Oleh Reza A.A Wattimena
Berkendara di jalan Jakarta memang berjuta rasanya. Ada rasa kagum dan rindu dengan ibu kota yang juga adalah kampung halaman. Ada juga rasa kesal dan marah dengan keadaan ibu kota yang kacau balau. Kerap kali, amarah terasa begitu kuat, dan berbuah konflik dengan manusia lainnya.
Dalam hubungan pun juga serupa. Amarah dan rasa kecewa menjadi warna hubungan. Kebahagiaan menjadi semakin kecil dan jarang. Konflik pun tak terhindarkan. Tak heran, dari begitu banyak kasus pembunuhan di dalam keluarga, pasangan selalu menjadi tersangka utama.
Ada amarah yang kuat terasa di dada, ketika hal tak sesuai keinginan. Amarah itu membuat orang gelap mata. Emosi menutupi nurani dan akal sehat. Tindakan kejam kerap terjadi berikutnya.
Kata Mereka
Orang tua berkata, kita harus menahan emosi. Kita harus mengontrol emosi dengan kuat. Jangan sampai orang lain menjadi sasaran dari emosi kita. Semua emosi negatif haruslah dikontrol dengan kuat, sehingga tidak tampil ke permukaan.
Jika perlu, kita harus mengalihkan emosi kita. Misalnya, kita bisa berdoa. Kita bisa juga mengucapkan kalimat suci tertentu. Apapun caranya, emosi, terutama amarah, harus dipenjara dan ditekan dengan berbagai cara.
Amarah yang tak keluar akan berbuah dendam. Kebencian menyusup ke dalam sukma. Kemarahan mengendap menjadi benci dan murka. Hidup pun menjadi penuh dengan amarah yang tak tertahankan.
Di titik ini, gangguan batin pun tak terhindarkan. Orang menderita dalam hidupnya. Tidur terganggu. Mutu kehidupan, secara keseluruhan, pun menurun.
Gangguan batin lalu berkembang menjadi gangguan tubuh. Penyakit pun datang berkunjung. Daya tahan tubuh menurun, sehingga infeksi terjadi dengan mudah. Gangguan organ tubuh pun mulai terjadi, mulai dari diabetes, jantung sampai dengan kanker.
Jalan Pembebasan
Amarah adalah bagian dari hidup. Ia hadir untuk tujuan tertentu. Maka, ia tidak boleh disangkal. Ia juga tak boleh ditekan atau dikontrol dengan kuat hanya demi kepantasan sosial belaka.
Amarah hanya perlu saluran yang tepat. Kita perlu marah dengan alasan yang tepat, di tempat yang tepat, waktu yang tepat dan pada orang yang tepat. Inilah amarah yang berakar pada kebijaksanaan. Kemarahan semacam ini bisa menciptakan kebahagiaan dan pembebasan.
Cukup sadari dengan ringan, ketika amarah datang. Tak perlu dilawan. Tak perlu dikontrol. Cukup sadari dengan lembut, dan dengan ringan.
Jangan mencari akar dari amarah. Jangan menganalisis amarah, ataupun bentuk-bentuk emosi lainnya. Inilah kesalahan yang sering dibuat banyak orang, terutama para psikolog dan psikiater yang tak paham akan cara kerja batin manusia.
Jika amarah muncul, cukup sadari dengan lembut, lalu kembali ke saat ini. Ada suara apa? Ada bau apa? Ada sensasi apa di kulit? Semua itu akan membuat kita kembali berjangkar ke kenyataan yang sejati disini dan saat ini.
Dengan cara ini, amarah bisa menjadi jalan kesadaran. Ia menjadi pintu pembebasan. Penting untuk diingat, bahwa hal ini harus dilatih seumur hidup. Tidak ada kata lulus sempurna.
Ketika amarah tiba, sambutlah ia dengan kelembutan. Sambutlah ia dengan ringan. Tak perlu analisis berlebihan. Lalu arahkan amarah itu secara tepat dengan penuh kesadaran.