Machiavelli dan Kecerdikan Politis

deviantart.net
deviantart.net

Oleh Reza A.A Wattimena

Jika anda ingin menjadi politikus, maka ada satu buku yang wajib anda baca. Judulnya adalah Il Principe, atau Sang Pangeran yang ditulis oleh Niccolo Machiavelli (1469-1527). Buku ini bisa menuntun anda untuk menjadi penguasa politik yang sejati, dan bukan yang murahan. Bahkan, dapat dibilang, buku ini adalah salah satu buku yang paling banyak mengundang tafsir dan debat sampai sekarang di kalangan para ahli ilmu politik, filsuf politik dan politikus itu sendiri.

Niccolo Machiavelli menulis buku itu pada 1532.1 pada waktu itu, ia adalah diplomat sekaligus pegawai pemerintahan di Florence (sekarang bagian dari Italia). Dalam karir politiknya, ia banyak berhubungan dengan Raja Perancis dan Raja Jerman (waktu itu Kekaisaran Romawi Suci). Karena suatu masalah politik, ia akhirnya dikejar dan kemudian dibunuh.

Machiavelli menulis tentang banyak tema, mulai dari etika, sejarah filsafat, puisi, politik, bahkan komedi. Namun, banyak orang mengenal nama Machiavelli hanya dari karya politiknya, Il Principe. Juga berkat buku itu, dan tafsiran atasnya, nama Machiavelli memiliki reputasi yang jelek. Ia lalu dikaitkan dengan ajaran tentang berbagai penipuan dan tindakan-tindakan jelek lainnya di dalam politik, demi meraih dan mempertahankan kekuasaan. Namun, König, sumber yang saya acu, menolak tafsiran jelek semacam itu.

Buku Il Principe terdiri dari sekitar 100 halaman. Buku itu bukanlah buku tentang politik yang ideal, melainkan buku tentang keadaan politik yang sangat realistik, apa adanya. Ia banyak memaparkan sejarah politik sampai jamannya sebagai contoh atas argumen-argumennya. Argumentasinya dibangun atas dasar keadaan nyata di dalam politik, dan bukan atas harapan akan politik yang ideal. 500 tahun lebih setelah buku itu terbit, kita masih bisa melihat arti pentingnya, guna memahami keadaan politik sekarang.

Buku ini ditujukan oleh Machiavelli kepada Lorenzo de Medici, penguasa Florence pada waktu itu. Ia berharap buku ini bisa menjadi panduan untuk memimpin negara, tidak hanya untuk Lorenzo, tetapi untuk semua penguasa politik lainnya. Bagian awal buku ini mencoba menjelaskan berbagai cara, sehingga orang bisa memperoleh kekuasaan politis. Ada beberapa cara: warisan, pernikahan, pemberian, hadiah karena prestasi tertentu, penipuan, penaklukan dan juga karena kebetulan.

Machiavelli tidak memberikan penilaian moral atas berbagai cara tersebut. Ia hanya memaparkan apa yang terjadi apa adanya. Berpijak pada pemikiran yang realistis semacam ini, ia lalu menyatakan, bahwa orang boleh berbuat jahat atau baik, namun ia tetap harus menepati janjinya, terutama kepada rakyatnya. Setiap tindakan di dalam politik, sekejam apapun itu, bisa diterima oleh rakyat banyak, asal ada dasar yang kuat atas tindakan itu. Jika penguasa bertindak kejam tanpa alasan, maka rakyat akan memendam dendam, dan dendam itu akan mendorong kehancuran penguasa tersebut.

Kekerasan boleh dilakukan, selama ada dasar yang kokoh atas kekerasan tersebut, misalnya untuk keselamatan diri sang penguasa. Kekerasan dan kekejaman yang dilakukan dengan dasar dan alasan yang kokoh akan menciptakan stabilitas politik. Ini akan menjadi teladan yang baik, supaya orang tetap menjaga kelestarian tata politik yang ada. Kekerasan dan kekejaman yang memiliki dasar yang kokoh akan membuat sang penguasa tidak hanya ditakuti oleh rakyatnya, tetapi juga dicintai sebagai penjaga kedamaian.

