaklah material. Trauma lebih tepat digambarkan sebagai sebuah perasaan. Trauma mempengaruhi emosi dan pikiran manusia. Pengaruh yang terutama sekali adalah pengaruh yang membawa pikiran dan emosi manusia pada kondisi-kondisi negatif, seperti kecemasan, ketidakberdayaan, dan dendam.

Ambillah contoh tentang teror. Apapun sebabnya, suatu peristiwa yang bersifat teroristik selalu mengakibatkan hadirnya perasaan takut dan sedih di dalam diri korban. Perasaan takut dan sedih tersebut seolah menyiksa korban untuk jangka waktu yang lama, dan bahkan seumur hidupnya. Bahkan ribuan tahun setelah Kekaisaran Roma menghancurkan Peradaban Yunani Kuno, reruntuhan akibat peristiwa kehancuran tersebut tetap menjadi saksi mata dari kesedihan dan penderitaan yang tidak lenyap dimakan oleh waktu. Reruntuhan seolah bersaksi tentang penderitaan yang mereka rasakan. Trauma yang diakibatkan oleh hancurnya suatu peradaban tidaklah terlihat oleh mata, namun menghantui kemanusiaan selama-lamanya.

Lalu, bagaimana dengan trauma individual? Bagaimana dengan trauma, seperti yang dicontohkan oleh Mehta, yagn dialami oleh seorang ibu yang harus memilih satu di antara dua anaknya yang lahir cacat? Di titik ini, trauma hanya dialami oleh sekelompok orang tertentu. Akan tetapi, karakternya tetap, trauma yang dirasakan oleh ibu tersebut tidak terlihat oleh mata, tetapi sebabnya terlihat. Trauma tersebut juga terasa oleh ibu itu seumur hidupnya.

Ada seorang ibu yang terpaksa harus membunuh anaknya sendiri untuk menyelamatkan anak tersebut dari perbudakan. Trauma yang dialami ibu itu memang bersifat individual, tetapi gaung dari trauma tersebut berbunyi melewati ruang dan waktu, serta kemudian bermukim di hati semua orang tertindas di muka bumi ini, yang sampai sekarang masih berjuang untuk meraih kebebasan untuk diri maupun anak-anak mereka. Cerita sedih ini bermukim di hati sanubari perasaan kemanusiaan kita. Dilihat secara parsial, peristiwa ini tidaklah signifikan untuk dunia. Akan tetapi, dilihat secara kolosal, trauma yang dirasakan ibu tersebut mempengaruhi seluruh kemanusiaan kita selamanya. Korban pengejaran dan penahaman orang-orang yang dituduh PKI pada 1965 dan tahun-tahun berikutnya mengalami trauma, karena menyaksikan secara langsung bagaiman kemanusiaan diinjak-injak oleh kekuasaan. Mereka menyaksikan bagaimana orang ditembak, dan mayatnya dibuang begitu saja. Kejadian tersebut berlangsung selama beberapa tahun, tetapi traumanya dirasakan terus oleh bangsa Indonesia sampai sekarang, dan bahkan sampai selama-lamanya. Jenis trauma ini adalah trauma sosial yang berskala massal, dan bekasnya terus terngiang di dalam rasa kemanusiaan kita. (Wattimena, 2006)

Dengan demikian, segala sesuatu yang memiliki sebab, membuat manusia menderita untuk jangka waktu yang lama, membuat manusia merasa sedih, cemas, dan takut, serta menghantui generasi mendatang, dapatlah disebut sebagai trauma. Trauma mencakup pula semua bentuk penyiksaan, seperti penyiksaan pada anak, perbudakan, kemiskinan, perang, pembersihan etnis, dan penciptaan kamp-kamp konsentrasi. Trauma itu, pada hakekatnya, adalah bersifat sosial. Semua bentuk trauma personal memang dialami secara konkret oleh individu singular, tetapi akibat dan gaung dari trauma tersebut terasa di dalam resonansi rasa kemanusiaan kita. Trauma personal, pada hakekatnya, mungkin adalah trauma sosial.

Daftar Acuan:

http://chir.ag/papers/philosophy-trauma.shtml

Tanggapan Terhadap Rorty

Tanggapan Terhadap Rorty

Sikap sinis Rorty terhadap semua bentuk klaim kebenaran yang mendasarkan diri pada pengandaian mengenai hakekat manusia mengundang kritik dari berbagai pihak. Bagi para filsuf di abad ke-20, Rorty dijuluki sebagai seorang filsuf yang sembrono dan destruktif. Simon Blackburn, salah seorang filsuf Inggris asal Cambridge, menanggapi keengganan Rorty untuk terlibat dalam perdebatan filosofis sebagai “bakat yang yang luar biasa untuk membungkuk, menghindar, dan bersembunyi di balik asap.”

Salah satu titik kritik utama para filsuf adalah, bahwa Rorty menolak semua bentuk filsafat sebelumnya, yang sebenarnya justru mendefinisikan cara berpikir filosofis di era sekarang. Memang, Rorty memahami filsafat tradisional sebagai suatu refleksi teoritis yang bertujuan untuk menyediakan jawaban yang bersifat konklusif sekaligus didasarkan pada argumentasi rasional terhadap pertanyaan-pertanyaan dasar yang diwariskan oleh sejarah peradaban manusia. Jika dipahami seperti itu, maka sebenarnya filsafat pada hakekatnya bersifat fondasionalistik dan esensialis. Inilah cara berpikir yang disebut Nietzsche sebagai cara berpikir Platonisme. Bagi Rorty, kita harus meninggalkan cara berpikir semacam ini. Filsafat dapat tetap berkembang tanpa harus menggunakan metode Platonis tersebut. Rorty berpendapat bahwa cara berpikir Platonis tersebut sangat mirip dengan cara berpikir filsafat abad pertengahan, yang mengklaim mampu mengetahui realitas yang independen di luar diri manusia, yakni Tuhan beserta semua kehendak maupun perintahNya. Konsekuensi terjauhnya adalah, manusia menjadi budak dari realitas yang berada independen dari manusia tersebut. Dalam konteks ini, Rorty berpendapat bahwa filsafatnya sangat mirip dengan filsafat Sartre, yakni untuk melihat apa yang terjadi, “jika kita mencoba menarik kesimpulan penuh dari posisi seorang ateis yang konsisten”.  Tugas filsafat tidak lagi berusaha menampilkan entitas-entitas yang berada di luar diri manusia secara konseptual, melainkan berupaya terus menerus untuk memperbesar kebebasan manusia, dan memperluas kemungkinan untuk terus menafsirkan dan memahami diri (self)-nya.

Jika kita mencoba membaca langsung tulisan-tulisan Rorty, kita akan mendapatkan kesan bahwa kemampuan retorikal yang dimilikinya memang sangatlah kuat. Dengan kemampuan retorikalnya, Rorty mengajak kita untuk mengubah cara kita berpikir tentang dunia maupun tentang diri kita. Misalnya, pada satu waktu, ia mencoba memaparkan pandangan salah satu filsuf yang hendak dikritiknya, sehingga kita bisa langsung tahu bahwa pandangan filsuf tersebut tidak tepat. Pada waktu yang lain, ia seringkali mengajukan argumen yang bertentangan secara langsung dengan pandangan filsuf yang sedang dibahasnya. Dalam hal ini, Rorty tampaknya mengabaikan keketatan logika dan argumentasi yang dirumuskan oleh para filsuf yang hendak dikritiknya. Bagi filsuf yang masih percaya pada adekuasi pandangan filsafat tradisional, memang apa yang dilakukan Rorty ini tampak seperti menghindar dan bersembunyi di balik asap.

Untuk memahami Rorty secara lebih tepat, kita harus memahami tujuan dari filsafatnya. Ia hendak mengganti Filsafat, dengan huruf “F” besar, dengan filsafat, yakni filsafat dengan huruf “f” kecil. Filsafat yang dirumuskannya adalah apa yang disebut sebagai minimalisme filosofis (philosophical minimalism). Ia sangat yakin, bahwa apa yang disebut filsafat selama ini lebih merupakan suatu pemecahan terhadap teka teki (puzzle solving), tidak berguna (useless), tidak memiliki relevansi langsung dengan kehidupan orang sebenarnya, dan sangat berpotensi untuk merusak, yakni membekukan budaya dan memutus rangkaian pencarian epistemis lebih jauh. Daripada sibuk menyusun argumentasi-argumentasi filosofis yang rumit, Rorty mengajak kita untuk melihat realitas secara pragmatis, dan memahami apa yang terjadi sedapat mungkin secara jernih. Rorty sering menulis begini, “Marilah kita mencoba suatu cara berpikir yang baru”, atau “mari kita lihat apa yang terjadi, jika kita mencoba dengan cara ini”. Dengan demikian, Rorty lebih memilih untuk merumuskan cara berpikir baru daripada melanjutkan perdebatan klasik yang telah ada sepanjang sejarah filsafat.

Akan tetapi, saya pribadi tidak puas dengan argumentasi Rorty yang memang tampak seperti “mengelak” dari perdebatan tersebut. Saya sendiri merasa, bahwa jika Rorty masih tetap berpikir dengan menggunakan pola minimalisme filosofisnya, maka ia justru akan kehilangan hakekat dan faktor-faktor penting yang membuat filsafat sungguh dapat memberikan makna bagi kehidupan manusia. Upayanya untuk dapat merumuskan suatu ‘cara berpikir baru’ justru akan menjadi sia-sia, jika ia melepaskan segala sesuatu yang justru dianggap bernilai di dalam kehidupan manusia. Jean Bethke Elshtain, seorang komentator Rorty, berpendapat bahwa apa yang dirumuskan Rorty terlalu dangkal untuk bisa membuat orang lain bisa memahami diri maupun dunia mereka. Konsep Rorty tentang manusia dan kesadaran moralnya tampak terlalu dangkal dan superfisial untuk dihayati. Jika diterapkan, konsep tersebut tidak akan bisa menjelaskan mengapa ada orang yang bersedia mati demi cita-cita mereka, serta mampu memiliki kesetiaan pada kewajiban mereka, entah sebagai warga negara, ataupun sebagai orang tua misalnya.

Di dalam buku Contingency, Irony, and Solidarity, Rorty merumuskan konsep yang disebutnya sebagai ‘kosa kata-kosa kata final’ (final vocabularies), yakni suatu klaim bahwa ada berbagai macam orientasi fundamental di dalam kehidupan manusia, di mana orang bisa hidup dan berkembang. Kosa kata final inilah yang menjadi titik tolak bagi seseorang untuk mengekspresikan pandangan-pandangan maupun aspirasinya. Jadi, orang bisa menyatakan bahwa saya merasa “senang”, “sedih”, atau saya berpendapat bahwa anda adalah seorang yang “pintar”, “memalukan”, atau “mulia” dengan mengacu pada tolok ukur fundamental yang orang tersebut yakini. Tolok ukur fundamental itulah kriteria yang diyakini secara subyektif, dan kemudian digunakan untuk mengekspresikan pikiran-pikiran seseorang. Jika kita melihat orang yang menolak penindasan buruh, maka cukuplah kita melihat dan memahami kosa kata final yang diyakini orang itu. Dan sebagai seorang yang mengidealkan nilai-nilai ironisme liberal, Rorty berpendapat bahwa kosa kata final seseorang juga bersifat kontingen, yakni suatu produk dari konstruk sosial tertentu yang tentu saja dapat berubah.

Akan tetapi, pada hemat saya, argumen Rorty tidaklah cukup untuk menjelaskan keterlibatan seseorang pada suatu nilai tertentu yang mendorong dia, mungkin saja, untuk mengorbankan dirinya sendiri. Rorty tidak berhasil menjelaskan, mengapa seseorang bisa mengorbankan segalanya untuk mewujudkan apa yang ia anggap sebagai benar. Ia hanya menjelaskan, bahwa seseorang ‘menggunakan kosa kata tertentu’ yang membuat dia melakukan suatu hal yang mungkin saja bertentangan dengan akal sehat. Dengan argumentasi ini, Rorty kehilangan nuansa makna yang justru sebenarnya sangat fundamental untuk memahami komitmen moral seseorang, yang mendorongnya untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Kedalaman pemahaman tentang makna dan komitmen inilah yang, menurut saya, kurang direfleksikan oleh Rorty.

Pada hemat saya, kritik paling dalam yang juga dapat diajukan bagi konsep ruang publik maupun filsafat politik Rorty adalah konsepsinya tentang peran filsuf dan para teoritikus sosial di dalam masyarakat yang sangat bersifat minimalis dan reduktif. Seperti yang sudah dipaparkan di tulisan ini, Rorty berpendapat bahwa tugas memahami penderitaan manusia, dan kemudian menyebarkan kesadaran akan penderitaan tersebut tidak lagi berada di pundak para filsuf dan teoritikus sosial, tetapi kini menjadi tugas para novelis, jurnalis, dan para penyair. Hanya merekalah yang dapat sungguh memahami kompleksitas realitas kehidupan manusia. Mungkin, Rorty berpendapat bahwa para filsuf dan para teoritikus sosial mudah sekali jatuh ke dalam cara berpikir yang hendak merumuskan metafisika tentang penderitaan, dan tepat inilah yang ditolak oleh Rorty. Akan tetapi, bukankah jauh lebih baik jika dikatakan, bahwa semua pihak sekarang ini haruslah diberikan ruang secukupnya untuk mengartikulasikan realitas yang mereka hayati, dan kemudian mengajak orang untuk lebih memahami mereka? Alih-alih mereduksikan peran memahami dan mendeskripsikan penderitaan hanya kepada para novelis, jurnalis, dan penyair, bukankah lebih baik setiap orang punya hak dan kewajiban untuk mengartikulasikan penderitaan mereka, juga dengan ‘bahasa-bahasa’ yang mereka yakini?

Lepas dari itu, satu hal yang juga, menurut saya, cukup bisa dipelajari dari pemikiran Rorty adalah keberaniannya untuk merumuskan suatu bentuk ‘cara berpikir’ yang baru. Ia mengajak kita untuk melihat berbagai hal dengan sudut pandang yang baru, yakni cara berpikir kontingen. Cara berpikir ini dibangun atas dasar kesadaran, bahwa realitas dan segala sesuatu yang ada di dalamnya bersifat kontingen. Artinya, segala sesuatu itu bersifat tidak pasti, terbuka pada perubahan. Konsep ruang publik pun, di mana wacana tentang keadilan dan solidaritas berkembang, juga selalu bersifat kontingen. Keadilan dan solidaritas tersebut mengalir di dalam artikulasi para penulis novel, penyair, dan jurnalis. Dari tulisan mereka, kita bisa sungguh memahami apa arti penderitaan, keadilan, dan solidaritas sebenarnya. Melalui tulisan mereka jugalah, menurut Rorty, kita bisa memahami apa arti kehidupan.**

Belajar “Hidup” bersama Richard Rorty

Belajar “Hidup”

bersama Richard Rorty

Bagaimana membaca pluralisme agama dan budaya dengan kaca mata ‘kontingensi’? Lebih dari itu, bagaimana membaca hakekat kita sebagai manusia dengan sudut pandang yang lebih segar, dinamis, serta toleran?

Konflik antar  maupun internal agama dan konflik antar budaya telah seolah menjadi rutinitas di dalam masyarakat kita. Sayangnya, rutinitas tersebut bersifat destruktif, dan cepat atau lambat akan menghancurkan persatuan bangsa kita.

Fenomena bunuh diri, depresi, dan stress temporal sampai permanen telah menjadi salah satu ‘rutinitas’ juga di kalangan pekerja di Jakarta. Bangsa kita tengah berjalan menuju krisis yang lebih besar, baik sebagai komunitas maupun sebagai individu-individu yang tergabung di dalam komunitas tersebut.

Bagaimana memaknai semua ini? Richard Rorty mengajukan satu argumen yang cukup menarik, yakni bahwa penyebab utama semua konflik politik di abad ke-20 adalah absolutisasi konsep diri dan konsep komunitas yang kemudian prakteknya didasarkan pada absolutisasi konsep tersebut. Bagaimana ini dijelaskan?

Filsafat Rorty

Sejak pertengahan dekade 1980-an, Rorty banyak memfokuskan refleksinya di dalam ranah filsafat politik dan filsafat sosial.[1] Di dalam tulisan-tulisannya yang berjudul Postmodernist Bourgeois Liberalism; The Priority of Democracy to Philosophy; Contingency, Irony, and Solidarity, dan di dalam Achieving Our Country, ia merumuskan pandangannya mengenai konsep diri (self), perbedaan antara kehidupan publik dan kehidupan privat, solidaritas sosial, kultur demokrasi, dan politik kiri (leftist politics).

Rorty menyatakan bahwa cara berpikir kita haruslah dilepaskan dari cara berpikir filsafat tradisional yang hendak mencari hakekat dan esensi dari segala sesuatu. “Filsafat tradisional”, demikian tulisnya, “mencari pengetahuan yang bersifat final, dan bila berhasil didapatkan, semua itu akan menghasilkan kebudayaan yang dibekukan dan dehumanisasi manusia.”[2]

Seluruh filsafat sebelumnya, menurut Rorty, adalah pencarian kebenaran metafisis yang bersifat mutlak untuk menyangkal kodrat kontingensi manusia. Dan berlawanan dengan itu, Rorty secara gamblang mengajukan argumen bahwa justru manusia harus meningkatkan kepekaan terhadap kontingensi dirinya sendiri, sehingga ia terhindar dari dehumanisasi dan pembekuan atau stagnasi budaya.

Inilah yang disebut sebagai cara berpikir antifondasionalisme. Intensi moral dari cara berpikir ini adalah untuk mengembangkan semua kemungkinan-kemungkinan yang dimiliki manusia dengan mengafirmasi kebebasannya, sekaligus mengembangkan potensi-potensi yang mungkin saja tidak terpikirkan sebelumnya.

Salah satu yang menjadi tujuan Rorty adalah untuk mengembalikan manusia pada kesadaran awalnya, bahwa mereka adalah mahluk yang kontingen dan terbatas. Dengan argumen ini, Rorty sebenarnya ingin mengkritik konsepsi manusia di dalam filsafat Cartesian yang menekankan faktor keutuhan diri dan kodrat manusia yang bersifat tetap.

Cara pandang Cartesian terhadap manusia hanyalah salah satu cara pandang yang bersanding dengan berbagai cara pandang lainnya. Tidak ada analisis apapun yang mampu memahami dan mengkonseptualisasi keutuhan kodrat manusia secara penuh.

Dalam hal ini, Rorty memang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Nietzsche dan Freud. Memang, di dalam berbagai tulisannya, Nietzsche dan Freud sudah mengakhiri semua usaha filosofis untuk merumuskan kodrat esensial manusia.

Manusia itu lebih merupakan suatu kontingensi yang berkembang terus menerus melalui penemuan diri (self-discovery) dan pengaruh lingkungan sosial tempat ia hidup dan berkembang.[3]

Cara pandang semacam ini juga menjadi dasar bagi pandangannya mengenai solidaritas sosial. Argumennya begini, jika kita sudah menyadari sisi kontingensi dari diri manusia, maka kebenaran pun sebenarnya bukan sesuatu yang ditemukan di dalam realitas, tetapi sesuatu yang diciptakan.

Dan karena kebenaran sendiri adalah sesuatu yang diciptakan, maka hakekat dari diri kita dan komunitas di mana kita hidup pun sebenarnya diciptakan. Dengan bekal kesadaran semacam ini, kita akan memperoleh lebih banyak kebebasan.

Solidaritas kita terhadap manusia lain pun meningkat. Manusia tidaklah memiliki esensi yang tetap. Tidak ada kodrat manusia yang bersifat metafisis yang mengikat seluruh manusia di muka bumi ini di dalam konsep yang sama.

Sikap solider kita terhadap manusia lain pun tidak lagi didorong oleh kesamaan kodrat, tetapi oleh kebersamaan di dalam menciptakan diri yang kontingen secara terus menerus.

Di titik ini, Rorty membedakan secara jelas antara filsafat politik tradisional di satu sisi, dan pragmatisme teoritisnya di sisi lain. Filsafat politik tradisional berfokus pada hasrat untuk mencapai obyektifitas pemahaman (desire for objectivity). Sementara, pragmatisme teoritis yang menjadi posisi argumentatif Rorty lebih berfokus pada hasrat untuk mencapai solidaritas (desire for solidarity).

Hasrat untuk mencapai obyektifitas ditandai dengan upaya untuk memberikan fondasi yang kuat bagi semua bentuk praktek sosial di dalam masyarakat dengan mengacu pada prinsip-prinsip metafisis, seperti kebenaran, rasionalitas, ataupun prinsip-prinsip lainnya.

Kontras dengan itu, hasrat untuk mencapai solidaritas lebih ditandai dengan upaya untuk mencari kerangka etis yang berguna bagi kerja untuk memajukan kehidupan bersama. Dalam kerangka ini, tidak ada pretensi untuk memberikan fondasi metafisis yang tunggal dan universal. Yang penting adalah perumusan kerangka kerja yang memungkinkan solidaritas di antara orang-orang yang berbeda bisa tercipta.

Anti Liberalisme dan Pro Demokrasi Liberal

Dengan pola argumen yang sama, Rorty kemudian menegaskan ketidaksetujuannya terhadap liberalisme, sekaligus menyatakan kesetujuannya pada demokrasi liberal. Baginya, liberalisme memberikan tempat terhormat bagi nilai-nilai liberal, seperti keadilan dan kesetaraan.

Nilai-nilai tersebut didasarkan pada fondasi metafisis tentang hakekat manusia. Artinya, liberalisme mengklaim memahami secara penuh hakekat manusia, dan kemudian merumuskan sebuah konsep masyarakat yang didasarkan pada pemahaman tentang hakekat manusia tersebut.

Liberalisme masih jatuh ke dalam filsafat fondasionalistik yang hendak mencari dasar-dasar metafisis bagi suatu rumusan teoritis.

Guignon dan Hiley berpendapat, bahwa pola yang sama dapat ditemukan di dalam kritik Michael Sandel terhadap teori keadilan yang dirumuskan oleh John Rawls.[4] Sandel tidak sepakat dengan pengandaian antropologis John Rawls yang cenderung individualistik dan mencabut manusia dari pengaruh komunitasnya.

Jadi, konsepsi keadilan Rawls masihlah didasarkan pada pandangan metafisis tentang siapa atau apa itu manusia. Sementara, menurut Rorty, konsepsi keadilan tidak didasarkan pada hakekat manusia yang bersifat tetap.

Untuk ini, ia pun mengutip pendapat dari Thomas Jefferson, yakni bahwa “kita tidak akan melukai tetangga kita dengan mengatakan bahwa ada dua puluh Tuhan atau tidak ada Tuhan.”[5] Artinya, masyarakat tidak memerlukan kepercayaan metafisis yang dianut bersama, supaya mereka bisa hidup bersama.

Semua bentuk konsepsi filosofis tentang hakekat manusia, tentang manusia sebagai subyek yang aktif, tidaklah diperlukan untuk menata masyarakat yang demokratis dan liberal.

