Filsafat Politik untuk Indonesia: Sebuah Pancingan Diskusi

Filsafat Politik untuk Indonesia

Sebuah Pancingan Diskusi

Reza A.A Wattimena

Mari kita mulai terlebih dahulu diskusi kita ini dengan beberapa pengertian mendasar. Setelah itu, barulah kita masuk ke diskusi-diskusi yang lebih mendalam mengenai filsafat politik, dan relevansinya untuk indonesia.

Filsafat

Apa itu filsafat? Secara literal, filsafat berasal dari bahasa Yunani, yakni philia dan sophia. Philia berarti cinta, dan sophia berarti kebijaksanaan. (Wattimena, 2008, 1)

Dalam konteks ini, filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan, dan seorang filsuf adalah orang yang mencintai kebijaksanaan. Orang yang mencintai kebijaksanaan bukanlah orang yang sudah memiliki kebijaksanaan, melainkan orang yang terus berupaya mencari kebijaksanaan.

Menurut saya, filsafat adalah suatu aktivitas, dan bukan sekedar mata kuliah saja. Ia berdiri secara formal sebagai mata kuliah, namun jangkauannya melampaui bangku dan ruang kelas kuliah.

Secara formal, filsafat adalah suatu aktivitas berpikir manusia mengenai segala sesuatu di dalam realitas, namun dilihat dari sudutnya yang paling mendasar, dan dilakukan secara terbuka, kritis, sistematis, dan rasional. Filsafat berbicara tentang semua hal, tentang tata sosial, ekonomi, budaya, seni, manusia, alam, dunia, dan Tuhan.

Namun, tidak seperti ilmu-ilmu empiris yang cenderung sibuk dengan hal-hal teknis displinnya masing-masing, sehingga nyaris buta terhadap ilmu lainnya, filsafat mendekati beragam fenomena dengan membongkar aspek-aspek dasariahnya. Proses pembongkaran itu dilakukan secara terbuka, kritis, rasional, dan sistematis.

Misalnya, saya ingin memahami manusia dengan menggunakan piranti filsafat. Apa yang membedakan pendekatan filsafat dengan pendekatan psikologi atau antropologi?

Di dalam psikologi, manusia dipahami sebagai agensi dari perilaku tertentu. Metode pendekatannya dilakukan dengan pengumpulan data, pengolahan statistik, dan penarikan kesimpulan. Sebagian besar penelitian dilakukan untuk membedah dimensi-dimensi empiris.

Dengan filsafat, pendekatan tidak dilakukan secara empiris, seperti dengan pengumpulan data, pengolahan statistik, ataupun dengan penarikan kesimpulan sementara. Filsafat mendekati manusia secara reflektif dan analitis. Data empiris hanyalah titik tolak untuk menggali apa yang menjadi akar hakiki dari manusia.

Filsafat menjadikan data sebagai titik tolak, dan menembus data tersebut untuk menemukan apa yang paling hakiki dari manusia. Dalam hal ini, filsafat memang lebih radikal daripada psikologi dalam upayanya memahami manusia.

Ellias Canetti seorang filsuf-antropolog asal Eropa Timur pernah mengatakan, bahwa lepas dari semua topeng peradabannya, manusia pada dasarnya menyerupai hewan. Perilaku dan sifat-sifatnya menampakkan gejala hewani.

Ia bisa berkumpul seperti tawon untuk menyerang musuh, gejala yang dengan mudah ditemukan di dalam perkelahian massal. Ia juga bisa dengan mudah melakukan tipu muslihat, sama seperti rubah menipu manusia dengan gerak geriknya.

Seorang psikolog dan antropolog tidak akan berani menarik kesimpulan sejauh itu, kecuali mereka memasuki ranah filsafat. Di era sekarang ini, pendekatan interdispliner untuk memahami berbagai fenomena di dunia mulai menjadi acuan.

Tujuannya adalah, supaya data-data yang diperoleh dapat diolah dengan berbagai perspektif dan menghasilkan berbagai terobosan-terobosan pemahaman baru. Dengan demikian, filsafat adalah pola pendekatan terhadap realitas dengan menggunakan aktivitas berpikir yang bersifat terbuka, kritis, sistematis, dan rasional.

Terbuka, artinya filsafat merupakan suatu proses yang tidak pernah mencapai kata final. Kritis, artinya filsafat mampu mempertanyakan segala sesuatu, bahkan dirinya sendiri.

Sistematis, artinya filsafat haruslah didasarkan pada kemampuan menarik kesimpulan berdasarkan prinsip koherensi yang tidak menyalahi aturan logika. Dan rasional, artinya filsafat tidak boleh mengacu pada iman, sentimen, perasaan, tetapi melulu mengacu pada kemampuan akal budi manusia untuk memahami realitas.

Filsafat Politik

Filsafat politik dapat didefinisikan sebagai suatu refleksi filsafat tentang bagaimana kehidupan bersama kita ditata. Soal-soal kehidupan bersama itu mencakup tata politik, bentuk negara, pengaturan pajak, tata ekonomi, dan sebagainya. (Routledge Encyclopedia of Philosophy)

Seorang filsuf politik hendak merumuskan prinsip-prinsip dasar yang menjadi fondasi dari suatu bentuk negara tertentu. Ia juga sering menyatakan dengan jelas, bahwa manusia, siapapun itu, memiliki hak-hak dasar yang tidak bisa ditolak keberadaannya.

Di dalam bidang ekonomi, banyak filsuf politik mengajukan suatu ide dasar tentang pembagian kekayaan ekonomi ke seluruh warga negara yang mengacu pada prinsip keadilan. Refleksi filsafat di dalam bidang ini biasanya dilakukan dengan menafsirkan ulang prinsip-prinsip hidup sosial, seperti keadilan, kebebasan, kekuasaan, dan kemudian diaplikasikan secara kritis pada kondisi sosial politik yang tengah terjadi.

Beberapa filsuf politik lainnya telah mencoba memberikan justifikasi bagi berdirinya suatu pemerintahan tertentu, sementara beberapa lainnya memberikan kritik tajam bagi kondisi sosial politik yang terjadi, dan kemudian merumuskan sendiri suatu bentuk negara ideal yang mungkin sangat berbeda dengan apa yang telah dialami secara empiris.

Filsafat politik telah lahir semenjak manusia mulai menyadari, bahwa tata sosial kehidupan bersama bukanlah sesuatu yang terberi secara alamiah, melainkan sesuatu yang sangat mungkin terbuka untuk perubahan. Oleh karena itu, tata sosial-ekonomi-politik merupakan produk budaya, dan memerlukan justifikasi filosofis untuk mempertahankannya.

Lahirnya suatu refleksi filsafat politik sangat dipengaruhi oleh konteks epistemologi dan metafisika jamannya, sekaligus mempengaruhi jamannya. Jadi, filsafat itu dipengaruhi sekaligus mempengaruhi jamannya. Inilah lingkaran dialektis yang terus menerus berlangsung di dalam sejarah.

Perkembangan di dalam epistemologi dan metafisika mempengaruhi asumsi-asumsi yang digunakan oleh para filsuf politik untuk merumuskan pemikirannya. Pada abad pertengahan, banyak filsuf politik mengawinkan relfkesi teologi Kristiani dengan filsafat Yunani Kuno untuk merumuskan refleksi filsafat politik mereka.

Filsafat politik juga seringkali muncul sebagai tanggapan terhadap situasi krisis jamannya. Pada era abad pertengahan, tema relasi antara negara dan agama menjadi tema utama filsafat politik.

Pada era modern, tema pertentangan antara kekuasaan absolut dan kekuasaan raja yang dibatasi oleh konstitusi menjadi tema utama refleksi filsafat politik. Pada abad ke-19, pertanyaan tentang bagaimana masyarakat industri harus menata ekonominya, yakni apakah melulu dengan mengacu pada liberalisme pasar atau menciptakan negara kesejahteraan, menjadi tema utama filsafat politik.

Jika mempelajari sejarah filsafat politik, maka akan tampak beberapa pertanyaan abadi yang menjadi pergulatan para filsuf. Beberapa diantaranya adalah, bagaimana seseorang bisa mendaku otoritas untuk memerintah orang lainnya? Apakah suatu prinsip, yang dirumuskan oleh seorang filsuf politik, memiliki keabsahan universal yang berlaku lintas jaman dan lintas tempat, atau merupakan ekspresi dari nilai-nilai partikular suatu komunitas tertentu?

Suatu rumusan filsafat politik memiliki aspek-aspek antropologis yang mendasarinya. Aspek antropologis ini menyangkut pemahaman tentang hakekat dari manusia, atau karakter dasariah dari manusia.

Untuk memberi pendasaran bagi suatu tata politik-sosial-ekonomi-budaya tertentu, rumusan filsafat politik haruslah mengajukan suatu konsep tentang manusia, tentang kebutuhan-kebutuhannya, kemampuan-kemampuannya, tentang apakah manusia itu melulu egois, atau mampu menjadi mahluk altruis, dan sebagainya. Akan tetapi, apakah konsep itu berlaku universal lintas tempat dan lintas waktu, ataukah merupakan ciri khas dari suatu kultur partikular komunitas tertentu?

Secara kasar, setidaknya ada dua bentuk tipe filsafat politik yang berkembang di dalam sejarah. Yang pertama adalah filsafat politik yang terintegrasi secara koheren dengan suatu sistem filsafat tertentu yang lebih besar, seperti dalam filsafat Thomas Aquinas, Hegel, dan Plato.

Sistem pemikiran filsafat secara menyeluruh biasanya membentuk suatu sistem metafisika, dan filsafat politik hanya satu aspek di dalamnya. Hegel menjelaskan sejarah dunia sebagai sejarah alienasi roh absolut, dan filsafat politik hanya salah satu bagian saja.

Di sisi lain, ada para filsuf politik yang tidak mengajukan suatu sistem metafisika tertentu, tetapi memberikan kontribusi bsar di dalam filsafat politik secara spesifik. Merek adalah Cicero, Machiavelli, Rousseau, dan Marx. Pada abad kedua puluh, kita juga mengenal Hannah Arendt, Foucault, Habermas, dan Charles Taylor.

Untuk Indonesia

Apa peran filsafat politik untuk Indonesia? Pada hemat saya, ada tiga peran filsafat politik untuk Indonesia, yakni mendefinisikan ulang konsep dan praktek politik di Indonesia secara jernih, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap praktek-praktek sosial yang tengah terjadi, dan mengajukan suatu bentuk tata sosial tertentu yang lebih baik.

Pertama, Filsafat politik dapat dijadikan alat untuk mengajukan mendefinisikan ulang konsep-konsep dan praktek politik yang telah lama dilakukan di Indonesia, seperti konsep negara, konsep kekuasaan, konsep otoritas, peran hukum, aspek keadilan di dalam hukum. Dalam bidang hukum misalnya, banyak pelaku korupsi di berbagai bidang lolos begitu saja dari jeratan hukum, karena tidak ada UU yang pas untuk menjeratnya.

Filsafat hukum mengajukan proposisi, bahwa hukum tidak hanya mengacu pada rumusan baku saja, tetap pada rasa keadilan yang sudah ada di dalam masyarakat. Rumusan hukum harus mengacu pada rasa keadilan.

Tanpa keadilan, hukum adalah penindasan. Hukum merupakan terjemahan teknis dari keadilan. Melakukan praktek hukum tanpa dasar keadilan berarti membunuh ibu dari hukum itu sendiri.

Proses mendefinisikan ulang sesuatu membutuhkan kerangka normatif, dan filsafat menyediakan itu. Suatu penilaian haruslah berbasis pada kriteria penilaian tertentu, dan di dalam bidang politik, filsafat politik menyediakan itu.

Tanpa wawasan filsafat politik yang kuat, kita tidak akan mampu melakukan kritik ideologi secara jernih dan sistematis, karena kita tidak memiliki basis normatif untuk membuat suatu penilaian terhadap kebijakan politik tertentu. Praktek-praktek politik di Indonesia yang kotor dapat dibedah secara rasional dan sistematis, jika kita, sebagai warga negara, memiliki wawasan filsafat politik yang kuat.

Kedua, filsafat politik mampu menjadi alat untuk melakukan kritik ideologi. Sebuah bangsa, mau tidak mau, hidup dalam suatu ideologi tertentu. Ideologi mencerminkan pandangan dasar yang dianut secara naif oleh suatu bangsa, dan tidak lagi dipertanyakan.

Filsafat politik, sebagai aktivitas berpikir secara terbuka, rasional, sistematis, dan kritis tentang kehidupan bersama, mampu menjadi alat yang kuat untuk membongkar kesesatan-kesesatan berpikir yang ada di dalam ideologi-ideologi tersebut. Contoh paling konkret adalah pendirian Indonesia dengan berbasis Islamisme.

Islamisme adalah suatu ideologi yang menyatakan dengan tegas, bahwa semua kehidupan publik dan privat warga negara haruslah diatur berdasar asas-asas Islam yang dominan. Filsafat bisa mempertanyakan, konsep manusia macam apakah yang dianut oleh Islamisme? Apakah konsep itu sesuai dengan kondisi yang ada? Apakah hanya ada satu Islam di Indonesia ini?

Filsafat politik mampu membongkar secara sistematis kesesatan berpikir yang terdapat di dalam ideologi Islamisme, maupun ideologi-ideologi lainnya, seperti liberalisme, amerikanisme, marxisme, komunisme, dan sebagainya. Filsafat politik dapat dipandang sebagai pencair dari kebekuan berpikir yang sangat mudah ditemukan di dalam ideologi-ideologi.

Ketiga, filsafat tidak hanya mau berhenti menjadi pengkritik saja, tetapi juga maju mengajukan suatu model tata sosial politik alternatif yang mungkin. Tata sosial politik itu berbasis pada prinsip-prinsip keadilan, kebebasan, dan solidaritas.

Contoh yang paling mungkin adalah wacana multikulturalisme di dalam filsafat yang, pada hemat saya, sangat cocok sebagai alternatif tata sosial politik di Indonesia. Multikulturalisme adalah suatu paham yang berpendapat, bahwa kehidupan sosial manusia diwarnai oleh banyak cara hidup, cara berpikir, dan cara berkomunitas yang berbeda satu sama lain, namun kesemuanya harus ditempatkan setara secara kultural maupun secara yudisial dengan prinsip penghormatan sebagai satu bangsa.

Kemerdekaan bentuk-bentuk kehidupan, pemikiran, cara berkomunitas menandakan pluralisme yang diakui dan dikembangkan terus menerus. Sementara, prinsip penghormatan satu sama lain menandakan adanya solidaritas dan kesatuan.

Tata sosial politik semacam ini baru bisa terwujud, jika trauma sosial sudah bisa dicairkan, dan peristiwa-peristiwa negatif masa lalu, seperti penculikan, pembantaian massal, dan sebagainya dijamin tidak lagi terulang. Filsafat dapat memberikan kontribusi di dalam proses bangsa ini untuk menjadi semakin beradab, makmur, adil, dan manusiawi.***

Kreativitas, Manajemen, dan Filsafat

Kreativitas Universal

Reza A.A Wattimena

Pandangan umum mengatakan, bahwa kreativitas haruslah muncul dari kebebasan, narkoba, rokok, penderitaan, alkohol, anarkisme, dendam, dan emosi-emosi negatif lainnya. Kreativitas identik dengan ‘seniman’, dan ‘seniman’ identik dengan anarkisme.

Selama anda belum anarkis, seperti para ‘seniman’, maka anda tidak mungkin menjadi orang kreatif. Apakah harus seperti itu? Bagaimana supaya kita kaya akan inovasi-inovasi di dalam hidup kita, tanpa harus menjadi ganas dan liar? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kreativitas?

Beberapa Jawaban

Peter Drucker, seorang ahli manajemen terkemuka, mengajukan jawaban. Baginya, kreativitas adalah kemampuan orang untuk menemukan peluang-peluang baru di dalam mengembangkan dirinya.

Kemampuan tidak hanya bisa dimiliki oleh orang individual saja, tetapi juga bisa oleh organisasi, baik perusahaan maupun organisasi lainnya. Drucker juga secara tegas menyatakan, bahwa di dalam bisnis, kreativitas itu identik dengan praktek inovasi, yakni praktek membuka peluang-peluang baru.

Ada tujuh peluang, yakni peristiwa-peristiwa yang tak terduga, inkongruensi, proses-proses pemenuhan kebutuhan, perubahan pasar, perubahan kondisi demografis, perubahan persepsi masyarakat, dan kemungkinan diciptakannya pengetahuan baru. (Drucker, 2002, 96) Kreativitas yang terwujud dalam praktek inovasi ini dapat dilakukan, jika orang mau dan mampu melakukan praktek yang fokus, sistematis, dan rutin untuk memanfaatkan peluang-peluang yang ada.

Kata kunci disini adalah fokus mewujudkan tujuan dengan mengambil peluang yang terbuka. Di titik ini dapatlah ditafsirkan, bahwa fokus merupakan hakekat dari kreativitas.

Di sisi lain, Nietzsche, filsuf Jerman abad ke 18, juga menegaskan, bahwa kreativitas adalah kemampuan manusia untuk memfokuskan dorongan-dorongan hasrat di dalam dirinya pada suatu tujuan yang produktif. Orang yang tidak mampu mengendalikan hasratnya adalah orang yang lemah secara kehendak.

Ia tidak akan mampu melakukan inovasi-inovasi secara kreatif. Sebaliknya, orang yang terlalu kuat mengendalikan hasratnya akan jatuh ke dalam dogmatisme.

Jika sudah seperti itu, maka kreativitasnya mati. Orang ini pun tidak mampu untuk menjadi kreatif.

Dengan demikian, Nietzsche menegaskan, bahwa hakekat dari kreativitas adalah kemampuan orang untuk fokus pada tujuan yang spesifik. Fokus semacam itu akan membuat orang tidak lagi dijajah oleh hasrat-hasratnya.

Akan tetapi, fokus juga tidak boleh menjadi dogma, karena ini juga akan menghambat kreativitas. Fokus berarti orang memiliki tujuan yang jelas, sekaligus terbuka pada peluang-peluang baru untuk mewujudkan tujuan itu.

Kreativitas Universal

Pada hemat saya, pandangan Drucker dan Nietzsche sangatlah tepat. Kreativitas bukanlah monopoli para seniman saja, tetapi milik setiap orang yang mau berusaha untuk fokus mewujukan tujuannya.

Mereka melawan pandangan lama yang menyatakan, bahwa kreativitas identik dengan anarkisme, kebebasan, serta keliaran. Drucker dan Nietzsche dengan jelas menyatakan, bahwa kreativitas itu adalah praktek yang tersistematisir, fokus, dan rutin pada satu tujuan yang spesifik.

Praktek semacam itu sama sekali tidak anarkis. Sebaliknya, praktek tersebut sangat terencana dan logis. Praktek ini pula yang dilakukan oleh banyak orang, sehingga mereka bisa secara kreatif menemukan hal-hal baru yang meningkatkan kualitas kehidupan manusia.

Memang, Drucker dan Nietzsche menyatakan, bahwa esensi dari kreativitas adalah fokus pada tujuan yang spesifik. Akan tetapi, tujuan macam apakah yang seharusnya menjadi fokus? Dan, apa yang membuat tujuan tersebut menjadi sah?

Sejauh saya membaca, Drucker tidak menjawab pertanyaan itu secara langsung. Namun dalam tulisan-tulisannya ia menegaskan bahwa di dalam bisnis, tujuan dari kreativitas adalah menciptakan bisnis yang bermakna (meaningful business), baik secara material maupun secara spiritual.

Secara material berarti, bahwa bisnis itu mampu menghasilkan keuntungan, dan memberi makan orang banyak. Secara spritual berarti, bisnis tersebut tidak hanya bertujuan mencari keuntungan, tetapi mengembangkan kebudayaan masyarakat, di mana bisnis itu tumbuh dan berkembang.

Yang sering terjadi adalah, bahwa tujuan utama kreativitas dan inovasi di dalam bisnis adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk memuaskan kerakusan beberapa pihak saja. Dalam arti ini, pemikiran Drucker diselewengkan dari tujuan awalnya menjadi pemikiran yang berguna sebagai alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan kapitalis murni, yakni menumpuk keuntungan sebanyak-banyaknya, dan membagikannya ke sesedikit mungkin orang.

Dalam arti ini, kreativitas dan inovasi menjadi luntur maknanya. Bisnis pun tidak lagi berkembang sebagai bisnis yang bermakna, tetapi menjadi bisnis yang menghancurkan.

