Pendidikan sebagai “Tindakan Kriminal”

1eb6c4ac57e8735ba4e0c513cc796f34--guns-artsy-fartsy

Pendidikan sebagai “Tindakan Kriminal”

Oleh Reza A.A Wattimena

Tak terhitung lagi keluhan yang saya dengar dari para orang tua. Orang-orang seumuran saya, sekitar 35-40 tahun, kini menjadi orang tua muda. Anak-anak mereka kini memasuki sekolah dasar. Begitu banyak tantangan dan kebingungan yang harus mereka alami.

Begitu banyak yang harus dipelajari oleh anak mereka yang berusia sangat muda. Banyak pula yang sungguh sulit, dan sungguh tak berguna. Anak dihabisi dengan materi pelajaran yang menyiksa batin maupun fisik mereka. Tak sedikit anak, dan juga orang tuanya, yang mengalami tekanan batin berat, karena semua ini.

Hafalan buta menjadi metode mengajar utama. Peserta didik diminta menelan materi yang begitu banyak. Lalu, mereka dipaksa memuntahkannya di dalam ujian yang menyiksa jiwa. Tak ada kecerdasan yang dilatih. Yang ada hanya pembodohan dan pembunuhan akal sehat.

Ini ditambah dengan kepatuhan buta yang dituntut pada peserta didik. Pertanyaan kritis dianggap pembangkangan. Segala bentuk pertanyaan kritis pun dibunuh. Para pengajar, dan pemimpin negara, adalah orang-orang gila hormat yang, sesungguhnya, tak kompeten di bidangnya.

Tidak hanya pikiran yang harus seragam. Baju pun harus seragam. Agama kematian telah merasuk ke dalam dunia pendidikan Indonesia. Perempuan pun dijajah dari ujung kepala sampai ujung kaki, termasuk batinnya yang disiksa oleh ajaran-ajaran busuk dari tanah gersang nun jauh di sana.

Tak heran, mutu manusia Indonesia amatlah rendah. Mereka sulit sekali menepati waktu dan janji. Cara berpikir penuh dengan tahayul. Ketika beragama, mereka cenderung radikal, dan intoleran.

Manusia Indonesia juga cenderung tak kompeten di bidangnya. Mereka bekerja separuh hati. Mereka juga belajar separuh hati. Jadi, walaupun pendidikan tinggi, namun mutu manusianya tetap amat rendah.

Ketika ada kemungkinan mencuri, maka mereka akan mencuri. Tak heran, seluruh sistem di Indonesia penuh dengan korupsi. Ini juga dibarengi dengan kemunafikan yang tiada tara. Rumah ibadah terus dibangun di berbagai tempat. Namun, korupsi dan intoleransi terjadi setiap saatnya.

Ini semua terjadi, karena mutu pendidikan yang amat rendah. Pendidikan tidak lagi menjadi pendidikan, melainkan “tindakan kriminal”. Ia menyiksa diri peserta didik, sehingga mereka menjadi bodoh dan menderita. Pendidikan adalah tempat terjadinya pelanggaran hak-hak asasi manusia berat terhadap peserta didik.

Akar Masalah

Ada lima hal yang kiranya menjadi sebab. Pertama, para pejabat pendidikan kita berwawasan sempit. Yang ada di pikiran mereka hanya sikap mengabdi pada kepentingan industri dan kapitalisme. Pendidikan disempitkan menjadi pelatihan untuk tenaga siap pakai, dan bukan untuk mengembangkan pribadi manusia seutuhnya. Pendidikan, dalam arti ini, sama saja dengan perbudakan.

Dua, agama kematian juga telah menyebar ke berbagai ruang di Indonesia. Pendidikan adalah salah satunya. Agama kematian mengajarkan hal-hal yang memperbodoh, dan merusak akal sehat. Hati nurani pun menjadi tumpul, terutama karena aturan dan hukum-hukum agama yang sudah ketinggalan jaman, sehingga menghambat kemajuan bangsa sebagai keseluruhan.

Tiga, dari dua hal itu, terciptalah sistem dan filsafat pendidikan yang busuk. Pengaturan pendidikan penuh dengan korupsi dan kesalahan kepemimpinan. Filsafat pendidikan pun sangat tak jelas arah maupun visi yang ingin dicapai. Secara keseluruhan, dunia pendidikan Indonesia pun menjadi membusuk.

Empat, masyarakat juga bersalah dalam hal ini. Kita cenderung tak peduli soal mutu pendidikan bangsa kita. Kita terlalu percaya pada para pejabat pendidikan yang berwawasan sempit. Bahkan, kita mendiamkan agama kematian merusak akal sehat dan nurani kita sebagai bangsa.