Konsekuensi dari pandangan ini adalah penolakan terhadap semua upaya untuk mencari dasar moral bagi kehidupan bersama, distingsi yang tegas antara kehidupan publik dan kehidupan privat, dan pembedaan tegas antara perwujudan potensi-potensi diri dengan penciptaan solidaritas sosial. Ruang privat adalah ruang yang bersifat personal. Sementara, ruang publik adalah tempat untuk berbicara mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan keadilan dan solidaritas sosial.

Relasi antara ruang publik dan ruang privat memang menjadi salah satu tema refleksi utama di dalam teori-teori sosial maupun filsafat politik. Misalnya, manakah di antara kedua jenis ruang tersebut yang memiliki prioritas lebih tinggi?

Para sosiolog dan para ahli kajian budaya menyatakan bahwa pemahaman tentang konsep ruang publik dan ruang privat selalu ditentukan oleh faktor-faktor historis tertentu, sehingga tidak bisa ditentukan secara universal. Bahkan, dalam banyak kasus, misalnya dalam konteks refleksi feminisme, pembedaan ruang publik dan ruang privat justru membenarkan sistem penindasan terhadap perempuan.

Jadi memang, dua kategori ini terus menjadi kategori yang problematis di dalam refleksi-refleksi sosial.

Kecenderungan untuk merumuskan hakekat dari ruang publik maupun ruang privat manusia telah menjadi kecenderungan dominan di dalam teori-teori sosial maupun filsafat politik. Setidaknya, ada dua kecenderungan utama, yakni merumuskan suatu teori yang mencoba menjelaskan relasi antara kehidupan privat dan kehidupan publik secara jelas dan terpilah, atau menyatukan kedua “bentuk kehidupan” tersebut di dalam satu konsep yang mencangkup semuanya.

Nah, Rorty menolak semua bentuk kecenderungan semacam ini. Pada bagian pendahuluan buku Contingency, Irony, and Solidarity, ia menulis, “buku ini mencoba untuk menunjukkan bagaimana segala sesuatu dapat dilihat jika kita meninggalkan tuntutan akan sebuah sebuah teori yang menyatukan yang publik dan yang privat, dan puas untuk memperlakukan tuntutan akan penciptaan diri dan solidaritas manusia sebagai sesuatu yang sah secara setara, namun selamanya tidak bisa diperbandingkan.”[6] Dan kesemua itu baru bisa terwujud di dalam masyarakat liberal.

Masyarakat liberal adalah masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang punya gaya berpikir ironis liberal semacam itu. Di dalam masyarakat itu, semua bentuk kekejaman dihilangkan, dan solidaritas sosial akan tercipta.

Walaupun Rorty menekankan bahwa liberalisme adalah paham yang sedapat mungkin akan mengurangi semua bentuk kekejaman, ia tidak mengajukan jawaban atas pertanyaan mendasar semacam ini, yakni “mengapa kekejaman adalah sesuatu yang buruk?”

Rorty yakin bahwa pertanyaan semacam ini, dan juga semua pertanyaan yang bersifat moral lainnya, sudah selalu terjebak di dalam perdebatan pemikiran antara Kant dan Dewey. Kant berpendapat bahwa moralitas merupakan suatu arena tersendiri yang perlu direfleksikan secara filosofis. Refleksi semacam itu akan akan membantu kita menentukan kewajiban-kewajiban moral yang sudah inheren di dalam diri kita.

Sementara, Dewey berpendapat bahwa semua bentuk antara tindakan bermoral dan tindakan tidak bermoral, antara kewajiban dan keutamaan, adalah bagian dari dualisme moral yang justru ingin ditolaknya. Bagi Rorty sendiri, kedua bentuk filsafat moral tersebut tidaklah memadai.

Tugas seorang filsuf, bagi Rorty, bukanlah menentukan apa yang seharusnya dan apa yang tidak boleh dilakukan. Peran unik dari seorang filsuf moral adalah merumuskan secara imajinatif cara-cara bagaimana manusia tidak lagi melakukan kekejaman terhadap sesamanya.

Akan tetapi, hal ini juga tidak hanya bisa dilakukan oleh seorang filsuf. Para penyair, sejarahwan, dan novelis pun mampu melakukannya, bahkan dengan tingkat kedalaman yang lebih daripada apa yang telah dirumuskan para filsuf.

Kontingensi dan Solidaritas

Rorty mengajak kita untuk kembali membaca buku-buku yang bercerita tentang perbudakan, kemiskinan, eksploitasi. Harapannya adalah, dengan menyaksikan kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh satu manusia terhadap manusia lainnya, kita dapat menyadari kesalahan yang kita buat, dan menjadi semakin ‘tidak kejam’ (less cruel).

Charles Guignon dan David R. Hiley bahkan mencatat, bahwa Rorty lebih sering memilih untuk menafsirkan novel-novel yang ditulis Nabokov dan Orwell, daripada merumuskan argumentasi filsafatnya sendiri.[7]

Selain berupaya melenyapkan semua bentuk kekejaman, liberalisme yang dirumuskan Rorty jugalah hendak meningkatkan solidaritas sosial di dalam masyarakat. “Solidaritas”, demikian tulisnya, “tidaklah dipikirkan sebagai pengakuan terhadap diri yang esensial,.. di dalam semua manusia. Alih-alih begitu, solidaritas dipikirkan sebagai kemampuan untuk melihat semakin banyaknya perbedaan-perbedaan tradisional (dari suku, agama, ras, adat istiadat, dan sebagainya) sebagai sesuatu yang tidak penting ketika dibandingkan keprihatinan terhadap kekejaman dan penghinaan..”[8]

Banyak pihak yang menanggapi argumen Rorty ini secara kritis. Beberapa pemikir mengkategorikan Rorty sebagai seorang relativis. Beberapa pemikir lainnya tidak setuju dengan intensi Rorty yang seolah tidak mau memberikan justifikasi rasional bagi liberalisme yang dianutnya.

Bahkan, ada beberapa pemikir lainnya yang mencap pemikiran Rorty sebagai pemikiran yang bersifat etnosentris. Tentu saja, ia kemudian menanggapi berbagai kritik ini.

Pertama-tama, Rorty mau menanggapi para pemikir yang mengkritiknya sebagai seorang relativis. Rorty membedakan antara relativisme dalam arti yang merusak (pernicious), dan relativisme dalam arti tidak merusak (innocuous).

Dalam arti yang merusak, relativisme dipahami sebagai pandangan yang menyatakan bahwa ada banyak arti kata ‘benar’ di dalam kehidupan manusia, dan setiap kata tersebut memiliki arti yang berbeda tergantung pada konteks yang berbeda pula. Pada titik ini, orang bisa menarik kesimpulan bahwa arti kata ‘benar’ yang satu berada kedudukan yang setingkat dengan arti kata ‘benar’ lainnya. Menurut Rorty, pandangan ini memiliki kontradiksi internal di dalam dirinya sendiri, sekaligus tidak mungkin dianut oleh siapapun.

Sementara, ia sendiri berpendapat bahwa pemikirannya lebih tepat dikategorikan dalam relativisme yang tidak merusak, terutama karena ia masih percaya pada semua praktek dan kebijakan yang diterapkan sekarang ini.

Kontras dengan definisi sebelumnya, relativisme dalam arti yang tidak merusak adalah pandangan yang menyatakan bahwa semua praktek dan kepercayaan kita sekarang sama tidak perlu didasarkan pada fondasi filosofis macam apapun. Dengan kata lain, relativisme yang dimaksud Rorty sebenarnya adalah suatu bentuk pragmatisme.

Rorty juga sering dikritik sebagai seorang pemikir yang merumuskan etnosentrisme baru. Menanggapi ini, ia pun membedakan antara etnosentrisme dalam arti yang merusak di satu sisi, dan etnosentrisme dalam arti yang tidak merusak di sisi lain.

Dalam arti yang merusak, etnosentrisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa semua orang haruslah mengikuti cara hidup dan keyakinan kita, karena itu merupakan cara hidup dan keyakinan yang paling rasional, obyektif, dan benar. Bagi Rorty, cara pandang semacam ini sangatlah berbahaya. Ia bahkan mendeskripsikan pandangannya sendiri sebagai suatu bentuk ‘etnosentrisme ringan’ (mild ethnocentrism), yakni pandangan yang menyatakan bahwa cara untuk menentukan apakah suatu pandangan itu benar, obyektif, dan rasional adalah masalah prosedur untuk menjustifikasi pandangan tersebut, dan prosedur itu sendiri tidak lagi didasarkan pada satu budaya apapun.

Tujuan akhir dari etnosentrisme semacam ini adalah suatu bentuk sikap setia terhadap kebudayaan dan praktek sosial yang kita anut, tetapi sekaligus juga terbuka pada kebudayaan maupun praktek-praktek sosial lainnya.[9]

Belajar dari Rorty

Dengan demikian, Rorty adalah seorang relativis tanpa menghilangkan kemungkinan untuk melakukan evaluasi kritis terhadap pandangan-pandangan yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Dia juga adalah seorang etnosentris yang memiliki toleransi, dan berupaya menjauh dari sikap dogmatis.

Ia adalah seorang liberal yang mendasarkan dirinya sepenuhnya pada demokrasi, dan bukan pada filsafat tentang hakekat manusia. Dan, Rorty adalah seorang pragmatis yang cukup puas dengan kontingensi sebagai bagian dari realitas dan kehidupan manusia, daripada sibuk merumuskan teori tentangnya.[10] Inilah ciri khas dari filsafat politik Richard Rorty.

Rorty mau mengajarkan kita untuk bersikap kontingen dengan kepercayaan-kepercayaan yang telah kita anut. Artinya, kita diharapkan untuk bersedia hidup dalam ketidakpastian, keterbukaan, dan toleransi dengan beragam nilai yang ada di luar diri kita.

Mungkin, dengan bersikap kontingen terhadap diri kita sendiri, kita bisa mulai terbuka tidak hanya pada pluralitas nilai saja, tetapi pada pluralitas diri kita sendiri. Jika sudah begitu, kebahagiaan tampaknya sudah berada di genggaman tangan.**

Reza Antonius Alexander Wattimena



[1] Uraian pada bagian ini diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap Charles Guignon dan Davd R. Hiley, Richard Rorty, Cambridge, Cambridge University Press, 2003, hal. 1-40.

[2] Richard Rorty, Philosophy and The Mirror of Nature, hal. 377, dalam Guignon dan Hiley, 2003, hal. 22.

[3] Lihat, ibid, hal. 24.

[4] Ibid.

[5] Ibid, hal. 25.

[6] Rorty, Contingency, Irony, and Solidarity, hal. xv, seperti dikutip oleh ibid, hal. 26.

[7] Ibid, hal. 27.

[8] Rorty, Contingency…., hal. 192. dalam ibid.

[9] Lihat, Guignon dan Hiley, 2003, hal. 28.

[10] Ibid.

Belajar Filsafat Politik dari Richard Rorty

Sejak pertengahan dekade 1980-an, Rorty banyak memfokuskan refleksinya di dalam ranah filsafat politik dan filsafat sosial.  Di dalam tulisan-tulisannya yang berjudul Postmodernist Bourgeois Liberalism; The Priority of Democracy to Philosophy; Contingency, Irony, and Solidarity, dan di dalam Achieving Our Country, ia merumuskan pandangannya mengenai konsep diri (self), perbedaan antara kehidupan publik dan kehidupan privat, solidaritas sosial, kultur demokrasi, dan politik kiri (leftist politics).

Yang cukup menarik disoroti adalah, apakah filsafat politik Rorty ini merupakan konsekuensi dari epistemologinya yang bersifat anti-fondasionalistik? Memang, pada bagian akhir Philosophy and The Mirror of Nature, ia menegaskan bahwa epistemologinya memiliki komitmen moral yang tegas. “Filsafat tradisional”, demikian tulisnya, “mencari pengetahuan yang bersifat final, dan bila berhasil didapatkan, semua itu akan menghasilkan kebudayaan yang dibekukan dan dehumanisasi manusia.”  Seluruh filsafat sebelumnya, menurut Rorty, adalah pencarian kebenaran metafisis yang bersifat mutlak untuk menyangkal kodrat kontingensi manusia. Dan berlawanan dengan itu, Rorty secara gamblang mengajukan argumen bahwa justru manusia harus meningkatkan kepekaan terhadap kontingensi dirinya sendiri, sehingga ia terhindar dari dehumanisasi dan pembekuan atau stagnasi budaya. Inilah yang disebut sebagai cara berpikir antifondasionalisme. Intensi moral dari cara berpikir ini adalah untuk mengembangkan semua kemungkinan-kemungkinan yang dimiliki manusia dengan mengafirmasi kebebasannya, sekaligus mengembangkan potensi-potensi yang mungkin saja tidak terpikirkan sebelumnya.

Salah satu yang menjadi tujuan Rorty adalah untuk mengembalikan manusia pada kesadaran awalnya, bahwa mereka adalah mahluk yang kontingen dan terbatas. Dengan argumen ini, Rorty sebenarnya ingin mengkritik konsepsi manusia di dalam filsafat Cartesian yang menekankan faktor keutuhan diri dan kodrat manusia yang bersifat tetap. Cara pandang Cartesian terhadap manusia hanyalah salah satu cara pandang yang bersanding dengan berbagai cara pandang lainnya. Tidak ada analisis apapun yang mampu memahami dan mengkonseptualisasi keutuhan kodrat manusia secara penuh. Dalam hal ini, Rorty memang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Nietzsche dan Freud. Memang, di dalam berbagai tulisannya, Nietzsche dan Freud sudah mengakhiri semua usaha filosofis untuk merumuskan kodrat esensial manusia. Manusia itu lebih merupakan suatu kontingensi yang berkembang terus menerus melalui penemuan diri (self-discovery) dan pengaruh lingkungan sosial tempat ia hidup dan berkembang.

Cara pandang semacam ini juga menjadi dasar bagi pandangannya mengenai solidaritas sosial. Argumennya begini, jika kita sudah menyadari sisi kontingensi dari diri manusia, maka kebenaran pun sebenarnya bukan sesuatu yang ditemukan di dalam realitas, tetapi sesuatu yang diciptakan. Dan karena kebenaran sendiri adalah sesuatu yang diciptakan, maka hakekat dari diri kita dan komunitas di mana kita hidup pun sebenarnya diciptakan. Dengan bekal kesadaran semacam ini, kita akan memperoleh lebih banyak kebebasan. Solidaritas kita terhadap manusia lain pun meningkat. Manusia tidaklah memiliki esensi yang tetap. Tidak ada kodrat manusia yang bersifat metafisis yang mengikat seluruh manusia di muka bumi ini di dalam konsep yang sama. Sikap solider kita terhadap manusia lain pun tidak lagi didorong oleh kesamaan kodrat, tetapi oleh kebersamaan di dalam menciptakan diri yang kontingen secara terus menerus.

Di titik ini, Rorty membedakan secara jelas antara filsafat politik tradisional di satu sisi, dan pragmatisme teoritisnya di sisi lain. Filsafat politik tradisional berfokus pada hasrat untuk mencapai obyektifitas pemahaman (desire for objectivity). Sementara, pragmatisme teoritis yang menjadi posisi argumentatif Rorty lebih berfokus pada hasrat untuk mencapai solidaritas (desire for solidarity). Hasrat untuk mencapai obyektifitas ditandai dengan upaya untuk memberikan fondasi yang kuat bagi semua bentuk praktek sosial di dalam masyarakat dengan mengacu pada prinsip-prinsip metafisis, seperti kebenaran, rasionalitas, ataupun prinsip-prinsip lainnya. Kontras dengan itu, hasrat untuk mencapai solidaritas lebih ditandai dengan upaya untuk mencari kerangka etis yang berguna bagi kerja untuk memajukan kehidupan bersama. Dalam kerangka ini, tidak ada pretensi untuk memberikan fondasi metafisis yang tunggal dan universal. Yang penting adalah perumusan kerangka kerja yang memungkinkan solidaritas di antara orang-orang yang berbeda bisa tercipta.

Dengan pola argumen yang sama, Rorty kemudian menegaskan ketidaksetujuannya terhadap liberalisme, sekaligus menyatakan kesetujuannya pada demokrasi liberal. Baginya, liberalisme memberikan tempat terhormat bagi nilai-nilai liberal, seperti keadilan dan kesetaraan. Nilai-nilai tersebut didasarkan pada fondasi metafisis tentang hakekat manusia. Artinya, liberalisme mengklaim memahami secara penuh hakekat manusia, dan kemudian merumuskan sebuah konsep masyarakat yang didasarkan pada pemahaman tentang hakekat manusia tersebut. Liberalisme masih jatuh ke dalam filsafat fondasionalistik yang hendak mencari dasar-dasar metafisis bagi suatu rumusan teoritis.

Guignon dan Hiley berpendapat, bahwa pola yang sama dapat ditemukan di dalam kritik Michael Sandel terhadap teori keadilan yang dirumuskan oleh John Rawls.  Sandel tidak sepakat dengan pengandaian antropologis John Rawls yang cenderung individualistik dan mencabut manusia dari pengaruh komunitasnya. Jadi, konsepsi keadilan Rawls masihlah didasarkan pada pandangan metafisis tentang siapa atau apa itu manusia. Sementara, menurut Rorty, konsepsi keadilan tidak didasarkan pada hakekat manusia yang bersifat tetap. Untuk ini, ia pun mengutip pendapat dari Thomas Jefferson, yakni bahwa “kita tidak akan melukai tetangga kita dengan mengatakan bahwa ada dua puluh Tuhan atau tidak ada Tuhan.”  Artinya, masyarakat tidak memerlukan kepercayaan metafisis yang dianut bersama, supaya mereka bisa hidup bersama. Semua bentuk konsepsi filosofis tentang hakekat manusia, tentang manusia sebagai subyek yang aktif, tidaklah diperlukan untuk menata masyarakat yang demokratis dan liberal.

Konsekuensi dari pandangan ini adalah penolakan terhadap semua upaya untuk mencari dasar moral bagi kehidupan bersama, distingsi yang tegas antara kehidupan publik dan kehidupan privat, dan pembedaan tegas antara perwujudan potensi-potensi diri dengan penciptaan solidaritas sosial. Ruang privat adalah ruang yang bersifat personal. Sementara, ruang publik adalah tempat untuk berbicara mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan keadilan dan solidaritas sosial.

Relasi antara ruang publik dan ruang privat memang menjadi salah satu tema refleksi utama di dalam teori-teori sosial maupun filsafat politik. Misalnya, manakah di antara kedua jenis ruang tersebut yang memiliki prioritas lebih tinggi? Para sosiolog dan para ahli kajian budaya menyatakan bahwa pemahaman tentang konsep ruang publik dan ruang privat selalu ditentukan oleh faktor-faktor historis tertentu, sehingga tidak bisa ditentukan secara universal. Bahkan, dalam banyak kasus, misalnya dalam konteks refleksi feminisme, pembedaan ruang publik dan ruang privat justru membenarkan sistem penindasan terhadap perempuan. Jadi memang, dua kategori ini terus menjadi kategori yang problematis di dalam refleksi-refleksi sosial.

Kecenderungan untuk merumuskan hakekat dari ruang publik maupun ruang privat manusia telah menjadi kecenderungan dominan di dalam teori-teori sosial maupun filsafat politik. Setidaknya, ada dua kecenderungan utama, yakni merumuskan suatu teori yang mencoba menjelaskan relasi antara kehidupan privat dan kehidupan publik secara jelas dan terpilah, atau menyatukan kedua “bentuk kehidupan” tersebut di dalam satu konsep yang mencangkup semuanya. Nah, Rorty menolak semua bentuk kecenderungan semacam ini. Pada bagian pendahuluan buku Contingency, Irony, and Solidarity, ia menulis, “buku ini mencoba untuk menunjukkan bagaimana segala sesuatu dapat dilihat jika kita meninggalkan tuntutan akan sebuah sebuah teori yang menyatukan yang publik dan yang privat, dan puas untuk memperlakukan tuntutan akan penciptaan diri dan solidaritas manusia sebagai sesuatu yang sah secara setara, namun selamanya tidak bisa diperbandingkan.”

Di dalam buku ini, Rorty merumuskan konsepnya yang disebut sebagai “ironis liberal” (liberal ironist).

“Saya meminjam definisi tentang liberal dari Judith Shklar,” demikian Rorty, “yang berpendapat bahwa orang-orang liberal adalah orang-orang yang berpikir bahwa kekejaman merupakan hal yang paling buruk yang bisa dilakukan. Saya menggunakan kata ironis untuk menamakan orang-orang yang menghadapi dengan kontingensi  semua kepercayaan dan hasrat-hasrat utamanya- seseorang yang juga seorang historis dan nominalis yang mengabaikan ide bahwa semua kepercayaan sentral mengacu kembali pada sesuatu yang melampaui jangkauan ruang dan waktu.”

Masyarakat liberal adalah masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang punya gaya berpikir ironis liberal semacam itu. Di dalam masyarakat itu, semua bentuk kekejaman dihilangkan, dan solidaritas sosial akan tercipta.

Walaupun Rorty menekankan bahwa liberalisme adalah paham yang sedapat mungkin akan mengurangi semua bentuk kekejaman, ia tidak mengajukan jawaban atas pertanyaan mendasar semacam ini, yakni “mengapa kekejaman adalah sesuatu yang buruk?” Rorty yakin bahwa pertanyaan semacam ini, dan juga semua pertanyaan yang bersifat moral lainnya, sudah selalu terjebak di dalam perdebatan pemikiran antara Kant dan Dewey. Kant berpendapat bahwa moralitas merupakan suatu arena tersendiri yang perlu direfleksikan secara filosofis. Refleksi semacam itu akan akan membantu kita menentukan kewajiban-kewajiban moral yang sudah inheren di dalam diri kita. Sementara, Dewey berpendapat bahwa semua bentuk antara tindakan bermoral dan tindakan tidak bermoral, antara kewajiban dan keutamaan, adalah bagian dari dualisme moral yang justru ingin ditolaknya. Bagi Rorty sendiri, kedua bentuk filsafat moral tersebut tidaklah memadai.

Tugas seorang filsuf, bagi Rorty, bukanlah menentukan apa yang seharusnya dan apa yang tidak boleh dilakukan. Peran unik dari seorang filsuf moral adalah merumuskan secara imajinatif cara-cara bagaimana manusia tidak lagi melakukan kekejaman terhadap sesamanya. Akan tetapi, hal ini juga tidak hanya bisa dilakukan oleh seorang filsuf. Para penyair, sejarahwan, dan novelis pun mampu melakukannya, bahkan dengan tingkat kedalaman yang lebih daripada apa yang telah dirumuskan para filsuf. Rorty mengajak kita untuk kembali membaca buku-buku yang bercerita tentang perbudakan, kemiskinan, eksploitasi. Harapannya adalah, dengan menyaksikan kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh satu manusia terhadap manusia lainnya, kita dapat menyadari kesalahan yang kita buat, dan menjadi semakin ‘tidak kejam’ (less cruel). Charles Guignon dan David R. Hiley bahkan mencatat, bahwa Rorty lebih sering memilih untuk menafsirkan novel-novel yang ditulis Nabokov dan Orwell, daripada merumuskan argumentasi filsafatnya sendiri.