Yang mau saya tegaskan adalah, bahwa kreativitas dan inovasi haruslah dibalut dengan tujuan-tujuan kemanusiaan, yakni mengembangkan kualitas hidup sebanyak mungkin orang. Kemanusiaan haruslah menjadi nilai esensial dari kreativitas dan inovasi di dalam bidang bisnis, maupun di dalam bidang-bidang kehidupan sosial lainnya. Inilah imperatif klasik yang sudah terlupakan di dalam kehidupan bersama kita.***

Mari Belajar untuk menjadi orang yang otentik, yang jujur dan setia pada dirinya sendiri!

Menjadi Manusia Otentik

Reza A.A Wattimena

Orang yang otentik adalah orang yang bahagia. Mereka adalah orang bebas. Otentisitas adalah hal terindah yang bisa ditawarkan oleh kehidupan kepada kita.

Oleh karena itu, setiap orang perlu menjadikan otentisitas sebagai tujuan hidupnya.[1] Ungkapan ini tampaknya tidak berlebihan.

Banyak orang menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan hidupnya, dan kebahagiaan yang sejati hanya dapat diperoleh, jika orang mau menjadi dirinya sendiri yang otentik, yang asli, yang tidak dilumuri kemunafikan.

Banyak buku, majalah, talk show di televisi, termasuk Oprah, menjadikan otentisitas sebagai tema utama mereka. Beberapa buku best seller juga mengupas tema ini secara populer.

Ide normatif dari otentisitas adalah, supaya orang bisa menjadi dirinya sendiri secara sungguh-sungguh. Dalam arti ini, terutama di era ketidakpastian politik, ekonomi, dan sosial seperti sekarang, otentisitas merupakan tujuan tertinggi yang bisa diraih manusia.

Akan tetapi sampai sekarang, banyak buku-buku self-help masih mengajarkan orang untuk tidak menjadi dirinya sendiri. Buku-buku itu mengajarkan, supaya orang menjadi lebih dari dirinya sendiri, menjadi lebih baik, dan menjadi seperti tokoh-tokoh tertentu yang sudah sukses, baik di bidang ekonomi maupun kemanusiaan.

Inilah yang disebut David Riesman sebagai “individu yang terarah pada individu yang lain” (other-directed individual).[2] Buku-buku semacam ini berdiri di atas pengandaian, bahwa ada orang yang belum berkembang secara maksimal.

Oleh karena itu, orang-orang semacam itu perlu dibantu, supaya mereka menyadari bakat-bakat yang mereka miliki, dan mengembangkannya secara maksimal. Setiap orang diajak untuk meraih sesuatu yang belum mereka miliki, terutama dengan mengembangkan diri semaksimal mungkin.

Menurut Guignon, pandangan semacam itu justru membuat orang tidak menjadi otentik. Orang menjadi palsu, karena ia ingin menjadi apa yang bukan dirinya sendiri.

“Ideal kontemporer tentang otentisitas”, demikian tulisnya, “mengarahkan anda untuk menyadari dan menjadi apa yang sudah merupakan diri anda sendiri, yang unik, karakter-karakter definitif yang sudah ada di dalam diri anda.”[3]

Fritz Perls, seorang terapis eksistensial, berpendapat bahwa, orang yang tidak bisa menjadi otentik dapat dikategorikan sebagai orang yang neurosis. Neurosis sendiri adalah suatu kondisi, di mana orang berusaha melarikan diri dari dirinya sendiri.

Orang yang neurosis telah mengorbankan diri mereka sendiri justru untuk mengembangkan dirinya. Akibatnya, mereka merasa hampa, kering, dan tidak bermakna.

Bisa juga dibilang, mereka sudah mati, walaupun tubuhnya masih hidup. Buku-buku self help yang banyak beredar sekarang ini tampaknya sesuai dengan analisis Perls tersebut.

Orang diajarkan untuk menjadi kaya melalui cara-cara tertentu, yang sebenarnya tidak sesuai dengan diri mereka. Akibatnya, banyak orang mengorbankan dirinya sendiri justru untuk mengembangkan dirinya. Jika diri sendiri sudah dikorbankan, maka perasaan hampa makna adalah konsekuensi logisnya.[4]

Jelaslah, bahwa berani untuk menjadi diri sendiri adalah sumber kebahagiaan. Berani untuk menjadi diri sendiri, apapun itu, adalah obat anti neurosis.

Oleh karena itu, pandangan ini layak menjadi tujuan hidup setiap orang. Walaupun begitu, pandangan ini juga sangat sulit diwujukan dalam realitas.

Masyarakat dan dunia sosial keseluruhan mempunyai aturan dan tuntutan, yang seringkali menghalangi orang untuk menjadi dirinya sendiri. “Segala sesuatu di dalam eksistensi sosial”, demikian Guignon, “menarik kita menjauh dari upaya untuk menjadi diri kita sendiri, untuk alasan sederhana bahwa masyarakat bekerja secara maksimal dengan membuat orang terkurung di dalam mekanisme kehidupan sehari-hari.”[5]

Dunia sosial akan berjalan lancar, jika orang memandang diri mereka sendiri sesuai dengan peran sosialnya, serta menjalankan tugas-tugasnya di dalam fungsi sosial tanpa ragu-ragu. Dunia sosial dan peran sosial yang dipaksakan mendorong orang untuk menjadi tidak otentik.

Spiritualitas yang kokoh dan cara pandang yang jernih terhadap realitas merupakan kunci untuk tetap otentik di dalam dunia sosial.

Asumsi dasar dari semua teori tentang otentisitas adalah, bahwa di dalam diri setiap orang terdapat jati diri yang sejati, yang membedakan orang tersebut dari orang-orang lainnya. Jati diri sejati ini mengandung perasaan-perasaan, kebutuhan-kebutuhan, hasrat-hasrat, kemampuan-kemampuan, dan kreativitas yang membuat orang tertentu unik, jika dibandingkan dengan orang lainnya.

Menurut Guignon, konsep otentisitas memiliki dua aspek pemahaman. Yang pertama adalah pemahaman, bahwa untuk menjadi otentik, orang perlu menemukan jati diri sejati yang ada di dalam diri melalui proses refleksi. Jika orang mampu mencapai pemahaman penuh tentang dirinya sendiri, barulah ia mampu mencapai eksistensi diri yang otentik.

Yang kedua, selain menemukan jati diri sejatinya, orang juga perlu mengekspresikan jati diri sejati tersebut di dalam tindakannya ke dunia sosial. Orang perlu untuk menjadi dirinya sendiri di dalam relasinya dengan orang lain. Hanya dengan mengekspresikan jati diri sejatinyalah orang dapat mencapai kepenuhan diri penuh sebagai manusia yang otentik.

Guignon lebih jauh berpendapat, bahwa wacana tentang otentisitas diri manusia terkait erat dengan pertanyaan yang sangat mendasar, yakni apa yang paling bermakna di dalam hidup manusia? Dari sudut pandang filsafat manusia, ada dua kemungkinan jawaban.

Yang pertama adalah, bahwa hidup yang bermakna adalah hidup yang otentik, yakni hidup berdasarkan keyakinan sendiri. Orang diminta untuk hidup sesuai dengan dirinya sendiri, dan bukan atas keinginan orang lain. Seperti sudah disinggung sebelummya, pandangan ini berdiri di atas pengandaian, bahwa setiap orang memiliki potensi dan bakat yang pantas untuk diekspresikan di dalam aktivitasnya di dunia.[6]

Pandangan kedua menekankan, bahwa untuk mencapai hidup yang bermakna, orang perlu mengosongkan dirinya sendiri, dan mengikatkan dirinya pada sesuatu yang lebih besar. Cara pandang ini menegaskan, bahwa orang perlu untuk melepaskan perasaan-perasaan pribadinya, dan mengabdi pada cita-cita yang luhur di luar dirinya sendiri.

Cara pandang ini berakar pada pemikiran Dostoevsky, terutama pada novel Brother Kamazarov, ataupun buku-buku lainnya. Di dalam tulisan-tulisannya, Dostoevsky berpendapat, bahwa konflik di dalam dunia modern muncul, karena orang terlalu berfokus pada dirinya sendiri, sehingga menjadi sangat individualistik.

Orang seolah terpukau pada dirinya sendiri, sehingga ia terobsesi pada kesuksesan pribadi, dan menganggap orang lain sebagai musuh. Orang saling terisolasi satu sama lain, dan hidup dalam permusuhan.

Orang terputus dari komunitasnya, sehingga hidup selalu diwarnai kompetisi, agresivitas, kecemburuan, keterasingan, dan pada akhirnya menciptakan kesedihan yang mendalam. Untuk melawan semua itu, orang perlu melepaskan dirinya dari keinginan dan hasrat.

Orang perlu untuk merasa bebas, bahkan dari dirinya sendiri, sehingga terciptalah situasi yang damai. Dengan melepaskan dirinya sendiri, orang bisa bersatu dengan dunia sosial. Hidup pun mengalir dalam kebersamaan dan harmoni.[7]

Cara pandang terakhir ini mengajak orang untuk keluar dari kesibukan untuk menjadi diri sendiri, yang justru diidealkan oleh teori otentisitas. Dari sudut pandang ini, menurut Guignon, tujuan tertinggi dari kehidupan adalah menjadi peka terhadap panggilan dari sesuatu yang lebih tinggi dari diri manusia itu sendiri.

Orang diajak untuk menyerahkan dirinya pada kehendak Tuhan, pembentukan solidaritas, ataupun pada perjuangan untuk meningkatkan kebebasan di masyarakat. Inti utama dari pandangan ini adalah, bahwa manusia haruslah melepaskan diri dari egonya sendiri yang justru membuatnya tidak bahagia.

Dua pandangan ini mendominasi panggung filsafat barat, terutama pemikiran para filsuf yang merefleksikan manusia secara filosofis. Bagi para pendukung teori otentisitas, pandangan bahwa manusia haruslah mengosongkan dirinya untuk menjadi otentik adalah suatu pelecehan terhadap tanggung jawab orang untuk mengembangkan dirinya sendiri.

Dengan mengosongkan dirinya sendiri dan berserah pada sesuatu yang lebih besar dari pada dirinya sendiri, orang justru melarikan diri dari tanggung jawabnya sendiri terhadap hidupnya. Orang menjadi dependen.

Para pendukung teori otentisitas yakin, bahwa orang baru dapat hidup secara penuh dan bahagia, jika ia menentukan sendiri hidupnya, dan bertanggung jawab atasnya.

Dari sudut pandang pendukung teori kekosongan diri, hidup yang ditujukan untuk mencapai ideal diri sendiri memiliki masalah yang besar. Bagi banyak orang, proses untuk mencapai otentisitas ideal diri sendiri justru berakhir pada kekecewaan dan kegagalan.

Orang yang gagal mewujudkan ideal ini akan merasa, bahwa ia telah gagal dalam hidupnya. Dapat juga dikatakan, bahwa proses untuk menjadi diri sendiri adalah proses yang elusif, yakni proses yang selalu lepas dari genggaman, walaupun orang sudah berusaha keras menggenggamnya.

Di lubang elusifitas ini, banyak penulis menawarkan tips-tips tentang bagaimana supaya orang bisa menjadi dirinya sendiri. “Seringkali”, demikian tulis Guignon, “program-program pelatihan untuk menjadi diri sendiri terbukti menipu, koersif, manipulatif, mengontrol partisipan, dan eksploitatif secara finansial.”[8]

Disinilah ironisnya, bahwa orang justru kehilangan dirinya sendiri, ketika ia mencoba menemukannya dengan menggunakan pelatihan-pelatihan yang ditawarkan. Pada hemat saya, searah dengan Guignon, program pelatihan yang ditawarkan buku-buku psikologi populer, yang dirancang untuk membantu orang menemukan dirinya sendiri, justru membuat orang terperangkap di dalam cara berpikir ideologis yang sesuai dengan kemauan para perancang program tersebut, yakni kelompok dominan di dalam masyarakat.

Akibatnya, orang yang tidak dapat mencapai cara hidup dari ideologi dominan tersebut akan merasa hampa. Mereka akan merasa bahwa apapun yang mereka lakukan selalu gagal.

Mereka tidak berdaya, dan justru tidak akan pernah bahagia, selama mereka masih menggunakan cara berpikir kelompok dominan di dalam masyarakat, yang seringkali tidak cocok dengan mereka. Pertanyaan sah selanjutnya adalah, dimanakah posisi anda?

Apakah anda adalah orang yang terus menerus berusaha otentik dengan menjadi diri sendiri, lepas dari apa kata orang lain tentang diri anda? Atau, anda adalah orang yang siap untuk mengorbankan diri untuk mencapai sesuatu yang lebih besar dari pada diri anda melalui pengabdian dan pengorbanan?

Jawaban saya kembalikan pada anda.***


[1] Tulisan pada bab ini diinspirasikan dari pemikiran Charles Guignon, On Being Authentic, London, Routledge, 2004, hal. 1. Ia mengutipnya dari sebuah website di Amerika.

[2] David Riesman, The Lonely Crowd: A Study of Changing American Character, New Haven, Yale University Press, 1950, dalam ibid, hal. 2.

[3] Guignon, 2004, hal. 3.

[4] Lihat, Fritz Perls, “Four Lectures,” in J.Fagan and I.L.Shepherd, eds., Gestalt Therapy Now, New York, Harper Colophon, 1970, hal. 20, 22, dalam Ibid.

[5] Guignon, 2004, hal. 3.

[6] Lihat, ibid, hal. 4.

[7] Lihat, ibid.

[8] Ibid, hal. 5.

Menjadi Orang Asing

Menjadi Outsider

Reza A.A Wattimena

Setiap orang selalu merasa dirinya sebagai outsider. Dia orang luar, yang berbeda dengan orang-orang di sekitarnya.

Bila Anda hidup di suatu tempat baru, perasaan ini muncul. Akan tetapi, menjadi outsider tampaknya bukan hanya kondisi sementara, tetapi juga bisa menjadi kondisi permanen manusia.

Outsider

Bayangkan, Anda tiba di suatu tempat yang baru bagi Anda. Anda hidup bersama orang-orang yang tidak pernah ada kenal sebelumnya. Mereka berbeda suku, ras, agama, dan bahkan bahasa.

Perasaan, bahwa Anda merupakan orang luar yang berbeda dengan mereka, akan muncul. Tentu saja, ini kondisi normal.

Yang tidak normal adalah, Anda lahir di tempat yang sama. Anda hidup dengan orang yang Anda kenal seumur hidup Anda, seperti orang tua, saudara, ataupun tetangga. Akan tetapi, Anda tetap merasa sebagai outsider.

Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman, menyatakan dengan jelas, bahwa manusia adalah mahluk yang ada-di-dunia. Manusia adalah mahluk yang mendunia.

Dengan mendunialah manusia justru menjadi manusia. Tidak ada dunia tanpa manusia, dan tidak ada manusia tanpa dunia.

Akan tetapi, jauh di dalam hati kita, kita tahu, bahwa kita lebih dari sekedar dunia. Manusia adalah bagian dari dunia, sekaligus lebih daripadanya.

Eksistensialisme

Unsur lebih inilah yang membuat orang merasa terasing dengan lingkungannya, walaupun ia telah hidup di dalamnya sejak dulu. Dalam bahasa fenomenologi eksistensialis, manusia itu selalu memiliki kemungkinan untuk retak dengan dunianya.

Bayangkan, Anda memiliki sebuah mobil. Mobil itu sudah bersama Anda sejak lama. Mobil itu mengantarkan Anda bekerja, berekreasi bersama keluarga, dan menemani hampir semua aktivitas Anda.

Anda merasa nyaman dengan mobil tersebut. Seolah, ia sudah menjadi bagian dari diri Anda.

Suatu hari, mobil itu rusak. Padahal, Anda sedang di tempat kerja, dan berencana untuk pulang lebih awal.

Pada saat itu, Anda merasa tidak nyaman dengan mobil Anda. Tidak hanya dengan mobil, Anda pun merasa tidak nyaman dengan diri sendiri.

Mobil yang Anda taken for granted, kini tidak lagi berfungsi. Dalam hal ini, Anda mengalami retak dengan dunia yang Anda taken for granted sebelumnya.

Anda menjadi outsider di dunia Anda sendiri. Dalam bahasa filsafat, Anda mengalami keterasingan.

Keterasingan

Keretakan itu menciptakan perasaan tidak nyaman. Ketidaknyamanan menciptakan perasaan terasing. Apa yang menyebabkan perasaan terasing?

Pertama, perasaan terasing muncul, ketika Anda melakukan sesuatu yang mengungkung kebebasan Anda. Anda tidak hidup dalam kebebasan, tetapi dalam ketakutan dan belenggu yang mencekik.

Marx berpendapat, bahwa sistem ekonomi kapitalisme klasik adalah sumber utama dari perasaan terasing manusia. Di dalam sistem ekonomi ini, orang dipaksa melakukan hal-hal yang tidak mereka sukai, dan juga tidak bisa menikmati hasil kerjanya sendiri.

Kondisi Indonesia sekarang sangat mencerminkan hal ini. Seorang pencinta arkeologi akan sulit untuk bertahan hidup di kota Jakarta.

Mungkin, ia akan bekerja di bank, atau perusahaan lainnya. Sudah begitu, hasil kerjanya tidak ia nikmati langsung, tetapi dinikmati oleh pemiliki perusahaan.

Hidupnya menjadi tidak bahagia. Ia merasa terasing, bahkan dengan hidupnya sendiri.

Sumber keterasingan kedua adalah perasan cemas. Perasaan cemas muncul, ketika Anda tidak menghayati kesekarangan hidup Anda, tetapi dihantui oleh masa lalu dan masa depan.

Hidup di masa lalu akan menghasilkan kecemasan. Kecemasan akan masa lalu akan mendorong rasa bersalah yang tidak sehat. Rasa bersalah juga sumber keterasingan.

Sebaliknya, hidup di masa depan hanya akan menghasilkan kekhawatiran. Kekhawatiran akan mendorong sikap paranoid. Dan sikap paranoid juga merupakan sumber keterasingan.

Masa lalu dan masa depan tidak ada. Yang ada hanyalah masa sekarang. Hidup di masa lalu atau masa depan berarti hidup dalam kehampaan.

Sisi Positif

Perasaan menjadi outsider identik dengan perasaan terasing. Akan tetapi, perasaan semacam ini tidak bisa dinilai melulu secara negatif. Ada unsur positif di dalamnya.

Martin Heidegger pernah menulis, bahwa perasaan cemas dan gelisah merupakan tanda manusia terhubung dengan hakekat dirinya. Pada momen itu, manusia diminta berhenti sejenak, dan melakukan refleksi mendalam terhadap apa yang telah ia alami.

Anthony Giddens juga menegaskan, bahwa ketika merasa cemas, kesadaran diskursif orang meningkat. Kreatifitas dan kemampuan intelektualnya memaksanya untuk beradaptasi. Pada titik ini, manusia menjadi lebih kuat dan vital, daripada ketika kondisi normal.

Himpitan ancaman akan membuat kreatifitas memuncak. Pada saat itu, manusia mencapai kondisinya yang paling prima.

Proses

Mungkin adalah kodrat kita untuk selalu menjadi outsider, bahkan di lingkungan yang sudah kita paling anggap nyaman. Mungkin sudah saatnya kita menyadari, bahwa hidup adalah tegangan antara perasaan intim dan perasaan terasing.

Tidak ada hidup yang sepenuhnya intim, dan tidak ada hidup yang sepenuhya terasing. Hidup itu sendiri berarti tension antara yang intim (the intimate) dan yang asing (the foreign). Tanpa keduanya, hidup menjadi tidak berarti.***

Im so inspired by this

“…Everybody searching for a hero. People need someone to look up to. I never found anyone to fulfill my needs.
So I learned to depend on me
I decided long ago, never to walk in anyones shadows
If I fail, if I succeed
At least I live as I believe
No matter what they take from me, They cant take away my dignity…”

That’s exactly Im
gonna do with my life

Politik Sinis Versus Politik Naif

Politik Sinis Versus Politik Naif

Reza A.A Wattimena

Dunia terkejut. Obama berhasil menjadi presiden Amerika Serikat. Belenggu diskriminasi seakan dipatahkan. Demokrasi seolah berjaya.

Kaum kulit hitam, yang dulunya menjadi obyek diskriminasi, kini merayakan kemenangan mereka. Menang bukan dalam arti menang politik saja, tetapi bahwa kini mereka tidak lagi dianggap sebagai “sampah masyarakat”, tetapi sebagai bagian integral dari masyarakat yang memiliki status setara.

