
Oleh Reza A.A Wattimena
Berulang kali saya mendengar keluhan dari keluarga dan teman, bahwa hidup ini sulit. Hidup ini berat untuk dijalani. Jadi orang baik, kita justru hidup miskin dan susah. Jadi koruptor dan pemeras, kita justru bisa kaya dan ternama. Hidup ini tidak adil, begitu kata mereka.
Pandangan semacam ini diperkuat oleh lagu Hidup Adalah Perjuangan yang dinyanyikan oleh grup band Dewa. Hidup dilihat sebagai perjuangan tanpa henti-henti. Banyak penyesalan dan harapan yang patah arang. Apakah seperti itu? Apakah ini pandangan yang sesuai dengan kenyataan sebagaimana adanya?
Pikiran
Hidup menjadi berat, ketika kita berpikir berlebihan. Hidup adalah perjuangan, ketika kita sibuk dengan membuat label baik-buruk serta benar-salah dalam hidup kita dan hidup orang lain. Ketika kita hidup dengan pola seperti ini, kita akan sering merasa bingung dan cemas. Akhirnya, kita tidak hanya membuat susah diri kita sendiri, tetapi juga orang lain.
Namun, jika diperhatikan lebih dalam, sejatinya, hidup bukanlah penderitaan ataupun perjuangan. Hidup adalah membuat keputusan setiap saatnya. Kita hanya perlu menemukan kejernihan di dalam diri kita sendiri, lalu membuat keputusan dari kejernihan tersebut.
Ada keputusan yang berdampak untuk diri kita sendiri. Ada pula keputusan yang memberikan pengaruh pada hidup orang lain. Jika anda adalah pejabat publik atau pemimpin sebuah organisasi besar, maka keputusan anda akan mempengaruhi hidup banyak orang. Kejernihan jelas amat diperlukan disini.
Kejernihan
Bagaimana kita bisa mendapatkan kejernihan berpikir? Kejernihan berpikir justru dapat diperoleh, ketika kita melepaskan pikiran itu sendiri. Kita menyapu bersih segala bentuk pikiran yang muncul, dan kembali ke kesadaran akan keadaan diri kita disini dan saat ini. Kesadaran tersebut lalu menjadi dasar hidup kita.
Kesadaran semacam ini, sebenarnya, adalah jati diri kita yang sejati. Itu adalah diri kita yang asli. Kita bukanlah identitas sosial kita, atau pikiran serta perasaan kita. Itu semua hanya ilusi yang bisa diubah dalam sekejap mata. Ketika semua pikiran, perasaan dan identitas sosial kita dilepas serta dihapus bersih, kita lalu bisa mencerap dan menyadari jati diri kita yang sejati.
Di titik ini, kita memperoleh kejernihan yang sesungguhnya. Kita lalu bisa memahami keadaan yang kita alami apa adanya. Kita tidak lagi hidup dari prasangka ataupun kesalahan berpikir yang diajarkan kepada kita oleh masyarakat. Edmund Husserl, filsuf Jerman, menyebutnya sebagai hidup yang fenomenologis, yakni hidup dengan kembali pada kenyataan itu sendiri apa adanya (zurĂĽck zu den Sachen selbst).
Peran dan Fungsi
Jika pikiran kita jernih, kita bisa memahami hubungan kita dengan keadaan yang ada. Artinya, kita bisa memahami peran utama kita di dalam setiap keadaan yang kita alami. Ketika orang lain susah, kita bisa memahami peran utama kita, yakni untuk membantu mereka sesuai dengan kemampuan kita. Jika pikiran kita kacau, kita tidak akan pernah memahami peran kita di dalam hidup.
Jika kita bisa paham akan peran kita, kita lalu bisa bertindak dengan tepat. Ketika orang lapar, kita memberi mereka makan. Ketika orang lain haus, kita memberi mereka minum. Tindakan yang tepat, yang sesuai dengan peran kita dalam keadaan tertentu, tidak hanya berlaku dalam hubungan dengan manusia lain, tetapi juga dengan semua mahluk hidup lainnya.
Ini semua dilakukan secara alami dan spontan. Tidak ada pamrih. Tidak ada kepentingan terselubung untuk menguasai atau menaklukkan. Hidup semacam ini, di dalam tradisi filsafat Timur, disebut sebagai hidup Boddhisatva, yakni hidup yang bermakna untuk sepenuhnya membantu semua mahluk hidup.
Kebebasan
Hidup semacam ini adalah hidup seperti cermin. Kita memantulkan keadaan yang ada, memahami peran kita, lalu bertindak untuk membantu. Semua dilakukan saat demi saat. Masa lalu, masa kini dan masa depan melebur menjadi satu, yakni dalam pencerapan kita akan keadaan saat ini, dan apa yang bisa kita lakukan secara nyata.
Dengan pola hidup semacam ini, segala keadaan yang datang bisa dipahami dengan kejernihan. Tidak ada masalah. Kita bisa menggunakan hal-hal baik untuk membantu orang lain. Kita pun juga bisa menggunakan hal-hal jahat, selama itu bisa membantu orang lain.
Hidup ini, sejatinya, tidak hitam putih. Tidak ada pemisahan tegas antara baik dan buruk. Pemisahan mutlak semacam itu hanya ada di dalam teori dan ajaran moral yang naif. Ketika kita melampaui kebaikan dan kejahatan, kita akan mengalami kebebasan yang sesungguhnya. Tidak ada hal apapun lagi yang bisa menghalangi kita. Bukankah ini yang kita inginkan?
izin share mas…
SukaSuka
Kebebasan adalah kembali ke fitrah sebagai manusia yang terikat hukum-hukum Tuhan (mahluk biologis, sosial, dan spiritual). Yang tak pernah lupa arti konak/lapar, yang tak pernah lupa arti hidup bersama, dan yang tak pernah lupa berpikir dan bertanya tentang segala misteri kehidupan. Whatever, hidup bukanlah masalah yang harus dipikirkan, tapi ia adalah kenyataan yang harus dialami.. J
SukaSuka
Siapa yang buat teori semacam ini?
SukaDisukai oleh 1 orang
Monggo mas…
SukaSuka
Yang bapak tulis dlm artikel ini mirip dengan apa yg presiden jokowi katakan ketika ia di wawancarai majalah tempo. Isinya kurang lebih seperti ini ” kalau melihat masalah itu harus fresh. Jadi mikirnya jernih. Ga kagetan” . 🙂
SukaSuka
hhehehe… iya… tapi apakah Pak Jokowi memberikan cara untuk sampai pada kejernihan tersebut?
SukaSuka
Nah, itu yg saya ” tidak tahu ” pak. Heheeee……
SukaSuka
ya…
SukaSuka
Reblogged this on Agung Pramudyanto.
SukaDisukai oleh 1 orang
Hati suci, akal menerima kebijakan , nafsu sebagai motivasi ,anggota tubuh pelaksana..
Bila tindakan di mulai dari hati akan baik budi
Bila tindakan dimulai dari nafsu akan jelek budi
SukaSuka
Hati dan nafsu sama saja, jika ada kelekatan. Lepaskan kelekatan. Lepaskan hati. Lepaskan nafsu. Apa yang tersisa?
SukaSuka