Selain berupaya melenyapkan semua bentuk kekejaman, liberalisme yang dirumuskan Rorty jugalah hendak meningkatkan solidaritas sosial di dalam masyarakat. “Solidaritas”, demikian tulisnya, “tidaklah dipikirkan sebagai pengakuan terhadap diri yang esensial,.. di dalam semua manusia. Alih-alih begitu, solidaritas dipikirkan sebagai kemampuan untuk melihat semakin banyaknya perbedaan-perbedaan tradisional (dari suku, agama, ras, adat istiadat, dan sebagainya) sebagai sesuatu yang tidak penting ketika dibandingkan keprihatinan terhadap kekejaman dan penghinaan..”

Banyak pihak yang menanggapi argumen Rorty ini secara kritis. Beberapa pemikir mengkategorikan Rorty sebagai seorang relativis. Beberapa pemikir lainnya tidak setuju dengan intensi Rorty yang seolah tidak mau memberikan justifikasi rasional bagi liberalisme yang dianutnya. Bahkan, ada beberapa pemikir lainnya yang mencap pemikiran Rorty sebagai pemikiran yang bersifat etnosentris. Tentu saja, ia kemudian menanggapi berbagai kritik ini.

Pertama-tama, Rorty mau menanggapi para pemikir yang mengkritiknya sebagai seorang relativis. Rorty membedakan antara relativisme dalam arti yang merusak (pernicious), dan relativisme dalam arti tidak merusak (innocuous). Dalam arti yang merusak, relativisme dipahami sebagai pandangan yang menyatakan bahwa ada banyak arti kata ‘benar’ di dalam kehidupan manusia, dan setiap kata tersebut memiliki arti yang berbeda tergantung pada konteks yang berbeda pula. Pada titik ini, orang bisa menarik kesimpulan bahwa arti kata ‘benar’ yang satu berada kedudukan yang setingkat dengan arti kata ‘benar’ lainnya. Menurut Rorty, pandangan ini memiliki kontradiksi internal di dalam dirinya sendiri, sekaligus tidak mungkin dianut oleh siapapun.

Sementara, ia sendiri berpendapat bahwa pemikirannya lebih tepat dikategorikan dalam relativisme yang tidak merusak, terutama karena ia masih percaya pada semua praktek dan kebijakan yang diterapkan sekarang ini. Kontras dengan definisi sebelumnya, relativisme dalam arti yang tidak merusak adalah pandangan yang menyatakan bahwa semua praktek dan kepercayaan kita sekarang sama tidak perlu didasarkan pada fondasi filosofis macam apapun. Dengan kata lain, relativisme yang dimaksud Rorty sebenarnya adalah suatu bentuk pragmatisme.

Rorty juga sering dikritik sebagai seorang pemikir yang merumuskan etnosentrisme baru. Menanggapi ini, ia pun membedakan antara etnosentrisme dalam arti yang merusak di satu sisi, dan etnosentrisme dalam arti yang tidak merusak di sisi lain. Dalam arti yang merusak, etnosentrisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa semua orang haruslah mengikuti cara hidup dan keyakinan kita, karena itu merupakan cara hidup dan keyakinan yang paling rasional, obyektif, dan benar. Bagi Rorty, cara pandang semacam ini sangatlah berbahaya. Ia bahkan mendeskripsikan pandangannya sendiri sebagai suatu bentuk ‘etnosentrisme ringan’ (mild ethnocentrism), yakni pandangan yang menyatakan bahwa cara untuk menentukan apakah suatu pandangan itu benar, obyektif, dan rasional adalah masalah prosedur untuk menjustifikasi pandangan tersebut, dan prosedur itu sendiri tidak lagi didasarkan pada satu budaya apapun. Tujuan akhir dari etnosentrisme semacam ini adalah suatu bentuk sikap setia terhadap kebudayaan dan praktek sosial yang kita anut, tetapi sekaligus juga terbuka pada kebudayaan maupun praktek-praktek sosial lainnya.

Dengan demikian, Rorty adalah seorang relativis tanpa menghilangkan kemungkinan untuk melakukan evaluasi kritis terhadap pandangan-pandangan yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Dia juga adalah seorang etnosentris yang memiliki toleransi, dan berupaya menjauh dari sikap dogmatis. Ia adalah seorang liberal yang mendasarkan dirinya sepenuhnya pada demokrasi, dan bukan pada filsafat tentang hakekat manusia. Dan, Rorty adalah seorang pragmatis yang cukup puas dengan kontingensi sebagai bagian dari realitas dan kehidupan manusia, daripada sibuk merumuskan teori tentangnya.  Inilah ciri khas dari filsafat politik Richard Rorty.

Buku Baru Buku Baru: Filsafat dan Sains. Sebuah Pengantar. Reza A.A Wattimena

Buku Baru

: Filsafat dan Sains. Sebuah Pengantar

Reza A.A Wattimena

bisa dilihat di

http://rezaantonius.multiply.com/photos/album/14/Buku_Baru_Buku_Baru_Filsafat_dan_Sains_Sebuah_Pengantar

“Buku ini mengajak mahasiswa untuk berpikir, bernalar, berilmu dan berfilsafat. Oleh karena itu, berguna bagi mahasiswa untuk selalu berani membuka hati dan pikiran atas pengalaman sehari-hari dan mendalami pemikirannya sendiri, sesama, alam dan budaya global. Semoga buku ini juga berguna untuk membangun dialog antar disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi .”

Mikhael Dua
Ketua Pusat Pengembangan Etika Universitas Atmajaya,
Jakarta.


“Sains, Filsafat, dan Filsafat Sains dalam buku ini diantar dengan gaya ulas yang tenang untuk memperkaya perspektif kita yang sudah terlanjur dipersempit oleh kerak keseharian”
F. Budi Hardiman
Pengajar di STF Driyarkara

Topengku, Topengmu, Topeng Kita Semua

Topengku, Topengmu, Topeng Kita Semua

 

Konon, Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat legendaris yang mempelopori penghapusan perbudakan dari bumi Amerika Serikat, adalah seorang pemalu. Dalam kosa kata sekarang, ia adalah seorang yang kuper, alias kurang pergaulan.

 

Ia sering mengurung diri di dalam kamarnya, membaca buku apapun, berkutat dengan proyek sainsnya yang belum jelas akan jadi apa. Teman-temannya pun tidak banyak.

 

Akan tetapi, ketika ia melihat ada sesuatu yang tidak beres, baik tentang orang lain ataupun tentang dirinya sendiri, ia bisa langsung berubah menjadi galak, tegas, dan tidak kompromi. Ia juga terkenal sangat ambisius. Ia dapat berubah sekejap mata, 180 derajat, menjadi sosok yang sama sekali berbeda.

 

Mungkin karakter itulah yang membuat ia sukses menjadi politisi, dan menjadi salah satu presiden terbesar di dalam sejarah Amerika Serikat. Kita tidak pernah tahu yang mana Lincoln yang asli, bisa sang presiden, bisa juga anak pemalu kuper yang hampir tidak punya teman itu.

 

Ibu Dewi, seorang penari Topeng asal Cirebon, tampak langsung berubah, ketika ia mengenakan topengnya untuk mementaskan tarian Topeng yang telah digelutinya seumur hidupnya. Ia tampak langsung menghayati peran yang diberikan padanya, yakni peran yang tampak pada topengnya.

 

Sekejap mata, ia langsung ‘meraga’ menyatu bersama topengnya. Walaupun ia sudah tua, ia tampak langsung berubah menjadi muda, bertenaga, dan bahkan menghentak-hentak, seperti layaknya kuda gila (Ajidarma, 1997).

 

Tentu saja, hal tersebut hanya sementara, karena begitu ia melepas topengnya, ia kembali menjadi ibu Dewi yang semula, yakni yang sudah tua, bijaksana, dan lembut. Begitu topengnya dibuka, sang penari topeng langsung menjadi dirinya sendiri.

 

Tapi, masalahnya bukan itu saja.

 

Topengku Topengmu

 

Ternyata, setiap orang selalu mengenakan topeng yang dipilih untuk diri mereka sendiri. Cukup tahu saja, ada macam-macam topeng yang bisa dipilih, yakni topeng suami yang baik, istri yang baik, pacar baik, pokoknya apapun yang mereka anggap paling baik dan paling oke untuk diri mereka sendiri.

 

Akan tetapi, apakah diri mereka yang sebenarnya, yang berada di balik topeng?  Tampaknya, kita tidak akan pernah tahu.

 

Bayangkan, setiap orang punya koleksi topeng yang digantungkan di gantungan baju kamarnya. Nah, mereka bisa memilih topeng apa yang mereka gunakan, jika mereka hendak keluar dari kamar.

 

Sekali waktu, ada orang yang memilih memakai topeng buruh pabrik, lain kali ia jadi ketua RT, lain kali ia jadi pemain bulu tangkis. Tidak hanya itu, jika ia bosan, ia bisa kembali ke kamar dan mengganti topengnya. Kekasih yang baik dan mesra pun bisa berubah menjadi bos yang galak dan suka marah-marah.

 

Akan tetapi, di antara sekian banyak topeng yang menggantung nganggur di gantungan bajunya, yang mana yang merupakan wajah aslinya?

 

Memang, dalam hidup sehari-hari, kita tidak melihat topeng, tetapi kita melihat wajah orang-orang yang kita temui. Dengan kata lain, orang-orang selalu tampak bagi kita mengenakan wajah mereka sendiri, dan tidak pernah topeng.

 

Jauh di lubuk hati kita, kita selalu tahu, wajah-wajah yang kita temui itu pada dasarnya hanyalah topeng.

 

Hal ini sebenarnya telah direfleksikan secara mendalam oleh Ellias Canetti, filsuf asal Bulgaria, dalam bukunya yang berjudul Crowds and Power (1984). Baginya, manusia itu, seperti juga ulat dan kupu-kupu, adalah mahluk yang dapat bermetamorfosis.

 

Artinya, manusia adalah mahluk yang terus berubah, yang tidak konsisten akan satu identitas saja, tetapi terfragmentasi dalam lapisan-lapisan dirinya. Kemampuan bermetamorfosis itu menempel erat di dalam lapisan sub humannya, yang membuat manusia tidak banyak berbeda dengan binatang dalam kemampuannya ‘menipu’ musuh.

 

Tentara yang memakai baju yang menyerupai lingkungan sekitarnya untuk mengelabui musuhnya sama seperti bunglon yang selalu beradaptasi dengan warna pijakan yang ditempatinya. Suku-suku pemburu primitif sering menyamakan indentitas diri mereka dengan salah satu binatang pemburu yang mereka kagumi. Harapannya jelas, supaya mereka dapat selincah dan sekuat binatang yang mereka puja-puja.

 

Wajah Beneran atau Topeng Semu

 

Lalu, mungkinkah salah satu dari topeng-topeng, atau dari salah satu wujud metamorfosisnya tersebut, yang digantung di gantungan baju itu adalah wajah kita yang sesungguhnya, yang sejati, yang beneran?

 

Masalah yang lebih dalam lagi, apakah mungkin kita memiliki wajah yang sejati, yang beneran itu tadi?

 

Setiap saat dalam hidup kita, kita selalu diberi peran tertentu. Peran tersebut bisa saja dengan sukarela kita jalani, atau dengan keterpaksaan. Peran itu pun selalu berganti, tidak pernah itu-itu melulu.

 

Seorang direktur perusahaan internasional yang kaya raya, yang terkenal galak di kantornya, bisa berubah menjadi kerbau dicucuk idung di depan anak perempuannya yang masih kecil di rumah. Seorang professor kimia di universitas terkenal bisa tak berdaya dihadapan istri yang sangat dicintainya, yang sebenarnya tidak berpendidikan.

 

Yang pasti, topeng apapun yang kita kenakan, kita harus menjalankan peran dari topeng yang kita kenakan itu, suka ataupun tidak. Yang kasihan, ada orang-orang yang mengenakan topeng tertentu bukan karena keinginannya sendiri, tetapi karena orang lain. Yang begini memang kasihan sekali.

 

Lalu, kapan sesungguhnya orang menjadi diri sendiri? Atau, pertanyaan nakal lainnya, bolehkah seseorang menjadi diri sendiri?

 

Bolehkah seseorang menjadi dirinya sendiri, jika ternyata, keberadaan diri yang beneran itu menggangu dan tidak disukai orang banyak? Memang menyedihkan, jika kita tidak boleh menjadi diri kita sendiri.

 

Seringkali, kita tidak boleh menjadi diri kita sendiri, karena kita akan dianggap menganggu kepentingan suatu mahluk yang disebut MASYARAKAT (Ajidarma, 1997).

 

Saya, dan tentunya anda, pasti sering melihat ada orang-orang yang mengenakan topeng tertentu demi untuk menyenangkan orang lain. Jika ada top 10 chart untuk orang yang paling menderita di muka bumi tercinta ini, orang-orang ini cocok menjadi urutan teratas.

 

Andaikan

 

Saya berandai-andai sendiri di kamar saya yang kecil ini, mungkin, jika kita melepaskan topeng yang kita pakai kemana-mana itu, kita tidak akan menemukan apa-apa di wajah kita. Kita adalah manusia yang bertopeng, tetapi tidak berwajah…

 

Mungkin juga, kita telah salah mengira dengan menjadikan salah satu topeng yang kita pakai sebagai wajah kita sendiri… Apapun itu, seperti yang ditulis Seno Gumira Ajidarma hampir 10 tahun yang lalu, “kalau anda bercermin bung, yakinkanlah diri anda sendiri, bahwa anda tidak sedang mengenakan topeng” (ibid)….

 

Memang, seperti yang dibilang Canetti, metamorfosis itu dapat berlangsung tanpa batas. Batas-batas dari metamorfosis adalah batas-batas imajinasi manusia itu sendiri.

 

Batas-batas topeng, dengan demikian, adalah batas-batas ‘keliaran’ manusia itu sendiri. Jika aku adalah topeng, bukankah berarti topeng itu juga aku?

 

Jangan-jangan, konsep manusia itu sendiri juga merupakan sebuah topeng yang khusus. Ah, bukankah ini menandakan bahwa kita hampir tidak tahu apa-apa tentang diri kita sendiri?

 

Universitas = “Pabrik Manusia”

Universitas = “Pabrik Manusia”

Tampaknya, dunia pendidikan kita masih saja dijajah oleh cara berpikir kuno. Suatu bentuk cara berpikir yang sesering apapun dikritik, tetapi selalu dapat lolos, dan kemudian menyelinap kembali ke tempatnya semula, yakni pikiran kita.

 

Contoh paling sederhana adalah ketika sedang dilakukannya rapat evaluasi akhir semester. Ketika berbicara mengenai tingkat kelulusan, para dosen mulai berbicara tentang jumlah mahasiswa/i yang lulus atau akan lulus tahun ajaran ini. Ketika berbicara mengenai kompetensi, para dosen mulai berbicara tentang mata kuliah A yang menghasilkan kualitas A pada diri mahasiswa/i, sementara mata kuliah B menghasilkan kualitas B juga pada diri mahasiswa/i.

 

Hal ini memang terjadi hampir di semua level pendidikan di negeri kita, mulai dari TK sampai jenjang pendidikan doktoral. Ketika melihat kualitas dan kompetensi fakultas, yang langsung dilihat adalah jumlah kelulusan, dan berapa banyak mahasiswa yang diterima. 

 

Sejak kapan kita, para dosen dan masyarakat pada umumnya, melihat tingkat kelulusan suatu fakultas akademik semata-mata pada angka dan jumlah, dan lupa pada kualitas individual unik yang justru harus dikembangkan potensinya semaksimal mungkin? Sejak kapan kampus jadi pabrik penghasil manusia yang harus sesuai dengan selera pasar, seperti layaknya pabrik makanan, ataupun pabrik kaleng?

 

Sejak kapan kita punya anggapan naif, bahwa mahasiswa/i adalah kebo dicucuk idung yang bisa diajarkan macam-macam, dan kemudian secara otomatis jadi seperti apa yang kita ajarkan? Sejak kapan, kita kembali pada anggapan naif, bahwa anak didik kita adalah tabula rasa yang putih tanpa warna, dan pada akhirnya kita bisa warnai sesuka hati kita?

 

Jelas, walaupun dampak destruktifnya sudah terasa, makanan yang rusak ataupun tidak layak konsumsi dapat ditarik kembali dari pasaran, untuk kemudian diolah kembali. Tapi, kita tidak akan pernah bisa menarik kembali manusia dari pasaran, jika manusia tersebut ternyata juga kita anggap sebagai produk gagal dari suatu “pabrik manusia” yang sering juga kita sebut sebagai kampus atau sekolah!

 

Alasannya jelas, manusia bukanlah barang! Manusia bukanlah angka! Sikap mereduksi manusia, demi keterukuran pengamatan, melulu pada angka ataupun prosentase adalah suatu sikap naif yang sebenarnya menunjukkan tidak lain daripada kemalasan berpikir, dan kegagapan dalam menghayati kedalaman hakekat manusia itu sendiri.

 

Rasionalitas instrumental-strategis

 

Cara berpikir ini disebut juga cara berpikir rasional-instrumental-strategis. Artinya, kita melulu melihat sebagai fenomena di depan mata kita sebagai sesuatu yang bisa dikalkulasi, dimanipulasi, dan kemudian digunakan seperlunya untuk kepentingan penguasaan kita atas fenomena tersebut.

 

Cara berpikir semacam ini memang kental di dalam ilmu-ilmu alam, karena memang kita memiliki kepentingan terhadap benda-benda alam. Kita perlu mengkalkulasi kadar zat di dalam minyak bumi, sehingga minyak itu bisa dimanipulasi, dan kemudian digunakan untuk memenuhi kepentingan kita.  

 

Akan tetapi, sikap seperti itu tidaklah dapat kita terapkan pada manusia. Manusia tidak boleh, dan memang tidak bisa, dikalkulasi melulu dengan menggunakan angka-angka ataupun metode positivistik lainnya.

 

Manusia, dengan darah, daging, tulang, jiwa, serta pikirannya, adalah suatu entitas yang kompleks, yang baru bisa sungguh dihargai, jika kita pertama-tama mengakui kompleksitas tersebut. Sikap menolak mengakui kompleksitas itu untuk mencapai pengukuran yang stabil dan pasti adalah suatu sikap positivistik yang akan meracuni seluruh cara pandang kita terhadap apa itu manusia sesungguhnya!

 

Jika diteruskan, kita akan melihat mahasiswa/i pada khususnya, dan manusia pada umumnya, tak lebih sebagai barang atau komoditi, yang bisa diperjualbelikan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Disinilah akar dari semua bentuk dehumanisasi sepanjang sejarah manusia, mulai dari perbudakan sampai pembantaian massal di kamp-kamp konsentrasi.  

 

Harus bagaimana?

 

Jelas, kita harus segera meninggalkan pandangan lama yang melihat bahwa kampus ataupun sekolah itu adalah „pabrik manusia“, di mana kita bisa mencetak pikiran-pikiran anak didik seturut dengan tujuan kita sambil tanpa sadar, atau justru disadari?, melupakan bahwa mereka sudah memiliki potensi yang perlu untuk dikembangkan sebelum kita menuangkan materi ke kepala mereka.  

 

Kita juga perlu segera menyadari, bahwa fokus pendidikan kita bukanlah menghasilkan jumlah kelulusan sebesar-besarnya, tetapi menghasilkan manusia-manusia yang bisa berpikir sendiri, kritis, punya kemampuan khusus, dan yang lebih dasar lagi, menghasilkan manusia yang memiliki keterbukaan dan rasa kemanusiaan tinggi. Jika jumlahnya sedikit, itulah yang harus difokuskan.

 

Institusi pendidikan jangan mengorbankan kualitas mahasiswa/i dan visi utama pendidikan mereka hanya untuk mendapatkan citra baik ataupun akreditasi yang tinggi! Di tengah badai pragmatisme, kita perlu sikap reflektif dan tenang untuk menyingkapi apa yang tengah terjadi, termasuk apa yang terjadi di dalam kepala kita***

Politik Pengakuan, Intersubyektifitas, dan HAsrat Manusia

Politik Pengakuan, Intersubyektifitas,

dan Hasrat Manusia

 

Reza A.A Wattimena

 

            Pada bab ini saya akan berfokus pada beberapa problem mendasar di dalam politik pengakuan dalam kaitannya dengna intersubyektifitas dan hasrat manusia. Argumen yang saya gunakan di dalam bab ini terinspirasi dari tulisan Majid Yar di dalam tulisannya yang berjudul Recognition and the Politics of Human(e) Desire.[1] Di dalam ranah teori-teori sosial konsep pengakuan, seperti sudah kita lihat pada bab sebelumnya, memiliki arti yang beragam. Hal ini setidaknya menunjukkan betapa konsep ini menjadi pergulatan banyak filsuf dan teoritikus sosial sekarang ini. Judith Butler berpendapat bahwa apa yang disebut sebagai ‘pengakuan’ (recognition) merupakan penolakan terhadap model Hegelian yang menempatkan intersubyektifitas sebagai pengandaian logis bagi penerimaan terhadap “yang lain”. “Pengakuan”, demikian tulis Judith Butler di dalam bukunya yang berjudul The Pyhsic Life of Power: Theories in Subjection, “dipandang sebagai proses percepatan dari ekonomi kekuatan yang menghasilkan subyek yang terobyektifasi dan tertaklukkan.”[2] Ia melihat pengakuan sebagai “kondisi kemungkinan bagi reduksi atas keberlainan.. menjadi totalitas identitas yang sama.”[3] Definisi semacam ini kerap digunakan di dalam studi-studi budaya, dan analisis-analisis sosial berkaitan dengan diskriminasi gender, etnisitas, maupun orientasi seksual.[4] Derrida juga pernah berpendapat bahwa pengakuan pada hakekatnya adalah sebuah reduksi atas keberlainan.[5]

Secara keseluruhan pada bab ini saya akan mengajukan pertimbangan kritis terhadap para pemikir yang bersikap pesimis terhadap pendekatan intersubyektifitas ala Hegelian, yang menjadi titik dasar dari seluruh refleksi tentang pengakuan. Saya juga akan mencoba menelusuri beberapa argumen Sartre dan Levinas untuk menunjukkan, bahwa apa yang menjadi argumen mereka sebenarnya adalah sebuah reduksi terhadap pemahaman akan pengakuan di dalam filsafat Hegel. Berikutnya saya juga akan mencoba menimba beberapa inspirasi dari tulisan Kojève tentang Hegel, terutama tentang konsepnya mengenai peran hasrat dan keinginan yang memungkinkan kita memperoleh pandangan yang lebih positif mengenai pengakuan. Dengan memahami pengenalan intersubyektif ala Hegelian melalui dinamika hasrat (desire) dan keinginan manusia, kita dapat memperoleh pandangan yang lebih menyeluruh tentang relasi-relasi sosial di dalam masyarakat. Pendekatan Kojève juga memungkinkan kita memperoleh kepekaan tidak hanya terhadap masalah-masalah solidaritas (solidarity) sosial, tetapi juga singularitas (singularitas) individu. Dengan begitu keterbukaan terhadap perbedaan radikal dan keberlainan total dapat dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pengakuan. Pengakuan bukanlah penolakan terhadap keberlainan, dan juga bukan sebuah reduksi yang lain (the other)  kepada yang sama (the same).

