Pendidikan Yang “Berhasil”

Experiments in Art Education

Oleh Reza A.A Wattimena

            Banyak orang terkaget-kaget, ketika mendengar, bahwa radikalisme agama telah merasuki dunia pendidikan Indonesia. Tidak hanya itu, radikalisme sudah berbuah menjadi terorisme yang mengancam hidup banyak orang.

            Jika dipikirkan lebih dalam, sebenarnya tak ada yang perlu dikagetkan. Berkembangnya radikalisme di dunia pendidikan justru adalah tanda “keberhasilan” pendidikan nasional Indonesia.

            Mari kita cermati lebih dalam. Pertama, pola mengajar di berbagai institusi pendidikan Indonesia masihlah menggunakan pola kuno, yakni pola otoriter yang menuntut kepatuhan buta dari murid.

            Perbedaan pendapat dianggap sebagai simbol kekurangajaran. Pertanyaan kritis dianggap sebagai kesombongan. Kreativitas dianggap sebagai tanda sikap tak disiplin.

            Proses belajar mengajar pun menjadi proses satu arah dan menyiksa peserta didik. Bentuk pelarian dari siksaan ini beragam, mulai dari kenakalan remaja, sampai dengan bergabungnya peserta didik dengan berbagai organisasi radikal.

            Dua, pendidikan di Indonesia juga dijajah oleh formalisme agama. Agama dianggap sebagai kebenaran mutlak yang tak boleh dipertanyakan.

            Ajaran agama diajarkan dengan mengandalkan satu tafsir semata, tanpa mempertimbangkan kemungkinan lainnya. Pemahaman agama yang sempit dalam sesat akan melahirkan gerakan radikalisme agama yang membuahkan berbagai tindak kekerasan.

            Tiga, pendidikan di Indonesia juga sudah menjadi budak sistem ekonomi kapitalistik. Di dalam sistem ekonomi ini, kerakusan, kompetisi dan standarisasi pendidikan dilihat sebagai sesuatu yang tak bisa dihindari.

            Yang tercipta kemudian adalah manusia-manusia tanpa empati dan solidaritas terhadap lingkungannya. Inilah kiranya yang disebut Thomas Hobbes sebagai homo homini lupus, yakni manusia menjadi serigala bagi sesamanya.

            Empat, dunia pendidikan Indonesia juga dilanda banjir informasi. Begitu banyak hal harus dihafal, dan kemudian dimuntahkan kembali secara harafiah di dalam ujian.

            Informasi bukanlah pengetahuan. Ia juga bukan kebijaksanaan. Banjir informasi justru membuat orang bingung dan lelah. Akibatnya, mereka menjadi tak peduli.

            Empat hal ini menjadi potret umum dunia pendidikan Indonesia. Apakah ini sesuai dengan cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa? Jawabannya jelas tidak.

            Cita-cita pendidikan boleh luhur terpajang di berbagai slogan pembangunan nasional dan acara kenegaraan. Namun, kenyataan sehari-harilah yang sungguh berbicara.

            Dengan pola pendidikan yang otoriter, membunuh pemikiran kritis, terjebak pada formalisme agama dan dijajah oleh dunia bisnis kapitalistik, maka radikalisme dengan mudah bertumbuh di Indonesia. Dengan gamblang dapatlah dikatakan, bahwa radikalisme adalah tanda sistem pendidikan Indonesia yang “berhasil”.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

25 tanggapan untuk “Pendidikan Yang “Berhasil””

  1. begitu juga pandangan saya.
    selagi membaca artikel tsb timbullah pemikiran, bahwa agama harus di pisah dari politik dan pendidikan.
    dalam keadaan sehari2, kita alami di indonesia, komentator tv, para penceramah, bahkan guru sekolah tingkat apapun , mereka gaya berbicara nya seperti robot !
    pertanyaan : kapan pendidikan di indonesia di reformasi ?
    bagaimana mulai nya selama “yang bertanggung jawab” bertutup mata dan telinga ?
    birokrasi yg luar biasa ketat nya, dengan moto, apa yg harus ya harus di jalankan tanpa otak.
    banya salam !!

    Suka

  2. salam sejahtera
    Amithaba
    paparan mas Reza kalau boleh fi analogikan tidak jauh berbeda dengan klaster kanker yang tumbuh di tubuh manusia, tidak terdeteksi sampai tumor telah membentuk residensi di organ atau jaringan yang tidak terduga. Dan ketika itu telah ditemukan, rintangan pertama yang terbesar dan harus diatasi, PENOLAKAN ATAS KEBERADAANNYA.

    Suka

  3. Beberapa poin pendidikan diindonesia sudah baik seperti dituntut kritis dan tidak terpengaruh oleh hal yg menggangu jalanya berfikir, saya merasaknya sendiri di bangku kuliah

    Suka

  4. Agama sebagai ritual harus dipisahkan dari politik dan pendidikan. Itu amat pentiing. Namun, nilai-nilai moral universal di dalam agama tetap harus meresapi politik dan pendidikan. Indonesia masih menunggu untuk bangun dari tidur dogmatiknya. Banyak salam.

    Suka

  5. “indonesia lagi menunggu bangun dari tidur dogmatiknya”, saya jadi teringat theaterstück “warten auf godot”.
    suatu “latihan” untuk kita sendiri dalam mencapai / menemukan kebijaksanaan.
    banya salam !!

    Suka

  6. Pendidikan yang “berhasil” itu ketika tampilan para siswa hanya terlihat cerdas di luar tapi bodoh sebodoh-bodohnya di dalam contohnya terlihat agamis di luar tapi ternyata di ciduk Densus dll.

    Suka

  7. Himmm…benar benar realitas yang terjadi.Sering berkotbah dengan ayat ayat yang tidak dibahas konteksnya kapan terjadinya,mengapa hal itu ditulis yang bahasanya radikal dan mengkafirkafir kan.Sangat memprihatinkan.

    Suka

  8. Agama itu kebenaran mutlak, pendidikan saat ini harusnya memperkuat keinsyafan beragama bukan sebaliknya. Memisahkan agama dari kehidupan duniawi bukan jawaban, namun menjadi simbol degradasi moral, seseorang yg memegang kuat agamanya tak akan jatuh pada radikalisme.

    Suka

  9. Hehehe pandangan ini yang membuat perang antar agama dan di dalam agama. Justru negara yang agamanya kuat cenderung kacau dan penuh konflik. Tidak ada yang mutlak di dunia ini. Coba dalami agama anda sampai level spiritualitas.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.