Budaya Mafia di dalam Politik Indonesia

Project Proton

Oleh Reza A.A Wattimena

Tulisan ini bermula dari percakapan dengan seorang sahabat. Seperti banyak orang lainnya, dia amat prihatin dengan keadaan politik Indonesia. Korupsi, kolusi dan nepotisme tersebar di berbagai penjuru Indonesia. Tiga lembaga utama demokrasi, yakni pemerintah, parlemen dan lembaga hukum, banyak mengalami masalah kinerja, sekaligus juga tak bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Orang-orang berlomba untuk menjadi politisi bukan untuk membangun negara, tetapi untuk memperkaya diri. Politik uang (money politics) bertebaran di berbagai penjuru. Sebuah kebijakan keluar bukan untuk kebaikan rakyat sebagai keseluruhan, tetapi untuk keuntungan segelintir kelompok semata. Agama pun dimainkan untuk politik kerakusan, sehingga justru menghancurkan wibawa dan nilai agama itu sendiri.

Dalam sekejap mata, percakapan kami menjadi gelap. Suasana pesimis terasa di udara. Memang, beginilah jika kita berdiskusi soal “politik” Indonesia. Yang ada hanya makian, kekecewaan dan rasa pesimis.

Namun, apakah semua ini bisa dianggap sebagai politik? Belajar dari Konfusius, pemikir Cina, ketepatan menggunakan kata menggambarkan ketepatan pemahaman. Keadaan politik di Indonesia, dalam arti ini, tidak bisa disebut sebagai politik. Ia adalah gerak para mafia yang mengaku diri sebagai politisi.

Gerak Mafia

Kata Mafia berasal dari bahasa Sisilia Mafiusu. Artinya adalah keberanian. Di dalam bahasa Italia, kata Mafiusu berubah menjadi Mafioso. Artinya adalah orang-orang yang tak punya rasa takut, kreatif dan bangga. Di dalam perjalanan sejarah, kata itu berubah makna menjadi sekelompok orang yang melakukan kejahatan terorganisir (organized crime). Kini, mereka bisa ditemukan di berbagai penjuru dunia.

Setidaknya, ada empat ciri dasar dari mafia. Pertama, mereka adalah sebuah organisasi dengan hirarki yang jelas. Semua anggota memiliki pembagian tugas dan peran yang jelas, mulai dari tukang pukul, koordinator lapangan sama dengan pemimpin tertinggi. Dalam pemerintahan demokratis, ironisnya, kelompok mafia kerap kali mengambil bentuk partai politik.

Dua, mafia berpikir secara sektarian. Mereka hanya mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya. Kepentingan masyarakat secara keseluruhan seringkali dikorbankan. Dalam arti ini, mereka adalah parasit masyarakat.

Tiga, cara kerja mafia penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Kapanpun ada kesempatan, mereka akan mencuri. Mereka akan memasukan teman dan kerabat untuk posisi-posisi yang strategis, walaupun tak ada kemampuan nyata yang diperlukan. Politik dinasti pun menjadi ciri dari kelompok mafia, yakni anak akan mewarisi kekuasaan orang tuanya. Terdengar familiar?

Empat, mafia juga bersikap sok kuasa. Jika dilawan, mereka tak segan menggunakan intimidasi dan kekerasan. Teror dan pembunuhan kerap digunakan untuk menekan lawan-lawan yang ada. Budaya mafia adalah budaya kekerasan yang ditutupi dengan jubah agama maupun jubah politik yang terlihat luhur.

Empat hal tersebut dengan mudah ditemukan di dalam politik Indonesia. Maka dapatlah dikatakan, bahwa budaya mafia kini yang berkuasa di dalam politik Indonesia. Jadi, jangan menggunakan kata politisi, apalagi negarawan, untuk menggambarkan elit politik di Indonesia. Kata mafia, sebenarnya, jauh lebih tepat.

Tentang Politik

Politik yang sejati amat berbeda dari budaya mafia. Politik berasal dari kata Politika, atau Polis, yang berarti urusan-urusan tentang kehidupan kota. Di dalam bahasa Latin, kata itu menjadi politicus yang berarti segala hal yang terkait dengan kehidupan negara dan kewarganegaraan. Di era sekarang, kata politik merujuk pada setidaknya tiga makna.

Pertama, mengikuti Plato, pemikir Yunani klasik, politik adalah soal perwujudan keadilan di dalam hidup bersama. Keadilan ini bukan hanya untuk sekelompok orang, baik kelompok agama, etnis, ras ataupun pandangan politik, tetapi untuk semua. Keadilan semacam ini hanya dapat terwujud, jika semua lembaga negara menjalankan fungsinya dengan baik. Keadilan, menurut Plato, adalah tujuan utama politik.

Dua, mengikuti Jürgen Habermas, pemikir Jerman, politik adalah soal penciptaan ruang publik, dimana setiap orang bisa menyampaikan pemikirannya secara egaliter, bebas dominasi dan setara. Politik Habermas adalah politik demokratis. Melalui komunikasi yang bebas, setara dan egaliter di dalam ruang publik, hidup bersama bisa dikelola dengan baik, sehingga keadilan dan kemakmuran bisa didekati. Hal ini tidak berlaku di dalam totalitarisme, dimana kemakmuran (jika pun ada) kerap kali harus dibayar dengan mengorbankan kebebasan dan keadilan.

Tiga, politik adalah soal kerja sama untuk mewujudkan kebaikan bersama. Dalam arti ini, politik adalah upaya untuk membangun jembatan di antara kelompok-kelompok yang berbeda, guna mencapai kebaikan bersama. Di dalamnya terdapat kemampuan manajerial, integritas dan keluasan berpikir.