 

Tentang “Yang Lain”

            Di dalam bukunya yang berjudul Being and Nothingness, Sartre mengajukan suatu pandangan tentang relasi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Pandangannya ini mendapatkan pengaruh besar dari filsafat Hegel, terutama dari konsep dialektika tuan-budak. Bagi Hegel subyek hanya dapat mengenali dirinya sendiri melalui proses diferensiasi dengan sesuatu yang bukan subyek. Dengan demikian sudah sejak awal Hegel menolak konsep subyek yang cukup diri dan kesadaran monadologis. Dan ia pun kemudian memandang subyek sebagai sesuatu yang pada hakekatnya tergantung pada aspek-aspek di luar dirinya. Lebih dari itu, dengan terinspirasi oleh fenomenologi Husserl, Sartre melihat bahwa kesadaran sudah selalu ada berbarengan dengan hasrat. Relasi antara manusia terjadi juga tepat karena masing-masing memiliki hasrat untuk melampaui kekurangan-kekurangan (lack) yang mereka miliki. Manusia, sebagai subyek yang selalu kurang (subject of lack), secara langsung mengarah pada dunia untuk memenuhi hasrat dan melampaui kekurangan-kekurangan yang ia rasakan.[6]

            Pada titik ini kesadaran tidak hanya dipahami sebagai semata-mata kesadaran, tetapi kesadaran sebagai kesadaran-diri (self-consciousness). Menurut Hegel kesadaran diri bertumbuh ketika manusia berhasil menjadikan dirinya sendiri sebagai obyek refleksi. Pada momen itu saya dapat melihat diri saya sebagaimana orang lain melihat saya, yakni sebagai obyek dari perhatian mereka. Dengan kata lain kesadaran diri hanya mungkin dicapai melalui kesadaran dari orang lain. Saya sangat tergantung dari pengakuan orang lain tentang diri saya. “Hanya dengan melihat bagaimana orang lain melihat saya”, demikian tulis Yar, “saya dapat memahami dan memiliki diri saya.”[7] Ketergantungan pada ‘yang lain’ merupakan suatu syarat yang diperlukan supaya orang bisa bergerak dari tahap pra-reflektif ke tahapan reflektif, atau dari tahap kesadaran menuju tahap kesadaran diri.  

            Pada titik ini kita sudah sampai pada titik terdasar dari semua teori tentang intersubyektifitas, yakni bahwa status orang sebagai manusia sangatlah tergantung dari pengakuan dan afirmasi orang-orang lainnya. Argumen ini juga digunakan Lacan untuk menggambarkan tahap cermin (mirror stage), yakni tahap di mana orang mengenal dirinya sendiri melalui bagaimana orang lain melihat dirinya. Merleau-Ponty juga berpendapat bahwa kemampuan orang untuk melihat dirinya dari kaca mata orang lain merupakan syarat-syarat yang dibutuhkan supaya dirinya bisa menerima pengakuan publik. Hal yang kurang lebih serupa dikatakan oleh Mead. Ia berpendapat bahwa pengakuan dari orang lain diinternalisasikan sebagai nilai-nilai sosial yang memberikan saya status sebagai subyek yang sah.[8]

            Pada dasarnya pandangan Sartre tentang intersubyektifitas bersifat pesimitik dan patologis, terutama jika dibandingkan dengan teori-teori lainnya tentang pengakuan yang melihat intersubyektifitas sebagai kunci menunju terciptanya kehidupan bersama yang diwarnai solidaritas, otonomi, dan emansipasi. Memang tampaknya ia merumuskan teorinya tentang pengakuan dan intersubyektifitas dalam konteks kritiknya terhadap para teoritikus politik pengakuan lainnya. Distingsi dasar yang dibuat Sartre adalah antara kesadaran manusia sebagai pour soi, dan obyek-obyek di dalam dunia eksternal sebagai en soi. Esensi dari manusia, sebagai pour soi, adalah bahwa ia selalu merasa ‘kurang’. Ia selalu memiliki ‘ketiadaan’ di dalam dirinya, dan hal ini sangat berbeda dengan obyek-obyek di dalam dunia eksternal yang sudah penuh pada dirinya sendiri. Rasa ‘ketiadaan’ inilah yang merupakan tanda bahwa manusia itu bebas. Karena sebagai subyek yang selalu ‘kurang’ dan belum jadi, manusia selalu bisa menentukan sendiri pilihan-pilihannya, dan terbuka bagi berbagai macam kemungkinan di masa datang.[9]  Pandangan dari Hegel, bahwa manusia justru bisa menjadi dirinya sendiri melalui pengakuan orang lain, jelas merupakan pandangan yang tidak tepat. Dari sudut pandang Sartre pandangan ini justru meniadakan kemungkinan bagi kebebasan manusia. Pada akhirnya ‘saya’ pun melulu ditentukan oleh orang lain. Saya menjadi semata-mata obyek belaka. Ini adalah momen bagi ‘matinya kemungkinan-kemungkinan yang saya miliki’ (the death of my possibilities). Manusia jadi terasing dari dirinya sendiri karena keberadaan orang lain.

            Di dalam salah satu bagian yang paling banyak mendapat perhatian di Being and Nothingness Sartre mengajukan pendapatnya tentang pengakuan, yakni sebagai pelanggaran terhadap kebebasan dasar manusia. Pandangannya yang terkesan sinis ini dirumuskan dalam konsep ‘tatapan’. Setiap hubungan intersubyektif selalu mengakibatkan hilangnya kebebasan manusia. Relasi antar manusia membuat manusia yang satu menjadi obyek bagi manusia yang lain. Momen obyektifasi itulah yang pada akhirnya membekukan kebebasan manusia. Ketika kita beranggapan bahwa melalui orang lainlah kita menjadi subyek yang utuh, maka pada momen itu pulalah kita kehilangan subyektifitas kita, akibat tatapan absolut dari orang lain. Ketika ditatap oleh orang lain saya tidak lagi menjadi diri saya yang otentik, tetapi menjadi benda atau obyek bagi orang lain. Sartre menjelaskan hal ini dengan menggunakan contoh rasa malu (shame). Rasa malu muncul ketika saya dilihat oleh orang lain, dan ia kemudian menilai saya. Pada momen itu kebebasan saya hilang, dan saya menjadi obyek sepenuhnya bagi orang lain.[10] Penilaian orang lain mendefinisikan siapa saya seutuhnya, sehingga saya tidak lagi berkesempatan untuk mendefinisikan diri saya sesuai dengan kriteria yang saya yakini.  

            Lebih jauh Sartre kemudian berpendapat bahwa saya tidak mungkin menjadi subyek sekaligus obyek bagi orang lain. Satu-satunya cara bagi saya supaya dapat keluar dari tatapan obyektifasi orang lain adalah dengan menatapnya kembali, dan membuat orang lain menjadi obyek dari tatapan saya. Dengan begitu saya meraih kembali kebebasan yang tadinya hilang akibat tatapan orang lain. Inilah argumen paling inti di dalam pandangan Sartre tentang intersubyektifitas, yakni bahwa hubungan antar manusia ditandai dengan konflik yang tak berkesudahan antara masing-masing orang yang saling berusaha mempertahankan kebebasannya masing-masing dengan menjadikan orang lainnya sebagai obyek. “Sementara saya berusaha untuk membebaskan diri saya dari pegangan yang Lain; yang Lain mencoba untuk membebaskan diri dari saya; sementara saya mencoba untuk memperbudak yang Lain; yang Lain hendak memperbudak saya…. Konflik adalah makna asali dari ada-bagi-yang-lain”[11] Dengan kata lain orang lain adalah neraka bagi saya. Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa menurut Sartre, dunia sosial adalah dunia di mana relasi dasarnya adalah obyektifitasi dan instrumentalisasi. Cinta pun tidak lagi dipandang sebagai afirmasi timbal balik antara dua individu, tetapi sebagai relasi antara subyek masokis dan subyek sadistis. Subyek sadistis memperoleh kebebasannya dengan melakukan dominasi dan menyiksa orang lain. Sementara subyek masokis memperoleh kebebasannya melalui kenikmatan disiksa oleh orang lain. Di dalam relasi semacam itu tidaklah mungkin lagi kita dapat membicarakan politik pengakuan sebagai realisasi kebebasan, otonomi, ataupun otentisitas.

            Gaya berpikir pesimistik semacam ini banyak ditemukan di antara para pemikir Perancis pada masa-masa setelah perang dunia kedua. Asumsi dasar bahwa relasi antar manusia adalah relasi yang justru mengasingkan dapat ditemukan di dalam pemikiran Lacan, Foucault, dan Althusser. Bahkan menurut Howells, Sartre tidak hanya tidak hanya pendahulu para pemikir dekonstruksionis, dia adalah perumus pertama gaya berpikir semacam itu.[12] Pengaruh Sartre terhadap Lacan tampak dalam pemikiran Lacan yang mengatakan, bahwa subyek dapat mengenali dirinya, tetapi tidak pernah mencapai kepenuhan diri seutuhnya, terutama karena ia mengenali dirinya melalui cara orang lain mengenali dia. Relasi antar manusia merupakan suatu keadaan ‘ketiadaan pengenalan’ yang bersifat konstan. Di dalam relasi semacam itu, setiap orang mengenali dirinya sebagai diri yang imajiner, yakni suatu representasi tentang diri yang bersifat ilusif. Di dalam pemikiran Althusser subyek juga dikenali sebagai subyek yang sudah selalu dideterminasi oleh aparatus ideologis yang bersifat dominan tertentu. Aparatus ideologis ini disebutnya juga sebagai The Big Other. Foucault, yang di dalam tulisan-tulisannya hampir tidak pernah menyebutkan nama Sartre ataupun Hegel, juga mengajukan tesis yang kurang lebih senada, yakni subyek dapat mencapai kesadaran dirinya melalui posisinya di dalam relasi-relasi sosial masyarakat, baik melalui pendapat para ahli medis (sehat atau tidak sehat), ilmu pengetahuan (berteknologi atau tidak), lembaga pemasyarakatan (kriminal atau bukan), dan dari aparatus negara yang memiliki kontrol panoptikon (membayar pajak atau tidak).  Sejarah manusia pun, bagi Foucault, tidak lebih dari sejarah kemenangan ‘tuan’ atas ‘budak’, yakni sejarah dominasi yang satu atas yang lain. Itulah nasib manusia di dalam relasinya dengan manusia lain.[13]

 

Tentang “Yang Sama”

            Pendekatan yang dibuat oleh Levinas di dalam memandang relasi antar manusia sangat berbeda dengan pendekatan Sartre. Jika Sartre melihat relasi antar manusia sebagai relasi obyektifasi, maka Levinas mulai dari titik yang sama sekali berlawanan, yakni intersubyektifitas sebagai momen untuk mengenali ‘yang lain dalam keberlainannya’. Pengandaian dasar filsafat Levinas dapat dirumuskan seperti ini: filsafat barat secara konsisten telah terus menerus menekan “yang lain” dengan mereduksikannya kepada “yang sama”. Filsafat barat seolah telah dihantui oleh ketakutan yang diciptakannya sendiri, yakni ketakutan terhadap “yang lain”. Puncak dari ketakutan ini adalah Hegelianisme. Seluruh logika filsafat Hegel, mulai dari dialektika tesis, antitesis, sintesis pada hakekatnya adalah reduksi “yang lain” ke dalam “yang sama”, “yang banyak” ke dalam “yang satu”, “keberlainan” ke dalam “identitas”,  dan “yang transenden” ke dalam “yang imanen”. Di dalam kerangka berpikir ini semua tindak menafsirkan dan memahami pun pada akhirnya adalah suatu tindakan ‘menelan’ yang lain ke dalam kriteria-kriteria subyektifitas subyek penahu. Sikap ini merupakan suatu penolakan total terhadap tanggung jawab etis, serta tanda tidak adanya penghormatan terhadap orang lain di dalam ‘keberlainannya’.

            Jadi pemikiran Levinas tentang intersubyektifitas juga merupakan kritik yang tajam terhadap filsafat Hegel, walaupun kritik tersebut berawal dari titik yang berbeda jika dibandingkan dengan kritik Sartre terhadap Hegel. Hal ini semakin jelas jika kita langsung membaca buku Levinas yang berjudul Totality and Infinity. Di dalam buku itu ia membuat distingsi dasar, yakni antara ‘yang lain’ dan ‘yang Lain’, serta antara kebutuhan (need) dan hasrat (desire). “Yang lain” adalah sesuatu yang memiliki ontologi yang berbeda, namun dapat direduksikan oleh subyek ke dalam kategori “yang Sama”. Proses ‘menelan’ yang lain ke dalam yang Sama ini memberikan kepastian terhadap subyek yang melakukannya. Subyek pun bisa mencapai level totalitas identitas yang Sama, dan kemudian menegaskan kekuasaannya terhadap dunia. Hal ini jelas dirumuskan Levinas untuk memberikan tekanan pada filsafat Hegel yang berusaha melampaui non-identitas ke dalam identitas. Cara berpikir inilah yang ingin dikritik oleh Levinas. Kontras dengan itu yang Lain adalah sesuatu yang secara metafisis berbeda, dan tidak pernah bisa direduksi ke dalam yang Sama. Relasi antara diri subyek dengan yang Lain tidaklah didorong oleh kebutuhan, tetapi oleh hasrat. Dan karena yang Lain ini adalah sesuatu yang berbeda secara absolut, maka hasrat untuk mencapai yang Lain sebenarnya adalah hasrat manusia untuk menyentuh dan memahami yang transenden. Jika kebutuhan manusia memaksanya untuk mereduksikan yang lain ke dalam yang Sama, maka hasrat tidak melakukannya. Yang menjadi tujuan utama dari hasrat manusia adalah keberlainan dari yang Lain secara mutlak tersebut. Jadi manusia menginginkan yang Lain untuk tetap lain, dan tidak pernah boleh menjadi sama. Yang Lain ini begitu diinginkan karena menawarkan ‘penyelamatan’ dari yang Sama. Levinas menyebut ini sebagai excendance, yakni hasrat dari diri untuk bergerak melampaui eksistensi yang mengikatnya. Gerak dari hasrat manusia bukanlah gerak untuk ‘kembali pada yang Sama’, melainkan gerak untuk melampai batas-batas eksistensi dan bertemu dengan yang Lain sebagai yang Lain yang mutlak (absolute other). 

            Dari perspektif Levinas filsafat Hegel telah mereduksikan yang lain ke dalam kriteria-kriteria subyektif yang diciptakan oleh subyek. Akibatnya yang lain kehilangan ciri khasnya. “Keberlainannya” menjadi hilang. Keunikannya dilanggar, dan ditelan oleh kesamaan yang dipaksakan kepadanya. Oleh karena itu bagi Levinas, relasi antar manusia janganlah didasari oleh pengakuan, melainkan didasarkan atas pandangan untuk membiarkan yang lain sungguh menjadi “yang lain”, yakni suatu misteri, yang tidak bisa dikenali, didefinisikan, ataupun dimengerti sepenuhnya, karena pemahaman pada akhirnya adalah penindasan atas apa yang dipahami.   

 

Politik Pengakuan

            Pada titik ini kita sudah melihat dua pandangan yang sangat pesimis terhadap konsep pengakuan. Pertama kita sudah melihat bagaimana Sartre mengajukan argumen, bahwa pengakuan pada hakekatnya adalah penindasan atas kebebasan manusia. Dan kebebasan yang sesungguhnya baru bisa dicapai, jika orang telah menjadikan orang lain sebagai obyek tatapannya. Jadi kebebasan baru bisa didapatkan, jika kebebasan orang lain telah dikorbankan terlebih dahulu sebelumnya. Kedua, kita juga sudah melihat bagaimana Levinas menjelaskan bahwa pengakuan sebenarnya adalah reduksi atas yang Lain ke dalam yang Sama. Dari dua pandangan itu setidaknya ada dua pilihan yang bisa diambil. Pertama, kita bisa menerima fakta bahwa untuk mendapatkan pengakuan, beberapa pihak haruslah terlebih dahulu dikorbankan. Kedua, seluruh etika yang mendasari politik pengakuan haruslah diubah secara keseluruhan, dan digantikan oleh fatalisme etis, yakni membiarkan yang ada begitu saja ada, tanpa ada sedikit pun upaya untuk mengubahnya. Kedua pilihan ini jelas tidak memungkinkan kita untuk berpikir tentang solidaritas politik yang dibangun atas dasar pemahaman bersama. Pada titik ini kiranya argumen yang diajukan oleh Yar bisa ditempatkan, bahwa dengan menggunakan rekonstruksi Kojève atas filsafat Hegel, maka kita bisa merumuskan suatu konsep politik pengakuan yang sekaligus mengakui kebebasan subyektif, dan tetap menjaga status “yang lain” di dalam keberlainannya. Melalui argumen ini, pengakuan dan perbedaan bisa ditempatkan di dalam kerangka yang sama.[14]

            Sebelumnya, kita sudah sedikit menyimak, bahwa Kojève telah memberikan tafsiran penting bagi filsafat Hegel, yakni bahwa setiap manusia selalu merasa “kurang” pada dirinya sendiri, dan perasaan “kurang” inilah yang mendorong setiap orang untuk sampai pada kesadaran diri (self consciousness). “Hasrat”, demikian tulis Kojève, “itulah yang mengubah Ada.. menjadi obyek yang disingkapkan kepada subyek sebagai subyek yang berbeda dari obyek dan bertentangannya dengannya. Di dalam dan dengan – atau lebih baik lagi masih, seperti – hasratnya manusia dibentuk dan dinyatakan – kepada dirinya sendiri dan orang lain – sebagai Aku, dan aku yang secara esensial memiliki bentuk yang berbeda, dan secara radikal bertentangan dengan, yang bukan-aku. Manusia Aku adalah aku dari Hasrat…”[15] Di dalam kutipan ini tampak jelas, bahwa subyek berupaya menjadikan “yang lain” sebagai bagian darinya. Proses ini disebut juga sebagai proses internalisasi. Yar memberi contoh. Misalnya, kita sedang merasa lapar. Oleh karena itu kita kemudian menginternalisasikan gambaran tentang makanan yang lezat-lezat, supaya hasrat kita akan makanan dapat sedikit terpenuhi.[16] Akan tetapi proses internalisasi semacam ini tidaklah mencukupi bagi subyek untuk mencapai kesadaran diri yang otentik. Pada titik ini subyek hanya berniat untuk mencapai pemenuhan kebutuhan dirinya sendiri. Ia hanya berorientasi pada nafsu sesaat untuk memuaskan hasratnya untuk menguasai “yang lain”. Pola berpikir semacam ini tidak akan membawa manusia pada kesadaran diri yang seutuhnya.

            Pada titik ini subyek dipandang sebagai mahluk yang menghasratkan sesuatu (desiring thing), dan hasrat tersebut hanya dapat dipenuhi oleh yang-bukan-subyek, yakni obyek itu sendiri. Akan tetapi subyektifitas manusia yang otentik tidak dapat dicapai dengan menempuh cara ‘menghasratkan’ ini. Kesadaran diri yang otentik hanya dapat diperoleh, jika manusia mulai memahami dan memberi makna dirinya sendiri. “Manusia”, demikian tulis Yar, “subyek yang sadar diri punya pandangan tentang subyek macam apa yang ingin ia wujudkan: ia ingin menyadari dirinya sendiri sesuai dengan persepsi yang partikular, pemahaman atau gambaran dirinya sendiri sebagai manusia.”[17] Misalnya manusia ingin mengenali dan memaknai dirinya sebagai subyek yang bebas, otonom, bernilai, bermartabat, serta berhak untuk mendapatkan penghormatan, cinta, dan sebagainya. Hasrat untuk menjadi subyek semacam itu tidak akan bisa dipenuhi oleh obyek tertentu. Memang obyek dapat memenuhi hasrat sesaat, seperti hasrat akan makanan, uang, ataupun kekayaan lainnya. Akan tetapi obyek tidak dapat memenuhi hasrat manusia untuk “diakui”, untuk menjadi subyek yang diinginkannya. Kepuasan dan kebahagiaan untuk diakui sebagai subyek sepenuhnya hanya dapat didapatkan dari subyek lainnya. Kebebasan dan rasa bermartabat yang kita miliki mengandaikan adanya subyek lain yang memberikannya kepada kita. Yar menulis bagus sekali tentang hal ini, “Apa yang secara spesifik menjadi hasrat manusia adalah hasrat untuk dihasrati oleh, keinginan untuk diinginkan oleh orang lain.”[18] Jadi subyektifitas seseorang hanya menjadi utuh dan penuh, ketika identitasnya sebagai manusia yang utuh diakui secara intersubyektif. 

            Pada titik ini kita sudah sampai pada apa yang disebut Sartre sebagai konfrontasi karakter antara subyek dan obyek. Inilah yang merupakan hakekat dari relasi antar manusia. Konfrontasi ini juga disebut Sartre sebagai “perjuangan” (Kampf). Di dalam keadaan ini subyek berusaha menerapkan kriteria-kriteria yang telah ia buat sendiri untuk menilai obyek. Kriteria tersebut tidak hanya berlaku subyektif, tetapi kemudian menjadi sesuatu yang diterima secara publik, dan bahkan digunakan untuk menilai subyek-subyek lainnya. Dengan kata lain apa itu subyek akhirnya ditentukan oleh satu pihak, dan hasil penentuan itu pun menjadi pendapat umum. Dalam bahasa Yar, “subyek saling berkonfrontasi… untuk mengenali yang lain sesuai dengan kosa kata mereka, misalnya sebagaimana mereka ingin dilihat, diperlakukan, dan diterima secara obyektif.”[19] Akibatnya perjuangan untuk mendapatkan pengakuan berubah menjadi perjuangan adu kekuatan. Kekerasan menjadi alat untuk memaksakan kriteria yang satu untuk menilai yang lain. Jalan keluar yang mungkin dari situasi semacam itu adalah terciptanya suatu situasi, di mana “sang pemenang”, yang berhasil menerapkan nilai-nilainya secara publik, mendominasi secara total “yang lain”, yang terpaksa harus menerima tolok ukur nilai yang diterapkan padanya. “Sang pemenang” bisa kita sebut sebagai tuan (master), dan “yang lain” bisa kita sebut sebagai budak. Tentang hal ini Hegel menulis, “Ada dua bentuk kesadaran yang saling bertentangan; yang satu adalah kesadaran yang independen yang hakekat esensialnya adalah bagi dirinya sendiri; yang lain adalah kesadaran yang tergantung yang hakekat esensialnya adalah sekedar untuk hidup atau untuk menjadi bagi yang lain. Yang pertama adalah tuan, yang lainnya adalah pekerja.”[20] Dengan demikian tatanan sosial yang muncul dari perjuangan untuk mendapatkan pengakuan bukanlah tatanan sosial yang terdiri dari individu-individu otonom, melainkan suatu tata sosial yang terdiri dari beragam nilai serta orientasi hidup. Orientasi hidup “tuan” akan diterapkan kepada yang lainnya. Jadi tatanan sosial terdiri dari relasi yang mendominasi dan yang didominasi.