Kaum idealis politik, yang dulunya lebih banyak diam pada level praktis, kini kembali menaruh harapan besar. Politik bukan soal manuver untuk merebut kekuasaan, tetapi sebagai upaya bersama untuk mencapai kemakmuran.

Politik licik ala Machiavellian yang ditujukan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan kini digantikan oleh politik harapan yang berdasarkan pada idealisme tentang kepemimpinan. Kepemimpinan tidak semata-mata dilakukan dengan prinsip tujuan menghalalkan cara, tetapi dengan mengacu terus menerus pada prosedur demokratis yang berpihak pada kepentingan bersama.

Kaum muda memperoleh harapan yang kurang lebih serupa. Mitos bahwa orang mudah tidak dapat memimpin, dan karenanya tidak bisa dipercaya memimpin, kini seolah terpatahkan. Kemudaan bukan lagi halangan bagi seseorang untuk memimpin. Selama ia memiliki karakter dan visi yang kuat, maka peluang memimpin pun terbuka untuknya.

Ya, apa yang ditulis di atas adalah sebuah harapan. Harapan bahwa dunia sudah berubah, tentu ke arah yang lebih baik. Akan tetapi, harapan tidak pernah boleh mengambang tanpa realitas. Harapan pun harus punya basis realitas. Tanpa realitas, harapan hanyalah mimpi belaka.

Politik Sinis

Kemenangan Obama di Amerika Serikat itu setidaknya ditanggapi dengan dua tipe politik, yakni politik sinis di satu sisi, dan politik naif di sisi lain. Momentum ini bukan hanya milik Amerika semata, tetapi milik seluruh dunia. Momentum yang tepat digunakan untuk belajar dan melakukan refleksi.

Politik sinis adalah politik yang berbasiskan pada kecurigaan, bahkan terhadap peristiwa-peristiwa positif yang terjadi. Para penganut politik sinis tidak percaya, bahwa orang bisa melakukan kebaikan.

Pengorbanan tidak ada di dalam kamus para penganut politik sinis. Apa yang tampaknya baik sebenarnya menyembunyikan niat jahat dan egois di baliknya.

Misalnya, banyak orang memberikan bantuan kepada korban bencana alam. Bantuan diberikan langsung, baik dalam bentuk makanan, maupun obat-obatan.

Bagi para penganut politik sinis, tindakan tersebut tidak lebih daripada kampanye politik untuk mempopulerkan tokoh-tokoh tertentu. Tindak memberi bantuan tersebut adalah tindakan yang semu.

Yang terjadi sebenarnya adalah, orang-orang ataupun kelompok tertentu sedang mengkampanyekan keberadaan mereka kepada publik. Mereka ingin menciptakan citra, bahwa mereka adalah orang ataupun kelompok yang murah hati, sehingga bisa dipercaya.

Padahal, mereka tidak lebih daripada politikus yang lebih mementingkan kepentingan pribadi maupun golongan mereka, daripada kepentingan bangsa dan negara. Mereka tidak peduli, apakah rakyat makmur atau tidak. Yang penting, mereka bisa kaya, dan kelompok mereka memiliki pengaruh di bidang politik.

Inilah sudut pandang para penganut politik sinis. Mereka selalu curiga terhadap semua manuver politik, bahkan pada manuver yang tampak memiliki niat baik sekalipun.

Bagi mereka, manusia pada dasarnya adalah mahluk yang tidak bisa dipercaya. Oleh karena itu, manusia membutuhkan hukum dan pendidikan, sehingga mereka bisa jadi lebih beradab.

Tanpa hukum dan pendidikan, manusia tidak lebih dari binatang, bahkan lebih buruk, karena binatang tidak akan pernah tanpa alasan membunuh sesamanya sendiri. Dunia adalah tempat yang tidak nyaman bagi para penganut politik sinis, karena isinya adalah para pembohong yang menjadikan kepentingan diri mereka sebagai “tuhan”.

Politik Naif

Politik naif persis merupakan kebalikan dari politik sinis. Politik naif adalah suatu paradigma politik yang percaya begitu saja, bahwa suatu peristiwa politik yang positif memang didasarkan pada motivasi dan niat yang baik, sehingga patut dijadikan teladan.

Para penganut politik naif percaya, bahwa manusia itu baik. Semua tindakan manusia selalu didorong oleh niat yang tulus.

Jika ada kesalahan, maka itu bukanlah salah manusia, tetapi karena keadaan yang memaksa. Di dalam perdebatan filsafat ilmu-ilmu sosial mengenai prioritas antara agen dan struktur, para penganut politik naif lebih percaya, bahwa kegagalan bukanlah karena motivasi agensi (pelaku) yang buruk, tetapi karena struktur sistemiknya yang tidak tertata.

Misalnya, seorang anggota DPR memberikan sebagian hartanya bagi sebuah panti asuhan. Akibat tindakan ini, anggota DPR tersebut memperoleh sorotan media. Dalam sekejap mata, ia menjadi sekaligus politikus dan selebritis.

Di mata penganut politik naif, anggota DPR tersebut adalah orang yang luar biasa. Ia adalah politikus yang murah hati dan layak dipercaya. Tidaklah mengherankan, bila anggota DPR tersebut memiliki karir politik yang cerah, karena ia adalah politikus yang peduli pada kesusahan rakyatnya.

Memang, ada kesan bahwa anggota DPR tersebut sedang “cari muka” kepada rakyatnya. Akan tetapi, kesan itu tidak menutupi fakta, bahwa ia sudah membantu anak-anak yatim dan piatu yang kesulitan.

Para penganut politik naif yakin, bahwa tindakan membantu tersebut sungguh didasarkan pada motivasi yang tulus. Bagi mereka, segala kejahatan dan penderitaan yang ada di dalam dunia bukanlah muncul karena kejahatan manusia, tetapi karena sistem yang tidak tepat.

Manusia pada dasarnya adalah mahluk yang baik, ramah, bisa dipercaya, dan penuh cinta. Sistem yang buruk dan kebodohanlah yang membuat manusia jatuh ke dalam kejahatan dan penderitaan.

Politik Keutamaan

Dua tipe politik di atas sebenarnya bisa digunakan untuk memahami dinamika penerimaan masyarakat global terhadap “fenomena Obama” di Amerika Serikat.

Ada kubu yang sinis terhadap pencapaian itu. Mereka berpendapat, bahwa Obama adalah seorang orator yang pandai memilih kata dan memikat massa, tetapi bukanlah seorang yang tulus dan jujur.

Para penganut politik sinis tidak membenci Obama secara langsung. Mereka hanya tidak percaya, bahwa ada manusia yang tulus dan jujur melangkahkan kakinya di muka bumi ini.

Kubu lainnya sangat percaya, bahwa Obama adalah seorang politikus yang tulus dan jujur. Hal ini terbukti dari riwayat hidup, maupun dari pidato-pidato memukaunya selama ia berkampanye.

Mereka yakin, bahwa Obama akan membawa perubahan positif, tidak hanya kepada Amerika Serikat, tetapi juga kepada seluruh dunia. Kemenangan Obama adalah momentum yang patut dirayakan dan dijadikan contoh bagi perkembangan peradaban manusia.

Kita langsung tahu, bahwa kedua tipe politik ini tidak memadai. Masing-masing memiliki kekurangan fatal.

Para penganut politik sinis mereduksikan manusia semata-mata sebagai mahluk pembohong dan egois sejati. Sementara, para penganut politik naif seolah buta pada fakta, bahwa manusia bisa menjadi mahluk yang tidak jujur dan destruktif. Ada problem besar di dua tipe politik tersebut.

Banyak orang menganut salah satu dari dua tipe politik di atas, tanpa mereka menyadarinya. Entah mereka percaya saja, bahwa Obama adalah penyelamat dunia, atau mereka percaya, bahwa Obama hanyalah salah satu politikus di antara politikus lainnya yang busuk. Bedanya, ia pandai berbicara dan memikat hati orang.

Pada titik ini, kita bisa belajar sejenak dari Aristoteles, seorang filsuf Yunani Kuno yang hidup kurang lebih 2300 tahun yang lalu. Ia memaparkan pemikirannya dalam bukunya yang terkenal, yakni Nicomachean Ethics.

Dalam konteks tegangan antara politik sinis dan politik naif, Aristoteles mengingatkan kita, bahwa keutamaan manusia sesungguhnya tidaklah terletak di antara ekstrem-ekstrem yang berbeda, tetapi di titik tengah antara keduanya. Inilah ajaran Aristoteles yang lebih banyak dikenal sebagai tesis keutamaan sebagai jalan tengah.

Dalam konteks politik, tesis ini bisa diterjemahkan sebagai politik keutamaan jalan tengah. Politik keutamaan jalan tengah tidak berpihak pada kenaifan ataupun kesinisan manusia, tetapi pada keseimbangan di antara keduanya.

Mari kita ambil sebuah contoh. Apa kejujuran merupakan suatu keutamaan, atau tidak? Jawaban spontan kita, ya! Kejujuran adalah bagian dari keutamaan.

Apakah orang yang terlalu jujur, yang cenderung mengatakan sebenarnya pada semua orang, sehingga tidak lagi bisa memegang rahasia, adalah orang yang berkeutamaan? Jawabannya spontannya adalah tidak.

Kejujuran yang berlebihan akan menjadi kecerobohan. Orang tidak lagi bisa memegang rahasia. Ia menjadi ‘corong’ yang terus menerus menceritakan apa yang seharusnya tidak boleh diceritakan, karena ia terlalu jujur. Dengan demikian, orang yang terlalu jujur bukanlah orang yang berkeutamaan.

Coba sebaliknya, yakni orang selalu berbohong setiap saat, apakah ia adalah orang yang berkeutamaan? Jawabannya jelas tidak!

Orang ini akan menjadi seorang penipu yang ulung. Bila ada kesempatan, ia akan mencuri. Tidak ada janji yang akan ditepati, jika terkait dengannya. Semua omongannya tidak bisa dijadikan pegangan.

Jelaslah, kedua tipe orang di atas, yakni orang yang terlalu jujur dan orang yang suka berbohong, bukanlah orang yang berkeutamaan. Lalu, apakah ciri orang yang mempunyai keutamaan itu?

Aristoteles menjawab, bahwa orang yang berkeutamaan adalah orang yang mampu berada di antara keduanya. Ia tidak terlalu jujur, tetapi juga tidak suka berbohong.

Ia berkeutamaan, karena ia mampu membaca situasi, kapan ia harus jujur dan kapan ia harus “menahan kejujurannya”. Keutamaan muncul, karena sikapnya selalu kontekstual.

Ia mampu melihat keadaan, dan bertindak sesuai dengan keadaan tersebut. Karena itulah ia adalah orang yang berkeutamaan.

Jadi, orang yang berkeutamaan bukanlah orang yang jatuh ke dalam salah satu ekstrem, tetapi orang yang mampu hidup dalam tegangan di antara kedua ekstrem yang ada. Hidup dalam tegangan berarti ia memiliki kemampuan untuk membaca keadaan, dan bertindak seturut dengan keadaan yang ada.

Ia tidak memaksakan prinsipnya, tetapi juga tidak menyerah begitu saja pada keadaan. Dalam bahasa Richard Rorty, seorang filsuf Amerika di abad kedua puluh, ia adalah manusia yang kontingen dan terbuka pada realitas, tetapi sekaligus juga menjadikan kontingensi sebagai prinsip hidupnya.

Menanggapi fenomena Obama, kita tidak perlu sinis, ataupun naif. Kita tidak perlu curiga pada Obama. Akan tetapi, kita juga tidak perlu memujanya.

Dalam bahasa Aristoteles, kita tidak perlu menjadi orang yang serba curiga, tetapi cukup menjadi orang yang kritis.

Kita juga tidak perlu menjadi orang yang naif, yang sepenuhnya berpikiran positif, cukup menjadi orang yang terbuka pada fakta, bahwa manusia itu mungkin untuk berbuat baik dengan niat yang tulus dan jujur.

Dengan bersikap seperti itu, kita sudah memeluk politik keutamaan. Politik keutamaan adalah kunci untuk menjadi warga negara yang merdeka dan dewasa.

Politik yang terdengar rumit, tetapi sebenarnya sudah menjadi bagian dari identitas bangsa kita selama berabad-abad. Mungkin, kita lupa, karena kita terlalu sinis melihat realitas.

Harapannya adalah, semoga tulisan ini tidak terdengar terlalu naif.***

Seri Filsafat Bisnis 1: Strategi Perusahaan dan Dasar Filsafatnya

Seri Filsafat Bisnis 1

Strategi Perusahaan dan Dasar Filsafatnya

Reza A.A Wattimena

Orang hidup perlu strategi. Tanpa strategi, hidup seseorang akan tidak memiliki arah. Hidupnya tidak tertata.

Bisa juga dibilang, tanpa strategi, orang tidak bisa hidup. Ia hidup, tetap ia sudah mati, bagaikan mayat hidup yang berjalan di tengah kalangan orang hidup.

Hal yang sama kurang lebih berlaku untuk sebuah perusahaan. Tanpa strategi, perusahaan akan berantakan.

Perusahaan akan bangkrut, bahkan sebelum ia memulai usahanya. Jadi, strategi sangatlah penting bagi sebuah perusahaan.

Strategi suatu perusahaan bukan hanya urusan pada pimpinan saja, tetapi sudah menjadi urusan seluruh pihak terkait. Tidak ada pengecualian dalam perumusan strategi perusahaan.

Filsafat mengajarkan orang untuk pertama-tama mengajukan pertanyaan yang tepat tentang hidupnya. Seringkali, jawaban yang jitu bukanlah muncul dari rumusan yang sistematis, tetapi dari pertanyaan yang tepat. Pertanyaan yang tepat seolah mengandung jawaban di dalam dirinya sendiri.

Hal yang sama kurang lebih berlaku untuk menentukan strategi perusahaan. Langkah pertamanya bukanlah membuat sebuah rumusan sistematis tentang strategi perusahaan, tetapi pertama-tama dengan berusaha mengajukan pertanyaan yang tepat. (Tulisan ini diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap Corporate Strategy: A Manager’s Guide, Harvard Management Update, Boston, January, 2000)

Dulu, orang masih percaya, bahwa soal strategi adalah soal bos. Para bawahan, baik manajer tingkat menengah maupun karyawan bawah, tidak perlu repot memikirkannya.

Akan tetapi, pandangan itu sekarang sudah berubah. Sama seperti visi dan misi sebuah negara tidak hanya urusan presiden dan para menterinya, begitu pula strategi perusahaan bukan hanya urusan pada CEO-nya, tetapi juga seluruh karyawannya.

Banyak perusahaan, seperti Electronic Data Systems di Amerika Serikat, telah merumuskan sebuah program, yang memungkinkan seluruh karyawan berpartisipasi di dalam perencanaan perusahaan. Harapannya adalah, “suara-suara baru”, yang muncul dari karyawan tingkat menengah dan bawah, dapat memberikan kontribusi positif bagi perkembangan perusahaan.

Pola ini memiliki dasar di dalam pemikiran posmodernisme. Posmodernisme adalah suatu paham yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang bersifat universal dan totaliter sudahlah berakhir, serta digantikan dengan pernyataan-pernyataan dan gaya hidup yang bersifat partikular, lokal, dan demokratis.

Jika dulu, suara direktur adalah suara Tuhan, maka sekarang pandangan itu tidak lagi berlaku. Banyak suara-suara baru yang muncul dari kalangan manajemen tingkat menengah ataupun karyawan bawahan lainnya, yang memiliki fondasi pemikiran yang logis dan layak diterapkan sebagai strategi perusahaan.

Intinya adalah, bahwa tidak ada lagi satu suara yang menentukan secara otoriter strategi maupun kebijakan perusahaan. Semua kebijakan dan strategi haruslah didasarkan pada proses pertimbangan yang melibatkan semua pihak terkait secara demokratis. Hanya dengan begitulah suatu kebijakan dan strategi perusahaan dapat dirumuskan dan diterapkan secara efektif.

Beberapa waktu lalu, para manajer tingkat menengah Intel mendapatkan pujian dari berbagai pihak. Ketika para pimpinan perusahaan intel masih sibuk berkutat soal kegagalan produk memory-chip mereka, para manajer tingkat menengah dengan kreatif mengajukan proposal untuk mengajukan pengembangan produk di bidang microprocessor.

Tiga Pertanyaan Dasar

Akan tetapi, jika terlalu banyak orang yang mengajukan strategi perusahaan, maka para pimpinan pasti akan kebingungan. Mereka akan kelabakan menanggapi berbagai saran, dan akhirnya tidak satupun yang dijalankan.

Kita perlu prinsip-prinsip kunci penentuan strategi sebelum mulai menerima saran dari banyak pihak. Itulah yang ingin saya ajukan disini.

Prinsip kuncinya, seperti sudah disinggung sebelumnya, adalah mengajukan pertanyaan yang tepat. Pertanyaan-pertanyaan yang kiranya harus dijawab oleh orang-orang yang memiliki akses strategis di dalam pembuat keputusan perusahaan.

Ada tiga pertanyaan kunci. Dengan mengajukan ketiga pertanyaan ini, para perumus strategi perusahaan akan dapat memulai dari titik yang jelas, sebelum menerima saran dari berbagai pihak.

Dasar filsafat dari pertimbangan ini adalah, bahwa perubahan-perubahan besar dan pemikiran-pemikiran besar di dalam sejarah selalu dimulai dengan pertanyaan. Pertanyaan yang difokuskan pada praktek-praktek sosial yang tengah berlaku pada masa tertentu, namun dirasa sudah tidak lagi memadai. Hal yang sama kiranya berlaku di dalam praktek perencanaan strategi perusahaan.

Area Bisnis

Pertanyaan pertama adalah, pada area apakah kita harus melakukan bisnis? Ini adalah pertanyaan yang paling mendasar.

Michael E. Porter, seorang professor di Harvard Business School, menulis buku berjudul Competitive Strategy. (Porter, 1980) Di dalam buku itu, ia berpendapat bahwa ada tiga prinsip dasar di dalam penentuan strategi perusahaan, yakni pola kepemimpinan, diferensiasi usaha, dan fokus utama bisnis perusahaan.

Tentu saja, buku itu ditulis pada 1980. Pada masa itu, bisnis masih relatif stabil. Batas antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain masih sangat jelas.

Pada masa sekarang, pasar sudah sedemikian dinamis. Para pemikir di bidang manajemen juga sudah menganjurkan, agar perusahaan berani mengambil langkah-langkah mengejutkan untuk mengembangkan bisnisnya.

Tidak hanya itu, filsafat politik kontemporer secara tegas menyatakan, bahwa pasar sudah menjadi kekuatan politik baru yang mampu mempengaruhi secara signifikan kebijakan-kebijakan pemerintah, dan kehidupan masyarakat sipil pada umumnya. Ekonomi tidak lagi hanya merupakan persoalan “ekonomi” belaka, tetapi sudah menjadi persoalan politik yang terkait dengan hajat hidup orang banyak.

Konsep kunci dari semua perubahan yang tidak terjadi adalah ketidakpastian pasar. Tidak ada lagi orang yang mengklaim mampu “membaca” pasar, karena pasar sudah menjadi sistem yang bersifat cukup diri, serta seolah terlepas dari pelaku-pelaku yang ada di dalamnya.

Dalam situasi itu muncullah slogan baru, “langgarlah tradisi”! Para konsultan bisnis seolah bersorak gembira memuja para “pembongkar tradisi” yang berani mengembangkan bisnisnya ke arah yang sama sekali lain dari sebelumnya.

David J. Morisson, dari Mercer Management Consulting, mengajak para pemimpin perusahaan untuk melihat melampaui bisnis utama mereka, dan menelusuri jaringan-jaringan yang terkait dengan bisnis tersebut, supaya perusahaan mereka bisa berkembang.

U-Haul, sebuah perusahaan transportasi di Amerika Serikat, berkembang bukan karena mereka menyewakan truk, yang memang merupakan bisnis utama mereka, tetapi juga memberikan pelayanan-pelayanan yang memungkinkan para pengguna jasa transportasi merasa nyaman memakai fasilitas mereka, seperti asuransi yang dapat diandalkan, pelayanan after-sale yang memuaskan, dan sebagainya.

Posisi Perusahaan

Pertanyaan kedua adalah, apakah posisi perusahaan di hadapan kemungkinan pasar yang sudah ditentukan tersebut? Jika pertanyaan pertama bersifat eksternal perusahaan, maka pertanyaan kedua lebih bersifat internal.

