
Oleh Reza A.A Wattimena
Pikiran memang ajaib. Di tengah keindahan, ia bisa menghadirkan derita neraka, misalnya melalui kenangan masa lalu yang kelam. Di tengah pedihnya nestapa, ia bisa menghadirkan kegembiraan, misalnya dengan harapan ke depan yang lebih cerah. Segalanya, kiranya, dibentuk dari pikiran.
Dari hal kecil, pikiran bisa menghadirkan hal-hal besar yang tak sungguh ada. Dari hal besar, pikiran bisa mengerdilkannya. Satu cacat seolah bisa mengakhiri segalanya, karena pikiran yang bergerak berlebih. Hidup bisa berakhir, karena pikiran yang terus menyiksa batin.
Pikiran juga bisa menghadirkan suara yang tak sungguh ada. Suara tersebut bisa menyiksa. Ia mengajak kita untuk berbuat yang menyakiti hati. Bahkan, ia kerap mengajak kita untuk bunuh diri.
Gambaran yang tak ada pun muncul, karena pikiran yang tak terkendali. Hal-hal yang tak ada justru tampak di depan mata. Hanyut dalam pikiran, orang kehilangan pijakan pada kenyataan. Orang hanyut dalam mimpi yang ia ciptakan sendiri.
Kenyataan pun runtuh. Batas antara apa nyata dan apa yang khayal tak lagi jelas. Orang hidup di dalam mimpi yang menyiksa hati. Dalam keadaan terjepit semacam itu, bunuh diri tampak menjadi jalan yang memikat hati.
Hakekat Pikiran
Namun, pikiran itu, sejatinya, datang dan pergi. Ia seperti tamu tak diundang yang datang dan pergi seenaknya. Ia seperti asap yang mengganggu, tapi tak sungguh ada. Ia seperti bau kentut yang datang menyiksa, lalu pergi begitu saja.
Maka, pikiran jangan dianggap nyata. Jangan diikuti. Jangan diberi energi. Cukup sadari, ketika ia berkunjung, dan kembali ke saat ini.
Pikiran itu sisa sampah dari masa lalu. Pikiran adalah pola yang terbentuk dari pengalaman di masa lalu. Ia tidak hidup. Ia tidak cerdas.
Ia hanya gudang dari apa yang kita terima sebelumnya. Ia berkarat lewat tumpukan pengalaman. Ia membusuk, karena terus dikunyah, tanpa kesadaran. Pikiran boleh ada, namun jangan ia diikuti, apalagi dipeluk sepenuh hati.
Hal yang sama dengan imajinasi. Ia adalah bayangan tentang apa yang bisa terjadi di masa depan. Pijakan dari imajinasi adalah pengalaman masa lalu, yang dilemparkan sebagai skenario ke masa depan. Maka, ia pun tak lebih dari sampah yang menganggu, bila tak sungguh disadari.
Kesadaran yang Hidup
Siapa kamu, tanpa pikiranmu? Coba jawab pertanyaan ini. Jika pikiranmu dibuang jauh, siapa kamu? Jawaban jujurnya hanya satu: kesadaran yang hidup.
Siapa kamu, jika semua bahasa di dunia ini lenyap? Ruang yang luas. Kosong dan hampa seluas semesta. Sesungguhnya, ia tak bernama.
Inilah diri yang sejati. Ia tak datang dan tak pergi. Ia tetap ada, lepas dari apa yang terjadi. Inilah tempat terciptanya pikiran dengan segala warnanya.
Saat ke saat, kembalilah ke sini. Diri yang sejati, sebelum semua pikiran lahir, adalah rumah kita yang asli. Inilah rumah kesadaran, dimana kita bisa beristirahat sepenuhnya. Saat ajal tiba, kedamaian tetap menyertai, karena kesadaran yang hidup tak akan pernah mati.
Di dalam kesadaran yang hidup, pikiran turun. Ia bagaikan pedang yang kembali ke sarungnya. Ia terhindar dari karat yang merusak fungsinya. Dengan cara ini, ketika digunakan, pikiran justru bisa bekerja dengan amat tajam dan sempurna.