            Akan tetapi relasi yang bersifat dominatif tersebut tidak pernah akan memuaskan hasrat semua pihak, baik hasrat tuan yang mendominasi, maupun hasrat budak yang didominasi. Kepuasan yang didapatkan dari sikap dominatif tersebut sebenarnya masihlah berada di tahap “hasrat binatang” (animal desire), sehingga tidak bisa memenuhi hasrat subyek atas pengakuan yang bersifat manusiawi. Untuk menciptakan kondisi yang didasarkan atas pengakuan yang manusiawi tersebut, subyek haruslah memberikan kepercayaan dan menghargai penilaian dari “yang lain”. Dia haruslah memandang penilaian dari “yang lain” sebagai sesuatu yang berharga, dan pantas didengar. Hanya dengan begitulah pengakuan memperoleh artinya yang otentik. “Pendeknya”, demikian tulis Yar, “subyek haruslah mengenali yang lain sebagai subyek yang otonom, rational, bernilai, sebagai manusia yang sadar sepenuhnya, sebelum ia bisa dikenali dengan cara yang sama oleh yang lain.”[21]  Di dalam relasi antara tuan dan budak cita-cita semacam ini tidaklah bisa dicapai. Hal ini terjadi persis karena tuan menolak untuk mengakui budak sebagai subyek yang sepenuhnya otonom dan rasional. Tuan memaksakan pandangan dunianya kepada budak. Akibatnya pengakuan yang terjadi adalah pengakuan yang bersifat semu, karena pandangan dunia dan tolok ukur penilaian budak otomatis diabaikan. Tentang hal ini Kojève menulis,

 

“Relasi antara tuan dan budak… bukanlah relasi pengakuan dalam arti sebenarnya…. Sang Tuan bukanlah satu-satunya yang menganggap dirinya sebagai Tuan. Budak, juga, menganggap dirinya sebagai tuan. Maka, ia juga dikenali di dalam realitas kemanusiaan dan martabatnya. Akan tetapi pengakuan semacam ini masih berjalan satu sisi, karena dia tidak mengenali realitas dan martabat dari budak. Dengan kata lain, ia dikenali oleh seseorang yang tidak diakuinya…inilah yang kurang – yang tragis, dari situasi ini”[22]

 

            Jadi, hasrat akan pengakuan yang manusiawi hanya bisa dipenuhi, jika “yang lain” yang menawarkan pengakuan juga dikenali kemanusiaan dan martabatnya. Jika “yang lain” tidak dikenali, maka pengakuan tidaklah memiliki arti apapun. Jika dibahasakan secara lugas, seseorang hanya dapat memuaskan hasratnya akan pengakuan, jika ia bisa memberikan pengakuan yang sepantasnya kepada orang lain. Setiap usaha untuk memperoleh pengakuan dan penghargaan dengan menggunakan kekerasan akan bermuara pada kegagalan, karena cara tersebut melenyapkan setiap kemungkinan untuk mencapai pengakuan timbal balik yang tulus dari orang lain. “Saya”, demikian tulis Yar, “tidak dapat memberikan persetujuan dan mencapai keinginan saya tanpa secara bersamaan mengenali yang lain di dalam kosa kata mereka.”[23]

            Jelas, pandangan Kojève ini sangat bertentangan dengan pandangan Sartre maupun Levinas, dan tentunya akan sangat menarik, jika kita bisa sedikit membuat komparasi. Pertama, bagi Kojève pendapat Levinas tentang konsep pengakuan tidaklah tepat, karena menurut Kojève, konsep hasrat di dalam kosa kata Hegelian memiliki perbedaan mendasar, yakni antara hasrat ‘binatang’, dan hasrat ‘manusia’. Apa yang menjadi keprihatinan Levinas sebenarnya masih berada di tataran hasrat binatang, dan bukan hasrat manusia. Hasrat manusia tidak pernah akan dapat dipenuhi dengan menggunakan hasrat binatang. Hasrat binatang adalah hasrat untuk menaklukkan, hasrat untuk merebut kebebasan, sehingga obyek yang ditaklukkan ‘terpaksa’ memberikan pengakuannya. Hasrat manusia tidak berjalan dengan logika semacam itu. Hasrat manusia hanya dapat dicapai, jika subyek lain bisa memberikan pengakuannya secara bebas dan independen. Dengan kata lain apa yang menjadi dasar bagi konsep pengakuan Hegel sebenarnya berada di level yang lebih dalam daripada yang menjadi anggapan dasar sekaligus obyek kritik Levinas. Jauh dari berupaya ‘menelan’ yang lain ke dalam yang sama, konsep pengakuan Hegel, menurut Kojève, mengandaikan bahwa subyek membiarkan ‘yang lain’ tetap menjadi ‘yang lain’, dan hanya dengan cara itulah, pengakuan yang otentik dan tulus dapat diberikan atas dasar fondasi kebebasan.[24]

            Kedua, sebelumnya kita sudah melihat bahwa Satre telah menegaskan esensi dari pengakuan, yang sebenarnya bukanlah pengakuan sama sekali, melainkan obyektifasi. Dalam bahasa Sartre pandangan dari saya mereduksikan kebebasan orang lain, sehingga kebebasan saya bisa semakin jelas, dan saya bisa melepaskan diri dari proses reduksi ataupun penindasan dari orang lain. Hal ini jelas bertentangan dengan pandangan Kojève. Baginya pada momen ketika ‘yang lain’ dipandang sebagai obyek, maka proses pengakuan tidak akan pernah dapat dicapai. Artinya ketika saya menjadikan orang lain sebagai obyek, maka saya juga otomatis kehilangan kesempatan untuk diakui dan dihargai sebagai subyek oleh orang lain. Jadi pendapat Sartre mengalami kontradiksi, karena tepat ketika saya menindas orang lain dengan tatapan saya, saya juga tidak akan mendapatkan pengakuan yang tulus, seperti yang saya harapkan. Pengakuan yang tulus dan kepastian identitas diri justru tidak akan pernah terwujud dalam kondisi semacam itu. Afirmasi penuh dari orang lain adalah kondisi-kondisi yang harus dipenuhi, supaya potensi-potensi saya sebagai subyek dapat diwujudkan secara penuh, dan pengakuan yang tulus dari orang lain bisa saya peroleh.

            Di dalam proses pembacaannya Yar melihat ada beberapa hal yang kiranya bisa menjadi butir refleksi dalam konteks kritik Kojève terhadap Sartre. Pertama memang haruslah diakui bahwa di dalam proses relasi antar manusia, proses obyektifitas seringkali terjadi. Walaupun begitu hal ini tidak berarti bahwa semua bentuk relasi antar manusia adalah relasi yang saling mengobyekkan, atau menindas, seperti yang ditulis oleh Sartre. Relasi antar manusia juga bisa berbentuk persuasi, atau bujukan, supaya orang lain bisa sepaham dan mendukung saya secara bebas. Dengan pemahaman ini kita bisa melihat adanya kemungkinan untuk menciptakan dialog di dalam proses pertemuan dengan orang lain. Pengakuan yang tulus dan bebas pun bisa tercipta melalui proses dialog untuk mencapai pengertian bersama. Pengertian bersama melalui dialog ini hanya dapat dicapai, jika saya berani mengenali orang lain di dalam seluruh keunikannya, dan menerimanya dengan kebebasan dan keterbukaan. Dengan menerima orang lain dalam keunikan dan kebebasannya, saya sendiri pun bisa mulai memahami diri saya, dan pengakuan macam apa yang saya butuhkan dari orang lain. Hanya dengan cara inilah identitas diri saya bisa dipastikan berdasarkan pengakuan timbal balik yang otentik.

            Pada hemat Yar konsep pengakuan atas dasar dialog sebenarnya dapat dipahami dengan menggunakan tradisi hermeneutika di dalam filsafat. Hermeneutika disini adalah aktivitas manusia untuk terlibat dengan dunianya guna menemukan makna diluar subyektifitasnya. Jadi manusia hendak memahami dunia di luar dirinya, sehingga ia bisa memperoleh makna dan nilai dari pemahaman itu. Proses pemahaman itu mengandaikan bahwa saya bertemu dengan seseorang atau sesuatu yang belum saya ketahui. Akar dari semua proses pemahaman adalah, bahwa saya hendak memahami “yang lain” secara historis dan menyeluruh. Hermeneutika sendiri juga mengandaikan kemampuan orang untuk menerima keberlainan, dan memberikan validitas terhadap sesuatu yang berbeda dari saya. Hakekat dasar dari hermeneutika adalah usaha untuk mengenali ‘yang lain’ di dalam semua keunikannya. Dan mengandaikan bahwa setiap proses pemahaman adalah suatu proses mereduksi ‘yang lain’menjadi ‘yang sama’, sebenarnya adalah suatu pelanggaran terhadap hakekat dari hermeneutika itu sendiri. ‘Yang lain’ haruslah dikenali di dalam kosa kata dan dunianya sendiri, yang mungkin saja memiliki nilai-nilai yang berbeda dengan dunia yang kita yakini.

            Untuk menanggapi Sartre Honneth pernah mengajukan suatu argumen yang menarik. Baginya tatapan manusia tidaklah melulu berarti tatapan yang mengobyektifasi dan merampas kebebasan. Tatapan juga bisa berarti tatapan mendukung, tatapan bertanya, ataupun tatapan yang meragukan. Dengan kata lain tatapan tidak bisa disempitkan melulu ke dalam satu bentuk saja. Tatapan bisa diartikan dengan banyak cara, baik secara positif ataupun negatif, tergantung pada konteksnya, dan juga tergantung pada struktur makna dan praktek sosial, di mana proses itu terjadi.[25] Untuk menjelaskan ini Honneth menggunakan contoh yang juga digunakan oleh Sartre, yakni tentang pengalaman rasa malu. Bagi Honneth pengalaman negatif yang kita rasakan ketika orang lain menatap bukanlah pengalaman yang didasarkan pada dorongan internal di dalam diri manusia, melainkan sebuah pengalaman yang didasarkan pada reaksi moral yang terhubung langsung dengan struktur sosial yang ada di tempat itu. Dengan kata lain tatapan orang lain yang menghina dipersepsi berdasarkan standar moral yang berlaku dan telah saya yakini sebelumnya. Yang tidak tepat dari pemikiran Sartre adalah bahwa ia mengabaikan fakta ini, dan menarik kesimpulan bahwa relasi antar manusia, yang menjadi dasar dari pengakuan, secara hakiki memang sudah selalu negatif. “Jika tatapan dari yang lain mengkonfirmasi saya dengan penghormatan kepada pengertian diri dan aspirasi yang sentral kepada ide tentang diri saya atau narasi kehidupan,” demikian tulis Yar, “maka saya akan menyambutnya sebagai sebuah momen yang berkontribusi kepada realisasi dari aspirasi saya sendiri tentang kedirian.”[26]

Dengan menempatkan manusia sebagai mahluk yang bebas dan memiliki kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas, Sartre melupakan sebuah fakta fundamental bahwa kebebasan juga diperoleh melalui penegasan identitas diri seseorang oleh orang-orang lain di dalam komunitasnya. Artinya identitas diri seseorang, yang juga diperlukan supaya ia dapat mencapai kebebasan, justru ditegaskan oleh orang-orang di sekitarnya. Kebebasan bukanlah suatu keadaan tanpa terikat, melainkan kebebasan sebagai pengakuan dari individu-individu lain. Hal yang sama kiranya juga bisa dikatakan tentang pemikiran Levinas. Sebelumnya Levinas berpendapat bahwa kita harus menunda semua penilaian kita tentang “yang lain”. Akan tetapi pengakuan yang sesungguhnya baru bisa tercapai, justru jika kita memberi penilaian terhadap yang lain untuk menegaskan kebebasan maupun martabatnya sebagai manusia! “Saya”, demikian Yar, “adalah kondisi yang diperlukan untuk mewujudkan kemungkinan-kemungkinan dari yang lain..”[27]      

            Yar kemudian berupaya untuk menempatkan konsep pengakuan dalam konteks relasi sosial. Yang menjadi fokus utama adalah, bagaimana kita dapat merumuskan konsep pengakuan, tetapi tidak jatuh ke dalam pola relasi sosial yang bersifat instrumental dan kalkulatif saja. Disinilah dibutuhkan apa yang disebut Derrida sebagai ‘kepedulian’ (care)! Dari ketiga pandangan tentang pengakuan yang sedikit sudah dijabarkan di atas, ada dua hal yang kiranya menjadi dasar dari argumen, bahwa pengakuan haruslah didasarkan atas kepedulian. Pertama, Levinas dan Kojève telah mengajukan argumen serupa, yakni bahwa setiap orang selalu membutuhkan orang lain untuk merealisasikan kebebasannya. Keberadaan manusia sudah selalu berarti ada-bagi-yang-lain. Orang tidak bisa menghindari keberadaan “yang lain”. Karena jika ia melakukan itu, maka ia kehilangan eksistensinya sendiri sebagai seorang individu yang bebas dan bermartabat. Kita juga sudah melihat bagaimana dialektika di dalam konsep kesadaran diri yang diajukan Hegel, yakni bahwa kesadaran diri selalu terkait dengan sesuatu di luar “diri” sebagai kondisi yang memungkinkan keberadaan kesadaran diri tersebut. Ini adalah suatu kondisi yang disebut sebagai kondisi kesalingbergantungan, di mana eksistensi orang lain secara langsung terkait dengan eksistensiku sebagai manusia, dan sebaliknya.

Kedua, kepedulian sebagai dasar pengakuan hanya dapat diwujudkan, jika orang tetap berpikir terbuka dan siap untuk memahami “yang lain”. Hannah Arendt menyebut ini sebagai “proyeksi imajinatif” (imajinative projection) dan “mental yang diperluas” (enlarge mentality), yakni suatu sikap yang mampu membebaskan kita dari pertimbangan-pertimbangan subyektif, dan membawa kita untuk masuk ke dalam pengalaman sesungguhnya dari “yang lain”.[28] Dengan sikap ini kita bisa melihat dunia dari sudut pandang “yang lain”. Keterbukaan afektif terhadap singularitas dan keunikan dari “yang lain” juga bisa muncul. Tidak hanya berhenti disitu keterbukaan ini juga bisa mendorong terciptanya rasa kewajiban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar dari “yang lain”. Semua keutamaan ini bisa didapatkan, jika kita menggunakan prinsip-prinsip dasar hermeneutika di dalam keterlibatan kita di ranah sosial.

 

Kesimpulan

            Di dalam bab ini saya sudah mengajukan beberapa catatan yang diajukan Yar terhadap pandangan-pandangan yang bersifat pesimis terhadap politik pengakuan. Baginya jika dipahami secara tepat, politik pengakuan justru dapat mendorong terciptakan keadaan sosial yang mendukung perbedaan, serta menciptakan struktur sosial yang didasarkan pada intersubyektifitas dan keterbukaan. Ada beberapa kesimpulan yang kiranya bisa ditarik di dalam bab ini. Pertama, teori politik pengakuan tidaklah bisa dipandang secara negatif, seperti yang secara jelas dilakukan oleh Sartre dan Levinas. Justru teori politik pengakuan bisa mendorong terciptanya solidaritas sosial yang didasarkan pada kepedulian dan keterbukaan di dalam konteks masyarakat majemuk dewasa ini. Kedua, politik pengakuan adalah suatu model politik yang berupaya mewujudkan potensi-potensi diri seseorang secara maksimal di dalam masyarakat. Dengan kata lain politik pengakuan adalah politik realisasi diri (self-realization). Penerapan politik pengakuan akan memungkinkan kita melihat proses pembagian kekayaan sosial secara merata sebagai bagian dari proses untuk memungkinkan realisasi diri setiap orang berjalan semaksimal mungkin. Misalnya setiap orang diberikan akses terhadap pendidikan dan kesehatan secara gratis, bukan hanya karena supaya ia bisa berhasil dan sukses, tetapi supaya ia juga bisa memaksimalkan potensi dirinya sebagai manusia, dan memiliki citra diri (self-image) yang positif tentang subyektifitasnya. “Kesimpulannya”, demikian tulis Yar, “kemampuan dari teori dan perspektif pengakuan akan secara simultan memenuhi kebutuhan akan solidaritas, otonomi individual, sensifitivitas terhadap perbedaan, kritik terhadap kekuasaan dan… terciptanya keadilan sosial..”[29]

 



[1] Saya mengikuti Majid Yar, “Recognition and the Politics of Human(e) Desire”, dalam Recognition and Difference. Politics, Identity, and Multiculture, Scott Lash dan Mike Featherstone (eds), London, SAGE Publications, 2002, hal. 57-76.

[2] Judith Butler, The Psychic Life of Power: Theories in Subjection, Stanford, Stanford University Press, 1997, hal. 1-30, sepeti dikutip Yar, 2002, hal. 57.

[3] Ibid.

[4] Lihat Edward Said, Orientalism: Western Concepts of the Orient, London, Penguin Press, 1991, seperti dikutip Yar, 2002, hal. 57.

[5] Lihat Jacques Derrida, Politics of Friendship, London, Verso, 1997, seperti dikutip Yar, ibid.

[6] Lihat, Jean-Paul Sartre, Being and Nothingness: An Essay on Phenomenological Ontology, London, Routledge, 1969, hal. 3-21, dalam Yar, ibid, hal. 58.

[7] Ibid, hal. 59.

[8] Ibid.

[9] Sartre, 1969, hal. 21-45, dalam Yar, 2002, hal. 60.

[10] Ibid, hal. 261.

[11] Ibid, hal. 364, dalam Yar, 2002, hal. 61.

[12] Lihat, Howells, 1992, hal. 349, dalam Yar, ibid.

[13] Lihat, ibid, hal. 61-62.

[14] Lihat, ibid, hal. 64.

[15] Alexandre Kojève, Introduction to the Reading of Hegel, New York, Basic Books, 1969, hal. 2-3, dalam Yar, ibid.

[16] Lihat, Kojève, ibid, hal. 3.

[17] Yar, 2002, hal. 65.

[18] Ibid.

[19] Ibid, hal. 66.

[20] Hegel, Phenomenology of Spirit, Oxford: Oxford University Press, 1977, hal. 115, dalam Yar, ibid.

[21] Ibid, hal. 67.

[22] Kojève, 1969, hal. 19, dalam Yar, ibid.

[23] Yar, 2002. hal. 68.

[24] Lihat, Kojève, 1969, hal. 58, dalam Yar, 2002, hal. 69.

[25] Lihat, Axel Honneth, “The Struggle for Recognition: On Sartre’s Theory of Intersubjectivity”, dalam The Fragmented World, Albany, SUNY Press, 1995, hal. 162-163, dalam Yar, 2002, hal. 70.

[26] Yar, 2002, ibid.

[27] Ibid, hal. 71.

[28] Bdk, Seyla Benhabib, Situating the Self: Gender, Community, and Postmodernism in Contemporary Ethics, Cambridge, Polity Press, 1992, hal. 52-53, dalam Yar, ibid.

[29] Yar, 2002, hal. 73.

Filsafat Analitik

Mind Chess | Surreal art, Surrealism painting, Cute art

Oleh Reza A.A Wattimena

Apa yang dimaksud dengan filsafat analitik? Mengapa menggunakan kata “analitik”? Apa arti kata “analitik” di sini?

Pertanyaan-pertanyaan itu biasa muncul di kepala orang yang terbiasa mempelajari filsafat kontinental Eropa, seperti saya misalnya. Memang, filsafat kontinental penuh dengan metafisika, estetika, dan filsafat moral. Kesemuanya itu, jika dilihat dari sudut pandang filsafat analitik, menjadi tidak bermakna. Lanjutkan membaca Filsafat Analitik

Anorexia Kudus dan Kesucian Manusia

Anorexia Kudus dan Kesucian Manusia

 
Bulan Maret 1918, Therese Neumann jatuh pingsan, ketika ia berada di rumah pamannya. Pada 1919, ia buta sepenuhnya. Dan sejak 1922 sampai waktu kematiannya, 1962, ia mengklaim tidak pernah makan ataupun minum apapun (mulai dari 1926), kecuali Sakramen Ekaristi di dalam Gereja Katolik Roma.

 

Sebelum ia meninggal, ia beberapa kali berbicara dalam bahasa Yunani Kuno dan bahasa Aram, bahasa yang tidak pernah ia pelajari sedikit pun semasa hidupnya. Fenomena apakah ini?

 

Ada yang bilang, ini adalah fenomena simbol kesucian manusia. Ada juga yang bilang, ini adalah bukti kuatnya pengaruh pengalaman religius bagi diri manusia. Pengalaman religius, apa itu?

 

Memang, manusia memiliki banyak pengalaman. Pengalaman tersebut dimungkinkan, tepat karena manusia itu dinamis dan terbuka untuk berbagai kemungkinan.

 

Di dalam dirinya, ia bisa merasa sedih, bahagia, hampa, ataupun berduka. Seringkali, perasaan yang ada pun tumpang tindih, ia bisa sekaligus bahagia dan bersedih, ia juga bisa merasa berduka sekaligus bersuka ria. Yang terakhir ini kiranya menjadi perasaan kolektif bangsa Indonesia pada momen meninggalnya Soeharto beberapa waktu yang lalu.

 

Salah satu jenis pengalaman yang paling menarik untuk dikaji adalah pengalaman religius. Beberapa orang juga menyebutnya sebagai pengalaman mistik, yakni suatu momen, ketika manusia merasa bersatu dengan Tuhan, atau merasa begitu dekat denganNya.

 

Hanya sedikit orang yang bisa sungguh memaknai pengalaman semacam ini. Lebih sedikit lagi orang yang mampu mengulangnya secara konstan, dan menjadikan pengalaman ini bagian dari hidupnya.

 

Di dalam kajian psikologi agama, pengalaman religius bukanlah pengalaman mistik yang tak terjangkau oleh manusia. Sebaliknya, pengalaman religius merupakan bagian dari dinamika psikis manusia, dan bisa direkayasa dengan cara-cara yang tepat.

 

Dengan kata lain, setiap orang bisa mendapatkan dan merasakan pengalaman religius, jika ia mengerti cara-cara yang perlu ditempuh untuk memperolehnya. Dari sudut pandang ini, pengalaman religius bukanlah monopoli para kudus ataupun orang suci semata, melainkan pengalaman yang universal dapat dirasakan oleh semua manusia, asal dia mengerti dan mau berusaha mendapatkannya.

 

Ada beberapa cara yang bisa ditempuh. Salah satu cara yang paling sering ditempuh adalah dengan melakukan gerak tubuh secara konstan dan dengan irama yang tetap. Yang terakhir ini bisa menciptakan keadaan ekstase, trance, dan bisa membuat orang menjadi pingsan, ataupun amnesia sementara.