Pada titik ekstrem, refleksi yang bersifat internal tentang strategi perusahaan biasanya berbunyi begini, apa yang dimiliki oleh perusahaan itulah yang nantinya akan menentukan bisnis utama mereka. Pernyataan ini memang tepat, tetapi tidaklah cukup.

Federal Express, atau yang lebih banyak dikenal sebagai FedEx, memiliki bisnis utama, yakni mengirimkan barang ke hampir seluruh belahan dunia. Akan tetapi, perusahaan tersebut berkembang bukan karena bisnis utama mereka, tetapi karena FedEx memiliki pengetahuan yang mendalam dan teknologi yang canggih di bidang barcode, komunikasi nir-kabel, manajemen jaringan, dan program linear mereka.

Faktor-faktor pendukung inilah yang membuat FedEx memiliki status istimewa, jika dibandingkan dengan perusahaan lain yang bekerja di bidang yang sama. Tanpa ini, FedEx mungkin hanya satu perusahaan di antara banyak perusahaan lainnya, yang bergerak di bidang pengiriman barang.

John Kay, mantan direktur Said Business School, menyatakan dengan jelas, bahwa kompetensi di dalam bisnis utama tidaklah cukup untuk membuat sebuah perusahaan menjadi unggul. Sebuah perusahaan, menurutnya, haruslah meningkatkan seluruh performa kinerja mereka, terutama dalam bidang-bidang yang tidak bisa dikejar oleh para kompetitornya.

Perusahaan yang mengabaikan hal ini, dan tetap hanya berfokus pada bisnis utama mereka, tidak akan pernah mencapai keunggulan di dalam bisnis. Dalam hal ini bisa saja dikatakan, bahwa perusahaan itu sebenarnya sama sekali tidak memiliki strategi.

Kemampuan Perusahaan

Pertanyaan ketiga yang wajib ditanyakan adalah, apakah perusahaan memiliki kemampuan untuk melaksanakan posisi mereka? Apakah kemampuan yang mereka miliki sesuai dengan posisi yang mereka rumuskan?

Jawabannya tentu saja bernada positif. Kemampuan sebuah perusahaan haruslah pas dan setara dengan posisi yang mereka rumuskan.

Perusahaan sama sekali tidak perlu mempertahankan posisi mereka pada bidang-bidang yang nantinya tidak bisa mereka pertahankan. Memang, perusahaan perlu menjaga bisnis utama dan penunjangnya yang unik, tetapi perusahaan sama sekali tidak perlu mempertahankan area bisnis, yang mereka sadar betul, bahwa mereka tidak mampu menjalankannya.

Porter, salah satu penulis di Harvard Business Review, menyatakan dengan jelas, bahwa kapasitas kompetitif suatu perusahaan bukanlah terletak pada bisnis utama mereka, tetapi pada seluruh unit usaha mereka, baik utama maupun yang penunjang.

Unit usaha yang satu memperkuat unit usaha yang lain, dan begitu pula sebaliknya. Inilah yang membedakan suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Perusahaan lain tidak bisa mengikuti, karena perusahaan ini memiliki kompetensi pada area-area yang tidak bisa dimasuki oleh para kompetitornya.

Aristoteles pernah menyatakan, bahwa tujuan hidup setiap orang adalah mencapai eudaimonia. Eudaimonia sendiri sebenarnya dapatlah diartikan sebagai “kebahagiaan yang abadi”.

Eudaimonia sendiri hanya dapat dicapai, jika orang mampu mengenali dirinya, dan kemudian mampu mengembangkan potensi-potensinya semaksimal mungkin. Potensi-potensi itu bisa semakin berkembang, ketika orang bisa mengambil bagian di dalam kehidupan politik.

Perusahaan yang ideal juga merupakan perusahaan yang sadar betul akan potensi-potensi yang mereka miliki, serta kemudian berniat untuk mengembangkan potensi tersebut semaksimal mungkin. Potensi-potensi itu tidak hanya diarahkan untuk meraih keuntungan sebesar mungkin, tetapi juga untuk mengembangkan masyarakat di dalam kehidupan politik.

Kunci perumusan strategi perusahaan yang efektif adalah pengenalan diri. Seperti layaknya manusia yang bijaksana, yang mampu mengenali keseluruhan dirinya, baik kelebihan maupun kekurangannya, perusahaan yang baik adalah perusahaan yang sadar betul akan kemampuan maupun kelemahannya. Berdasarkan pengenalan itu pulalah strategi dan keputusan perusahaan dirumuskan.

Beberapa Kesimpulan

Jawaban atas ketiga pertanyaan di atas dapatlah membantu untuk merumuskan strategi perusahaan yang tepat. Pengandaian dasarnya adalah, bahwa paradigma tentang pembuatan strategi perusahaan yang berfokus pada otoritas pimpinan sudahlah ditinggalkan. Pengandaian ini yang seringkali memang problematis.

Sampai sekarang, banyak orang masih berpegang pada paradigma lama, yakni bahwa strategi perusahaan adalah urusan para pimpinan. Proses perumusan strategi perusahaan memiliki pola yang sama dengan militer, yakni urusan para jenderal.

Sampai 1996, Porter masih menulis, bahwa para pimpinanlah yang memiliki hak untuk menentukan apa yang terbaik bagi perkembangan perusahaan. Para manajer dan bawahan lainnya tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melakukan itu.

Akan tetapi, banyak ahli berpendapat, bahwa perencanaan bisnis adalah hal yang terlalu kompleks untuk dipegang oleh pimpinan saja. Tidak hanya itu, di dalam aktivitas sehari-harinya, tidak ada satupun perusahaan yang membuat rencana hanya berdasarkan pertimbangan para pimpinannya saja.

Manajer tingkat menengah mengajukan saran-saran kreatif untuk memajukan perusahaan. Para salesman menentukan sendiri pasar mana yang akan mereka tuju.

Professor Henry Mintzberg dari McGill University berpendapat, bahwa strategi perusahaan tidaklah muncul secara instan, melainkan dari proses perlahan-lahan, yakni dari tindakan-tindakan sederhana, saran-saran yang diberikan, dan aktivitas perusahaan yang berjalan sesuai dengan pola tertentu. Pola itulah yang disebut dengan strategi perusahaan!

Pada titik ini, strategi perusahaan tidaklah lagi dipahami sebagai suatu pembuatan keputusan yang berdasarkan pada data-data empiris yang ada, tetapi sebagai upaya untuk menciptakan kondisi perusahaan yang memungkinkan setiap karyawannya, dan pemilik tentunya, mampu mengembangkan imajinasi mereka, dan melakukan proses belajar dan eksperimen terus menerus. Contoh realnya adalah, bahwa perusahaan terbuka untuk mendengar dan menanggapi secara positif “suara-suara baru” yang sebenarnya ada dan terus berkembang.

Strategi perusahaan jugalah harus menjadi bagian dari kultur perusahaan. Kultur perusahaan sendiri dapat dimaknai sebagai praktek bisnis yang berlaku rutin dengan dasar pemikiran tertentu polanya.

Jika strategi yang dirumuskan tidaklah berakar pada kultur perusahaan, maka strategi tersebut tidak akan berjalan. Karyawan akan merasa asing dengan strategi tersebut.

Yang juga harus diperhatikan adalah, bahwa suatu strategi perusahaan bisa tidak lagi memadai hanya dalam waktu semalam, karena adanya perubahan signifikan di masyarakat, baik karena kondisi politik maupun sosial tertentu. Dalam hal ini, perusahaan tidak mempunyai pilihan, kecuali mereka harus terbiasa untuk merumuskan beberapa model strategi perusahaan sekaligus, walaupun masih dalam bentuk hipotesis-hipotesis saja.

Dasar pemikirannya adalah, bahwa realitas sekarang ini adalah realitas yang bersifat kontingen. Artinya, realitas itu bersifat tidak pasti, dan terbuka untuk berbagai kemungkinan yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Di hadapan realitas yang bersifat kontingen tersebut, strategi perusahaan yang dibuat juga haruslah bersifat kontingen. Artinya, strategi tersebut terbuka untuk perubahan terus menerus, tanpa pernah puas dengan satu posisi yang dianggap mapan.

Dan terakhir, inti dari semua perumuskan strategi perusahaan adalah, bahwa mereka berangkat dari keunikan yang dimiliki oleh perusahaan tersebut, yakni sesuatu yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain ataupun kompetitor. Setelah mengenali dan memahami keunikan yang dimiliki barulah sistem penunjang keunikan tersebut diperkuat.

Keunikan terkait dengan identitas, dan identitas terkait dengan keseluruhan jati diri manusia. Hal yang sama kiranya berlaku di dalam dunia bisnis.

Semakin suatu perusahaan menyadari dan memperkuat identitasnya, semakin perusahaan tersebut akan memiliki pasar yang setia. Tanpa identitas keunikan yang jelas, suatu perusahaan akan lenyap dilupakan oleh pasar.

Namun harus tetap disadari, bahwa identitas adalah sebuah proses. Jadi, identitas sebenarnya adalah selalu-mencari-identitas. Sama seperti proses pencarian identitas yang berjalan terus menerus, strategi perusahaan pun pada hakekatnya adalah sebuah proses.

Dan identitas serta strategi itu akan mati, jika prosesnya berhenti. Sama seperti manusia akan mati, jika dia berhenti mencari.***

Kota Orang Gila

Kota Orang Gila


Reza A.A Wattimena

Suara klakson kendaraan bermotor kini bagaikan paduan suara di Jakarta. Bedanya, suaranya tidaklah merdu.

Awalnya, klakson itu diciptakan untuk menginformasikan, bahwa saya akan mendahului anda di jalan dengan menggunakan kendaraan bermotor. Namun, fungsinya kini berubah. Klakson menjadi simbol agresivitas.

Daripada capek teriak memaki orang di jalan raya dengan kata-kata kotor, yang belum tentu juga terdengar, lebih baik saya menekan klakson sekeras dan sesering mungkin. Klakson adalah saluran kemarahan saya.

Terkadang menarik juga membuat penelitian untuk menjawab pertanyaan ini, siapakah sebenarnya yang hendak kita marahi, klaksonnya atau orang yang hendak kita klaksonkan, karena tampaknya yang kita pukul keras-keras adalah klakson di mobil ataupun motor kita?

Jika yang salah adalah pengendara lain, mengapa kita memukul klakson di mobil kita? Jangan-jangan, kita sudah menjadi orang gila. Perlahan tapi pasti, Jakarta sudah menjadi kota orang gila!

Manusia Berharga Murah

Jika anda jeli sedikit, anda tentunya menyadari, bahwa orang yang tinggal di Jakarta harganya murah. Orang bisa baku hantam sampai babak belur di jalan, hanya karena kendaraan mereka bersenggolan.

Manusia bisa dikorbankan untuk apapun, untuk efektivitas, ataupun untuk uang. Jika saya naik motor, pengendara lain menjadi tidak berarti buat saya. Jika mereka menantang, maka saya akan tantang balik, jika perlu bunuh-bunuhan! Itulah yang terjadi di Jakarta sehari-harinya.

Dalam kosa kata para teoritikus Marxis, manusia sudah dibendakan. Manusia dihilangkan status kemanusiaannya, dan diturunkan sampai ke level benda-benda mati.

Dalam pikiran saya, pengendara lain adalah benda mati. Kalau mereka menantang, saya hadapi. Kalo mereka menyulitkan, saya sikat habis.

Cara berpikir ini sederhana, yakni kita melihat orang sebagai barang. Akan tetapi, implikasi politisnya besar, mulai dari pemberian gaji karyawan, sampai sikap pemerintah terhadap warganya.

Jika manusia itu benda, yang tidak bisa merasa dan menderita, maka ia tidak perlu digaji besar-besar. Jika warga negara itu benda, maka ia tidak perlu dijamin kesejahteraannya.

Terkadang saya berpikir, pemerintah kita sebenarnya melihat kita lebih sebagai benda daripada sebagai warga. Benda yang diperlukan menjelang pemilu untuk didapatkan suaranya, dan ditelantarkan jika sudah habis dipakai.

Mungkin bukan Jakarta saja yang sudah menjadi kota orang gila, tetapi negara kita juga telah menjadi negara orang gila!

Kesenjangan sosial

Salah satu tanda sederhana kegilaan adalah impulsivitas. Wacana psikologi kontemporer sebenarnya banyak meneliti perihal impulsive buying, yakni sikap membeli barang-barang tanpa kontrol dan tanpa kebutuhan yang jelas.

Gejala ini sebenarnya juga dengan mudah ditemukan di Jakarta secara khusus, dan kota-kota besar di Indonesia secara umum. Setiap mobil mewah hasil pameran pasti laku terjual. Setiap film box office import dari luar negeri pasti tiketnya laku keras.

Mall berjejer dimana-mana. Pakaian rancangan designer yang harganya jutaan rupiah pun masih bisa terjual habis.

Ironisnya, keadaan tersebut berbarengan dengan meningkatnya jumlah pengemis yang berkeliaran di jalan-jalan besar Kota Jakarta. Mereka masih sibuk bergulat sehari-hari untuk mencari sesuap nasi.

Kesenjangan itu membuat pusing orang-orang yang melihatnya. Jaguar dan Mercedes seri terbaru berkeliaran berdampingan dengan para pengemis yang mengais-ngais rejeki sisa dari orang-orang berada.

Orang bisa gila hidup dan menyaksikan semua itu. Jika orang tenang-tenang saja melihat semua fenomena kesenjangan sosial ini, mungkin dia lebih gila daripada orang gila!

Kemiskinan Moril

Selain berakar pada kemiskinan material yang sudah begitu jelas di depan mata, kesenjangan sosial sebenarnya lebih berakar pada kemiskinan moral yang terjadi di bangsa kita. Kemiskinan moral yang terwujud dalam hampir tidak adanya solidaritas yang ditunjukkan sebagai sesama warga negara.

Mereka yang berpunya acuh tak acuh dengan mereka yang tidak berpunya. Tidak hanya tidak peduli, mereka bahkan saling menaruh ketidakpercayaan satu sama lain.

Mereka yang kaya takut hartanya dirampok oleh orang-orang miskin. Sementara, orang-orang miskin yakin, bahwa orang-orang kaya mendapatkan hartanya dengan cara yang tidak jujur.

Dalam situasi semacam itu, konsep negara dan konsep masyarakat tidak memiliki acuan empiris. Konsep-konsep tersebut kosong. Jangan-jangan, “Indonesia” dan “Jakarta” tinggal nama belaka, yang semangatnya tidak lagi dihidupi di dalam hati sanubari warganya.

Pada titik ini muncul paradoks, kita hidup bersama tetapi kita sendirian. Tepat itulah yang terjadi di Jakarta sekarang ini. Kota dengan jutaan penduduk, tetapi memiliki kasus bunuh diri akibat kesepian yang paling besar di Indonesia.

Kesepian yang begitu mencekik, sehingga begitu kuatnya mendorong orang untuk mengakhiri hidupnya. Jadi jika anda datang ke Jakarta, saya hanya bisa berkata: Selamat datang di Kota orang gila!

Peranan Filsafat bagi Perkembangan Ilmu Psikologi

Google Images

Peranan filsafat bagi

Perkembangan Ilmu Psikologi

Reza A.A Wattimena

Filsafat bisa menegaskan akar historis ilmu psikologi. Seperti kita tahu, psikologi, dan semua ilmu lainnya, merupakan pecahan dari filsafat. Di dalam filsafat, kita juga bisa menemukan refleksi-refleksi yang cukup mendalam tentang konsep jiwa dan perilaku manusia. Refleksi-refleksi semacam itu dapat ditemukan baik di dalam teks-teks kuno filsafat, maupun teks-teks filsafat modern. Dengan mempelajari ini, para psikolog akan semakin memahami akar historis dari ilmu mereka, serta pergulatan-pergulatan macam apa yang terjadi di dalamnya. Saya pernah menawarkan kuliah membaca teks-teks kuno Aristoteles dan Thomas Aquinas tentang konsep jiwa dan manusia. Menurut saya, teks-teks kuno tersebut menawarkan sudut pandang dan pemikiran baru yang berguna bagi perkembangan ilmu psikologi.

Secara khusus, filsafat bisa memberikan kerangka berpikir yang sistematis, logis, dan rasional bagi para psikolog, baik praktisi maupun akademisi. Dengan ilmu logika, yang merupakan salah satu cabang filsafat, para psikolog dibekali kerangka berpikir yang kiranya sangat berguna di dalam kerja-kerja mereka. Seluruh ilmu pengetahuan dibangun di atas dasar logika, dan begitu pula psikologi. Metode pendekatan serta penarikan kesimpulan seluruhnya didasarkan pada prinsip-prinsip logika. Dengan mempelajari logika secara sistematis, para psikolog bisa mulai mengembangkan ilmu psikologi secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam hal ini, logika klasik dan logika kontemporer dapat menjadi sumbangan cara berpikir yang besar bagi ilmu psikologi.

Filsafat juga memiliki cabang yang kiranya cukup penting bagi perkembangan ilmu psikologi,yakni etika. Yang dimaksud etika disini adalah ilmu tentang moral. Sementara, moral sendiri berarti segala sesuatu yang terkait dengan baik dan buruk. Di dalam praktek ilmiah, para ilmuwan membutuhkan etika sebagai panduan, sehingga penelitiannya tidak melanggar nilai-nilai moral dasar, seperti kebebasan dan hak-hak asasi manusia. Sebagai praktisi, seorang psikolog membutuhkan panduan etis di dalam kerja-kerja mereka. Panduan etis ini biasanya diterjemahkan dalam bentuk kode etik profesi psikologi. Etika, atau yang banyak dikenal sebagai filsafat moral, hendak memberikan konsep berpikir yang jelas dan sistematis bagi kode etik tersebut, sehingga bisa diterima secara masuk akal. Perkembangan ilmu, termasuk psikologi, haruslah bergerak sejalan dengan perkembangan kesadaran etis para ilmuwan dan praktisi. Jika tidak, ilmu akan menjadi penjajah manusia. Sesuatu yang tentunya tidak kita inginkan.

Salah satu cabang filsafat yang kiranya sangat mempengaruhi psikologi adalah eksistensialisme. Tokoh-tokohnya adalah Soren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, Viktor Frankl, Jean-Paul Sartre, dan Rollo May. Eksistensialisme sendiri adalah cabang filsafat yang merefleksikan manusia yang selalu bereksistensi di dalam hidupnya. Jadi, manusia dipandang sebagai individu yang terus menjadi, yang berproses mencari makna dan tujuan di dalam hidupnya. Eksistensialisme merefleksikan problem-problem manusia sebagai individu, seperti tentang makna, kecemasan, otentisitas, dan tujuan hidup. Dalam konteks psikologi, eksistensialisme mengental menjadi pendekatan psikologi eksistensial, atau yang banyak dikenal sebagai terapi eksistensial. Berbeda dengan behaviorisme, terapi eksistensial memandang manusia sebagai subyek yang memiliki kesadaran dan kebebasan. Jadi, terapinya pun disusun dengan berdasarkan pada pengandaian itu. Saya pernah memberikan kuliah psikologi eksistensial, dan menurut saya, temanya sangat relevan, supaya ilmu psikologi menjadi lebih manusiawi. Ini adalah pendekatan alternatif bagi psikologi klinis.

Dalam metode, filsafat bisa menyumbangkan metode fenomenologi sebagai alternatif pendekatan di dalam ilmu psikologi. Fenomenologi sendiri memang berkembang di dalam filsafat. Tokoh yang berpengaruh adalah Edmund Husserl, Martin Heidegger, Alfred Schultz, dan Jean-Paul Sartre. Ciri khas fenomenologi adalah pendekatannya yang mau secara radikal memahami hakekat dari realitas tanpa terjatuh pada asumsi-asumsi yang telah dimiliki terlebih dahulu oleh seorang ilmuwan. Fenomenologi ingin memahami benda sebagai mana adanya. Slogan fenomenologi adalah kembalilah kepada obyek itu sendiri. Semua asumsi ditunda terlebih dahulu, supaya obyek bisa tampil apa adanya kepada peneliti. Metode fenomenologi dapat dijadikan alternatif dari pendekatan kuantitatif, yang memang masih dominan di dalam dunia ilmu psikologi di Indonesia. Dengan menggunakan metode ini, penelitian psikologi akan menjadi semakin manusiawi, dan akan semakin mampu menangkap apa yang sesungguhnya terjadi di dalam realitas.