Kita pun lalu sungguh hidup. Kita “bangun” dari mimpi dari derita yang kita ciptakan sendiri. Pikiran boleh datang. Suara dan gambaran khayal boleh berkunjung. Namun, semua itu tampak jauh dan tak berarti, karena kita sungguh sadar, “bangun” dan hidup disini dan saat ini.
Ini semua bisa menyelamatkan hidup anda. Tak perlu lagi derita lahir dari pikiran yang menyiksa jiwa. Tak perlu lagi terpengaruh oleh suara maupun gambaran yang lahir dari khayal. Anda sudah hidup sepenuhnya.
Ayo “bangun”!!!
Terimakasih atas tulisannya.
Sangat sesuai dengan pengalaman yang saya alami…
SukaSuka
jitu !!! kalau minat bisa tercapai.
hanya dgn syarat utama : kesabaran dan tekun utk “berlatih “, penuh kesadaran !!
lain2 tidak ada dan tidak perlu !!
banya salam !!
SukaSuka
Bagaimana ketika seseorang memililih beragama dimana pikiranya secara tidak langsung telah dituntun oleh bayangan masa depan tentang surga neraka ?
SukaSuka
Ini semua bisa menyelamatkan hidup anda. Tak perlu lagi derita lahir dari pikiran yang menyiksa jiwa.Tak perlu lagi terpengaruh oleh suara maupun gambaran yang lahir dari khayal.( hantu astral, saya lebih suka menyebut itu) Anda sudah hidup sepenuhnya.Ayo “bangun”!!!
Setuju , saya kutip alinea terahir mas Reza , pada hemat saya ajaran lama dan baru (etika, psiko-somatik, dan psikologi analitis) mengajarkan bahwa lingkungan sekitar pikiran-pikiran buruk meracuni tubuh. Demikian pula kedekatan dengan perbuatan tidak sehat meracuni pikiran. Tidak ada keraguan bahwa konsep ini telah menjadi jelas sejak awal gagasan konsekrasi, sedemikian rupa sehingga pemurnian tubuh dan pikiran selalu menjadi batu kunci dari setiap sistem inisiasi. Metode yang baik tidak akan memberikan hasil apa pun jika kurang niat (lemah kehendak) Metode tidak pernah cukup tanpa niat. Memang, niat yang kuat bisa melakukan apa yang tidak bisa dilakukan metode saja.
pendapat saya manusia jujur pada kesadarannya sendiri terjebak jargon cartesian ( cagito ergo sum) yang akibatnya fallacy dimana menganggal dirinya adalah pikiran dan pikiran adalah dirinya. Ini memberikan dalil bahwa ‘Manusia adalah apa yang dia ketahui dan dia menjadi apa yang dia pikirkan’. Oleh karena itu menganggap identitas sejati manusia adalah pemikirannya, bukan kesadaran kewarasan, banyak yang tidak menyadari pikiran itu tunduk pada substansi material dan menahannya dalam ikatan kemelekatanya dan banyak siklus kehidupan diperlukan untuk melepaskannya.Pikiran terkurung oleh sensasi fisik, ia hidup, tumbuh, dan larut dalam dunia mental yang jurang mautnya menampung hantu-hantu dari apa yang telah khayalkan dan dipikirkan, dilakukan, atau dikatakan manusia. Masa lalu adalah hantu yang terbuat dari gambar Hantu astral ( khayalan dan pikiran)
Terima kasih
SukaSuka
Terima kasih kembali
SukaSuka
Salam hangat selalu
SukaSuka
Itu hanya pikiran. Jangan dipercaya. Kembali ke saat ini.
SukaSuka
Terima kasih mas reza aa watimena. saya orang yang menderita karena pikiran kacau yang membuat trauma dengan asal tak jelas seperti paranoid.saya sering berobat obatan dokter tetapi tidak membantu. semenjak lebih mengenali filsafat timur seperti yang ditulis oleh pak reza, saya lebih paham meskipun menyembuhkan paranoid cukup susah karena menimbulkan luka batin. terima kasih atas pencerahanya, saya akan berusaha menjadi diri saya yang sebenarnya, salam
SukaSuka
Salam hangat selalu. Terima kasih
SukaSuka
Trimakasih untuk pencerahannya
SukaSuka
Terima kasih kembali
SukaSuka