Bentuk dan Tingkatan Kesadaran: Sebuah Teori, oleh Reza A.A Wattimena

15040205f00a15cabd4f048d23fc1f044460b20d_2000x2000

Kesadaran bukan hanya milik manusia. Ia tidak berada di otak. Kesadaran adalah sebuah pengalaman. Ia bisa juga disebut sebagai pengalaman sadar (conscious experience), atau pengalaman kehidupan (living experience) itu sendiri. Neurosains, cabang ilmu pengetahuan yang hendak memahami kesadaran, otak dan unsur-unsur pembentuknya, berpijak pada dua pandangan tentang kesadaran.

Yang pertama, kesadaran adalah hasil dari kompleksitas tubuh manusia. Organ-organ manusia bekerja dengan amat canggih dan rumit. Pada satu titik, karena kerumitan dan kecanggihan yang memuncak, kesadaran pun muncul. Ini pandangan yang masih banyak dibahas di dalam kajian neurosains dan filsafat kesadaran (Philosophie des Geistes).

Yang kedua, kesadaran adalah pencipta dari kerumitan dan kecanggihan tubuh manusia. Kesadaran ada terlebih dahulu. Lalu, dengan gerak perkembangannya, kesadaran melahirkan tubuh manusia. Pandangan ini berakar pada tradisi spiritual-kontemplatif Asia, dan kini menjadi bagian dari wacana ilmiah di dalam sains modern.

Saya ingin memperkaya pandangan kita tentang kesadaran. Pijakan saya adalah Filsafat Eropa dan Filsafat Asia. Saya akan merumuskan sebuah teori tentang kesadaran dari dua tradisi tersebut, sekaligus dari refleksi pribadi saya. Ada lima bentuk kesadaran, sebagaimana saya rumuskan.

Bentuk dan Tingkatan Kesadaran: Sebuah Teori

Kesadaran

Kesadaran Distingtif

Pertama adalah kesadaran distingtif (distinctive consciousness). Inilah kesadaran subyek obyek (Subjekt-Objekt-Bewusstsein). Manusia dilihat sebagai mahluk sadar, atau sebagai subyek. Manusia dianggap sebagai mahluk istimewa. Sementara, hewan, tumbuhan, alam dan seluruh semesta dilihat sebagai benda mati yang layak dipergunakan sepenuhnya untuk kepentingan manusia.

Filsafat Eropa hidup dalam pandangan kesadaran semacam ini. Dari filsafat Barat lahirlah ilmu pengetahuan modern. Teknologi modern lahir dari beragam penelitian yang dilakukan di dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Hidup manusia dimudahkan dan diuntungkan dengan semua ini.

Dampak merusaknya juga jelas. Alam dihancurkan demi kepentingan manusia. Hewan dan hutan dihabisi demi kepuasaan dan kebodohan manusia. Krisis lingkungan dan masalah iklim lahir dari kesadaran distingtif semacam ini. Perbudakan, teror, perang dan segala bentuk kekerasan dari kesadaran distingtif, karena ia penuh dengan ilusi keterpisahan (illusion of separation) antara “aku yang sadar” dan “yang lain” (the other), yakni bangsa lain, agama lain, ras lain, aliran lain, gender lain, spesies lain, binatang, hewan, alien dan sebagainya.

Kesadaran Immersif

Kedua adalah kesadaran imersif (immersive consciousness). Inilah paham tentang kesadaran yang sudah mulai melihat dunia sebagai bagian dari dirinya. Keterpisahan masih ada. Namun, ia tidak sekuat dan sekeras di dalam kesadaran distingtif.

Di dalam filsafat Eropa, tiga aliran bermukim di dalam kesadaran immersif ini. Mereka adalah fenomenologi, hermeneutik dan eksistensialisme. Fenonemologi memberi tempat pada fenomena, yakni obyek kesadaran, sehingga ia bisa tampil bagi kesadaran manusia (zurűck zu den Sachen Selbst). Hermeneutik membuka horison ruang dan waktu di dalam proses manusia bersentuhan dengan kenyataan. Eksistensialisme melihat manusia sebagai bagian dari “Ada”, dan bergerak mencari makna menuju kematian (Sein zum Tode, Sein zum Sinn).

Ada sikap cair di dalam kesadaran immersif. Alam mulai dilihat sebagai bagian dari diri dan kesadaran manusia. Muncul rasa hormat dan rasa cinta kepada “yang lain”. Namun, setitik keterpisahan masih terasa, dan itu bisa menjadi bencana untuk semua.

Kesadaran Holistik-Kosmik

Ketiga adalah kesadaran holistik kosmik (holistic-cosmis consciousness). Disini, manusia melihat dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dengan segala yang ada. Aku adalah semesta, dan semesta adalah aku. Rasa kesatuan pun muncul dengan segala yang ada, baik di masa lalu, masa kini maupun masa depan, maupun dengan segala yang ada di ruang-ruang kehidupan yang berbeda.

