
Oleh Reza A.A Wattimena
Kita memang hidup di jaman katrok. Dalam arti ini, katrok menggambarkan sikap tidak mau belajar, sehingga ketinggalan jaman. Orang yang katrok akan terus ketinggalan kereta perubahan. Negara yang katrok juga akan terus ketinggalan kereta peradaban.
Bangsa Katrok
Dalam hal politik, sikap katrok dengan amat mudah ditemukan. Identitas primordial dimainkan untuk mendulang suara dan membohongi rakyat. Politik bukannya memberikan pendidikan, tetapi justru pembodohan. Politik katrok menjauh dari cita-cita masyarakat demokratis modern yang adil dan beradab, dan kembali menampilkan kebohongan, serta sikap-sikap primitif yang merusak.
Tata ekonomi kita di Indonesia pun masih katrok. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin amatlah besar, dan bahkan terus membesar. Uang dan kekayaan hanya dikuasai segelintir orang semata. Sebagian besar rakyat hidup pas-pasan, bahkan berkekurangan. Solidaritas, yang merupakan wujud dari keadilan sosial, pun nyaris tak terasa.
Hal serupa terjadi dalam bidang agama. Seluruh dunia bergerak dari agama institusional ke arah spiritualitas yang merupakan inti terdalam dari semua agama. Di dalamnya, orang akan menemukan kedamaian, kebijaksanaan dan cinta yang merupakan nilai-nilai tertinggi semua agama. Di Indonesia, agama terjebak pada formalisme, yakni hanya sibuk mengurusi ritual-ritual dan aturan-aturan yang sudah ketinggalan jaman. Akibat pola inilah intoleransi antar agama, dan di dalam agama, masih cukup tinggi di Indonesia.
Dunia pendidikan di Indonesia pun masih amat katrok. Pola hafalan dan pilihan ganda masih dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Formalisme agama pun menjajah masuk, sehingga anak tidak dididik untuk berpikir mandiri, melainkan tunduk patuh pada ajaran yang sudah ketinggalan jaman. Tak heran, manusia-manusia Indonesia pun terjebak pada mental katrok.
Indonesia juga masih sangat katrok dalam soal penanggulangan bencana. Gempa dan tsunami yang menghantam Palu dan sekitarnya sungguh harus membuat kita berkaca. Daerah ini merupakan daerah rawan gempa, namun dengan sistem deteksi gempa yang amat ketinggalan jaman. Sampai detik tulisan ini dibuat, jumlah korban masih terus bertambah, sebagian karena kelalaian kita untuk membangun sistem tanggap bencana.
Bukan Takdir
Satu hal yang pasti, bahwa katrok bukanlah takdir. Katrok adalah pilihan. Ia dibuat dengan sadar, dan dimaknai dari hari ke hari. Ada tiga hal yang kiranya perlu diperhatikan.
Pertama, katrok dapat dilampaui dengan belajar berpikir terbuka. Artinya, kita belajar untuk melihat jaman yang terus berubah. Tradisi dan pemikiran kita pun disesuaikan dengan perubahan tersebut, tanpa kehilangan keunikan kita sebagai pribadi, dan sebagai bangsa. Ini adalah syarat utama untuk menghancurkan sikap katrok.
Dua, di atas langit masih ada langit. Banyak bangsa di dunia ini lebih baik dari kita dalam segala unsur tata kelola pemerintahan dan pembangunan. Kita perlu sungguh mengakui ini dengan rendah hati, dan belajar dari mereka. Hanya dengan begitu, kita bisa terhindari dari mental katrok yang begitu dalam tertanam, seperti sekarang ini.
Tiga, semua ini menjadi percuma, tanpa adanya keinginan untuk berubah. Salah satu tantangan terbesar berbagai institusi di Indonesia adalah kemalasan sekaligus ketakutan untuk berubah. Perubahan memang membawa ketidakpastian, namun juga peluang untuk perbaikan. Kemauan untuk terus berubah menanggapi berbagai perkembangan jaman adalah kunci memusnahkan mental katrok.