Filsafat juga bisa mengangkat asumsi-asumsi yang terdapat di dalam ilmu psikologi. Selain mengangkat asumsi, filsafat juga bisa berperan sebagai fungsi kritik terhadap asumsi tersebut. Kritik disini bukan diartikan sebagai suatu kritik menghancurkan, tetapi sebagai kritik konstruktif, supaya ilmu psikologi bisa berkembang ke arah yang lebih manusiawi, dan semakin mampu memahami realitas kehidupan manusia. Asumsi itu biasanya dibagi menjadi tiga, yakni asumsi antropologis, asumsi metafisis, dan asumsi epistemologis. Filsafat dapat menjadi pisau analisis yang mampu mengangkat sekaligus menjernihkan ketiga asumsi tersebut secara sistematis dan rasional. Fungsi kritik terhadap asumsi ini penting, supaya ilmu psikologi bisa tetap kritis terhadap dirinya sendiri, dan semakin berkembang ke arah yang lebih manusiawi.

Dalam konteks perkembangan psikologi sosial, filsafat juga bisa memberikan wacana maupun sudut pandang baru dalam bentuk refleksi teori-teori sosial kontemporer. Di dalam filsafat sosial, yang merupakan salah satu cabang filsafat, para filsuf diperkaya dengan berbagai cara memandang fenomena sosial-politik, seperti kekuasaan, massa, masyarakat, negara, legitimasi, hukum, ekonomi, maupun budaya. Dengan teori-teori yang membahas semua itu, filsafat sosial bisa memberikan sumbangan yang besar bagi perkembangan psikologi sosial, sekaligus sebagai bentuk dialog antar ilmu yang komprehensif.

Filsafat ilmu, sebagai salah satu cabang filsafat, juga bisa memberikan sumbangan besar bagi perkembangan ilmu psikologi. Filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang hendak merefleksikan konsep-konsep yang diandaikan begitu saja oleh para ilmuwan, seperti konsep metode, obyektivitas, penarikan kesimpulan, dan konsep standar kebenaran suatu pernyataan ilmiah. Hal ini penting, supaya ilmuwan dapat semakin kritis terhadap pola kegiatan ilmiahnya sendiri, dan mengembangkannya sesuai kebutuhan masyarakat. Psikolog sebagai seorang ilmuwan tentunya juga memerlukan kemampuan berpikir yang ditawarkan oleh filsafat ilmu ini. Tujuannya adalah, supaya para psikolog tetap sadar bahwa ilmu pada dasarnya tidak pernah bisa mencapai kepastian mutlak, melainkan hanya pada level probabilitas. Dengan begitu, para psikolog bisa menjadi ilmuwan yang rendah hati, yang sadar betul akan batas-batas ilmunya, dan terhindar dari sikap saintisme, yakni sikap memuja ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya sumber kebenaran.

Terakhir, filsafat bisa menawarkan cara berpikir yang radikal, sistematis, dan rasional terhadap ilmu psikologi, sehingga ilmu psikologi bisa menjelajah ke lahan-lahan yang tadinya belum tersentuh. Teori psikologi tradisional masih percaya, bahwa manusia bisa diperlakukan sebagai individu mutlak. Teori psikologi tradisional juga masih percaya, bahwa manusia bisa diperlakukan sebagai obyek. Dengan cara berpikir yang terdapat di dalam displin filsafat, ‘kepercayaan-kepercayaan’ teori psikologi tradisional tersebut bisa ditelaah kembali, sekaligus dicarikan kemungkinan-kemungkinan pendekatan baru yang lebih tepat. Salah satu contohnya adalah, bagaimana paradigma positivisme di dalam psikologi kini sudah mulai digugat, dan dicarikan alternatifnya yang lebih memadai, seperti teori aktivitas yang berbasis pada pemikiran Marxis, psikologi budaya yang menempatkan manusia di dalam konteks, dan teori-teori lainnya.***

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya


Seni Menunggu

SENI MENUNGGU


Reza A.A Wattimena

Orang berkata, bahwa malam tergelap hadir tepat sebelum fajar menyingsing. Sebelum matahari terbit, malam mencapai puncak kegelapannya.

Tepat hal yang sama kurang lebih terjadi di dalam hidup. Sebelum orang memperoleh sesuatu yang baik, ia biasanya harus ditempa dalam kesulitan dan tantangan hidup yang berlipat.

Tantangan hidup itu bisa bermacam-macam. Akan tetapi, tantangan hidup yang terbesar adalah tantangan yang menghalangi kita menggapi mimpi-mimpi kita, tantangan yang menjauhkan kita dari apa yang menjadi cita-cita utama hidup kita.

Sebelum mimpi yang manis bisa terwujud di dalam realitas, kita harus berjalan melewati api tantangan dan kesusahan. Justru api tantangan dan kesusahan itulah yang membuat semuanya menjadi begitu berarti, ketika kita berhasil mendapatkan apa yang kita inginkan.

Tantangan dan kesusahan juga bisa menghalangi kita dari sumber kebahagiaan yang sepantasnya kita miliki. Akan tetapi, tantangan dan kesusahan itulah yang juga nantinya akan membuatkan kebahagiaan kita semakin besar, ketika kita berhasil mendapatkannya.

Seni Menunggu

Yang diperlukan adalah sedikit kesabaran. Kesabaran yang diperoleh, ketika orang menguasai seni menunggu.

Ingatlah, hal-hal baik datang kepada mereka yang mau menunggu. Tanpa penantian yang panjang, kebahagiaan yang otentik tidak akan pernah tercapai.

Kemampuan orang untuk menunggu ditantang, ketika ia berada di dalam kesulitan. Kesulitan adalah batu ujian dari kemampuan kita untuk menunggu, untuk bersabar.

Di dalam buku berjudul Come be My Light, Mother Teresa diminta menunggu, sebelum ia menjalankan misinya untuk berkarya di antara orang miskin dan papa. Momen menunggu disini dianggap sebagai momen untuk mempertimbangkan, berdoa, berpuasa, supaya keputusan yang diambil sungguh-sungguh didasarkan pada niat yang benar, dan pikiran yang jernih.

Momen menunggu juga bisa dipandang sebagai proses pemurnian motivasi. Di dalam penantian, motivasi orang diuji di dalam waktu. Hanya motivasi yang tulus dan benarlah yang bisa lulus ujian tersebut.

Tidak heran, banyak tradisi budaya kuno meminta orang untuk bersemedi, berpuasa, dan berdoa sebelum ia menjalankan suatu misi yang dianggap mulia. Hal-hal besar hanya terjadi pada mereka yang siap untuk dengan sabar dan tabah menunggu.

Tuhan selalu Ada

“Janganlah takut. Aku selalu bersamamu. Percayalah padaKu dengan penuh cinta. Percayalah padaKu secara buta.” Begitulah kata Tuhan kepada Mother Teresa, ketika ia mengalami kegundahan.

Tuhan mendampingi orang, ketika ia sedang menempuh masa penantian yang berat dan lama. Yang diperlukan oleh orang itu adalah kepasrahan total kepada Tuhan. Ia harus yakin, bahwa semua akan baik pada akhirnya.

Di dalam masa penantian, orang tidak hanya diuji motivasinya, tetapi juga keseluruhan dirinya. Segala sesuatu yang ada padanya dipertaruhkan, dibenturkan, dan diolah di dalam kesulitan serta kepedihan.

Untuk melewati masa penantian ini, orang perlu untuk percaya. Kekuatan intelektual tidaklah cukup. Diperlukan kematangan emosi, intelektual, dan spiritual, supaya orang bisa melewati masa penantian yang berat ini dengan selamat.

Orang perlu percaya, bahwa semua ini dilakukan dengan niat baik dan pemikiran yang jernih. Terlebih, orang juga perlu percaya, bahwa ia akan selamat di dalam perjuangan sampai akhirnya nanti.

Tanpa kepercayaan semacam itu, hidup akan terasa hampa. Kepercayaan membuat orang bertahan di dalam kemalangan, karena ia yakin, bahwa ia tidak sendirian. Tuhan selalu berada di sampingnya.

Hidup tidak Absurd

Memang, kesulitan hidup seringkali datang bertubi-tubi. Ibaratnya, sudah jatuh kemudian tertimpa tangga. Banyak orang mengalami hal semacam ini.

Hal-hal negatif ini direfleksikan oleh seorang filsuf Perancis abad kedua puluh, Albert Camus. Ia sampai pada kesimpulan, bahwa hidup manusia ini absurd.

Hidup ini tidak memiliki alasan. Hidup juga tidak memiliki arah. Akan tetapi, manusia tidak boleh lari dari hidup yang absurd ini. Manusia harus menatap dan menghadapinya dengan jiwa besar. Manusia harus menghadapinya dengan kebahagiaan.

Apa yang dikatakan Camus memang memiliki kebenaran sendiri. Namun begitu, refleksi itu keluar dari mulut seseorang yang tidak memiliki kepercayaan, bahwa hidup ini bermakna.

Kesulitan hidup adalah tahap awal sebelum kita sampai pada kebahagiaan. Yang kita perlukan adalah rasa percaya, bahwa kesulitan ini bukanlah akhir, melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar.

Jika dilihat seperti ini, yakni dengan kaca mata kepercayaan, maka hidup tidaklah absurd. Hidup memiliki makna yang dalam. Hidup adalah penantian; penantian yang memerlukan perjuangan untuk menjalaninya.

Kita perlu yakin, bahwa di akhir penantian dan perjuangan ini, kita akan memperoleh kebahagiaan. Kebahagiaan yang justru semakin besar, ketika kita memperolehnya dengan kesusahan.

Hidup yang sempurna bukanlah hidup yang tanpa cacat, melainkan hidup yang justru sempurna di dalam segala cacatnya. Hidup yang tetap indah dan bermakna, walaupun darah dan keringat adalah taruhannya.***

Keberhasilan, Rasa Iri, dan Para Demagog

Keberhasilan, Rasa Iri, dan Para Demagog

Reza A.A Wattimena

Orang bilang, tujuan hidup adalah untuk memperoleh keberhasilan. Keberhasilan itu apa? Tentunya, pertanyaan itu hanya dapat dijawab secara individual.

Biasanya, orang mendefinisikan keberhasilan sebagai suatu momen, di mana semua yang dia inginkan dapat terwujud. Cita-cita dan impiannya kini telah menjadi kenyataan. Itulah keberhasilan.

Akan tetapi, orang sering lupa, bahwa keberhasilan itu memiliki dua muka. Setiap kali orang berhasil, dia mengundang satu musuh, yakni rasa iri dari orang lain. Dengan kata lain, keberhasilan selalu bergandengan dengan rasa iri.

Jika anda naik satu tahap di dalam hidup anda, maka anda turun satu tahap di dalam pandangan orang lain, karena pasti ada orang lain yang merasa iri. Artinya, jika anda berhasil, anda sekaligus untung dan sekaligus buntung. Anda mendapatkan dunia baru sekaligus kehilangan beberapa teman yang pernah anda miliki sebelumnya.

Keberhasilan yang terlalu cepat

Mungkin salah satu sebab dari hal ini adalah, tentang keberhasilan yang terlalu cepat. Tampaknya, keberhasilan itu haruslah diperoleh secara perlahan, supaya jika gagal di tengah jalan, keruntuhan yang terjadi tidaklah terlalu besar.

Keberhasilan tidak pernah boleh diperoleh dengan cara instan. Keberhasilan itu diperoleh dengan proses panjang dan menyakitkan. Itulah keberhasilan yang otentik.

Jika keberhasilan diperoleh dengan cara instan, maka keberhasilan itu tidak akan bertahan lama. Ia adalah keberhasilan yang semu. Dan segala sesuatu yang semu biasanya lebih banyak mengundang kejahatan daripada kebaikan.

Bangsa kita pernah hidup di dalam keberhasilan semu semacam itu. Selama dua dekade lebih, kita ditipu dengan keberhasilan ekonomi yang semu.

Pada waktu itu, kita merasa bahwa kita adalah bangsa yang berkembang pesat dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Padahal, itu semua semu.

Banyak dari pertumbuhan tersebut berasal dari hutang dan bantuan asing, yang kemudian dikorupsi untuk kepentingan beberapa pihak tertentu.

Hal ini kembali menegaskan argumen saya, bahwa keberhasilan tidak pernah bisa diperoleh secara instan. Keberhasilan harus diraih setahap demi setahap, yang tentunya membutuhkan usaha yang luar biasa besar. Hanya dengan begitulah keberhasilan bisa dirasakan manfaatnya.

Politik dan Para Demagog

Mengapa orang merasa iri, ketika ada orang lain yang berhasil? Jawabannya terletak pada fakta kehidupan, bahwa semua hal adalah politik. Yang berarti, segala hal terkait dengan kehidupan bersama, termasuk yang paling personal sekalipun.

Kita menghirup politik ke dalam pikiran kita. Politik itu bisa berupa prasangka, dendam, gosip, anggapan, dan sebagainya. Politik ada di sekitar kita, mempengaruhi cara pandang kita terhadap realitas, dan cara pandang kita terhadap diri kita sendiri.

Politik bisa mengaburkan pandangan kita, dan bisa juga memberikan analisis yang jernih terhadap apa yang sesungguhnya terjadi. Namun, untuk membedakannya, kita memerlukan hati nurani yang jernih.

Rasa iri muncul dari politik kotor yang ditujukan untuk menghancurkan nama baik orang lain. Rasa iri muncul, karena orang tidak mampu melihat orang lain berhasil.

Orang yang iri adalah ekses dari keberhasilan orang lain. Kiranya pepatah lama benar, bahwa iri merupakan tanda ketidakmampuan.

Politik kotor yang hendak menghancurkan orang lain adalah buah dari rasa iri. Di dalam filsafat politik inilah yang disebut sebagai demagog, yakni orang yang menggunakan kendaraan demokrasi untuk menyebarkan kebencian, kebohongan, serta kejahatan di dalam orasi-orasinya.

Saat ini, bangsa kita memiliki banyak demagog. Mereka menyebarkan kebencian, kebohongan, kejahatan, rasa iri, dan dendam kepada semua orang. Akibatnya, suasana kehidupan bersama menjadi tidak harmonis. Kepercayaan yang mengikat masyarakat pun hilang.

Biasanya, para demagog tidak secara gamblang menyatakan kebencian mereka. Mereka menggunakan topeng-topeng yang luhur untuk menyembunyikan maksud mereka sesungguhnya.

Topeng itu bisa agama, kehendak Tuhan, nilai-nilai moral, dan sebagainya. Biasanya, semua itu digunakan untuk menutupi maksud jahat mereka yang sebenarnya. Maksud jahat yang dilumuri rasa iri dan politik kotor untuk menghancurkan orang lain.

Verifikasi dan Hati Nurani

Apakah rasa iri dan sepak terjang para demagog ini bisa dilawan? Ya, kita bisa melawan para demagog. Caranya adalah dengan pertama-tama kritis terhadap cara berpikir kita sendiri.

Para pemikir positivisme logis lingkaran Wina yang berkembang di awal abad kedua puluh memberikan cara berpikir yang berharga. Bagi mereka, standar kebenaran dari sebuah pernyataan adalah verifikasi.

Artinya, suatu pernyataan bisa disebut benar, jika pernyataan tersebut bisa dilihat buktinya di dalam kenyataan. Jika suatu pernyataan tidak bisa dibuktikan di dalam realitas secara inderawi, maka pernyataan tersebut salah.

Dalam konteks memerangi para demagog yang menyebarkan kebencian, rasa iri, serta menerapkan politik kotor, cara berpikir ini sebenarnya bisa digunakan. Kita tidak boleh percaya begitu saja pada pernyataan apapun, jika pernyataan itu tidak bisa diverifikasi.

Kita harus mengecek ulang semua kepercayaan yang kita punya tentang orang lain, supaya pernyataan tersebut sungguh benar, dan bukan pernyataan yang didasarkan pada kebohongan dan rasa iri belaka.

Pada akhirnya, hati nuranilah yang menjadi hakim atas semuanya. Terkadang, kita perlu menutup telinga dari dunia, dan mendengarkan hati kita sendiri. Hanya dengan begitulah kita bisa sungguh lepas dari rasa iri dan politik kotor yang disebarkan oleh para demagog untuk meracuni dunia.

F.Nietzsche


” In order to grow strong, you must first

learn to sink deep into nothingness, but

learn to face your loneliest loneliness”

F. Nietzsche dalam When Nietzsche Wept

Kebenaran yang Tersembunyi

Kebenaran yang Tersembunyi

Reza A.A Wattimena

Apa yang lebih romantik dari berbicara tentang kebenaran? Apakah cinta lebih romantik daripada kebenaran? Tanpa kebenaran, cinta adalah penjajahan. Cinta pun butuh setetes kebenaran.

Proses pencarian akan kebenaran sudah setua sejarah manusia itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan para filsuf awal tentang realitas menunjukkan adanya usaha untuk memahami dunia di luar diri.

Manusia kagum, dan bertanya tentang realitas di hadapannya. Manusia kagum akan kerumitan sekaligus keindahan tatanan semesta. Di depan matanya, alam semesta menggambarkan keagungan sang Pencipta.

Jatuh Bangun Sains

Rasa kagum, heran, dan hormat terhadap tatanan semesta tersebut mengental di dalam praktek ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menjadi bentuk konkret dari upaya dasar manusia menemukan kebenaran.

Disinilah salah satu titik balik terpenting di dalam sejarah manusia, ketika Mitos menjadi Logos. Ketika cara berpikir manusia berubah dari cara berpikir mitologis menjadi cara berpikir rasional, yang disebut sebagai Logos.

Praktek Logos tersebut tergambarkan di dalam empat kegiatan dasar sains, yakni memahami, menjelaskan, melakukan prediksi, dan kontrol atas realitas. Akan tetapi, sejarah tidak berjalan semulus apa yang tertulis di atas kertas.

Cukup lama, peradaban manusia dikungkung oleh otoritas. Kebebasan berpikir dan inovasi pun hanya harapan yang mengambang tanpa realitas.

Pada saat itu, manusia dipenjara oleh otoritas di luar dirinya. Politik dan agama membuat ilmu pengetahuan membisu tanpa mampu berbicara.

Akibatnya, banyak hal menjadi tidak terjelaskan secara masuk akal. Penyakit dan bencana dipandang sebagai murka Sang Pencipta yang tidak rasional. Dunia menjadi tidak masuk akal.

Positivisme

Lahirlah Francis Bacon yang mencoba menyelamatkan ilmu pengetahuan dari penjajahan. Dia melihat bahwa pengetahuan manusia haruslah berpijak pada pengalaman. Hanya dengan begitulah manusia bisa mencapai kebenaran. Tidak ada pengetahuan tanpa pengalaman. Tidak ada kebenaran tanpa pengetahuan.

Auguste Comte meradikalkan ide Bacon dengan positivismenya. Realitas yang layak kaji adalah realitas positif yang teramati oleh indera. Selain itu, semuanya adalah metafisika yang sia-sia.

Positivisme melesat di dalam kajian ilmu-ilmu alam. Banyak hal ditemukan di dalam alam yang berguna untuk meningkatkan kualitas kehidupan.

Para ilmuwan sosial menyaksikan kemajuan itu dengan perasaan gamang. Mereka pun berniat menggunakan metode ilmu-ilmu alam sebagai acuan.

Akibatnya, kehidupan manusia, yang menjadi kajian dari ilmu-ilmu sosial, disempitkan melulu pada apa yang teramati oleh indera. Kehidupan manusia melulu dipahami sebagai fakta.

Padahal, manusia juga punya nilai yang membuat hidupnya bermakna. Nilai yang tidak kasat mata, namun merupakan inti hidupnya. Inilah yang tidak dipahami oleh positivisme di dalam penelitiannya.

Yang ironis, praktek positivistik tersebut menjadi mode di dalam ilmu-ilmu sosial. Psikologi, sosiologi, dan ekonomi memakai pendekatan itu sebagai titik tolak analisis dunia sosial. Kehidupan manusia pun dipersempit sebagai obyek inderawi yang banal.

Sains yang hendak membebaskan dirinya dari pasungan otoritas, kini jatuh ke dalam pasungan baru yang dibuatnya sendiri. Sains menjadi mekanis, dan kehilangan kemampuan untuk kritik diri.

Manusia pun dianggap sebagai mahluk yang sepenuhnya terdefinisi. Kebenaran pun tetap tak bergeming dan tersembunyi.

Perlu Alternatif

Padahal, seperti halnya semua mahluk insani, manusia berziarah di dalam dunia mencari arti. Pencarian yang dilakukannya tanpa henti.

Dengan kesadaran itulah sebuah alternatif cara pandang penting untuk dirumuskan. Alternatif paradigma saintifik yang tidak lagi memandang manusia sebagai benda stagnan, tetapi sebagai proyek yang masih harus diselesaikan.