Lima, ketidakpedulian bertaut erat dengan kebebalan. Ia adalah sikap keras kepala yang didasarkan pada kebodohan. Kebebalan amat merusak hidup manusia. Di bidang pendidikan, kebebalan membuat kita tetap melakukan hal-hal yang merusak, meskipun kita sudah tahu, bahwa itu salah.

Keluar dari Kebuntuan

Untuk memperluas wawasan, para pejabat pendidikan haruslah belajar filsafat secara sistematik. Filsafat tidaklah boleh dicampurkan dengan agama. Itu hanya akan membuat filsafat kehilangan arah sejatinya, yakni mengembangkan akal sehat dan nurani yang ada di dalam diri manusia. Para pemimpin negara dan masyarakat pun harus mendalami filsafat dengan pola semacam ini.

Hanya dengan begini, sistem dan filsafat pendidikan bisa dikembangkan ke arah yang tepat, yakni pembebasan dan penyadaran manusia seutuhnya. Masyarakat luas tidak boleh diam saja. Mereka harus peduli, dan mendukung semua proses ini. Kita harus menghindari sikap tak peduli ataupun keras kepala yang berpijak pada kebodohan.

Sudah terlalu lama, di Indonesia, pendidikan menjelma menjadi tindakan kriminal. Pendidikan menyiksa tidak hanya peserta didik, tetapi juga komunitas pendidikan itu sendiri. Harga yang dibayar terlalu mahal, yakni penderitaan dan kebodohan bangsa ini. Sudah waktunya, ini berubah.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022) dan berbagai karya lainnya.

4 tanggapan untuk “Pendidikan sebagai “Tindakan Kriminal””

  1. sangat setuju dgn karya diatas. tidak perlu di komentari.
    kl pimpinan pendidikan minat untuk memperbaiki mutu pendidikan , maka berunding lah mereka dgn terbuka , mengundang berbagai pakar pemikiran lain, yg lebih modern, jitu.
    atau mereka cuek, menyadari mutu pendidikan yg jelek, tapi anak cucu dapat pendidikan sekolah di luar negeri.
    salam hangat !!

    Suka

  2. “Agama kematian telah merasuk ke dalam dunia pendidikan Indonesia. Perempuan pun dijajah dari ujung kepala sampai ujung kaki, termasuk batinnya yang disiksa oleh ajaran-ajaran busuk dari tanah gersang nun jauh di sana.”
    Dalam kalimat ‘agama kematian…’ di atas, apa pak reza bisa menjelaskan maknanya? karena yang saya pikirkan adalah masyarkat indonesia sendiri lah yang membuat nama agama tercoreng kebaikannya demi mengunggulkan kelompok tertentu. Padahal peradaban dulu yang besar seperti Mesopotamia, Mesir Kuno, dan lain-lain itu terlahir ada karena agama serta budaya yang mereka kaji serta anut, contohnya piramida dibangun supaya orang-orang mesir bisa menyembah dewa-dewi mereka, lalu penanggalan kalender di Mespotamia dibuat agar mereka bisa tahu kapan ritual penyembahan dan melakukan kegiatan bercocok tanam. Yang jadi permasalahan adalah masyarakat indonesia masih menganggap bahwa agama sebagai landasan moral setiap manusia dan tenaga pendidik yang masih menjalankan profesionalismenya dengan mengajar di kelas saja, tanpa adanya mendidik serta membimbing peserta didik. Untuk perempuan, saya orang islam dan tahu persis bahwa dalam agama saya sendiri, perempuan diwajibkan untuk menutupi aurat yaitu dengan berjilbab atau berkerudung. Memang kurang adil, memaksakan seorang peserta didik perempuan harus mengenakan hal tersebut, apalagi jika ia belum memahami banyak seluk beluk agama yang mereka anut. Tapi hal tersebut terkait dengan simbol agama, agar bisa membedakan dirinya dengan agama lain. Bagi saya, ajaran agama memang banyak mengandung perkelahian, peperangan, dan intoleran pada kaum tertentu, namun semua agama sepakat bahwa kebaikan dan hal positif lainnya nomor satu. Namun itu yang membawa manusia ke peradaban yang maju, walaupun sering diartikan sebagai hal mistik. Saya tidak bisa menghakimi, makanya apa makna kalimat pak reza tersebut? karena saya berpikir bahwa kalimat tersebut terdengar sarkasme dan menjurus pada satu agama tertentu, jadi bukankah itu juga intoleran? atau ada makna ganda dalam kalimat tersebut?

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.