Kekejaman yang sewenang-wenang (tanpa dasar) akan juga menciptakan kebencian terhadap sang penguasa politik. Pada titik ini, Machiavelli mengajukan pertanyaan yang amat mendasar di dalam politik, yakni mana yang lebih bagi seorang penguasa, dicintai atau dibenci oleh rakyatnya? Jawabannya adalah, keduanya. Namun, seringkali, ini terlalu sulit. Dalam keadaan seperti itu, maka lebih baiklah bagi sang penguasa, jika rakyat takut padanya.

Rakyat, pada dasarnya, adalah kumpulan orang-orang yang tidak tahu berterima kasih, tidak bisa menjaga stabilitas emosi, munafik, rakus dan pengecut. Namun, di tangan penguasa yang kuat, mereka akan tunduk, karena mereka takut pada kekuatan itu sendiri. Ketakutan lebih bisa menciptakan stabilitas politik daripada rasa cinta dari rakyat. Namun, tentu saja, jauh lebih baik, jika sang penguasa mampu menciptakan ketakutan sekaligus cinta dari rakyatnya melalui keputusan-keputusan politisnya.

Sang penguasa juga harus cerdik. Ia tidak boleh naif, dan hanya terpaku untuk berbuat baik saja. Seorang penguasa yang naif pasti akan jatuh oleh musuh-musuhnya yang berani bertindak licik. Niat baik tidak akan secara otomatis menghasilkan sesuatu yang baik. Bahkan, di dalam politik, yang kerap terjadi adalah sebaliknya, bahwa niat baik justru akan bermuara pada kejatuhan.

Maka dari itu, seorang penguasa perlu untuk bertindak jahat, jika keadaan memaksanya. Keadaan yang ekstrem membutuhkan tindakan yang ekstrem pula. Moralitas tidaklah selalu menjadi acuan utama di dalam politik. Yang terpenting adalah menjaga stabilitas kekuasaan, kalau perlu dengan cara-cara yang dianggap tidak bermoral.

Machiavelli sendiri tidak ingin, jika kekuasaan politik dipegang oleh orang yang rakus akan kekuasaan. Tolok ukur yang dipakainya adalah rasionalitas politik, yakni upaya untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan selama mungkin dengan cara-cara yang mungkin dilakukan. Jika sang penguasa perlu untuk melakukan cara-cara licik setelah mempertimbangkan semua keadaan dan kemungkinan yang ada, maka cara-cara yang licik itu selalu bisa dibenarkan.

Ada tiga hal yang bisa kita pelajari dari buku Il Principe ini. Pertama, setiap keputusan politis tidak boleh dibuat secara sewenang-wenang. Dasar atas alasan yang kokoh dari keputusan politis adalah sesuatu yang amat penting. Tanpa itu, sang penguasa hanya akan menciptakan dendam dan kebencian dari rakyatnya. Ini akan bermuara pada perang dan revolusi.

Dua, sang penguasa harus berusaha menciptakan ketakutan sekaligus rasa cinta dari rakyatnya. Ia harus bisa mempesona rakyatnya, ketika itu dibutuhkan. Sebaliknya, ia juga harus menciptakan rasa gentar di dalam hati rakyatnya, ketika keadaan membutuhkannya. Jika tidak mungkin melakukan keduanya, maka, menurut Machiavelli, ketakutan adalah alat paling baik untuk menciptakan kepatuhan dan stabilitas politik.

Tiga, moralitas memang penting. Namun, di dalam politik, moralitas bukanlah ukuran yang utama, melainkan keberhasilan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah dibuat sebelumnya, dan stabilitas politik. Sang penguasa justru disarankan untuk mengambil langkah-langkah yang licik, ketika keadaan memaksanya untuk berbuat itu. Dengan pandangan semacam ini, Machiavelli menjadi panduan praktis yang amat berharga bagi para politikus dunia, sekaligus ia menjadi setan jahat bagi para moralis yang mengutuk praktek-praktek licik di dalam politik.

1 Saya mengikuti uraian König, Siegfried, Hauptwerke der Philosophie: Von der Antike bis 20.Jahrhundert, 2013 bab dengan judul Niccolo Machiavelli: Der Fürst (1532) dan Machiavelli, Niccolo, The Prince, Oxford, Oxford University Press, 2005. Bagian Introduction, hal. vii-xxxix yang ditulis oleh Maurizio Viroli.

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

2 tanggapan untuk “Machiavelli dan Kecerdikan Politis”

  1. Machiavelli hidup tahun 1469 sampai 1527, tetapi ia menulis buku itu tahun 1532.. berarti arwahnya yang menulis buku itu ya..??

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.