Di dalam paradigma alternatif ini, kebenaran dianggap tertanam di dalam realitas kehidupan. Kehidupan pun dipandang sebagai jaringan makna yang majemuk dan berkelit kelindan.

Walaupun majemuk dan membentuk jaringan yang rumit, realitas tetap dipandang sebagai satu kesatuan. Di dalam kesatuan dari kemajemukan itulah ditemukan kebenaran.

Di dalam paradigma ini, manusia bukanlah obyek yang sudah terdefinisi, melainkan subyek yang punya kehendak bebas. Ia sadar akan dirinya sendiri, sekaligus sudah berpijak realitas. Tanpa realitas, ia tidak menjadi bebas.

Manusia mengetahui, dan dengan pengetahuan itulah ia menjadi bebas. Pengetahuan adalah artifak kehidupan yang membuat hidup manusia menjadi lebih berkualitas.

Kualitas kehidupan manusia ditentukan oleh kemanusiaannya. Diperlukan paradigma alternatif yang menjamin kemanusiaan tetap menjadi yang utama.

Bukan obyek pengetahuan yang penting, melainkan krisis kemanusiaan yang perlu diselesaikan. Krisis kemanusiaan yang juga merupakan krisis keterlibatan manusia di dalam perkembangan dunia kehidupan.

Ilmu pengetahuan yang ada sekarang ini telah membuat manusia terasing dan membisu. Alih-alih memupuk kekaguman dan rasa hormat terhadap realitas, ilmu pengetahuan malah membuat manusia terperangkap di dalam jaring-jaring rasa ragu dan jemu.

Diperlukan paradigma alternatif di dalam ilmu pengetahuan yang menyadari dan menghormati kerumitan realitas dan diri. Siapa tahu dengan itu, kebenaran tidak lagi tersembunyi.***

Berani Untuk Hidup Benar

Berani Untuk Hidup Benar

Reza A.A Wattimena


Menjadi orang benar tidak selalu beruntung. Seringkali, orang justru jadi buntung.

Orang baik tidak selalu mendapatkan kebaikan dari dunianya. Sama seperti, orang jahat tidak akan selalu mendapatkan kejahatan sebagai imbalannya.

Orang jujur tidak otomatis akan selamat. Sebaliknya, orang tidak jujur tidak otomatis mendapatkan jahat.

Akan tetapi, orang baik juga tidak otomatis mendapatkan jahat, sama seperti orang jahat tidak otomatis mendapatkan baik. Ada ketidakpastian yang membuat kita selalu merasa tercekik.

Di tengah orang jahat, beranikah kita menjadi orang baik? Beranikah kita berkata benar, ketika semua orang memaksa kita untuk mengatakan yang terbalik?

Penelitian Solomon Asch

Solomon Asch ingin menjawab pertanyaan itu. Ia pun melakukan penelitian untuk mendapatkan jawaban jitu.

Pertanyaan penelitiannya sederhana, apakah orang di dalam kelompok berani menyatakan pendapatnya yang obyektif benar, jika semua orang lainnya memberikan jawaban yang salah? Apakah orang berani menyatakan pendapatnya yang benar, di tengah orang-orang yang sengaja salah, dengan tidak resah?

Apa yang terjadi setelahnya? Berdasarkan penelitiannya, Asch menemukan bahwa sekitar 37 persen orang memberikan jawaban yang salah, sama seperti anggota kelompok lainnya.

Artinya, kata kelompok bisa memaksa orang untuk meragukan pendapatnya sendiri. Walaupun ia tahu bahwa pendapat kelompok tidak benar, orang bisa melakukan penyesuaian, mungkin juga dengan mengkhianati diri.

Mengapa ini terjadi? Jawabannya sederhana, orang takut dianggap pengkhianat. Ia takut dicap sebagai pemberontak yang laknat.

Akibatnya, orang kehilangan pendapat orisinalnya. Kata kelompok mendikte kata hatinya. Orang takut berkata benar, karena keselamatan diri menjadi taruhannya.

Di level politik, cara berpikir semacam ini memberi dampak yang besar. Orang bisa dicap macam-macam, mulai sebagai individu yang tidak bisa bekerja sama, sampai dicap sebagai pembangkang yang bermulut kasar.

Kebenaran dan Kesepakatan

Ada kesimpulan prematur dari penelitian ini, bahwa kebenaran adalah apa yang dianggap suatu kelompok sebagai benar. Kebenaran adalah apa yang disepakati kelompok sebagai kebenaran, tidak peduli, apakah itu bernalar atau tidak bernalar.

Jika anda berkata benar di tengah orang-orang yang berkata salah, maka andalah yang berkata salah. Jika anda orang waras di antara orang-orang gila, maka andalah yang bermasalah.

Cara pandang semacam ini berbahaya. Kita harus sadar, bahwa kebenaran itu lebih luas dari pada yang keluar dari kesepakatan dalam bentuk wacana.

Jika kita masih percaya, bahwa kebenaran itu berada di dalam kelompok, maka kita tidak sadar akan adanya pengaruh kekuasaan. Percaya apa kata kelompok begitu saja berarti kita menyerahkan kebebasan kita pada kebodohan.

Filsafat Ilmu

Di dalam penelitian filsafat ilmu, ada dua bentuk penemuan pengetahuan, yakni konteks penemuan, dan konteks justifikasi, atau konteks pembenaran. Yang pertama adalah temuan sang ilmuwan di lapangan, dan yang kedua adalah pembuktian di depan kalangan berpengalaman.

Mungkin saja terjadi, bahwa ketika di lapangan, seseorang menemukan data atau penjelasan baru, namun bermasalah ketika dihadapkan pada komunitas berpengalaman. Artinya, saya menemukan sesuatu, tetapi temuan saya tersebut ternyata tidak terbuktikan.

Ini adalah proses yang berkelanjutan di dalam ilmu pengetahuan. Tentu saja, kekuasaan dan arogansi intelektual seringkali ambil bagian. Orang tidak diterima di kalangan komunitas ilmiah bukan karena ia tidak mampu, tetapi karena sebab lain yang mungkin menyinggung rasa keadilan.

Jadi, kebenaran selalu lebih luas daripada kesepakatan atasnya. Kebenaran selalu meloloskan diri dari dunia sosial, sama seperti makna selalu meloloskan diri dari bahasa.

Kebenaran bersifat subyektif

Soren Kierkegaard, seorang filsuf Denmark, mengajarkan sesuatu kepada kita. Baginya, kebenaran selalu terletak di dalam diri, dan bukan di luar sana.

Tentu saja, ada tingkatan kebenaran. Pada level politis, kebenaran selalu mengandaikan adanya kumpulan orang yang mencapai kesepakatan. Akan tetapi, pada level yang paling luhur, kebenaran selalu merupakan keyakinan individu akan kehidupan.

Pada level yang paling dalam di dalam hidup manusia, kebenaran bersifat subyektif yang diyakini seseorang atas hidupnya. Ia melampaui kategori baik dan buruk, sosial maupun individual, dan mencapai level level terdalam eksistensi manusia.

Orang beragama menyebutnya sebagai iman, sementara para pemikir eksistensial akan menyebutkan sebagai kebenaran yang otentik: kebenaran yang berlaku untukku. Kebenaran otentik inilah yang pada akhirnya akan membebaskan manusia dari belenggu.

Mempertahankan eksistensi

Setiap orang perlu kepribadian. Kepribadian itulah yang mencirikan dia sebagai manusia di dalam kehidupan.

Seringkali, kepribadian itu lenyap ditelan wacana. Wacana yang dibentuk oleh manusia dan seringkali sekaligus mendikte dirinya.

Dalam situasi itu, setiap orang perlu menegaskan dirinya. Ia perlu menyatakan, bahwa inilah yang kuyakini sebagai kebenaran, dan bukan yang lainnya.

Orang perlu hening dari apa kata kelompok, dan mendengarkan hatinya. Orang perlu hening dari apa kata dunia sosial, dan melihat jauh ke dalam dirinya.

Hanya disitulah orang bisa sampai pada kebenaran. Kebenaran yang hanya perlu satu hal untuk untuk mewujudkannya: yakni keberanian.***

Paradoks Pengangguran

Paradoks Pengangguran

Reza A.A Wattimena

Salah satu masalah pokok yang dihadapi oleh banyak negara sekarang ini adalah masalah pengangguran. Jumlah penduduk yang siap kerja jauh melampaui kesempatan kerja yang tersedia. Akibatnya, banyak orang yang tidak bekerja. Mereka menjadi pengangguran.

Biasanya, pengangguran tidak pernah dilihat sebagai masalah pada dirinya sendiri. Pengangguran dianggap sebagai suatu masalah, karena hal ini akan menciptakan masalah-masalah lainnya, seperti kemiskinan, meningkatnya kriminalitas, dan sebagainya. Dengan kata lain, pengangguran tidak pernah dilihat sebagai problem pada dirinya sendiri.

Pada dirinya sendiri, pengangguran sebenarnya adalah sebuah paradoks: orang tidak bekerja, tetapi pikirannya dipenuhi dengan pekerjaan, tepatnya keinginan untuk mendapatkan pekerjaan. Olah fisik dan mental untuk mendapatkan pekerjaan sebenarnya adalah sebuah pekerjaan juga.

Pernyataan common sense: pengacara (pengangguran banyak acara) menunjukkan secara persis sisi paradoks dari pengangguran. Di dalam waktu luang seorang pengangguran, pikirannya dipenuhi dengan pekerjaan.

Sebaliknya, di dalam kesibukan bekerja, pikirannya dibuat rileks oleh rutinitas dan dateline, yang membuat ia selalu merasa aktif, berguna, dan dijauhkan dari pikiran-pikiran krisis, seperti kecenderungan bunuh diri, kecemasan eksistensial, krisis self image, dan kebosanan.

Krisis Self-Image

Pada dirinya sendiri, pengangguran adalah suatu momen krisis, yakni ketika situasi yang lama (bekerja) sudah berakhir, tetapi situasi yang baru (bekerja di tempat lain) belum juga muncul. Inilah yang disebut Thomas Kuhn sebagai krisis paradigma, yakni ketika paradigma yang lama sudah berlalu, namun paradigma yang baru belum juga bertumbuh.

Momen krisis ini berada di beberapa level, seperti level ekonomi (orang penggangguran biasanya hidup dari pesangon yang tidak seberapa besar), level sosial (status pekerjaan yang tidak jelas membuatnya terancam di dalam lingkungan sosial), dan level eksistensial (krisis persepsi diri: orang menjadi bingung, siapa dia sebenarnya)

Level pertama dan level kedua, yakni level sosial dan ekonomi, adalah akibat sampingan dari pengangguran. Akan tetapi, pengangguran pada dirinya sendiri sebenarnya bukanlah soal sosial ataupun ekonomi, tetapi soal eksistensial: soal keberadaan manusia mengarungi hidupnya di dalam dunia yang fana ini.

Krisis yang utama, ketika orang memasuki status sebagai pengangguran adalah krisis akan self-image, yakni krisis identitas. Krisis ini terkait dengan pertanyaan yang sederhana namun sulit dijawab, siapa saya?

Ketika orang bekerja sebagai montir, pada waktu malam sebelum ia tidur, ia akan mampu menjawab pertanyaan itu dengan tegas: saya montir. Ketika orang bekerja sebagai guru, ia akan menjawab pertanyaan tersebut: saya guru. Namun, apa yang akan dijawab seseorang, ketika ia pengangguran?

Tentu saja, ia bisa menjawab dengan mengajukan identitas lainnya, seperti saya orang Jawa, saya seorang ayah, tetapi jawaban itu pun tidak pernah memuaskan. Selalu saja ada yang tidak cukup.

Mengapa kerja menjadi begitu penting? Apakah itu soal uang? Mungkin jawabannya ya. Akan tetapi, saya yakin, kerja itu bukan hanya soal uang, tetapi soal kepuasan yang mencakup pula soal kepercayaan, pengakuan, dan kebanggaan.

Hegel dan Kerja

G.W.F Hegel, seorang filsuf Jerman, pernah menyatakan, bahwa kerja membuat manusia mengaktualisasikan dirinya ke level yang paling maksimal. Melalui kerjalah manusia menemukan keutuhan dirinya.

Dengan bekerja, manusia merasa bahagia. Dengan bekerja, tidak hanya kebutuhan ekonomi dan sosialnyalah yang terpenuhi, tetapi kebutuhan eksistensialnya. Ia bisa tidur dengan tenang, setelah menjawab pertanyaan, siapa saya?…

Hegel bisa dibilang terlalu romantis. Ia hidup pada masa, di mana orang bisa merasakan hasil kerjanya langsung. Artinya, setiap orang adalah pemilik modal yang bisa melihat bagaimana modalnya berkembang. Tidak ada yang menjadi buruh.

Seorang pelukis melukis, dan kemudian melihat hasil karyanya. Hasil karyanya dibeli oleh orang lain, dan uang hasil penjualan tersebut dipakainya untuk bertahan hidup.

Seorang petani bisa melihat bagaimana pertaniannya panen. Ia lalu menjual hasil panenannya. Uang hasil penjualan lalu digunakan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya.

Jadi, setiap orang puas. Ia bekerja, melihat hasil kerjanya, dan menikmati hasil kerjanya tersebut. Akan tetapi, apakah keadaan sekarang masih seperti itu?

Kerja dan Keterasingan

Apa yang dikatakan oleh Hegel dibantah oleh Marx. Menurut Marx, di dalam masyarakat kapitalis, kerja bukanlah tanda aktualisasi diri, tetapi tanda keterasingan manusia.

Manusia menjadi terasing, karena ia tidak pernah menikmati hasil kerjanya sendiri. Ia bekerja untuk orang lain. Ia bekerja keras, tetapi orang lainlah yang kaya. Orang lain itu adalah pemilik modal.

Orang jadi tidak mengenali dirinya sendiri, yang tercermin di dalam hasil kerjanya, karena hasil kerjanya langsung menjadi milik orang lain.

Saya bekerja di pertanian orang lain. Ketika panen, panen tersebut bukan milik saya, tetapi milik bos saya, yakni si pemilik pertanian yang tidak pernah bekerja sehari-harinya.

Saya tidak mengenali hasil kerja saya, karena hasil kerja saya langsung diambil oleh bos saya. Saya mendapatkan uang dari kerja saya, tetapi uang itu pun bukan hasil dari kerja saya langsung, melainkan gaji dari bos saya.

Kondisi semacam inilah yang menciptakan keterasingan bagi para pekerja. Mereka tidak mengenali diri mereka lagi, sama seperti mereka tidak lagi mengenali hasil kerja mereka. Kerja pun menjadi sumber ketidakbahagiaan dan kecemasan hidup.

Disini, kita menemukan dilema kerja: ketika bekerja orang merasa tidak bahagia, karena ia merasa terasing. Ketika ia menganggur, ia menjadi tidak bahagia, karena ia mengalami krisis eksistensial.

Jadinya, orang dihadapkan pada buah simalakama: maju nyebur ke lautan api, mundur jatuh ke jurang. Pilih mana?

Being-Having

Keadaan semakin mencekam, ketika di dalam masyarakat modern kapitalis sekarang ini, orang menyamakan begitu saja hakekat manusia dengan kepunyaannya. Dalam kosa kata filsuf Perancis Gabriel Marcell, being seseorang disamakan dengan having-nya.

Saya adalah apa yang saya punya, itulah pandangan yang dianut banyak orang sekarang ini. Jika saya punya rumah, mobil, dan tabungan, maka itulah saya: sang pemilik rumah, pemilik mobil, dan pemilik tabungan. Tidak kurang dan tidak lebih.

Cara berpikir semacam ini tidak hanya berada di level orang yang satu memandang orang lainnya, tetapi juga cara kita memandang diri kita sendiri. Kita merasa tidak berguna, ketika kita tidak punya rumah, mobil, dan tabungan. Tanpa rumah, mobil, dan tabungan, saya bukanlah manusia.

Cara berpikir semacam inilah yang merusak, yang juga membuat situasi para pengangguran menjadi lebih menyakitkan. Di satu sisi, ia kehilangan konsep tentang dirinya sendiri. Di sisi lain, ia merasa tidak berguna, karena hampir semua miliknya terancam hilang.

Jadi, pengangguran pada dirinya sendiri bukanlah sebuah masalah sosial, tetapi sebuah masalah eksistensial yang terkait erat dengan keberadaan (eksistensi) seseorang. Tidak heran, banyak orang bunuh diri, karena menjadi pengangguran.

Kecemasan Eksistensial

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kecemasan eksistensial? Apa bedanya dengan kecemasan-kecemasan lainnya, yang tidak eksistensial?

Jika anda khawatir anak anda belum pulang, padahal hari sudah malam, itu bukanlah kecemasan eksistensial. Ketika anda hendak bepergian dan cuaca mendung, dan anda takut akan kehujanan, itu juga bukanlah kecemasan eksistensial.

Kecemasan berbeda dengan ketakutan. Obyek dari ketakutan jelas: takut pada anjing, takut pada kegelapan, dan sebagainya. Sementara, obyek dari kecemasan itu abstrak. Orang cemas, karena ia takut pada apa yang akan terjadi di depan. Padahal, tidak ada orang yang bisa meramal masa depan.

Kecemasan eksistensial juga sama, yakni obyeknya abstrak, yakni tentang keberadaan manusia itu sendiri. Orang mengalami kecemasan eksistensial, jika ia mempertanyakan segala sesuatu yang ia yakini sebelumnya di dalam hidupnya secara radikal. Biasanya, momen kecemasan eksistensial terjadi, ketika kita sedang mengalami krisis.

Misalnya, anda tidak jadi menikah, karena calon istri anda selingkuh. Akibat peristiwa yang menyakitkan ini, anda jadi bertanya: apakah saya ditakdirkan untuk menikah? Apakah ada wanita yang bisa sungguh memahami saya?

Ketika anda di PHK secara tidak adil, anda akan bertanya? Bisakah saya hidup setelah ini? Apakah saya masih punya kesempatan untuk bekerja di tempat lain? Bagaimana dengan masa depan istri dan anak-anak saya?

Itulah kecemasan eksistensial. Kecemasan yang terkait erat dengan seluruh keberadaan manusia. Inilah kecemasan paling parah yang diderita oleh banyak orang pengangguran.

Martin Heidegger, seorang filsuf Jerman, pernah menulis, bahwa kecemasan eksistensial memiliki dampak positif. Dengan mengalami kecemasan eksistensial, orang menjadi terbuka terhadap realitas. Ia terbuka pada “Ada“.

Dengan mengalami kecemasan eksistensial, orang menjadi bercermin, dan melihat dirinya sendiri. Ia berhenti menjadi bagian dari masyarakat, dan menjadi otentik secara individual.

Tentu saja, tidak sembarang orang bisa melakukan ini. Banyak orang yang hancur secara emosional, ketika ia mengalami kecemasan eksistensial.

Dibutuhkan suatu pandangan yang jernih dan hati yang tegar untuk mencari sisi positif dari kecemasan eksistensial. Dan memang, tidak semua orang memiliki kemampuan seperti itu.

Belajar Hidup

Lalu bagaimana? Jika masalah utama dari orang pengangguran adalah masalah eksistensial, maka solusi utamanya juga harus berada di level eksistensial.

Tentu saja, kita harus memperjuangkan berdirinya sebuah sistem, yang sungguh menghargai martabat manusia, apapun status sosialnya di dalam masyarakat. Kita juga harus memperjuangkan berdirinya sebuah sistem, yang tidak begitu mudah merendahkan manusia di dalam pekerjaannya, seperti PHK misalnya.

Akan tetapi, itu semua masih jauh dari realitas di Indonesia. Bangsa kita belum bisa berpikir dan bertindak ke arah itu.

Richard Rorty, seorang filsuf Amerika, memberikan kita beberapa saran. Bagi dia, kehidupan manusia ditandai dengan satu hal, yakni kontingensi.

Artinya, kehidupan manusia itu tidak pernah pasti. Segala sesuatu berubah, dan perubahan itu tidak memiliki arah yang jelas.

Jika hakekat dari kehidupan adalah kontingensi, maka kita pun harus menyingkapi kehidupan ini dengan sikap yang kontingen pula. Jika hidup ini penuh dengan ketidakpastian, maka kita harus menyingkapinya juga dengan ketidakpastian.

Jika dipadatkan, argumen itu akan berbunyi seperti ini: belajarlah untuk hidup di dalam tegangan ketidakpastian, karena memang hakekat dari hidup ini adalah ketidakpastian! Belajarlah untuk selalu hidup di dalam suasana naik-turun, karena hidup ini memang naik-turun.

