Bandi Pengembara

http://www.plumflowermantisboxing.com

Oleh SUKARDI RINAKIT

Pagi itu, ditimpali deru mobil yang melintas, saya bertanya kepada Pak Harto tentang perjalanan Indonesia ke depan pada era reformasi. Pak Harto diam sejenak, lalu dengan serius menjawab, ”Nanti kamu akan saksikan, tidak mudah mengurus Republik!”

Ingatan itu hadir kembali setelah membaca hasil survei Indo Barometer minggu lalu (Kompas, 16/5).

Para responden mengamini bahwa era Soeharto lebih baik daripada saat ini, terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonomi. Hasil ini tentu mengejutkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Klaim bahwa mereka telah bekerja keras dan membawa Indonesia lebih makmur menjadi mentah.

Sebaliknya, para oponen SBY bergairah dan mempunyai pijakan keras untuk mengkritisi pemerintah. Dari ruang seminar sampai warung kopi ”amigos” (agak minggir got sedikit), mereka menolak tafsir bahwa SBY adalah presiden terbaik dibandingkan dengan presiden lain pada era reformasi. Mereka lebih suka mengatakan, mengutip ungkapan Adhie Massardi, ”Jika Soeharto buruk, SBY lebih buruk. Itulah tafsir data Indo Barometer.” Saya tersenyum mendengarnya. Data yang sama memang bisa ditafsirkan berbeda.

Miskin kehormatan

Terlepas dari tafsir subyektif antara para pendukung dan lawan pemerintah mengenai perikehidupan bangsa saat ini, Indonesia hari ini adalah republik yang miskin kehormatan. Semua tatanan terbelah dan cenderung rapuh karena kebanyakan pejabat publiknya lebih suka mengeluarkan pernyataan politik daripada melakukan tindakan cepat, tegas, dan efektif untuk rakyat.

Situasi tersebut tidak saja membuat semua persoalan menjadi mengambang, tetapi juga membuka jalan lebar bagi aksi bandit-bandit pengembara yang oleh Mancur Olson (2000) disebut roving bandits. Bandit-bandit itu selama ini bergerak, merampok dari satu wilayah ke wilayah lain di Indonesia. Mereka bisa berbaju politisi, pelaku usaha, ataupun penegak hukum. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan mereka bekerja sama dalam menguras harta kekayaan suatu wilayah. Tinggal persentase pembagian hasil rampokan harta rakyat dan kekayaan negara saja yang berbeda.

Kasus Muhammad Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat, terkait dugaan penyuapan proyek wisma atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan, dan pemberian uang kepada Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M Gaffar adalah contoh bening dari fenomena roving bandits tersebut. Hal yang sama ditunjukkan oleh banyaknya anggota legislatif dan pejabat eksekutif yang terjerat kasus korupsi.

Aksi banditisme itu menyebar tak terkontrol di Tanah Air karena gerak politik mereka selama ini telah menghabiskan modal cukup besar. Upaya untuk mengembalikan modal politik, dan akhirnya mengakumulasi kekayaan untuk diri sendiri dan kelompok, menjadi kesepakatan bisu di antara para pelaku.

Keadaan itu menjadi lebih buruk karena partai politik sejauh ini belum bisa menghidupi dirinya sendiri. Mereka pada umumnya mengandalkan tiga pintu sumber dana, yaitu pengusaha, pengurus partai politik, dan pejabat publik yang menjadi bagian integral dari partai tersebut. Sedangkan dana resmi yang diterima dari negara hanya sekadar untuk membeli spanduk dan umbul-umbul partai.

Terlepas dari kerakusan diri sendiri dan tuntutan obyektif partai politik tersebut, aksi para bandit pengembara itu memperoleh jalan lapang dalam melakukan aksi mereka karena pemegang amanah rakyat lamban dalam mengambil keputusan. Pada kasus Nazaruddin, misalnya, jika SBY langsung mengambil sikap sejak semula, masalah tersebut tentu tidak akan berlarut-larut seperti sekarang.

November tahun lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD telah melaporkan kepada SBY mengenai perilaku Nazaruddin yang memberikan uang sebesar 120.000 dollar Singapura kepada Sekretaris Jenderal MK tanpa jelas maksudnya.

Perilaku para bandit pengembara di satu sisi serta lebarnya jurang antara pernyataan politik dan tindakan tegas kepemimpinan nasional di sisi lain secara perlahan mengikis bangunan kebangsaan yang dulu ditegakkan oleh para bapak bangsa. Jika tidak percaya, silakan jalan-jalan mengelilingi sudut-sudut desa. Anda akan mendapatkan di banyak tempat bahwa roh kebangsaan mulai terkunci, cita-cita bersama meredup, dan semangat bersatu meluntur. Dalam ekspresi yang ekstrem, republik ini sejatinya sudah bubar. Tanpa roh. Tanpa cita-cita. Tanpa mimpi besar bersama.

Keseimbangan baru

Karena itu, keseimbangan baru harus dibangun jika kita menginginkan bangsa ini kembali mempunyai kohesivitas kebangsaan yang kokoh. Reformasi 13 tahun lalu sebenarnya dimaksudkan untuk menyeimbangkan kembali bangunan republik yang stagnan karena perilaku otoriter Orde Baru. Ketika reformasi, kita menyongsong demokrasi dengan gairah luar biasa. Berharap semua cepat berubah menjadi lebih baik bagi perikehidupan rakyat.

Sayang sekali, jalannya demokrasi tersebut melamban. Bandit-bandit pengembara itu menghambat lajunya. Kekurangtegasan kepemimpinan nasional menahan kecepatan konsolidasinya. Kebebasan pers, kebebasan bicara, tak lebih dari panggung depan dari praktik politik kelam di panggung belakang.

Oleh sebab itu, agar keseimbangan baru di Indonesia terwujud, Presiden harus menyapu para bandit pengembara yang berkeliaran, termasuk yang bersembunyi di partai yang dibinanya. Jika tidak, lupakan mimpi bersama kita tentang hari indah di masa depan.

SUKARDI RINAKIT Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate

Kompas 24 Mei 2011

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.