Mental katrok adalah mental terbelakang. Ia menghambat perkembangan berbagai segi kehidupan, sehingga tercipta berbagai masalah sosial, mulai dari kemiskinan sampai terorisme. Ia tidak bisa didiamkan begitu saja, seperti yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Taruhannya terlalu besar.
“Karena negara yang gemah ripah loh jinawi, masyarakatnya gak boleh terlalu pinter” – Voldemort
SukaSuka
Kajian yang sangat menarik. Saya sangat tertarik dengan setiap kajian dalam Rumah Filsafat. Atas daya dorong literasi dan dengan semangat mengabdi pada kebenaran, saya pun berniat untuk sesekali tulisan saya juga turut diposting di dalam web. Rumah Filsafat.
Salam dan hormat
Saya Fr. Yudel Neno di Seminari Tinggi Santo Mikhael Penfui Kupang
SukaSuka
sepakat sekali dgn maksud bang reza diatas.
menurut pengertian saya, di indonesia pemikiran katrok disebabkan oleh system pendidikan dan agama, juga primodialisme.
menurut hemat saya sebab musababnya lebih komplex dari alsan diatas, sebab fenomena thema diatas pun saya alami di negara barat,yg system pendidikannya extrem lain (yg juga sangat jelek effekt nya) dan pandangan ttg agama juga lain.
saya bertukar pikiran dgn rekan2 kritis , tanpa hasil konkret.
menurut hemat saya, cara pemikiran dan tindakan (cara hidup) harus/ada baiknya dirubah pelahan2 dgn jalan spirutualisme.
kita sebagai mahluk di alam semesta, harus (ada baiknya) ikut kritis memelihara dunia hidup kita sendiri utk kesejahteraan kita “sendiri”/bersama ( sendiri=semua alam semesta, dgn mahluk dll, dll).
kita berkaitan satu sama lain, tidak pandang bulu, mahluk apa saja.
menurut pandangan sederhana saya, misal nya gempa dan malapetaka tidak ada, sebab kita begitu “taat” agama, maka manusia pun tidak ada.
benua amerika, afrika, laut merah pun tidak ada, sebab semua masih bersatu seperti pulau raksasa, mungkin yg ada hanya dinosaurus.
begitulah fazit di bberapa hari ini, yg juga semua relativ.
cukup kita cari / belajar nalar sehat dan hati nurani !
karya bang reza menyejuk kan hidup.
fakta negativ, tetapi selalu ada harapan utk berubah, sehingga bagaimanapun kita “naik darah, kecewa, sedih dll” sekaligus kita mampu merangkul dunia dgn kasih, yg terasa dari lubuk, bukan “komando dari harus, harus, harus, harus”.
banya salam !
SukaSuka
Mantaphh bang Reza.. ulasannya bernas..👌💡
SukaSuka
Malas membunuhmu
SukaSuka
Orang awam melihat musibah:
1. Pencegahan 2. Penanganan
3. Rehabilitasi. Sekarang yg paling realistis buat kita adalah point 2-3. Pencegahan ranahnya alam (ketidakpastian), bahkan sekelas negara maju pun tidak benar² mampu memprediksi apalagi mencegah musibah.
Bagaimana kita melihat sesuatu itu adalah sesuatu, dan kemungkinan ada ribuan sesuatu. Sesuatu itu bisa keseimbangan, kesempatan, keadilan, persatuan dllsb.
Intinya kita masih takut menggauli perubahan.
SukaSuka
hehehe.. bukankah justru sebaliknya? Masyarakatnya harus pinter.
SukaSuka
Terima kasih. Sama2 belajar, Frater.
SukaSuka
Terima kasih. Pengalaman sebagai warga negara dunia memang harus diperkenalkan dulu, sebelum anak memasuki pendidikan soal identitas. Jika tidak, mereka akan sempit dan cenderung jahat pada orang yang memiliki identitas berbeda.
SukaSuka
Terima kasih. Salam hangat.
SukaSuka
Salam dan hormat
SukaSuka
belum tentu…
SukaSuka
Saya sepakat. Kata “menggauli perubahan” itu terasa tepat sekali.
SukaSuka