Dengan lincah bermain di antara ketidakpastian, kita akan menjadi terbuka pada realitas. Kita tidak lagi terikat pada apa yang kita punya, tetapi menjadi dinamis dan kontingen, sama seperti realitas itu sendiri.

Dengan menjadi terbuka pada ketidakpastian realitas, kita bisa melampaui paradoks pengangguran. Dengan terbuka pada realitas, siapa tahu, kita akhirnya bisa merasa bahagia.***

Bangsa Pengumbar Hasrat

Bangsa Pengumbar Hasrat

Reza A.A Wattimena

Di bilangan Pejaten Barat, Pasar Minggu, ada sebuah gedung yang tengah dibangun. Gedung itu besar, kelihatan mewah, dan proses pembangunannya tampak akan segera selesai.

Di sebelah gedung yang tengah dibangun tersebut, ada beberapa area kosong yang ukurannya kecil. Pohon-pohon hijau tumbuh disana, memberikan udara segar bagi orang sekitarnya.

Di sisi lainnya, ada gedung kantor Republika. Gedung tersebut tampak tua. Catnya sudah rusak. Rusaknya cat tersebut tidak membuat gedung itu kelihatan jelek, tetapi justru mengentalkan unsur historisnya.

Orang yang lewat daerah tersebut, baik yang menggunakan kendaraan ataupun pejalan kaki, pasti tertegun melihat gedung yang baru akan selesai dibangun tersebut, terutama jika gedung itu dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Tampak jelas, gedung tersebut mewah dan menonjol di tengah daerah yang kondisi arsitekturnya “biasa-biasa saja”.

Anda tentu sudah bisa menebak, akan dijadikan apakah gedung baru tersebut? Museum? Tidak mungkin. Sekolah? Bisa saja, tetapi tetap tampak terlalu mewah untuk sebuah gedung sekolah bergengsi sekalipun. Hmmm.. jawaban pasti sudah “menggantung” di mulut anda, mall? YA! Itulah jawabannya.

Pada titik ini, kita harus bertanya kepada diri kita sendiri, apakah kita masih memerlukan mall? Bukankah sudah terlalu banyak Mall di Jakarta ini, sehingga kehadiran satu lagi mall justru hanya akan tampak sia-sia dan menjengkelkan buat kita semua? Apa yang terjadi disini?

Pertimbangan Strategis

Sudah bukan rahasia lagi, jika pemerintah tidak lagi memperhatikan kondisi lingkungan Jakarta sekarang ini. Tidak peduli suatu proyek ramah lingkungan atau tidak, dibutuhkan atau tidak, yang penting yang empunya proyek tersebut punya cukup modal untuk membangun, berani memberi suap tinggi, maka proyek itu pun pasti akan berlangsung. Mall di bilangan Pejaten itu adalah salah satu contohnya.

Coba kita lihat secara strategis. Pejaten dikelilingi oleh Pondok Indah, Cilandak, dan Depok. Di Pondok Indah, kita semua tahu bahwa di sana ada Pondok Indah Mall yang bergengsi itu. Di Cilandak, kita semua juga tahu ada Cilandak Town Square, yang dikenal sebagai tempat nongkrong-nya anak muda Jakarta Selatan. Di depok, ada Margo City dan Depok Town Square yang siap memuaskan kebutuhan akan hiburan orang-orang yang tinggal di sana. Lalu, buat apa lagi dibangun Mall di Pejaten? Apa logika di balik semua ini?

Wabah Konsumerisme

Saya punya lima alternatif jawaban atas pertanyaan itu. Pertama, bangsa ini adalah bangsa yang konsumeristik, yakni bangsa yang warganya ketagihan untuk memuaskan hasratnya untuk membeli barang-barang yang mungkin saja tidak mereka butuhkan.

Hasrat konsumeristik ini melampaui kemampuan finansial orang yang bersangkutan. Walaupun pendapatan kecil, tetapi yang penting adalah gaya hidup yang ditunjang dengan sikap konsumeristik tanpa batas. Jika tidak ada uang cash, kartu kredit menjadi pilihan alternatif.

Tidak heran, mentalitas yang mengumbar hasrat konsumeristik ini kemudian melahirkan mentalitas berhutang. Jadi, kita tidak hanya merupakan bangsa yang doyan mengumbar hasrat konsumeristik, tetapi juga bangsa yang doyan berhutang. Dua mentalitas ini adalah mangsa yang empuk bagi para serigala kapitalisme dan modal asing!

Perluasan Lapangan Kerja?

Ada alasan kedua bernuansa lebih positif, yakni bahwa keberadaan mall berarti pembukaan lapangan kerja baru. Pengangguran pun akan berkurang. Orang-orang miskin di daerah itu akan mendapatkan kesempatan untuk menyambung hidup mereka lagi.

Alasan tersebut memang terdengar indah. Akan tetapi, apakah sungguh seperti itu? Apakah motif didirikannya sebuah mall besar di bilangan kawasan yang cukup elit adalah untuk memperluas lapangan kerja? Jawabannya: Tidak.

Motif terdasar seseorang melakukan bisnis adalah meraup untung yang sebesar-besarnya. Jika nanti bisnis tersebut akan membantu kehidupan masyarakat setempat, itu alasan sekunder. Jika tidak, ya tidak apa-apa. Bussiness must go on!

Sekarang ini, banyak perusahaan menggunakan sistem outsourcing. Di dalam sistem ini, pekerja tidak akan pernah mendapatkan status tetap beserta hak-hak yang berasal dari status itu. Pekerja akan terus menjadi pekerja kontrak.

Jika bekerjanya bagus, maka kontrak akan diperpanjang. Jika kinerjanya mulai menurun, atau dia mulai mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang statusnya sebagai pekerja, maka ia dengan mudah dilepaskan dari kontrak, dan dibiarkan menganggur. Toh, masih banyak pekerja lain yang mengantri kok.

Jadi, sistem outsourcing memandang buruh melulu sebagai modal, dan bukan sebagai manusia. Sistem semacam ini menyangkal kapasitas manusiawi dari buruh, dan memperlakukannya seolah sebagai barang yang bisa diganti atau dibuang, jika rusak.

Dengan kata lain, alasan membuka sebuah mall lagi di Jakarta dengan alasan memperluas lapangan kerja sesungguhnya adalah alasan yang sangat lemah. Alih-alih memberi dampak positif, kehadiran sebuah mall justru makin mempertegas status pekerja sebagai barang!

Bangsa Pengumbar Hasrat

Ketiga, bangsa ini adalah bangsa pengumbar hasrat, sehingga apapun akan dilakukan untuk memuaskan hasratnya mendapatkan hiburan, prestise, walaupun sesungguhnya sumber daya yang ada untuk memperolehnya tidak lagi memadai.

Nietzsche, seorang filsuf Jerman abad ke sembilan belas, pernah menulis, bahwa dorongan terdasar manusia adalah kehendak untuk berkuasa. Kehendak untuk berkuasa inilah yang bergerak di balik semua ciri peradaban yang tampak luhur di depan mata kita.

Kehendak untuk berkuasa ini yang mendikte kita bagaimana harus bertindak. Dengan memberikan ruang yang besar untuk kehendak semacam ini, kita sebenarnya sudah kehilangan kebebasan kita sebagai manusia untuk menjadi subyek atas dirinya sendiri.

Jika hasrat mendominasi, maka rasio akan turun. Jika rasio turun, banyak keputusan akan dibuat di dalam suasana irasionalitas. Tepat inilah yang kiranya terjadi di Indonesia sekarang ini: mengumbar hasrat dan memelihara irasionalitas! Tak heran, jika bangsa ini semakin hari semakin saja tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang patut dijalankan dan mana yang harus ditabukan.

Apatisme Publik

Keempat, ketidakpedulian masyarakat terhadap semakin mendominasinya hasrat atas rasio di Indonesia justru semakin mempersubur irasionalitas yang terjadi. Hati nurani kita mulai kehilangan kepekaannya. Kita tidak lagi peduli, apakah yang terjadi di depan kita itu salah atau benar. Kita menjadi apatis.

Di dalam teori-teori tentang totalitarianisme dinyatakan dengan jelas, bahwa masyarakat massa adalah kondisi yang paling subur bagi terciptanya pemerintahan totaliter. Masyarakat massa disini adalah masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang tidak lagi kritis terhadap kehidupan publik, melainkan terdiri dari para pengikut arus yang tunduk dan patuh.

Mereka tunduk dan patuh bukan karena bodoh, tetapi karena mereka tidak peduli. Ada paradoks disini: massa terdiri dari orang-orang yang teratomisasi satu sama lain, sekaligus kemudian bergabung dan memecah nyaris dalam sekejap mata. Yang terjadi disini bukanlah kebodohan publik, melainkan gejala ketidakmauan berpikir yang dialami secara kolektif. Ketidakmauan berpikir itulah benih dari apatisme publik.

Di dalam masyarakat yang apatis, kultur penggunaan akal secara publik (public use of reason) tidak lagi ditemukan. Yang dengan mudah ditemukan adalah perayaan hasrat: masyarakat menjadi masyarakat pengumbar hasrat, karena di mana akal meredup, di sana hasrat menjadi raja.

Solusinya apa? Dengan mudah saya menjawab: marilah kita mulai peduli terhadap kehidupan bersama kita! Marilah kita mulai peduli dengan hal-hal yang sungguh bermakna bagi masyarakat kita, dan bukan hanya bagi kita pribadi. Hanya dengan menembus selubung egoismelah kita bisa sungguh mendirikan masyarakat politis yang ideal.

Mall sebagai Candu

Kelima, ingatlah diktum Marx yang mengatakan, bahwa agama adalah candu. Agama adalah alat kekuasaan untuk meredam tendensi pemberontakan yang mungkin saja muncul, akibat ketidakadilan dan penindasan yang tengah terjadi.

Pola yang mirip bisa ditemukan disini. Masyarakat dibuai dengan rayuan barang-barang dan kenikmatan material, sehingga mereka lupa (sudah tidak peduli dan juga lupa..) untuk bergulat dengan persoalan-persoalan yang sungguh-sungguh bermakna tentang bangsa ini, seperti tentang ketidakadilan, solidaritas sosial, kemiskinan, dan pengangguran yang terus membesar jumlahnya.

Jika menurut Marx agama adalah candu, maka menurut saya, mall adalah candu bagi rakyat: tempat rakyat untuk melarikan diri dari realitas, dan masuk ke alam buaian kenikmatan semu yang ditawarkan kapitalisme dan antek-anteknya. Mall yang menjamur adalah tanda faktual bahwa kita mulai menjadi bangsa yang diperbudak oleh hasratnya sendiri. Kita menjadi bangsa pengumbar hasrat!

Gayung Bersambut

Salah satu hukum baja ekonomi menegaskan, bahwa suatu produk tidak akan pernah bisa bertahan, jika tidak ada pasar konsumen yang menunjang produk tersebut. Begitu pula sebuah mall tidak akan bertahan, jika tidak ada pasar konsumen yang menunjang eksistensi mall tersebut.

Jadi, kedua belah pihak bertemu bagaikan gayung bersambut: para pemodal yang haus mencari untung bertemu dengan para konsumen yang ingin dipuaskan hasrat konsumeristiknya. Mentalitas konsumeristik di masyarakat adalah kondisi-kondisi kemungkinan bagi terwujudnya hegemoni kapitalisme di dalam suatu masyarakat. Tanpa yang satu, yang lain tidak akan ada.

Jika dibahasakan secara sederhana: selama kita masih datang dan belanja secara eksesif di mall, semakin kuatlah cengkraman kapitalisme dalam bentuk mall di dalam ruang publik kita. Ruang untuk paru-paru kota semakin berkurang. Kemacetan mulai terjadi nyaris di setiap tempat. Trotoar untuk pejalan kaki semakin sedikit.

Kesenjangan sosial antara si minoritas kaya, yang sering datang dan belanja di mall, dan mayoritas yang miskin, yang sudah langsung terseleksi sebagai orang yang tidak mampu belanja di mall, akan semakin besar. Anarki pun akan siap datang. Tatanan hidup bernegara terancam! Hidup bersama menjadi semakin tidak mungkin.

Lalu Bagaimana?

Tentu saja, tidak ada solusi praktis untuk semua masalah di atas. Problem-problem sosial di Indonesia sudah begitu berakar di dalam kultur, sehingga selama kita masih hidup dengan cara berpikir yang sama, perubahan nyaris tidak mungkin dilakukan.

Apa yang saya sarankan hanyalah sebuah langkah kecil yang bersifat reflektif, namun jika banyak orang yang melakukannya, niscaya akan segera terjadi perubahan. Perubahan tersebut akan bergerak dari level individual, kelompok, masyarakat, dan kemudian ke level negara.

Pertama, kita harus menyadari hasrat yang mendorong semua tindakan kita. Nietzsche dan Schopenhauer sudah mengingatkan kepada kita, bahwa daya dorong purba di dalam diri kita bukanlah akal yang tercerahkan, tetapi kehendak yang nyaris buta dan anarkis.

Kita harus mengenali dulu hasrat kita. Jangan menolaknya, tetapi perlakukanlah hasrat tersebut sebagai bagian dari keutuhan kita sebagai manusia, karena tanpa hasrat, kita bukanlah manusia.

Akan tetapi, manusia tidaklah melulu didikte oleh hasratnya, ia masih punya kebebasan untuk memilih. Kebebasan inilah yang identik dengan kemampuan akal sehat kita untuk membuat keputusan.

Sudah sejak lebih dari dua ribu tahun yang lalu, Plato mengajarkan kepada kita, bahwa manusia memiliki akal untuk berpikir, hati yang besar untuk bersikap berani, dan dorongan-dorongan nafsu seks dan nafsu makan untuk survivalnya. Di antara ketiga elemen itu hanya akalah yang mampu mengatur lalu lintas pembagian kekuasaan di antaranya.

Dengan kata lain, manusia memang memiliki banyak hasrat di dalam dirinya. Akan tetapi, akal di dalam dirinya mampu mengatur hasrat tersebut, supaya tetap dalam kondisi yang terkontrol. Hanya orang bodohlah yang membiarkan akalnya didikte oleh hasratnya. Jadi, kita perlu menggunakan akal kita, baik secara individual maupun secara kolektif, untuk menata hasrat kita, baik hasrat individual maupun hasrat kolektif.

Terakhir, kita perlu ingat apa yang diajarkan oleh para filsuf Idealisme Jerman pada abad pencerahan kepada kita, bahwa kesadaran diri adalah elemen terpenting di dalam diri manusia. Kesadaran diri itu terbentuk dalam kemampuan manusia berpikir tentang dirinya sendiri, melakukan refleksi, dan bertindak berdasarkan pertimbangannya sendiri.

Tanpa kesadaran diri yang kuat, kita bagaikan perahu yang hanyut di tengah laut tanpa tujuan. Dan persis itulah yang kita alami sekarang ini….

Mengakui Kegagalan

Mengakui Kegagalan


“Kita harus bersedia menerima kegagalan sebagai peluang untuk belajar,
berkembang, memperbaiki diri, membuat permulaan baru, dan bahkan
mengakhiri keterpurukan dan sikap menyerah kita.”
— Charles W. McCoy Jr., dalam bukunya ‘Why Didn’t I Think of That’

DIA sungguh seksi. Bening dan menggairahkan. Siapa pun yang melihatnya,
pasti ingin menjamahnya. Jangan salah, dia bukanlah seorang gadis. Dia
bernama Macintosh. Tak ada yang menyangkal dengan kecantikan dan
kecanggihan komputer keluaran dari Apple tersebut. Tapi, siapa dapat
menduga, perusahaan ini tumbuh dari sebuah kegagalan. Tidak saja dalam
menciptakan alat tersebut, tapi juga lika-liku laki-laki si pemiliknya,
Steve Jobs.

Sekarang marilah kita kembali ke tahun 1976. Dan tengoklah ke dalam
garasi milik keluarga Jobs. Di sana, dua anak muda yang kebetulan
sama-sama bernama Steve, yaitu Jobs dan Wozniak, tengah asyik
mengutak-atik komputer yang bernama Apple 1.

Singkat cerita, perusahaan ini berkembang seperti pohon rambutan di
musim panas. Cepat berbuah dan manis. Hasilnya, perusahaan ini tumbuh
pesat menjadi a big company. Jobs pun merasa tidak kuasa lagi
mengendalikannya. Pada 1983, dia merekrut John Sculley, dari perusahaan
Pepsi-Cola, untuk memimpin Apple Computer.

Sculey memang pemimpin jempolan. Dia sendiri kemudian menemukan
ketidakcocokan dengan Jobs, yang mudah emosi dan berubah pikiran. Dua
tahun kemudian, karena banyak ulah, dia pun memecat Jobs dari jabatannya
dan mengusirnya dari Apple.

Tragis nian. Orang yang mendirikan perusahaan ternyata harus hengkang
dari rumahnya sendiri. Sedih? So pasti. Tak hanya menyesal seumur-umur,
Jobs pun mengakui kegagalannya selama memimpin di Apple. Walau sudah
begitu, keinginan untuk kembali ke Apple ditolak oleh para petingginya.

Namun Jobs tak berlama-lama merenungi kegagalannya. Setelah keluar dari
Apple, ia mendirikan sebuah perusahaan komputer lagi, NeXT Computer,
yang juga tergolong maju dalam hal teknologi. Meski pun canggih, NeXT
tidak pernah menjadi terkenal, kecuali di lingkup riset sains.

Di tahun 1986, Jobs bersama Edwin Catmull mendirikan Pixar, sebuah
studio animasi komputer di Emeryville, California. Satu dekade kemudian,
Pixar berkembang menjadi terkenal dan berhasil dengan film terobosannya,
Toy Story. Sejak saat itu Pixar telah menelurkan film-film yang
memenangkan Academy Award, seperti Finding Nemo dan The Incredibles.
Perusahaan itu kemudian membeli NeXT seharga US$429 juta di tahun 1996.
Dan di tahun itu pula, Apple membawa Jobs kembali ke perusahaan yang ia
dirikan.

Kisah Jobs menjadi teramat manis. Dia merupakan sedikit orang yang gagal
dalam pendidikan. Dia tak pernah tamat kuliah, namun berhasil menjadi
satu CEO tersukses.

Itulah sekelumit cerita mengenai kegigihan Steve Jobs, pendiri Apple.
Ketika memberikan pidato di Stanford University, Juni 2005, Jobs
berterus terang soal kegagalannya di Apple, katanya, “Saya gagal
mengambil kesempatan.” Lebih lanjut, Jobs mengatakan, “Apa yang terjadi
di Apple sedikit pun tak mengubah saya. Saya telah ditolak, namun saya
tetap cinta. Maka, saya memutuskan untuk mulai lagi dari nol.” Dari
cerita ini tergambar jelas, Jobs tak malu mengakui kegagalannya. Ia tak
mau menyerah begitu saja. Kemudian Jobs memperbaiki dan mengevaluasi
kegagalannya untuk kemudian meraih sukses di tahun-tahun berikutnya.

Bagaimana dengan kita? Tentunya kita sering kali mendapatkan kegagalan.
Dalam hal apa saja. Termasuk mungkin, gagal dalam cinta. Gagal dalam
berbisnis. Gagal dalam pekerjaan. Gagal dalam mendidik anak. Atau
bahkan, gagal dalam membina rumah tangga.

Sejatinya, kegagalan merupakan suatu hal yang manusiawi. Kegagalan
bukanlah sesuatu hal yang buruk. Jadi, mengapa harus malu. Masalahnya,
apakah kita berani untuk mengakui suatu kegagalan.

Mengakui kegagalan memang bukanlah perkara yang mudah. Orang yang dengan
tulus mengakui kegagalannya, sudah tentu memiliki jiwa besar. Karena
tidak mudah untuk mengakui suatu kegagalan, maka diperlukan tingkat
keberanian tersendiri dan kejujuran yang paling dalam.

Mengakui kegagalan juga membuka peluang alternatif terbukanya jalan
lain. Kita pun tak hanya terpaku pada satu jalan. Dan seperti yang
dialami Jobs, mengakui kegagalan juga memberikan pelajaran yang lebih
baik lagi untuk tidak mengulangi kesalahan pada hal yang sama.