 

Berpuasa dan Anorexia Kudus

 

Cara yang juga biasa ditempuh supaya orang bisa sungguh memahami dan memaknai pengalaman religius adalah dengan berpuasa.

 

Disini, puasa bisa diartikan sebagai suatu tindak untuk memperoleh displin spiritual, atau sebagai tanda kepatuhan religius kepada Tuhan yang diimani oleh seseorang. Puasa juga bisa menjadi simbol bagi beberapa hal yang obyektif yang menyangkut dinamika psikis manusia, seperti simbol berduka, pemurnian diri, penitensi atau pengampunan dosa, niat untuk mendapatkan wahyu atau inspirasi dari Tuhan, dan untuk mengurangi dorongan seksual.

 

Jadi jelas, puasa seringkali berkait erat dengan penghayatan religius seseorang. Puasa pun seringkali diidentikan dengan agama, walaupun tidak selalu seperti itu.  

 

Ada ragam tipe puasa, yang tentu saja disesuaikan dengan ragam agama yang ada di dunia. Di dalam agama Islam, puasa merupakan salah satu tindakan wajib untuk memenuhi lima pilar Islam. Di Gereja Katolik Ortodoks di Ethiopia, puasa dua belas jam sehari adalah hal yang biasa, supaya orang bisa memperoleh pengampunan dari Tuhan.

 

Seperti halnya semua berkah selalu membutuhkan pengorbanan, puasa pun juga memiliki dampak negatif bagi orang yang melakukannya. Di beberapa tempat, tindak puasa secara bersama bisa mengakibatkan terjadinya kelaparan massal, menyebarkan penyakit menular, serta keterbelakangan mental dan fisik.

 

Secara personal, tindak berpuasa juga bisa menimbulkan perasaan depresi, gejala fisik yang melambat, malnutrisi, ataupun neurotik pada tingkat tertentu. Malnutrisi pun juga bisa dengan mudah ditemukan di dalam kebudayaan yang menjadikan puasa sebagai ritual wajib dan rutin mereka.

 

Gejala malnutrisi semacam ini seringkali disebut sebagai Anorexia Kudus (holy anorexia). Jadi, orang berpuasa secara total, sampai ia menunjukkan tanda-tanda malnutrisi, untuk menunjukkan kesetiaannya pada Tuhan, atau untuk memperdalam penghayatan religius yang ia miliki.

 

Gejala ini banyak ditemukan di dalam kehidupan orang-orang kudus Gereja Katolik Roma, atau para sufi di dalam Agama Islam. Mereka berpuasa secara total untuk memperoleh kesempurnaan spiritual dan religius. Bisa juga dikatakan, anorexia kudus ini adalah suatu cara yang dilakukan oleh manusia untuk memanipulasi Tuhan, supaya Ia mau mematuhi dan mewujudkan keinginan manusia.

 

Tindak berpuasa juga bisa menciptakan perasaan tenang dan damai di dalam diri manusia. Ketenangan dan kedamaian yang diperoleh melalui tindakan ini bisa mendorong peningkatan kesadaran, spiritualitas, dan konsentrasi seseorang.

 

 

Alasan Politik

 

Selain didorong oleh alasan religius, tindak berpuasa juga kerap digunakan untuk merealisasikan alasan-alasan politik. Pada beberapa kesempatan, tindak berpuasa secara kolektif juga merupakan simbol dari perlawanan terhadap represi ataupun ketidakadilan.

 

Di beberapa kebudayaan, kaum wanita seringkali melakukan puasa total untuk menunjukkan perlawanannya terhadap perjodohan yang dibuat oleh orang tua mereka. Toh, sikap berpuasa menjangkau mulai dari alasan religius yang paling suci sampai alasan politik yang paling revolusioner. Hakekat terdalam dari tindakan ini adalah kesediaan manusia untuk berkorban untuk mewujudkan dunia yang lebih baik. Pertanyaannya tetap: bersediakah anda berkorban?

 

Reza A.A Wattimena

Pengajar di UNIKA Atma Jaya, Jakarta

“Memanipulasi” Tuhan?

“Memanipulasi” Tuhan?

“Kesunyian adalah esensi dari mistisme”

Wulff

 

Kita berharap banyak pada Tuhan. Melalui doa, puasa, dan sedekah kepada yang papa, kita berharap Tuhan menganugerahkan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita.

 

Berbagai peradaban di dunia sudah sejak dulu melakukan pemujaan kepada dewa-dewa, supaya mereka memperoleh kemakmuran dan kekuatan. Beberapa diantaranya bahkan melakukan pengorbanan manusia untuk mencapai cita-cita itu.

 

Akan tetapi, melalui ritual dan pemujaan itu, apakah kita pernah merasa sungguh dekat padaNya? Apakah melalui doa-doa dan sikap hidup kita, kita pernah merasakan kebersatuan denganNya? Atau justru, yang kita lakukan seringkali adalah “menyuap” Tuhan dengan doa dan sikap kita, supaya Ia memenuhi keinginan kita? Jangan-jangan, hubungan kita dengan Tuhan tak ubahnya seperti hubungan budak dengan majikannya, yang kerap kali tanpa kedekatan emosional dan ‘keintiman’ sama sekali?

 

Di dalam kajian psikologi agama, perasaan dekat dengan Tuhan itu ternyata adalah suatu perasaan psikis manusia yang bisa direkayasa sesuai kehendak, asal kita tahu cara yang tepat untuk melakukannya. Dengan kata lain, perasaan mistik, yakni perasaan dekat dan “intim” dengan Tuhan, bukanlah monopoli para orang kudus ataupun sufi, tetapi bisa diperoleh oleh siapapun tanpa pandang bulu!

 

Pertanyaannya lalu, bagaimana kita melakukannya? David M. Wulff, seorang ahli psikologi agama, berpendapat bahwa ada beberapa cara spesifik yang bisa ditempuh, yakni berpuasa, mengurangi waktu tidur, mengisolasikan diri dari dunia sosial, dan mengatur napas secara tepat.

 

Mencapai Pengalaman Religius

 

Dengan berpuasa, orang bisa mengatur dorongan badaniahnya. Ia bisa melatih diri untuk menahan dorongan survival manusia yang paling dasar, dan kemudian memperoleh pengalaman religius.

 

Berbagai tradisi religius di dunia memiliki ragam tradisi puasa yang juga berbeda. Akan tetapi, esensi dari semuanya adalah, bahwa manusia harus dapat berkorban untuk mencapai kebahagiaan yang paling otentik, yakni pengalaman mistik bersatu dengan Tuhan.

 

Cara kedua untuk memperoleh pengalaman religius adalah dengan mengurangi waktu tidur. Di banyak tradisi religius besar di dunia, cara ini dianggap sebagai persiapan yang paling ideal untuk memulai suatu ritual khusus yang bersifat religius.

 

Mengurangi waktu tidur juga dianggap sebagai bagian dari displin asketik yang mungkin dilakukan manusia,  yakni suatu cara mendisplinkan diri untuk memperoleh keutamaan-keutamaan moral ataupun religius. Beberapa mistikus Kristen, seperti Saint Peter dari Alcantara, Therese Neumann, dan Catherine dari Siena, konon hanya tidur satu jam sehari.

 

Cara ketiga untuk memperoleh pengalaman religius atau pengalaman mistik adalah dengan mengisolasikan diri dari dunia sosial. Dunia sosial, yang penuh dengan kesibukan dan hiruk pikuk peradaban, dianggap mengganggu relasi manusia dengan Tuhan, oleh karena itu, dunia sosial haruslah ditinggalkan.

 

Seperti kedua cara sebelumnya, tindak mengisolasikan diri dari dunia sosial memiliki tujuan dasar yang sama, yakni untuk memperdalam kesadaran religius. “Kesunyian”, demikian tulis Wulff, “adalah esensi dari mistisisme” (Wulff, 1999)

 

Biasanya, orang mengisolasikan diri mereka dari dunia sosial dengan pergi ke gunung, hutan, ataupun gurun. Di tempat-tempat terpencil itu, mereka berdoa dan berkontemplasi hampir sepanjang waktu.

 

Kajian psikologi agama juga membuktikan, bahwa beberapa di antara orang-orang yang pernah mencoba menarik diri dari dunia sosial akan mengalami halusinasi, depersonalisasi, dan gejolak emosi yang bersifat ekstrem. Jadi, cara ini memang tidak mudah, dan menuntut pengorbanan besar.

 

Cara terakhir untuk memperoleh pengalaman religius adalah dengan melakuan pengaturan napas secara tepat. Dibarengi dengan mengucapkan beberapa kata dalam ritme yang tetap, proses pengaturan napas bisa membawa manusia ke dalam keadaan ekstase yang dalam arti tertentu bisa meningkatkan kesadaran religiusnya.

 

Taoisme di Cina sudah lama mengenal cara semacam ini. Para guru Tao melakukan pengaturan napas supaya mereka bisa memperoleh kedekatan dengan alam, dan memperkuat vitalitas tubuh mereka.

 

Tidak ada satu pun tradisi religius di dunia yang memberikan perhatian besar kepada pengaturan napas, seperti yang ada di dalam tradisi Yoga di India. Para Yoga dan Yogi melakukan meditasi, berkonsentrasi penuh, untuk mendapatkan perasaan harmonis, meningkatkan kesadaran religius, dan mencapai perasaan ekstasis.

 

Jadi?

 

Jadi, apakah doa dan pujian kita kepada Tuhan sungguh hanya suatu tindak ‘manipulasi’, atau berangkat dari kerinduan eksistensial kita untuk menyentuh dan mencintai Dia seutuhnya?

 

Bisakah kita melatih diri kita sendiri, melalui cara-cara yang telah dipaparkan sebelumnya, supaya kita sungguh memperoleh kedekatan denganNya, dan membangun relasi yang tidak asal “meminta”, atau instrumental saja?

 

Jika hubungan kita dengan Tuhan hanya bersifat instrumental saja, tidak heran bahwa di Indonesia, kemunafikan religius bagaikan duri di dalam daging religiositas manusia yang menusuk dan merusak secara perlahan… tapi pasti!

 

Reza A.A Wattimena

Pengajar di UNIKA Atma Jaya, Jakarta

Menyingkap Ciri Estetik “Kekerasan” Media

Menyingkap Ciri Estetik

Kekerasan” Media

Suatu telaah Fenomenologis

Reza A.A Wattimena[1]

“Saya lebih takut pada sebuah pena daripada seratus meriam”

Napoleon

Abstract:

The increase violence which broadcast in our mass media is a hard fact. There are two split opinions regarding this issue. The first is the educational practitioner which alarm about the future of the younger generation. They argue that the violence dimension will influence the emotional and behavioral aspect of the audience, especially the children. Meanwhile, there are a large number of people which encourage this phenomenon, namely the media violence, because it will increase their profit, politically and economically. In this article, using the phenomenology method, I will analyze this phenomenon, and try to see the issue from different point of view. I will argue that violence has an aesthetic dimension in it self. This argument can explain further, why it is so difficult to erase the violence dimension in the media.

Keywords: violence, media, phenomenology, aesthetic dimension, beauty.

Pada 2004, ratusan orang tewas dan puluhan bangunan hancur di Nigeria, akibat pemberitaan media yang tidak peka, dan justru memperbesar skala konflik. Kasusnya adalah, bahwa mayoritas warga Nigeria telah menolak penyelenggaraan Miss World, karena kegiatannya adalah parade perempuan cantik yang hanya mengenakan pakaian renang. Pemerintah sendiri sudah setuju, karena kegiatan ini mendorong industri pariwisata Nigeria. Akan tetapi, ada seorang penulis media yang menulis sebuah artikel di sebuah media massa Amerika Serikat yang isinya mengkritik protes umat Islam tersebut. Di dalam artikel itu tertulis, “Seandainya Muhammad masih hidup, mungkin dia akan memilih salah satu atau beberapa kontestan untuk dijadikan istrinya.” Tentu saja, umat Islam kaget dan tersinggung oleh tulisan tersebut. Konflik pun tak terelakkan lagi.

Sepuluh tahun sebelumnya, 1993, kota Los Angeles, Amerika Serikat, dibumi hanguskan oleh penduduk kulit hitam. Salah satu pemicu awal dari konflik ini adalah kekerasan yang dilakukan oleh polisi LA terhadap seorang berkulit hitam yang bernama Rodney King. Stasiun berita lokal pun tidak melepas momentum ini. Adegan kekerasan tersebut ditayangkan berturut-turut selama seminggu di stasiun televisi. Hal ini menyulut kerusuhan yang bermuara pada kerusuhan besar di kota itu. Siaran televisi lokal tersebut mendorong terciptanya kebencian dan sentimen rasial.

Di Rwanda pada 1994, sebuah stasiun radio dengan gencar memprovokasi rakyat dan memicu kebencian antar ras. Konflik pun terjadi. Sekitar satu juta orang menjadi korban di dalam konflik antara suku Hutu dan suku Tutsi. Penyiar radio yang bertanggungjawab terhadap propaganda kekerasan tersebut baru dihukum oleh mahkamah internasional pada 2004 lalu. [2]

Hal yang kurang lebih serupa juga terjadi di dalam dunia perfilman. Menurut analisis yang dibuat pada pertengahan 2007 oleh Kajian Komisi Nasional Perlindungan Anak, televisi menjadi salah satu penyumbang terbesar yang menimbulkan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak. Dari 35 judul acara atau film yang ditayangkan di stasiun-stasiun televisi, 62% diantaranya mengedepankan adegan-adegan kekerasan. Spontan, anak-anak yang menyaksikan tayangan tersebut lalu mempraktekkannya di antara mereka, sehingga menciptakan korban kekerasan.[3]

Di sela-sela pemberitaan ini, Forum Komunikasi Praktisi Media Nasional (FKPMN) menyatakan bahwa sebagai besar penduduk dunia kini mulai mencemaskan tayangan-tayangan media yang menjual tema-tema kekerasan untuk menarik minat pemirsa. Media, baik elektronik maupun cetak, baik nasional maupun internasional, berpendapat bahwa tayangan yang mengedepankan adegan kekerasan sangatlah cepat terjual. Akibatnya, mereka dengan rajin mengeksploitasi berita-berita kekerasan tersebut. Aspek-aspek kekerasan lainnya, seperti mengapa itu terjadi, apa akibatnya, dan kira-kira hukuman seperti apa yang akan diterapkan bagi kekerasan tersebut, pun tampak terlewatkan.[4]

Argumen naif pun dilontarkan oleh para pengelola media besar, yakni bahwa media pada prinsipnya hanya melaporkan apa adanya. Media hanya menyampaikan fakta secara netral, tanpa kepentingan apapun. Apakah memang seperti itu? Faktanya, media bisa memilih satu di antara begitu banyak sudut pandang di dalam menyampaikan berita. Media bisa memilih, apakah ia akan melaporkan pembantaian ratusan orang Madura oleh suku Dayak di Kalimantan, atau memberitakan bahwa walaupun banyak konflik, tetapi kedua suku tersebut masih bisa saling membantu. Dengan kata lain, media tidak pernah netral. Media sebenarnya bisa memilih, apakah ia akan menjadi penyulut api di tengah konflik kekerasan dan diskriminasi, atau menjadi alat pencipta perdamaian, menyuarakan keadilan, dan mencegah kekerasan.

Memang tak bisa dipungkiri lagi, media di Indonesia, baik itu media elektronik maupun cetak, kini dipenuhi berbagai bentuk atraksi kekerasan. Tampaknya, mereka lebih memilih memnjadi penyulut api di tengah konflik untuk mendapatkan keuntungan daripada pencipta perdamaian. Kekerasan tersebut melibatkan kekerasan linguistik dalam bentuk penggunaan kata-kata yang bersifat sarkastik, kekerasan simbolik, kekerasan virtual, sampai pada kekerasan yang dari luar tampak lembut, tetapi di baliknya memiliki cara pandang yang rasistis dan diskriminatif. Kondisi semacam ini memang mengundang sebuah keprihatinan tersendiri, terutama bagi orang-orang yang terkena langsung dampaknya, seperti para orang tua yang kebingungan dengan pola pendidikan anaknya, ataupun para praktisi pendidikan.

Di luar lingkaran orang-orang yang terkena dampak ini, ada sekumpulan besar orang yang tidak peduli, dan sama sekali tidak ingin terlibat. Alasannya sebenarnya jelas, mereka diuntungkan dengan pola kekerasan yang berlangsung di dalam media sekarang ini! Keuntungan ekonomis dan keutungan politis ada di depan mata orang-orang tersebut. Gejala ini memang mengakibatkan terciptanya iklim apatisme publik yang luar biasa besar. Semua bentuk ketidakpedulian dan keengganan seolah menyerbu ruang publik kita. Akibatnya terjauhnya adalah terciptanya individu-individu yang patuh dan mudah dikontrol (docile individual), baik secara politis, maupun diatur oleh produsen di bidang ekonomi.

Di dalam tulisan ini, saya tidak akan berpretensi untuk memberikan solusi terhadap problem yang berkelit kelindan tersebut, tetapi lebih ingin memahami permasalahan tentang kekerasan di dalam media secara fenomenologis. Untuk itu, saya akan membagi tulisan ini ke dalam empat bagian. Saya akan menjelaskan terlebih dahulu apa sesungguhnya yang dimaksud dengan fenomenologi dan pendekatan fenomenologis(1). Kemudian, saya akan menerapkan metode tersebut untuk menganalisis gejala kekerasan yang banyak terjadi di media sekarang ini (2). Bagian berikutnya hendak menelusuri tipe-tipe kekerasan di dalam media, dan ciri estetik yang mendasarinya, sehingga kekerasan menjadi sangat sulit dilenyapkan (3). Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan singkat(4).

1. Fenomenologi

Sebelum kita mulai meneliti dimensi estetik dari kekerasan dengan menggunakan metode fenomenologi, ada baiknya kita kita memahami beberapa pengertian mendasar tentang fenomenologi. Di dalam ranah filsafat, istilah fenomenologi kerap diidentikan dengan pemikiran Edmund Husserl. Bahkan, ia seringkali juga dikenal sebagai bapak fenomenologi. Akan tetapi, Huserrl bukanlah pencipta istilah itu.[5] Penelusuran sejarah akan membawa kita pada 1764, ketika seorang bernama Johann Heinrich Lambert, salah seorang pengikut filsafat Wolffian yang banyak berkembang di Jerman pada abad ke-17, menulis buku yang berjudul Neues Organon Gedanken über die Erforschung und Bezeichnung des Wahren und der Unterscheidung von Irrtum und Schein. Bagi Lambert, fenomenologi adalah teori tentang ilusi (schein) dan beragam bentuk dari ilusi tersebut. Pada bab keempat buku itu, ia pun menegaskan bahwa ilusi yang ia maksud sebenarnya adalah kebenaran itu sendiri. Ironisnya, penggunaan kata fenomenologi di dalam buku ini sama sekali tidak merujuk pada metode ataupun suatu cara pendekatan tertentu terhadap esensi dari realitas, sebagaimana fenomenologi dipahami sekarang ini.

Tampaknya, pemikiran Lambert ini juga mempengaruhi pemikiran Kant, ketika bukunya yang berjudul Kritik der Reinen Vernunft diterbitkan. Kant sendiri secara eksplisit mengakui, bahwa buku tersebut didedikasikan sebagai penghargaan personalnya terhadap Lambert.[6] Pada surat yang ditulis tertanggal 2 September 1770, Kant menyatakan bahwa “kita memerlukan suatu bentuk pengetahuan negatif (negatif knowledge) untuk mendahului metafisika sebagai displin yang propaedeutis, dengan tugas untuk menentukan keabsahan dan atas-batas prinsip dari pengetahuan inderawi.”[7]

Di dalam surat yang ditulis kepada Marcus Hertz tertanggal 21 Februari 1772, Kant juga menyatakan dengan tegas bahwa ia memang sedang fokus merumuskan sebuah teori tentang batas-batas pengetahuan dan batas-batas akal budi manusia. Ia menyatakan bahwa karyanya terdiri dari dua bagian besar. Yang pertama adalah fenomenologi umum. Dan yang kedua adalah metafisika yang ditelusuri hakekatnya melalui metode. Dengan demikian, karya magnus opus Kant yang berjudul Kritik der Reinen Vernunft pun sebenarnya juga merupakan sebuah fenomenologi. Yang unik dari Kant adalah, bahwa ia melakukan pendekatan fenomenologi terhadap semua bentuk gejala di dalam realitas yang kemudian dibedakan dengan benda-pada-dirinya-sendiri yang tidak bisa diketahui. Keunikan inilah yang nantinya juga mengundang simpati dari Husserl, ketika ia merumuskan pendekatan fenomenologinya secara komprehensif.[8]

Salah satu karya besar Hegel, The Phenemenology of Spirit, juga menghadirkan perdebatan yang lebih jauh tentang makna fenomenologi itu sendiri. Di dalam buku itu, Hegel tampak berhasil memaknai fenomenologi sebagai salah satu cabang filsafat yang memiliki pendekatan yang sistematik. Walaupun begitu, para fenomenolog sekarang ini tidak lagi menempatkan Hegel sebagai salah satu di antara mereka, dengan alasan bahwa Hegel lebih layak ditempatkan sebagai metafisikus di dalam filsafat modern.

Spiegelberg berpendapat bahwa “fenomenologi” Hegel mendapatkan pengaruh besar dari Fichte, terutama di dalam karyanya yang berjudul Wissenschaftslehre. Di sini, fenomenologi dimaknai sebagai suatu cara untuk mendekati dunia penampakan (the world of appearances) melalui kesadaran sebagai fakta primer dan sumber dari semua fakta lainnya. Fenomenologi adalah suatu upaya untuk menunjukkan perkembangan dari kesadaran murni, dan kemudian secara dialektis bergerak ke dalam bentuk-bentuk dari kesadaran tersebut, serta akhirnya sampai pada pengetahuan absolut yang disebut Hegel sebagai filsafat.[9] Fenomenologi adalah “Bukit Golgota bagi Roh Absolut”. Fenomenologi adalah museum yang menyimpan sejarah dan data mengenai pergerakan Roh Absolut di dalam upaya untuk memahami dan mencapai dirinya sendiri. Di dalam gerak dialektis ini, fenomena tidak hanya dianggap sebagai penampakan-penampakan dari obyek semata, tetapi sebagai tahap-tahap pembentukan pengetahuan yang dimulai dari pengandaian-pengandaian naif kita tentang kesadaran dan realitas, sampai pada tahap tertinggi, yakni filsafat.