Inilah makna politik yang sejati. Politik dalam arti sejati ini tentu amat jarang ditemukan di Indonesia. Realpolitik, yang penuh dengan intrik dan kekerasan, tidak bisa disebut politik, melainkan sebagai gerak mafia di dalam politik. Apa kiranya yang mesti dilakukan?

Beberapa Langkah

Pertama, partai politik memiliki peran penting di dalam politik demokratis di Indonesia. Untuk mencegah lembaga ini berubah menjadi kelompok mafia, perubahan besar-besaran jelas mutlak dilakukan. Budaya mafia harus dibabat habis sampai akarnya. Memang, banyak kepentingan sempit yang akan terluka. Namun, di dalam demokrasi, kepentingan rakyat dan kebaikan bersama haruslah menjadi tolok ukur utama, bukan justru dikorbankan untuk kepentingan sekelompok orang yang tak jujur.

Dua, perubahan mutu partai politik harus melibatkan dua hal, yakni pendalaman ideologi partai, sekaligus kemampuan menerapkannya sesuai dengan konteks. Bagaimana mungkin kader partai yang menggunakan nama demokrasi tidak paham soal perkembangan dan pola demokrasi modern? Bagaimana mungkin partai yang menggunakan nama keadilan tidak paham soal teori keadilan, apalagi penerapannya di dalam masyarakat majemuk? Inilah yang terjadi, ketika budaya mafia telah merasuki partai-partai politik di Indonesia.

Tiga, tekanan untuk perubahan harus terus diberikan. Masyarakat luas harus jeli memilih partai-partai politik yang ada. Kerja sama internasional kiranya bisa membantu dalam hal ini. Semua dilakukan oleh rakyat untuk memantau kinerja partai politik, sekaligus lembaga negara yang dibayar dengan uang rakyat.

Budaya mafia adalah musuh kita bersama. Saya jelaskan kepada sahabat saya, bahwa yang ia gambarkan bukanlah politik, melainkan gerak mafia di dalam politik Indonesia. Sudah waktunya kita tepat menggunakan kata dan konsep, sehingga tepat juga di dalam memahami. Dengan begitu, kiranya musuh bersama, yakni budaya mafia, bisa dipahami dengan jelas, dan bisa mulai diperangi secara sistematis.

 

 

 

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

10 tanggapan untuk “Budaya Mafia di dalam Politik Indonesia”

  1. saya sependapat. begitulah keadaannya, di bbrapa negara begitu menyolok.
    lebih menyebalkan, kalau kalangan / masyarakat hanya mengkritik, mencari kesalahan di orang lain, dikutuk habis2 an.
    tetapi untuk sedikit membaca di ruangan ini, sama sekali tidak minat ( dgn segala macam alasan).
    fenomena inipun achirnya membimbing dan mengajar saya sendiri kearah spirituell.
    dari sudut spirituell saya sedikit memahami jalan pikiran dan tindakan “masyarakat” ( dari kaum politikus sampai teman2 terdekat yg hanya berdebat politik, tetapi tidak mampu membaca artikel serius , yg menganalisasi keadaan )
    herannya, “masyarakat” tertipu dgn mafia berjubah agama.
    langkah pertama, agama harus konsquent dipisah dari politik.
    rasismus bukan di negara barat, tapi di indonesia berkedok agama.
    agama dalang rasismus di indonesia.
    fazit : mafia dlm politik berguna utk saya dalam mencari jati hati dan nurani.
    absurd, paradox aber wahr !!
    salam hangat!

    Disukai oleh 1 orang

  2. die sehnsucht nach innerem frieden
    führen uns zusammen.
    wir sind dankbar, dass wir uns über umwege des lebens gefunden haben.
    die gemeinschaft trägt uns.
    wir putzen und pflegen die kapelle (unsere zendo) mit liebe und lächeln
    trotz einiger hindernisse.
    alles gute !!

    Suka

  3. Begitulah nyatanya mereka para machiavellian dengan Kitab sucinya il prince ( the prince) kitabnya para gangster.
    Politik internasional terutama amerika membuat gado gado
    Bagaimana Machiavellianism, Komunisme, Humanisme Sekuler dan Neo-Konservatisme menginfeksi, patologi agama dan politikkita. Orang-orang yang dipercayai telah menerima kejahatan. Pengetahuan itu hampir lebih dari yang bisa kita miliki ( semua jadi saintisme dimana ilmu pengetahuan jadi agama )
    Siapa di antara kita yang akan berdiri di celah dan membuat pagar untuk menyelamatkan bangsa kita?

    Suka

  4. Hemat saya, mungkin yang sangat urgen adalah kita perlu mencari solusi bersama agar karakter-karakter manusia (sebagai subyek mafia) regenerasinya putus.

    Suka

  5. Terima kasih sudah berbagi. Filsafat politik Machiavelli sebenarnya mengandung unsur baik. Budaya mafia tak ada kaitan dengan politik Machiavelli. Menuhankan ilmu memang lebih berbahaya daripada tak berilmu sama sekali.

    Suka

  6. Bung Reza, saya melihat Habermas menganggap Bahasa sebagai aspek sangat dominan dalam komunikasi. Boleh bantu menjelaskan apa itu Bahasa menurut Habermas? saya ragu bahwa bahasa yang dimaksudkan adalah lebih dominan pada verbal/kata-kata.
    Terimakasih bung, saya selalu menikmati tulisan bung Reza.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.