Ketika kita mengakui kegagalan, niscaya kita akan melihat seluruh
perjalanan yang sudah kita lalui dengan jernih. Alhasil, langkah untuk
memperbaikinya dan mengubahnya menjadi lebih ringan dilakukan. Namun
tentu saja, hal itu harus dibarengi dengan langkah-langkah untuk membuat
perubahan. Setelah mengetahui letak kesalahannya, langkah selanjutnya
yang ditempuh ialah mengatur kembali rencana berikutnya.

Mengakui kegagalan, bukanlah ‘gagal, titik sampai disini’. Bukan titik,
melainkan koma. Mengakui kegagalan bukanlah suatu pemberhentian akhir,
melainkan suatu terminal transit menuju perjalanan berikutnya yang lebih
baik. (150908)

Sumber: Mengakui Kegagalan oleh Sonny Wibisono, penulis, tinggal di
Jakarta

Kaca Spion (Catatan Andy Noya)


Kaca Spion (Catatan Andy Noya)
 
   Sejak bekerja saya tidak pernah lagi berkunjung ke Perpustakaan
   Soemantri Brodjonegoro di Jalan Rasuna Said, Jakarta . Tapi, suatu
   hari ada kerinduan dan dorongan yang luar biasa untuk ke sana .
   Bukan untuk baca buku, melainkan makan gado-gado di luar pagar
   perpustakaan. Gado-gado yang dulu selalu membuat saya ngiler. Namun
   baru dua tiga suap, saya merasa gado-gado yang masuk ke mulut jauh
   dari bayangan masa lalu. Bumbu kacang yang dulu ingin saya jilat
   sampai piringnya mengkilap, kini rasanya amburadul. Padahal ini
   gado-gado yang saya makan dulu. Kain penutup hitamnya sama.
   Penjualnya juga masih sama. Tapi mengapa rasanya jauh berbeda?
   Malamnya, soal gado-gado itu saya ceritakan kepada istri. Bukan soal
   rasanya yang mengecewakan, tetapi ada hal lain yang membuat saya
   gundah.
   Sewaktu kuliah, hampir setiap siang, sebelum ke kampus saya selalu
   mampir ke perpustakaan Soemantri Brodjonegoro. Ini tempat favorit
   saya. Selain karena harus menyalin bahan-bahan pelajaran dari
   buku-buku wajib yang tidak mampu saya beli, berada di antara ratusan
   buku membuat saya merasa begitu bahagia. Biasanya satu sampai dua
   jam saya di sana . Jika masih ada waktu, saya melahap buku-buku yang
   saya minati. Bau harum buku, terutama buku baru, sungguh membuat
   pikiran terang dan hati riang. Sebelum meninggalkan perpustakaan,
   biasanya saya singgah di gerobak gado-gado di sudut jalan, di luar
   pagar. Kain penutupnya khas, warna hitam. Menurut saya, waktu itu,
   inilah gado-gado paling enak seantero Jakarta . Harganya Rp 500
   sepiring sudah termasuk lontong. Makan sepiring tidak akan pernah
   puas. Kalau ada uang lebih, saya pasti nambah satu piring lagi.
   Tahun berganti tahun. Drop out dari kuliah, saya bekerja di Majalah
   TEMPO sebagai reporter buku Apa dan Siapa Orang Indonesia . Kemudian
   pindah menjadi reporter di Harian Bisnis Indonesia . Setelah itu
   menjadi redaktur di Majalah MATRA. Karir saya terus meningkat hingga
   menjadi pemimpin redaksi di Harian Media Indonesia dan Metro TV.
   Sampai suatu hari, kerinduan itu datang. Saya rindu makan gado-gado
   di sudut jalan itu. Tetapi ketika rasa gado-gado berubah drastis,
   saya menjadi gundah. Kegundahan yang aneh. Kepada istri saya
   utarakan kegundahan tersebut. Saya risau saya sudah berubah dan
   tidak lagi menjadi diri saya sendiri. Padahal sejak kecil saya
   berjanji jika suatu hari kelak saya punya penghasilan yang cukup,
   punya mobil sendiri, dan punya rumah sendiri, saya tidak ingin
   berubah. Saya tidak ingin menjadi sombong karenanya.
   Hal itu berkaitan dengan pengalaman masa kecil saya di Surabaya .
   Sejak kecil saya benci orang kaya. Ada kejadian yang sangat membekas
   dan menjadi trauma masa kecil saya. Waktu itu umur saya sembilan
   tahun. Saya bersama seorang teman berboncengan sepeda hendak bermain
   bola. Sepeda milik teman yang saya kemudikan menyerempet sebuah
   mobil. Kaca spion mobil itu patah.
   Begitu takutnya, bak kesetanan saya berlari pulang. Jarak 10
   kilometer saya tempuh tanpa berhenti. Hampir pingsan rasanya.
   Sesampai di rumah saya langsung bersembunyi di bawah kolong tempat
   tidur. Upaya yang sebenarnya sia-sia. Sebab waktu itu kami hanya
   tinggal di sebuah garasi mobil, di Jalan Prapanca. Garasi mobil itu
   oleh pemiliknya disulap menjadi kamar untuk disewakan kepada kami.
   Dengan ukuran kamar yang cuma enam kali empat meter, tidak akan
   sulit menemukan saya. Apalagi tempat tidur di mana saya bersembunyi
   adalah satu-satunya tempat tidur di ruangan itu. Tak lama kemudian,
   saya mendengar keributan di luar. Rupanya sang pemilik mobil datang.
   Dengan suara keras dia marah-marah dan mengancam ibu saya. Intinya
   dia meminta ganti rugi atas kerusakan mobilnya.
   Pria itu, yang cuma saya kenali dari suaranya yang keras dan tidak
   bersahabat, akhirnya pergi setelah ibu berjanji akan mengganti kaca
   spion mobilnya. Saya ingat harga kaca spion itu Rp 2.000. Tapi uang
   senilai itu, pada tahun 1970, sangat besar. Terutama bagi ibu yang
   mengandalkan penghasilan dari menjahit baju. Sebagai gambaran,
   ongkos menjahit baju waktu itu Rp 1.000 per potong. Satu baju
   memakan waktu dua minggu. Dalam sebulan, order jahitan tidak
   menentu. Kadang sebulan ada tiga, tapi lebih sering cuma satu.
   Dengan penghasilan dari menjahit itulah kami – ibu, dua kakak, dan
   saya – harus bisa bertahan hidup sebulan.
   Setiap bulan ibu harus mengangsur ganti rugi kaca spion tersebut.
   Setiap akhir bulan sang pemilik mobil, atau utusannya, datang untuk
   mengambil uang. Begitu berbulan-bulan. Saya lupa berapa lama ibu
   harus menyisihkan uang untuk itu. Tetapi rasanya tidak ada
   habis-habisnya. Setiap akhir bulan, saat orang itu datang untuk
   mengambil uang, saya selalu ketakutan. Di mata saya dia begitu
   jahat. Bukankah dia kaya? Apalah artinya kaca spion mobil baginya?
   Tidakah dia berbelas kasihan melihat kondisi ibu dan kami yang hanya
   menumpang di sebuah garasi?
   Saya tidak habis mengerti betapa teganya dia. Apalagi jika melihat
   wajah ibu juga gelisah menjelang saat-saat pembayaran tiba. Saya
   benci pemilik mobil itu. Saya benci orang-orang yang naik mobil
   mahal. Saya benci orang kaya.
   Untuk menyalurkan kebencian itu, sering saya mengempeskan ban
   mobil-mobil mewah. Bahkan anak-anak orang kaya menjadi sasaran saya.
   Jika musim layangan, saya main ke kompleks perumahan orang-orang
   kaya. Saya menawarkan jasa menjadi tukang gulung benang gelasan
   ketika mereka adu layangan. Pada saat mereka sedang asyik, diam-diam
   benangnya saya putus dan gulungan benang gelasannya saya bawa lari.
   Begitu berkali-kali. Setiap berhasil melakukannya, saya puas. Ada
   dendam yang terbalaskan.
   Sampai remaja perasaan itu masih ada. Saya muak melihat orang-orang
   kaya di dalam mobil mewah. Saya merasa semua orang yang naik mobil
   mahal jahat. Mereka orang-orang yang tidak punya belas kasihan.
   Mereka tidak punya hati nurani.
   Nah, ketika sudah bekerja dan rindu pada gado-gado yang dulu semasa
   kuliah begitu lezat, saya dihadapkan pada kenyataan rasa gado-gado
   itu tidak enak di lidah. Saya gundah. Jangan-jangan sayalah yang
   sudah berubah. Hal yang sangat saya takuti. Kegundahan itu saya
   utarakan kepada istri. Dia hanya tertawa. ''Andy Noya, kamu tidak
   usah merasa bersalah. Kalau gado-gado langgananmu dulu tidak lagi
   nikmat, itu karena sekarang kamu sudah pernah merasakan berbagai
   jenis makanan. Dulu mungkin kamu hanya bisa makan gado-gado di
   pinggir jalan. Sekarang, apalagi sebagai wartawan, kamu punya
   kesempatan mencoba makanan yang enak-enak. Citarasamu sudah
   meningkat,'' ujarnya. Ketika dia melihat saya tetap gundah, istri
   saya mencoba meyakinkan, "Kamu berhak untuk itu. Sebab kamu sudah
   bekerja keras."
   Tidak mudah untuk untuk menghilangkan perasaan bersalah itu. Sama
   sulitnya dengan meyakinkan diri saya waktu itu bahwa tidak semua
   orang kaya itu jahat. Dengan karir yang terus meningkat dan gaji
   yang saya terima, ada ketakutan saya akan berubah. Saya takut
   perasaan saya tidak lagi sensisitif. Itulah kegundahan hati saya
   setelah makan gado-gado yang berubah rasa. Saya takut bukan rasa
   gado-gado yang berubah, tetapi sayalah yang berubah. Berubah menjadi
   sombong.
   Ketakutan itu memang sangat kuat. Saya tidak ingin menjadi tidak
   sensitif. Saya tidak ingin menjadi seperti pemilik mobil yang kaca
   spionnya saya tabrak.
   Kesadaran semacam itu selalu saya tanamkan dalam hati. Walau dalam
   kehidupan sehari-hari sering menghadapi ujian. Salah satunya ketika
   mobil saya ditabrak sepeda motor dari belakang. Penumpang dan orang
   yang dibonceng terjerembab. Pada siang terik, ketika jalanan macet,
   ditabrak dari belakang, sungguh ujian yang berat untuk tidak marah.
   Rasanya ingin melompat dan mendamprat pemilik motor yang menabrak
   saya. Namun, saya terkejut ketika menyadari yang dibonceng adalah
   seorang ibu tua dengan kebaya lusuh. Pengemudi motor adalah anaknya.
   Mereka berdua pucat pasi. Selain karena terjatuh, tentu karena
   melihat mobil saya penyok.
   Hanya dalam sekian detik bayangan masa kecil saya melintas. Wajah
   pucat itu serupa dengan wajah saya ketika menabrak kaca spion. Wajah
   yang merefleksikan ketakutan akan akibat yang harus mereka tanggung.
   Sang ibu, yang lecet-lecet di lutut dan sikunya, berkali-kali
   meminta maaf atas keteledoran anaknya. Dengan mengabaikan lukanya,
   dia berusaha meluluhkan hati saya. Setidaknya agar saya tidak
   menuntut ganti rugi. Sementara sang anak terpaku membisu. Pucat
   pasi. Hati yang panas segera luluh. Saya tidak ingin mengulang apa
   yang pernah terjadi pada saya. Saya tidak boleh membiarkan benih
   kebencian lahir siang itu. Apalah artinya mobil yang penyok
   berbanding beban yang harus mereka pikul.
   Maka saya bersyukur. Bersyukur pernah berada di posisi mereka.
   Dengan begitu saya bisa merasakan apa yang mereka rasakan.
   Setidaknya siang itu saya tidak ingin lahir sebuah benih kebencian.
   Kebencian seperti yang pernah saya rasakan dulu. Kebencian yang
   lahir dari pengalaman hidup yang pahit.

Apatisme: Musuh Kehidupan Publik!

Apatisme: Musuh Kehidupan Publik!

Reza A.A Wattimena

Pagi itu, lalu lintas di Jakarta, seperti biasa, macet. Jalanan dipenuhi dengan kendaraan bermotor. Motor dan mobil lalu lalang, dan semuanya seolah terbirit-birit mengejar sesuap nasi yang bisa mereka peroleh dari tempat kerja mereka masing-masing. Yang lainnya tidak penting. Yang penting, saya kerja, dan dapat uang.

Sebuah mobil kijang melaju pesat menerobos lampu merah di bilangan Pancoran, Jakarta. Polisi sudah memberi tanda untuk segera menilang mobil itu. Tiba-tiba, dari belakang, sebuah bis berwarna merah menghujam mobil kijang tersebut di sisi belakang sebelah kiri. Mobil kijang tersebut berhenti, dan turunlah supir mobil itu.

Ternyata, dia adalah seorang polisi, yang notabene memiliki pangkat lebih tinggi dari polisi lalu lintas yang tengah menertibkan situasi. Polisi lalu lintas pun kebingungan, dan segera memarahi si supir bis yang menabrak mobil kijang polisi tersebut.

Siapakah yang salah? Apakah si mobil kijang pak polisi yang melanggar lampu merah, ataukah si supir bis yang menabrak mobil kijang tersebut?

Pertanyaan tersebut sebenarnya mudah untuk dijawab: ya dua-duanya! Akan tetapi, saya jamin, bahwa pak polisi yang melanggar lampu merah tersebut akan lolos dari hukuman. Sementara, si supir bis kota yang malang tersebut akan terkena denda dan makian dari kedua polisi yang ada di tempat kejadian.

Rasa keadilan di dalam diri saya langsung terluka, jika mengingat kejadian itu. Bukankah keduanya harus mendapatkan sanksi? Hanya dengan memberikan hukuman kepada keduanyalah keadilan baru bisa terwujud. Tapi itu tidak terjadi.

Apa yang sebenarnya terjadi disini?

Hukum Rimba dan Demokrasi

Sudah merupakan praktek umum, bahwa dia yang kuat pastilah akan menjadi pemenang. Mereka yang lemah akan diinjak-injak, dan tak berdaya menghadapi penindasan.

Mekanisme hukum rimba memang dengan mudah kita temukan di dalam perjalanan sejarah manusia. Teori evolusi Darwin beserta semua teori-teori di dunia ilmiah yang berbasiskan Darwinisme pun memiliki “bau rimba” semacam itu.

Teori-teori keadilan dan teori demokrasi di dalam ilmu-ilmu sosial tepat ingin meredam perluasan hukum rimba yang ada tersebut. Bentuk nyatanya adalah penciptaan sebuah masyarakat dengan basis demokrasi dan penghormatan terhadap Hak-hak Asasi Manusia. Dua konsep itu, yakni HAM dan demokrasi, bisa dibilang diciptakan untuk meredam gejolak hewani kekuasaan di dalam diri manusia.

Akan tetapi, walaupun bangsa ini mengakui dirinya sebagai bangsa yang demokratis dan menghormati HAM, mengapa kejadian kecil yang menggambarkan ketidakadilan seperti saya contohkan di atas masih juga terjadi?

Jawaban saya satu: karena orang-orang di sekitarnya yang menyaksikan kejadian itu tidak peduli. Mereka apatis, sibuk dengan urusan masing-masing, dan enggan ikut campur dengan ketidakadilan yang terjadi di depan mata mereka.

Apatisme sebagai Musuh Kehidupan Publik

Masyarakat Jakarta secara khusus, dan masyarakat Indonesia secara umum, sudah teratomisasi sedemikian rupa, sehingga mereka hanya sibuk dengan urusan-urusan privat mereka terkait dengan akumulasi kekayaan, maupun survival dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar belaka.

Hal ini memang tidak bisa disalahkan. Dengan kondisi perekonomian sekarang ini, keselamatan diri dan keluarga dekat memang dianggap sebagai prioritas utama.

Akan tetapi, apa akibat dari mentalitas dan cara berpikir privat semacam itu? Jawabannya sederhana: hal-hal yang terkait dengan kehidupan bersama dalam bentuk solidaritas dan keadilan pun terabaikan!

Solidaritas sosial dan keadilan tidak menjadi prioritas, dan bahkan tidak lagi terpikirkan sama sekali. Inilah apatisme yang perlahan-lahan akan menghancurkan kehidupan publik di Indonesia!

Ketidakpedulian ketika terjadi ketidakadilan di depan mata kita. Ketidakpedulian ketika orang lain menderita bukan karena kesalahannya, tetapi hanya karena dia lahir di kelas sosial yang tidak tepat. Yang terakhir ini disebut sebagai ketidakadilan struktural.

Kejahatan dan penderitaan sudah menjadi hal-hal biasa. Hal-hal negatif itu sudah menjadi makanan sehari-hari kita, sehingga kita tidak lagi mengenalinya sebagai sesuatu yang jahat dan nista.

Dalam bahasa filsuf perempuan Jerman, Hannah Arendt, kejahatan telah menjadi banal. Kejahatan tidak lagi dikenali sebagai kejahatan, tetapi hanya sebagai rutinitas kehidupan sehari-hari.

Banalitas kejahatan itulah yang membuat kita menjadi apatis dan tidak peduli. Banalitas kejahatan itulah yang membunuh kepekaan hati nurani kita terhadap ketidakadilan dan kejahatan, yang terjadi setiap detiknya di depan mata kita.

Tidak berhenti disitu, kejahatan dan ketidakadilan bukan hanya menjadi hal yang biasa, tetapi justru menjadi hal yang normatif, “yang seharusnya”. Melanggar lalu lintas bukan lagi hal biasa, tetapi menjadi sebuah “kewajiban” yang harus dilakukan. Jika kita tidak melanggar lalu lintas, kita akan menjadi korban dari struktur.

Inilah yang terjadi di Indonesia sekarang ini, yakni apatisme publik akibat banalitas kejahatan serta ketidakadilan yang tidak lagi bisa dikenali.

Kita semua tahu, demokrasi tidak akan berjalan tanpa partisipasi warga yang kritis. Apatisme publik adalah gejala, di mana warga negara menjadi tidak peduli pada hal-hal yang terkait dengan kehidupan bersama. Artinya, warga negara tidak lagi kritis dan partisipatif di dalam kehidupan bersama. Demokrasi pun tinggal slogan yang mengambang tanpa realitas.

Jika demokrasi dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia tidak lagi berjalan, maka kita harus mempersiapkan diri kita untuk hidup di dalam rimba-rimba yang berselubung gedung di Indonesia. Apakah kita siap? Dan, apakah kita mau seperti itu?

 

Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

Kutipan Bermakna dari Filsuf Soren Kierkegaard



THE TRUTH THAT IS TRUE FOR ME

What I really need is to be clear about what I am to do, not what I must know, except in the way knowledge must precede all action. It is a question of understanding my destiny, of seeing what the Deity really wants me to do; the thing is to find a truth which is truth for me, to find the idea for which I am willing to live and die. And what use would it be if I were to discover a so-called objective truth, or if I worked my way through the philosophers’ systems and were able to call them all to account on request, point out inconsistencies in every single circle? And what use here would it be to be able to work out a theory of the state, and put all the pieces from so many places into one whole, construct a world which, again, I myself did not inhabit but merely held up for others to see? What use would it be to be able to propound the meaning of Christianity, to explain many separate facts, if it had no deeper meaning for me and for my life? Certainly I won’t deny that I still accept an imperative of knowledge, and that one can also be influenced by it, but then it must be taken up alive in me, and this is what I now see as the main point … But to find that idea, or more properly to find myself, it is no use my plunging still further into the world … That’s what I lacked for leading a completely human life and not just a life of knowledge, to avoid basing my mind’s development on – yes, on something that people call objective – something which at any rate isn’t my own, and base it instead on some­thing which is bound up with the deepest roots of my existence, through which I am as it were grown into the divine and cling fast to it even though the whole world falls apart. This, you see, is what I need, and This is what I strive for ... It is this inward action of man, this God-side of man, that matters, not a mass or information …. Vainly have I sought an anchorage, not just in the depths of knowledge, but in the bot­tomless sea at pleasure … What did I find? Not my ‘I’, for that is what I was trying in that way to find … One must first learn to know oneself before knowing anything else (gnothi seauton) … In association with the ordinary run of men I have had but little to win or to lose … My companions have with few exceptions exerted no marked influence on me … So I am standing once more at the point where I must begin in another way. I shall now try to look calmly at myself and begin to act inwardly; for only in this way will I be able … to call myself ‘I’ in a profounder sense … So let the die be cast – I am crossing the Rubicon. This road no doubt leads me into battle, but I will not give up.

(Papers and Journals, Gilleleie, 1 August, 1835)