Jadi, Kant dan Hegel sudah banyak berbicara tentang fenomenologi, walaupun dengan cara mereka masing-masing. Akan tetapi, apa kaitan definisi yang mereka berikan dengan pengertian mengenai fenomenologi dewasa ini? Husserl sendiri, yang memang menjadi salah satu pemikir yang meletakkan fondasi bagi fenomenologi di abad ke-20, tidak memberi banyak komentar tentang ini. Ia memang banyak dipengaruhi oleh Kant. Akan tetapi cukup jelas, bahwa fenomenologi yang dirumuskannya juga merupakan sebentuk kritik terhadap idealisme transendental Kantian yang menyatakan bahwa manusia hanya mampu mengetahui penampakan-penampakan dari obyek di dalam realitas, dan bukan benda-pada-dirinya-sendiri. Tentang Hegel, Husserl juga tidak banyak menyinggung. Ia bahkan menyebut para pemikir Idealisme Jerman, yang terdiri dari Hegel, Fichte, dan Schelling, adalah para pemikir yang “tidak dewasa” dalam konteks kontribusi mereka terhadap fenomenologi.[10] Mungkin, argumen tersebut dipengaruhi oleh “semangat jaman” pada awal abad ke-20, di mana Hegel dan para pemikir Idealisme Jerman mulai ditinggalkan.

Fenomenologi Husserl memang berbeda dengan para filsuf sebelumnya. Ia berpendapat bahwa kita perlu melihat realitas apa adanya. Realitas perlu ditelaah secara lebih detil dan cermat. Inti dari fenomenologi adalah upaya untuk membiarkan realitas itu menyingkapkan diri, dan tampil di hadapan kita apa adanya. Fenomenologi adalah suatu cara untuk memahami struktur-struktur fundamental realitas yang berkaitan langsung dengan pengalaman manusia. Untuk dapat memahami struktur-struktur fundamental realitas tersebut, maka kita perlu mencermatinya dengan tanpa prasangka dan asumsi apapun. Kita dituntut untuk kembali pada realitas itu sendiri, dan tidak terlebih dahulu membuat penilaian-penilaian, prasangka, praduga, atau bias yang kita pegang dan yakini sebelumnya. Untuk mencapai ini, kita dituntut untuk berani mencermati realitas apa adanya, dan memiliki kemampuan untuk memisahkan segala sesuatu yang menjadi penilaian kita dengan apa yang sesungguhnya menjadi karakter fundamental dari realitas tersebut. Harapannya adalah, obyek dapat terbuka dan menyatakan dirinya sendiri. Husserl menyebutnya sebagai “kembali kepada benda itu sendiri.”[11]

Banyak penelitian di Indonesia, mulai dari penelitian empiris sampai penelitian filosofis, telah terlebih dahulu memegang teguh teorinya sendiri bahkan sebelum penelitian tersebut menyentuh obyek yang ingin diteliti. Akibatnya, obyek tidak tampil sebagaimana adanya obyek tersebut, melainkan obyek yang ingin kita lihat saja. Kita tidak bisa memahami obyek pada dirinya sendiri, karena kita tertutup dan dihalangi oleh teori-teori dan prasangka yang kita ciptakan sendiri. Kita pun tidak melihat realitas apa adanya, tetapi realitas yang ingin kita lihat saja! Hal yang sama terjadi, ketika kita hendak memahami fenomena kekerasan di dalam media sekarang ini. Kita melihat kekerasan tidak untuk memahami hakekat dari kekerasan itu sendiri, tetapi sudah terburu-buru mencap kekerasan sebagai negatif. Pemahaman kita tentang kekerasan tidak menyeluruh, melainkan terbatas pada prasangka-prasangka kita semata. Fenomenologi menawarkan pendekatan yang ingin mencairkan prasangka-prasangka ini, dan kemudian berusaha memahami hakekat kekerasan pada dirinya sendiri, serta menemukan sebab, mengapa kekerasan begitu sulit untuk dihilangkan.

2. Menyingkap Ciri Estetik Kekerasan

Apa itu kekerasan? Dan, mengapa kekerasan begitu sulit untuk dilenyapkan di dalam corak kehidupan media kita, ataupun di dalam realitas sehari-hari kehidupan kita? Sebagai definisi awal yang sederhana, kita bisa pertama-tama melihat kekerasan sebagai kekuatan untuk memaksa.[12] Di dalam paksaan, kita menemukan unsur dominasi. Dominasi itu berada di tataran yang kasat mata, sampai yang tidak kasat mata. Bentuk-bentuk dominasi bisa ditelusuri mulai dari dominasi fisik, dominasi verbal, moral, dan psikologis. Dominasi tersebut berdampak negatif pada manusia, karena secara langsung bisa menciptakan luka fisik dan psikologis. Secara kasat mata, dominasi tersebut dapat dilihat di dalam penggunaan kekuatan bersenjata, manipulasi politik melalui fitnah, pemberitaan yang tidak berimbang tentang suatu peristiwa, pernyataan-pertanyaan yang mendiskreditkan pihak tertentu, dan penghinaan eksplisit yang secara jelas melukai hati orang yang mendengarnya.

Jadi, kekerasan adalah semua tindakan yang bisa merusak dasar kehidupan seseorang. Kerusakan tersebut bisa fatal, atau sekedar meninggalkan goresan. Di dalam media kita, kekerasan telah menjadi sesuatu yang biasa, yang banal. Kebiasaan tersebut muncul, karena ketika kita menyaksikan adegan kekerasan, ada perasaan terpesona yang hadir. Memang, kekerasan bisa menghadirkan sensasi-sensasi kenikmatan bagi orang yang menyaksikannya. Hal ini menjelaskan, mengapa film action di bioskop-bioskop 21 laku keras di pasaran, serial televisi Buser dan sejenisnya tetap eksis dan digemari, dan bahkan sampai perkelahian di jalanan bisa menjadi tontonan massa hanya dalam sekejap mata, seolah-olah perkelahian itu merupakan hiburan. Di dalam konteks media elektronik, kekerasan ditampilkan dengan cara yang berlebihan. Di dalamnya, pemirsa sering mengalami kesulitan membedakan, mana yang merupakan realitas, dan yang mana yang merupakan rekayasa teknologi. Atau, yang mana merupakan adegan yang manusiawi, yang mana merupakan adegan “bohongan”.

Jadi jelas, salah satu alasan yang paling mendasar mengapa kekerasan begitu sulit dilenyapkan adalah, karena kekerasan itu indah dan menciptakan sensasi-sensasi kenikmatan. Kekerasan menghasilkan rasa muak, sekaligus rasa kagum hampir pada saat yang bersamaan. Perasaan berjumpa dengan kekerasan sekaligus adalah perasaan akan keindahan. Di dalam kekerasan, kenikmatan dan ketakutan berelasi secara dialektis. Yang satu menghadirkan yang lain. Ciri estetik dari kekerasan ini menjadi komoditi yang diperjualbelikan oleh industri media. Semua bentuk kekerasan di dalam film dan iklan menjadi bagian dari komoditi yang menguntungkan, sehingga rating program yang tinggi bisa diperoleh, dan keuntungan finansial datang. Tentu saja, tayangan kekerasan yang menciptakan kenikmatan tersebut sama sekali tidak menghiraukan aspek-aspek lainnya, seperti aspek pendidikan ataupun efek trauma yang diakibatkannya.

Selain membawa kenikmatan, rupanya kekerasan juga memiliki dimensi estetik mendalam yang membuatnya, sampai batas-batas tertentu, dapat dikategorikan sebagai seni. Ciri estetik dari kekerasan membuat penonton yang menyaksikannya merasa terhibur. Ciri estetik ini akan semakin menghibur, ketika pelaku kekerasan mendapatkan kemenangan pada akhirnya. Aspek menghibur dari adegan kekerasan juga semakin meningkatkan efek kenikmatan, ketika kekerasan itu diramu dalam bentuk humor.[13] Humor di dalam adegan kekerasan seolah bisa memangkas ciri destruktif dari kekerasan tersebut. Akibatnya, pemirsa yang menikmati adegan tersebut menjadi tumpul dan hilang kepekaannya terhadap korban kekerasan di dalam adegan, dan mungkin pada akhirnya di dalam realitas sehari-hari. Ketidakpekaan orang terhadap korban penderitaan korban sebenarnya sudah terbentuk, ketika orang menyaksikan film beradegan kekerasan di dalamnya, dan mendapatkan kenikmatan dari melihat adegan tersebut!

Jadi, apa yang tadinya merupakan adegan di dalam sebuah film, kini berpotensi menjadi tindakan di dalam kehidupan nyata. Kekerasan itu menular, berawal dari pandangan, dan berakhir pada tindakan. Keterpesonaan terhadap kekerasan juga seringkali dipergunakan oleh para politikus demi tujuan-tujuan politik praktisnya. Tidak bisa dipungkiri lagi, para politikus sering mempergunakan rasa gentar dan kekaguman para “pemirsa kekerasan” untuk kepentingannya. Aspek estetik yang mengagumkan sekaligus membuat gentar itu berubah menjadi sarana pemecah belah. Tak heran, di dalam diskusi mengenai taktik CIA untuk menjatuhkan para oposisi Amerika dengan kekerasan mengundang decak kagum sekaligus rasa takut hampir pada saat yang sama. Sikap dan pandangan peserta diskusi pun terpecah, ada yang terkagum sekaligus menjadi setuju, dan ada yang menentang CIA.

Ada tiga hal yang kiranya bisa ditelusuri sebagai akibat langsung dari kekerasan. Yang pertama, tontonan dan perilaku kekerasan secara langsung bisa meningkatkan tingkat perilaku agresif penontonnya. Kedua, adegan kekerasan yang diulang terus menerus bisa membuat penontonnya, baik langsung ataupun melalui layar kaca, tidak lagi peka terhadap penderitaan korban yang mengalami kekerasan tersebut. Dan ketiga, kekerasan bisa menciptakan gambaran yang dunia yang reduktif, yakni bahwa dunia itu sepenuhnya jahat dan kejam, maka orang harus siap melakukan kekerasan untuk bertahan diri.[14]

Dengan tiga hal ini jelaslah, bahwa kekerasan itu, apapun bentuk dan ciri estetik yang mungkin melatarbelakanginya, memberikan pengaruh yang sangat negatif bagi orang, terutama anak yang sedang dalam masa awal pembentukan karakter. “Meskipun ada ekspresi senang, puas, atau tertarik terhadap kekerasan di dalam media,” demikian tulis Haryatmoko, “sering tanpa disadari anak sebetulnya bergulat dalam suatu perjuangan, kegelisahan, dan ditatapkan pada berbagai pertanyaan.”[15] Anak pun berpotensi mengalami stress, kecemasan, dan kegelisahan mendalam. Tenaga yang dimiliki anak akan habis untuk menghadapi berbagai emosi negatif tersebut. Akhirnya, kesempatan untuk bisa mengembangkan bakat-bakat positif di dalam dirinya menjadi terlewatkan. Perkembangannya menjadi terhambat.

3. Tipe-tipe Kekerasan di dalam Media

Dunia media adalah dunia dengan banyak “dunia”. Setidanya, ada tiga yang bisa kita ketahui, yakni dunia riil, dunia fiksi, dan dunia virtual. Kekerasan pun juga harus disoroti dengan menggunakan tiga kategori ini. Yang pertama adalah kekerasan riil. Yang kedua adalah kekerasan fiktif yang dapat dilihat di dalam film fiksi, kartun, ataupun komik. Dan ketiga adalah kekerasan simulasi yang ada di dalam dunia virtual, misalnya di dalam video games.[16] Semuanya tidak merupakan kekerasan fisik, tetapi lebih merupakan kekerasan yang bersifat simbolik. Dan kekerasan ini bisa berlangsung dengan konstan, karena baik para pelaku maupun korban, keduanya menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang wajar. Kekerasan seolah sudah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah dan inheren di dalam bahasa, cara bertindak, dan cara berpikir.

Coba kita kupas satu demi satu tipe kekerasan semacam ini. Yang pertama adalah apa yang disebut sebagai kekerasan riil. Menurut Haryatmoko, kekerasan riil juga bisa disebut sebagai kekerasan dokumen. Kekerasan ini mengambil bentuk gambar yang dialami oleh pemirsa sebagai fakta kekerasan. Misalnya adalah tayangan tentang pembunuhan, perkelahian, ataupun konflik sosial yang kesemuanya bisa mengundang reaksi emosional yang dalam di dalam diri pemirsa. Kekerasan semacam ini bisa menimbulkan efek-efek yang saling bertolak belakang, yakni bisa mengakibatkan perasaan sedih, menjijikan, ataupun perasaan tertarik dan simpati yang mendalam. Efek dari tayangan dengan pola kekerasan semacam ini juga bisa positif, yakni mengundang pemirsa untuk mulai peduli terhadap penderitaan korban. Tayangan dan gambar yang berbau kekerasan bisa mengajak pemirsa untuk mulai memikirkan kepentingan di luar dirinya.

Kekerasan dokumen ini, menurut Haryatmoko, dapat menciptakan efek emosional di dalam diri pemirsa. Syaratnya, relasi antara pemirsa dengan gambar yang ditayangkan haruslah sangat tepat, sehingga tidak menimbulkan trauma pada pemirsa yang justru malah menimbulkan sikap antipati. Caranya adalah dengan pemilihan fokus yang tepat. Misalnya, “jeritan seorang demonstran yang terluka dan disandingkan dengan gambar tangan polisi yang berlumuran darah. Pemilihan fokus yang memperlihatkan tangan yang berlumuran darah itu mengundang simpati dan keberpihakan pemirsa kepada demonstran itu.”[17] Cara-cara semacam ini bisa menciptakan afeksi dan simpati di dalam hati pemirsa.

Kekerasan riil ini tidak hanya terjadi dalam bentuk gambar, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Di dalam tulisan di media, proses peradilan terhadap tersangka pelaku kejahatan telah dilakukan secara prematur, yakni sebelum proses pengadilan sebenarnya terjadi. Di titik ini, media telah melangkahi wewenangnya sendiri. Media tidak lagi berperan sebagai pelapor kejadian, tetapi sudah menjadi jaksa penuntut yang prematur, yang tidak siap dan tidak punya wewenang. Wartawan seolah berakting menjadi jaksa ataupun polisi. “Atas nama hak akan informasi”, demikian Haryatmoko, “media menggantikan jaksa atau polisi.”[18] Menariknya, kini wawancara media seolah menggantikan interogasi aparat penegak hukum, dan jajak pendapat pemirsa menggantikan putusan hakim.

Jika sudah sampai pada titik ini, kekerasan media pun memasuki ruang privat. Media menjadi aparat hukum yang prematur, apalagi jika sudah menjurus menjadi fitnah. Ada banyak kasus yang menunjukkan bagaimana tersangka yang sebenarnya tidak bersalah justru menjadi bulan-bulanan media, dan sama sekali tidak mendapatkan rehabilitasi. Yang paling jelas adalah acara infotainment, di mana seringkali privasi seseorang dilanggar atas nama kebebasan informasi. Walaupun harus diakui, ada beberapa orang yang menggunakan cara itu untuk meningkatkan popularitas mereka.

Tipe kekerasan kedua yang menjadi keprihatinan Haryatmoko adalah kekerasan fiktif. Kekerasan semacam ini bisa dengan mudah ditemukan di dalam tayangan-tayangan televisi. Film action, misalnya Rambo IV, sungguh-sungguh mirip dengan konflik riil. Hal semacam ini bisa menimbulkan trauma dan perilaku agresif bagi orang-orang yang menontonnya. Memang, ada “penipuan” dan rekayasa teknologi di dalam tayangan semacam itu. Akan tetapi, dampaknya terhadap dimensi psikis pemirsa sangatlah besar, bahkan lebih besar daripada pertandingan tinju ataupun karate yang memang mengandung kekerasaan riil. “Fiksi”, demikian tulisnya, “mampu memproyeksikan keluar dari yang riil dunia yang mungkin meski tidak ada dalam kenyataan.”[19] Jadi, walaupun fiksi tidak sama dengan realitas, tetapi fiksi memiliki kemiripan dan irisan dengan realitas. Fiksi justru bisa menawarkan ide-ide baru yang sebelumnya tidak terpikirkan di dalam realitas. Yang juga cukup ironis adalah bagaimana seorang pembunuh bisa memperoleh idenya untuk membunuh, karena ia gemar menonton film-film thriller yang biasa diputar di bioskop-bioskop!

Kekerasan tipe ketiga adalah apa yang disebut sebagai kekerasan simulasi. Kekerasan ini kental di dalam video games, baik yang on line maupun off line. Misalnya ketika seorang penembak di dalam video games melakukan tembakannya dengan menggunakan senapan mesin, serta berhasil membunuh ratusan musuhnya. Kejadian semacam itu alih-alih menakutkan, tetapi justru meningkatkan ketertarikan dan kenikmatan permainan. Di dalam permainan semacam itu, kegelisahan, kejijikan, sekaligus kenikmatan dan rasa penasaran menyatu menjadi satu. Ini salah satu sebab, mengapa banyak sekali orang menyukai permainan video games tersebut. Pemain juga dapat merasakan nikmatnya berkuasa di dalam dunia video games. Ia adalah pemain, penguasa, sekaligus pemenang. Sesuatu yang mungkin tidak akan pernah diperolehnya di dalam dunia “nyata”.

Mengetahui itu, industri hiburan semakin tertarik untuk mengembangkan pasar mereka. Tambah lagi, ketika bermain, seorang penikmat permainan video games hampir tidak diberikan waktu untuk berpikir dan merefleksikan. Di dalam permainan video games, manusia diubah menjadi mahluk yang bergerak melulu dengan pola aksi-reaksi, dan stimulus-respons. Refleksi menjadi tidak relevan, karena semuanya terjadi dan bergerak secara mekanis. Jadi, keberhasilan suatu permainan video games adalah sejauh mana permainan tersebut mampu “menghisap” pemainnya ke dalam logika yang bersifat teknis-mekanis-interaktif. Permainan yang memiliki ritme tetap seolah menghipnotis pemainnya, sehingga ia merasa menyatu dengan permainan tersebut. Tentu saja, perasaan menyatu ini tetaplah sebuah perasaan saja, jadi tidak melulu benar. Akan tetapi, kecanggihan teknologi serta kenikmatan yang didapat di dalam bermain video games seolah mengaburkan fakta itu.

Jenis kekerasan lain yang juga sulit untuk dicegah adalah kekerasan simbolik yang ada di dalam tayangan iklan. Kekerasan ini disebut sebagai kekerasan simbolik, karena tidak ada luka fisik yang diakibatkannya secara langsung. Yang juga ironis adalah, pemirsa tidak menyadari dirinya telah diubah menjadi korban kekerasan. Pemirsa tidak mengetahui, bahwa mereka telah dimanipulasi, dibohongi, dan bahkan dikuasai. Kekerasan simbolik ini terjadi melalui medium bahasa yang nantinya akan mempengaruhi cara berpikir, cara kerja, dan cara bertindak.[20]

Kekerasan simbolik juga mengubah makna dari kata konsumsi. Jika dulu orang mengkonsumsi produk material yang konkret, sekarang orang mengkonsumsi tanda. Yang ditawarkan oleh produsen bukan lagi kegunaan semata, tetapi juga merupakan imajinasi yang melibatkan status sosial konsumen. Merk mobil apa yang dipakai seolah secara tidak langsung menggambarkan sejarah singkat kehidupan pemilik mobilnya. Merk rokok apa yang dihisap sekaligus menceritakan secuil kisah kepribadian si penghisapnya.

Yang membuat kekerasan menjadi tidak tampak disini adalah juga apa yang disebut sebagai pola keberulangan dari iklan. Proses pengulangan suatu iklan secara bertahap dan tidak disadari akan mampu mengubah cara pandang dan cara berpikir konsumen, sehingga mereka menjadi mudah dimanipulasi dan merasa tergantung dengan produk yang diiklankan. Kekerasan pun tidak lagi dirasakan sebagai kekerasan, tetapi sebagai hal yang wajar saja. “Iklan”, demikian tulis Haryatmoko, “masuk ke dalam kehidupan sehari-hari konsumen dan dengan cara yang lembut tak terasa dapat memaksakan praktek dan sikap setiap orang.”[21]

Jadi, iklan bisa menjadi sarana pembentuk sikap dan perilaku konsumen. Dalam konteks ini, suatu produk menjadi bernilai bukan karena produk tersebut berguna, tetapi karena produk tersebut mampu memaksakan suatu cara berpikir tertentu, yakni cara berpikir yang menjadi milik merk produk yang ditawarkan. Setelah cara berpikir berhasil diinternalisasi oleh konsumen, keputusan untuk membeli, menggunakan, dan mencicipi hanyalah tinggal masalah waktu saja.

Setelah produk menjadi bagian dari identitas konsumen, maka produk berhasil menciptakan kesetiaan dan perasaan terikat di dalam diri konsumen. Yang terjadi adalah konsumen seolah-olah tidak bisa hidup tanpa produk yang biasa dikonsumsinya. Inilah yang disebut sebagai kebutuhan-kebutuhan palsu (false needs). Identitas dan kesetiaan terhadap produk ini akan semakin menebal seraya dengan adanya bonus, jika orang menggunakan produk tersebut pada pembelian ke sepuluh, ataupun ada bonus setelah menggunakan produk dalam jumlah tertentu.

Yang ingin ditekankan pada bab ini adalah, bahwa karena keindahannya, kekerasaan di dalam media bisa begitu mudah dan gamblang mendikte cara berpikir orang, tanpa orang tersebut menyadari bahwa ia telah didikte! Ciri estetik kekerasan menjadi begitu nyata, ketika orang terpikat pada suatu bentuk tayangan media, dan ia membiarkan secara sukarela dirinya menjadi pengikut setia suatu produk tanpa berpikir lebih jauh. Dalam hal ini, kekerasan bergerak dengan cara-cara yang begitu halus. Kekerasan simbolik di dalam media seolah telah berubah menjadi “seni” memanipulasi orang, yang kini tidak lagi dipersepsi sebagai suatu bentuk kekerasan, tetapi sebagai bagian wajar dari kehidupan manusia. Karena keindahannya, kekerasan telah menjadi stimulan-stimulan yang menghasilkan kenikmatan bagi manusia.

4. Kesimpulan

Setidaknya, ada lima kesimpulan yang bisa ditarik dari pemaparan di dalam tulisan ini. Yang pertama, tulisan ini menggunakan pendekatan fenomenologi yang memang masih agak asing di dalam pendekatan-pendekatan ilmiah di Indonesia. Yang membedakan fenomenologi dari metode-metode pendekatan ilmiah lainnya adalah keterbukaannya terhadap realitas itu sendiri, sehingga realitas yang ingin diteliti dapat menyingkapkan diri apa adanya. Fenomenologi, secara spesifik, adalah suatu cara untuk memahami struktur dasar dari realitas yang terkait dengan pengalaman manusia. Struktur dasar tersebut hanya dapat diketahui, jika kita dapat mengamati realitas sejernih mungkin dan mengurangi semua bentuk prasangka. Artinya, kita dituntut untuk tidak sibuk dengan pengandaian-pengandaian dan teori kita, tetapi kembali kepada realitas itu sendiri. Pendekatan semacam inilah yang saya gunakan untuk memahami fenomena kekerasan di dalam media.