Tiga aliran filsafat berpijak pada kesadaran holistik-kosmik ini. Mereka adalah kosmopolitanisme (yang berkembang di filsafat Yunani Kuno dan filsafat Jerman), tradisi Yoga dari India dan filsafat Taoisme dari Cina. Manusia dilihat sebagai warga semesta bersama dengan segala bentuk kehidupan lainnya. Disini muncul rasa cinta universal terhadap segala yang ada. Saya menyebut sebagai moralitas alami (natural morality).

Di titik ini, manusia tak perlu moralitas yang memenjara, seperti dalam agama dan budaya. Kita tak perlu lagi larangan-larangan yang tak masuk akal. Cinta kepada segala yang ada muncul dari hati yang terdalam. Ia berkembang secara alami, dan terwujud di dalam segala perbuatan.

Kesadaran Meditatif

Yang keempat adalah kesadaran meditatif (meditative consciousness). Ini adalah kesadaran tanpa konsep, dan tanpa bahasa. Ia terletak sebelum segala pikiran muncul. Ia seperti cermin yang memantulkan segalanya sebagaimana adanya.

Kesadaran meditatif itu seperti langit. Ia menampung segala bentuk awan, baik awan hujan maupun cerah. Namun, langit tak terganggu dengan itu semua. Kesadaran meditatif selalu hadir, tak pernah lahir dan tak pernah mati. Ia tak terganggu oleh beragam bentuk pikiran dan emosi yang dimiliki manusia.

Dua tradisi berpijak pada kesadaran meditatif ini. Mereka adalah ajaran Buddha dan Advaita Vedanta. Dua tradisi ini sibuk memahami gerak batin manusia, termasuk hakekat dan pola kerjanya. Tidak hanya itu, kedua tradisi merumuskan teori serta laku yang bisa membawa manusia terbebas sepenuhnya dari penderitaan hidup. Kesadaran meditatif adalah kesadaran yang membebaskan (Befreiungsbewusstsein).

Kesadaran Kekosongan

Kelima adalah kesadaran kekosongan (empty-aware consciousness). Ini adalah kesadaran yang sudah sepenuhnya terbebaskan. Ia sepenuhnya bebas dari bahasa dan konsep. Ia sepenuhnya bebas dari ruang dan waktu.

Ia tidak mempunyai bentuk. Kesadaran ini bersifat seutuhnya murni, dan sepenuhnya hidup. Kesadaran kekosongan sepenuhnya berada disini dan saat ini. Ia selalu berdampingan dengan ketenangan serta kedamaian yang tak kunjung putus.

Semua manusia sudah memilikinya, dan bisa mencapainya. Asal, ia paham, siapa diri sejatinya. Sejatinya, kita semua sudah sempurna dan terbebaskan. Namun, karena kelupaan, kebodohan serta pengaruh dari lingkungan sosial (agama dan budaya) yang merusak, kita hidup dalam penderitaan yang tak kunjung berhenti.

Kesadaran kekosongan berada di seluruh semesta. Kesadaran tak memiliki tempat material biologis, misalnya otak manusia. Ia merasuk di dalam segala yang ada, namun tak memiliki tempat spesifik. Ia berada sebelum wujud.

Implikasi

Kelima bentuk kesadaran di atas juga dapat dilihat sebagai tingkat-tingkat kesadaran. Paling rendah adalah tingkat pertama. Paling tinggi dan murni adalah tingkat kelima.

Orang yang hidup dalam kesadaran distingtif akan hidup dalam penderitaan. Ia merasa terpisah dengan segala yang ada. Akhirnya, rasa benci dan permusuhan muncul. Inilah akar dari segala masalah di dalam hidup manusia, mulai dari depresi, bunuh diri, intoleransi, diskriminasi, rasisme sampai dengan perang dunia.

Dengan belajar, manusia akan semakin bijak. Ia akan bergerak ke kesadaran immersif, lalu ke kesadaran kosmik-holistik, kesadaran meditatif, dan, akhirnya, kesadaran kekosongan. Semakin tinggi tingkat kesadarannya, semakin ia tercerahkan sebagai mahluk hidup. Ia akan membawa pengetahuan serta kedamaian, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk manusia lain, mahluk lain, alam, semesta serta segala yang ada.

Penerapan teori ini juga luas. Mutu politik, ekonomi, budaya dan agama sebuah masyarakat amat tergantung dari tingkat kesadaran warganya. Jika kesadarannya masih di tingkat distingtif, maka konflik dan ketegangan akan terus mewarnai masyarakat tersebut. Jika kesadarannya sudah immersif, apalagi mencapai meditatif dan kekosongan, maka keadilan dan perdamaian akan secara alami tercipta.

Indonesia, dan dunia secara umum, masih berada di tingkat kesadaran distingtif, sehingga konflik dan krisis terjadi berulang kali. Perkecualian tentu selalu ada. Di berbagai tempat, manusia-manusia dengan tingkat kesadaran tinggi selalu bisa ditemukan. Kita tinggal perlu berusaha, agar kehadiran mereka semakin banyak, dan tingkat kesadaran manusia bisa ditingkatkan secara global.

Jangan ditunda lagi…

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.