Yang kedua, secara fenomenologis, kekerasan adalah suatu bentuk paksaan dan dominasi. Dominasi itu tampak secara jelas di dalam manipulasi politik melalui fitnah, kekerasan bersenjata, dan penghinaan dengan menggunakan kata-kata atapun simbol lainnya. Dan, menyambung ke kesimpulan yang ketiga, kekerasan di dalam media menjadi sulit dilenyapkan, karena kekerasan itu sendiri mempesona! Kekerasan secara langsung menghasilkan rasa kagum dan rasa muak hampir pada momen yang sama. Dalam konteks media, perjumpaan dengan kekerasan nyaris identik dengan perjumpaan dengan keindahan. Ada relasi dialektis antara kekerasan dan keindahan.

Hal ini menyambung ke kesimpulan keempat, yakni bahwa semua bentuk tayangan kekerasan dapat menciptakan ketidakpekaan terhadap korban kekerasan di dalam diri pemirsa. Artinya, ketidakpekaan terhadap korban kekerasan sebenarnya sudah terbentuk, ketika orang menikmati film yang berisi adegan kekerasan di dalamnya! Dan, kesimpulan kelima, karena keindahannya, kekerasan di dalam media menjadi begitu mudah dan gampang memasuki cara berpikir orang, memanipulasinya, tanpa orang tersebut menyadari bahwa ia telah dimanipulasi. Salah satu bentuk manipulasi paling awal yang tampak adalah, ketika pemirsa menjadi kurang kepekaannya terhadap kekerasan yang diderita oleh korban. Dan manipulasi pada lebih jauh terjadi adalah, ketika identitas pemirsa pada akhirnya turut ditentukan oleh tayangan yang ditampilkan di televisi, baik itu dalam bentuk berita, film, ataupun iklan.

Jika sudah seperti itu, kekerasan pun tidak lagi dipersepsi sebagai kekerasan, melainkan sebagai sesuatu yang wajar, atau yang lebih berbahaya lagi, kekerasan sebagai sesuatu yang normatif! Jika suatu tindak kekerasan didiamkan begitu saja, maka lama-kelamaan, tindakan itu akan dianggap biasa. Lebih dari itu, semakin didiamkan terus, orang yang justru tidak melakukan tindakan kekerasan justru malah menjadi orang yang bersalah![22] Ciri estetik kekerasan membuatnya menjadi licin bagai belut untuk dilenyapkan. Kemampuannya membuat orang terpesona menciptakan kondisi yang justru semakin memadai untuk kekerasan yang lebih besar. Menyadari adanya paradoks di dalam fenomena kekerasan ini tampaknya merupakan langkah pertama yang harus ditempuh untuk mengurangi efek negatif kekerasan di media bagi kehidupan manusia. ***

Daftar Pustaka

Haryatmoko, Etika Komunikasi Politik, Yogyakarta, Kanisius, 2007

Husserl, Edmund, The Idea of Phenomenology, terj. Alston & Nakhnikian, The Hague, Martinus Nijhoff, 1964.

————————, Phenomenology and the Crisis of Philosophy, Harper & Row Publishers, 1965.

McLuhan, Marshall, 1964, Understanding Media, New York, New York American Library.

———————–, 1967, The Medium is the Message, New York: Bantam Books.

Spiegelberg, Herbert, The Phenomenological Movement, The Hague, Martinus Nijhoff, 1971

Tuchman, Gaye, 1978, Making News: A Study in the Construction of Reality, New York, The Free Press.

Wattimena, Reza. A.A, 2007, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta: Kanisius

http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/05/11/brk,20070511-99874,id.html

http://pendidikan.tv/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=50&artid=71

http://www.tnial.mil.id/Majalah/Cakrawala/ArtikelCakrawala/tabid/125/articleType/ArticleView/articleId/71/Default.aspx


[1] Pengajar di Fakultas Psikologi dan Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya, Jakarta dan Mahasiswa Program Magister STF, Driyarkara, Jakarta. Sekarang, sambil mengajar dan menyelesaikan studinya, ia bekerja sebagai sukarelawan di WWF Indonesia. Ia sudah menulis buku berjudul Melampaui Negara Hukum Klasik yang diterbitkan oleh penerbit Kanisius pada 2007.

[2]http://www.tnial.mil.id/Majalah/Cakrawala/ArtikelCakrawala/tabid/125/articleType/ArticleView/articleId/71/Default.aspx

[3] Lihat, http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/05/11/brk,20070511-99874,id.html

[4] Lihat, http://pendidikan.tv/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=50&artid=71

[5][5] Untuk bagian ini, saya menggunakan tulisan Herbert Spiegelberg, The Phenomenological Movement, The Hague, Martinus Nijhoff, 1971, hal. 1-16.

[6] Ibid, hal. 11.

[7] Ibid.

[8] Lihat beberapa tulisan Husserl tentang fenomenologi: Edmund Husserl, The Idea of Phenomenology, terj. Alston & Nakhnikian, The Hague, Martinus Nijhoff, 1964.

[9] Lihat, Spiegelberg, 1971, hal. 13.

[10] Ibid.

[11] Paragraf ini adalah hasil pembacaan singkat saya terhadap tulisan Edmund Husserl, Phenomenology and the Crisis of Philosophy, Harper & Row Publishers, 1965, hal. 102.

[12] Pada bagian ini, saya terinspirasikan dari tulisan Haryatmoko, Etika Komunikasi Politik, Yogyakarta, Kanisius, 2007. hal. 119-143.

[13] Ibid, hal. 123.

[14] Lihat, ibid, hal. 124.

[15] Ibid, hal. 125.

[16] Ibid. hal. 127.

[17] Ibid, hal. 129.

[18] Ibid, hal. 130.

[19] Ibid, hal. 132.

[20] Ibid, hal. 136.

[21] Ibid, hal. 138.

[22] Lihat Reza A.A Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hal. 204-209.

Internet dan Myanmar

Internet dan Myanmar

Reza A.A Wattimena

Di Myanmar, prinsip-prinsip fundamental demokrasi, yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, berulang kali digilas. Demonstrasi untuk menyuarakan aspirasi rakyat pada 1988 berakhir dengan kematian ribuan orang demonstran. Pemimpin yang terpilih secara demokratis mengalami tahanan rumah, dan sama sekali tidak dibiarkan memimpin.

Pemerintah dipimpin oleh junta militer. Media dikuasai oleh pemerintah. Berita-berita disensor. Walaupun begitu, gambar dan foto tentang protes massal yang dilakukan para biksu tetap menyebar di seluruh dunia. Tampaknya, teknologi, dalam bentuk blog, foto digital, dan SMS telah menjadi “musuh dalam selimut” bagi rezim militer di sana.

“Teknologi”, demikian pendapat Sein Win, Editor di Mizzima News, media yang dijalankan oleh para oposan junta militer, “memberikan perbedaan yang besar. Kini, setiap orang di dunia dapat mengetahui apa yang terjadi di Myanmar melalui internet. Ini adalah realitas globalisasi. Tak peduli apakah junta suka atau tidak, kini mereka tidak lagi bisa mengisolasi diri mereka dari komunitas internasional.”

Walaupun junta militer telah berulang kali berupaya memutus jaringan internet, berita tentang berbagai peristiwa di negara itu telah tersebar ke seluruh dunia. Internet juga telah mendukung kerja-kerja para aktivis dan oposan pemerintah di sana. Teknologi seolah mengubah dunia menjadi saksi mata atas apa yang terjadi di Myanmar.

Wartawan Melawan

Vincent Brossel, salah satu wartawan Reporters Without Border cabang Asia, berpendapat bahwa karena sebab-sebab di atas, banyak wartawan dideportasi keluar. Beberapa yang masih di dalam dipaksa untuk bekerja di bawah sensor ketat. Media internasional, Reporters Without Border, menempatkan Myanmar sebagai negara paling represif terhadap media ke-164 dari 168 negara yang ada.

“Semua yang hendak dipublikasikan”, demikian Brossel, “seperti artikel, kalendar, dan sebagainya disensor oleh tentara. Mereka punya kekuasaan untuk mengontrol semuanya, dan membatasi kemampuan para wartawan.”

Pemerintah juga melarang visa untuk wartawan asing. Berita-berita penting dan signifikan pun menjadi sulit untuk keluar dari Myanmar.

“Sejak tahun 1988”, demikian tambah Brossel, “organisasi perlawanan terhadap junta militer telah banyak berkembang. Biasanya, mereka terdiri dari para profesional. Sekarang, anda bisa menyaksikan komunitas-komunitas yang kuat yang terdiri atas orang-orang Myanmar di Norwegia, Thailand, India, dan Inggris. Kebanyakan dari mereka pernah aktif di gerakan ’88. Mereka bekerja di bawah tanah untuk mengembangkan jaringan.”

Jaringan bawah tanah itu berkembang mulai dari surat menyurat, sampai kini berkembang menjadi jaringan virtual di dunia maya. “Teknologi”, demikian tambah Brossel, “telah membuat jaringan bawah tanah menjadi lebih efektif.”

Di Myanmar, hanya sekitar 1 % penduduk yang memiliki akses Internet. Pemerintah sendiri tampaknya meremehkan jumlah ini, dan tampak tidak siap dengan kebocoran informasi yang tampaknya lolos dari pengamatan mereka.

Minggu lalu, seorang warga Myanmar berhasil menembus firewall pemerintah, sehingga informasi tentang apa sesungguhnya yang terjadi di Myanmar bisa didapatkan oleh komunitas internasional. Nama warga tersebut adalah Ko Htike. Ia tinggal di London, tetapi memiliki jaringan dengan 40 orang di dalam Myanmar yang selalu mengambil foto dan mengirimkan berita perkembangan terbaru di negara itu.

Tindakan ini tampak memicu reaksi tegas dari junta militer Myanmar. Mereka pun memutus semua hubungan internet pekan ini.

Melihat tapi Membisu?

Di negara-negara Barat sendiri, kemajuan teknologi telah mengubah banyak orang untuk menjadi lebih aktif dan bersikap kritis terhadap otoritas. Hal yang sama tampaknya juga terjadi di Myanmar. Kemajuan teknologi telah membuat kegelisahan rakyat Myanmar didengar di seluruh dunia.

Sebuah kelompok virtual bernama “Support the Monks Protest” pun terbentuk. Data menunjukkan, bahwa setiap 12 jam, 10.000 anggota baru langsung mendaftar.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, dapatkah semua kemajuan teknologi informasi komunikasi ini, terutama tentang terjadinya berbagai kejahatan HAM, sungguh mampu membuat perubahan yang signifikan? Para wartawan Inggris yakin, bahwa teknologi dapat mendorong Gordon Brown, perdana menteri Inggris sekarang, untuk mengeluarkan pernyatan menekan pemerintah Myanmar.

Seorang aktivis dari Amnesty International pun juga optimis, bahwa teknologi dapat mendukung kerja-kerja aktivis secara signifikan.

Yah, bagaimanapun, sejarah tampaknya telah menunjukkan fakta mengejutkan kepada kita, bahwa mulai dari Rwanda, Bosnia, Darfur, dan kini Myanmar, kita telah sering menjadi saksi dari sesuatu yang sama sekali tidak bisa kita hentikkan. Kita menyaksikan pembantaian di depan mata kita, tetapi kita tidak juga tergerak untuk berbuat sesuatu. Kita melihat, tetapi membisu….

 

 

 

 

 

Teknologi, Cinta, dan Kematian

On July 10, Jeremy Blake returned to his downtown Manhattan apartment from a day of meetings with plans to relax with a bottle of Scotch. The 35-year-old digital artist, whose work is already enshrined in the permanent collection of the Museum of Modern Art, lived in a converted Episcopal church rectory with his girlfriend of a dozen years, Theresa Duncan, a 40-year-old writer and former computer-game designer. Before going upstairs to meet her, he stopped by the office of the church’s assistant pastor, Father Frank Morales, and invited him up later for a drink. But when Blake got to his place and opened the door, he found Duncan lying dead in their bedroom, with a bottle of bourbon, Tylenol PM pills and a suicide note next to her body. When the police arrived, Morales followed them upstairs and found Blake kicking the walls and sobbing before settling into a living-room chair. After the coroner took his lover’s body away, Blake spent the next three hours with Morales, silently drinking glasses of Glenlivet until the bottle was empty.

The following days were understandably tense. “It was obvious that he was a suicide risk,” Morales tells us. “We put him on a 24-hour watch, I mean not even letting him walk alone across the street for a cup of coffee.” Friends of the couple rotated through the apartment, offering food and distraction until Blake appeared to turn a corner. He started sketching again and made plans to drive to Theresa’s funeral in Michigan. On July 17, the day before he was supposed to leave, Blake boarded an A subway train bound for Brooklyn, where he was scheduled to meet a friend, but he blew past his stop and got off the train along Rockaway Beach. As the sun set, he walked toward the water, took off his clothes, piled them neatly on the sand and waded into the brownish Atlantic. Five days later, a fisherman discovered his body off the coast of New Jersey. Near the spot where he’d entered the ocean, authorities found a Jeremy Blake business card with a short note. It didn’t say much, just that he couldn’t live without Theresa.

Jeremy Blake and Theresa Duncan seemed like the perfect couple: beautiful, talented, successful and deeply in love. But beneath the idyllic surface is a darkly modern tale of obsession and paranoia fueled by instruments of a digital age. Duncan and Blake built their lives around computers and the Internet, using them to create innovative art, prize-winning video­games and visionary stories. But as time progressed, the very technologies that had infused their work and elevated their lives became tools to reinforce destructive delusions and weapons to lash out at a world they thought was closing in on them. By the end of their lives, this formerly outgoing and affable couple had turned cold toward outsiders. They addressed friends and colleagues from behind electronic walls of accusatory e-mails and confrontational blog posts, and their storybook devotion to each other slowly warped into a shared madness—what is known as a folie à deux. “This wasn’t who they wanted to be,” says Katie Brennan, a Los Angeles gallery owner and long­time friend. She compares the couple’s late-life delusions to “a kind of terminal cancer” that overtook the true Jeremy and Theresa.

For some, technology and mental illness have long been thought to exist in a kind of dark symbiosis. Blake and Duncan’s case follows a long history that began when the electric age upended daily life with baffling, complex innovations. The first victim is believed to have been James Tilley Matthews, an 18th-century British merchant who thought France planned to take over England with a mind-controlling magnetic machine using technology developed by Frank Mesmer—from whom the word “mesmerized” is derived. More recently, the introduction of television inflamed the minds of patients who believed that their TVs were watching them or broadcasting secrets about their lives. In this regard, the Web is especially powerful. “The condition of being super-social and super-isolated at the same time is an Internet-era kind of thing,” says Fred Turner, a media historian at Stanford University, who speculates that as Blake and Duncan withdrew from friends, “their only reality check left was the wisps of information on their computer screens. And unfortunately, that isn’t a very powerful check.”

Blake was cool and lanky with a shy, brooding demeanor. Duncan was bracingly smart, bright-skinned and blond, with so much energy it often seemed as if she were fueled by some inner reactor. They met in 1995, when he was fresh out of art school and she was a precocious grande dame of Washington, D.C.’s computer-gaming scene. That same year, Entertainment Weekly named one of her fantastical video­games for girls, Chop Suey, the “CD-ROM of the year.” The two fell in love a few years later while working together at the New York digital-media firm IconNicholson, where they teamed up for an acclaimed series of narrative videogames. She wrote the stories; he did the artwork. Raymond Doherty, a longtime friend of Duncan’s, tells us that he once asked her why the couple didn’t get married. She just laughed. “What more could I want than this?” she said.

That sense of transcendent romance—somehow too big for such a worldly concept as marriage—struck nearly everyone who met the couple. “They would stand almost physically on each other at parties. Not in a weird way, but sweetly, with her hand swung over his shoulder or his hand looping her waist,” says Brennan. “They always seemed to be touching.” Sometimes they seemed a bit too close. “You’d e-mail him and she’d answer, or you’d call her and he’d suddenly be on the phone,” says Brad Schlei, a friend and executive at Muse Productions, a film company in Los Angeles. “It was definitely that kind of relationship.” At the time, though, no one saw cause for alarm, and in 2000 the couple had a critical success with “The History of Glamour,” a witty animated short film about the emptiness of pop stardom that the Whitney Museum of American Art included in its 2000 Biennial.

In 2002, Blake’s career began to blossom. Fascinated with the boundaries between painting, photography and computer art, he pioneered a genre that he called “moving paintings,” a series of digital animations played on plasma-screen televisions. One curator dubbed it “painting with pixels.” Not long after, the singer-songwriter Beck asked Blake to design the cover art and a music video for the musician’s album “Sea Change.” That same year, filmmaker Paul Thomas Anderson hired him to create a hallucinogenic dream sequence for “Punch-Drunk Love,” starring Adam Sandler.

But as Blake’s celebrity and creative confidence grew, Duncan’s professional luck withered. The CD-ROM market tanked, and she struggled to get projects off the ground in other media. Hoped-for ventures with the Oxygen Network, MTV, Para­mount Pictures, Fox Searchlight Pictures and the publishing house HarperCollins all fizzled. Frustrated and bewildered, she began to suspect that the Church of Scientology was deliberately thwarting her progress. In a disjointed 2006 e-mail to an art-world friend, Duncan claimed that Beck, a second-generation Scientologist, had told her about his plans to leave the church. This knowledge, she wrote, would make her “priority No. 1 for their paranoid and dangerous security wing.” (A spokesperson for Beck denied to us that the exchange ever occurred, and a spokeswoman for the Church of Scientology called Duncan’s allegations “absurd.”)

Thwarted elsewhere, Duncan turned to the Internet, launching a blog called The Wit of the Staircase that cataloged far-flung interests such as cinema, perfume and the history of electricity. But the blog also served as a base for Duncan to mount a case against Scientologists and others who she believed had a vendetta against her. In May 2007, she posted a sprawling entry that claimed a host of people—including HollywoodDuncan’s assault reads like a multimedia performance piece, with hyperlinks and pictures incorporating information from the dregs of the Internet. executives, Republican media owners, the CIA, the FBI and the Department of Homeland Security—were conducting a “smear campaign” against the couple.

Ever supportive, Blake defended Duncan, no matter how outrageous her claims. More than a soulmate, he said that the two shared a “creed”: a lifelong pledge of love and protection. In e-mails to friends, he railed against an organized campaign to stall Duncan’s career. At one point in 2006, he accused Schlei’s girlfriend of being part of the conspiracy. “She has an unfortunate interest in smearing Theresa because her masters told her to,” Blake wrote to Schlei in an e-mail obtained by me. “Seriously?” Schlei replied. “You’ve got to know that this sounds absolutely insane my friend.” But Blake was unbowed. “If you want me to get a lawyer and sue her for defaming Theresa,” he wrote, “that will be fun.”

This past February Blake took a consulting job at Rockstar videogames, and DuncanDuncan. Her friends speculate that she chose to end her life rather than risk losing another film to forces outside her control. Theresa herself wrote in an e-mail, “The CoS is going to have to kill us before we will give up ANY of our free will or any of our constitutional rights to do and say what we please.” Instead, Blake’s final work, “Sodium Fox,” is an abstract short film that he called a “self-portrait by proxy.” It ends with the image of a ghostly smear of color over the ocean. There are waves crashing on the beach, but the only sound is a crackling radio voice from some mysterious signal, then an eerily prophetic voice-over: “This will take four or five years to describe.” Perhaps, though as a self-portrait of a quietly tragic end, its meaning seems all too clear. searched for traction on a new project. The night before she killed herself, they met with “Scream” producer Cary Woods to outline a noir film—a dream project for some, but it was perhaps too much for

 

Siapakah Anda?

Di bawah kaki orakel Delphi terdapat tulisan menarik, yakni “kenalilah dirimu sendiri”. Ketika anda membaca kalimat tersebut, dan berupaya memahaminya secara sungguh-sungguh, pada titik itulah anda mulai bergelut dengan problem filosofis mengenai identitas.

Problem identitas di dalam filsafat adalah problem yang muncul pada suatu momen, di mana anda bertanya apa artinya, sehingga anda dikatakan sebagai orang yang sama, walaupun telah hidup selama bertahun-tahun, dan telah mengalami macam-macam perubahan. Saya yakin, anda telah mengalami banyak perubahan signifikan, jika dibandingkan dengan anda 20 atau 30 tahun yang lalu. Atau, anda yang jelas telah mengalami perubahan signfiikan, jika dibandingkan dengan anda yang masih bayi.

Anda pasti lebih tinggi, lebih berat, dengan rambut lebih banyak, (atau mungkin lebih sedikit). Anda memiliki pengetahuan tentang bahasa maupun wawasan yang lebih luas. Akan tetapi, walaupun anda berubah, anda tetap berpendapat bahwa anda adalah orang yang sama dengan yang tercantum di dalam akte kelahiran anda bertahun-tahun yang lalu.

Ingatan juga merupakan elemen yang penting di dalam penentuan identitas personal. Saya menduga, kesadaran psikis merupakan faktor kunci untuk menentukan identitas seseorang. Akan tetapi, adakah kesadaran psikis itu? Apakah kesadaran semacam itu sungguh terlepas dari badan? Nah, jika badan manusia dilahirkan, berkembang, menua, dan akhirnya meninggal, apakah yang terjadi kemudian?

Di dalam mitologi Yunani Kuno, ada contoh menarik mengenai hal ini. Judulnya adalah Kapal Theseus, dan ditulis oleh Plutarch.

Theseus dan anak buahnya memiliki kapal laut yang mempunyai tiga puluh dayung. Kapal laut itu sangat besar, dan merupakan kebanggaan bagi orang-orang Athena selama berabad-abad, sampai jaman Demetrius Phalereus. Setelah bertahun-tahun, kapal itu mengalami kerusakan. Orang-orang Athena memutuskan untuk memperbaiki kapal tersebut, sehingga menjadi kapal yang lebih besar dan lebih kuat lagi. Para filsuf di Athena pun mulai bertanya-tanya, walaupun kapal itu tampaknya tetap sama, apakah kapal Theseus kebanggaan Athena tersebut sungguh-sungguh masih merupakan kapal yang sama?

Contoh ini masih menjadi perdebatan para filsuf yang mengkhususkan diri mereka untuk merefleksikan konsep identitas personal. Misalnya, bagaimana jika sebuah bangkai mobil tidak langsung dibuang, tetapi kemudian dirakit kembali untuk menjadi mobil yang baru, apakah mobil itu masih mobil yang sama dengan yang sebelumnya?

Memang, cerita tentang kapal Theseus itu adalah sebuah legenda. Akan tetapi, hal yang kurang lebih memiliki pola yang sama dapat dengan mudah ditemukan di lingkungan anda. Misalnya candi Borobudur yang sudah seringkali mengalami renovasi. Apakah candi Borobudur yang berdiri tersebut masih dapat dianggap sebagai candi Borobudur yang dulu? Jika ya, mengapa? Bukankah candi kebanggaan bangsa Indonesia itu telah mengalami renovasi total, sehingga hampir semuanya telah mengalami pergantian?

Oya, problem identitas personal juga sangat terkait dengan konsep waktu dan konsep perubahan. Banyak filsuf yang merefleksikan tentang apa sesungguhnya hakekat waktu, terutama para filsuf abad pertengahan. Jika anda tertarik untuk lebih jauh mengetahui tentang hal ini, jangan ragu-ragu, ketuklah pintu gerbang filsafat, dan masuklah ke dalamnya! J