
Oleh Reza A.A Wattimena
Ada yang lenyap di masyarakat kita. Lembaga perwakilan tanpa keterwakilan. Bangsa tanpa cita-cita kebangsaan. Agama tanpa spiritualitas yang mendalam.
Yang kita dapatkan kemudian adalah lembaga perwakilan yang merugikan orang-orang yang diwakilinya. Bangsa yang warganya tak memiliki semangat patriotisme. Agama yang tak memiliki belas kasih. Dan pendidikan tanpa cita-cita pencerahan maupun penyadaran kritis.
Juga ada yang putus di bangsa kita. Politik putus dari moralitas. Karya seni putus dan pendidikan. Agama putus dari ilmu pengetahuan dan filsafat.
Semua bidang itu ada di dalam masyarakat. Namun semuanya seolah tak terhubung. Yang kita dapatkan adalah politik tanpa moralitas. Seni tanpa aspek pendidikan. Agama yang amat tidak rasional sekaligus destruktif.
Lenyap Esensi
Banyak ahli sudah melihat gejala hilangnya esensi. Contohnya banyak mulai dari kopi tanpa kafein, sampai dengan perwakilan rakyat yang tak memberikan keterwakilan yang semestinya. Inilah gejala yang disebut Budi Hardiman (2010) di dalam tulisannya di Kompas sebagai gejala raib hakikat.
Indonesia kini tengah mengalami raib hakikat. Hakikat kebangsaan yang plural ditelan fanatisme agama. Hakikat pendidikan yang menyadarkan mencerahkan diganti dengan pola didik tukang-tukang tanpa pikiran kritis.
Padahal sesuatu baru bisa berarti, jika ada hakikat. Kopi bukanlah kopi jika tak ada kafein. Pemimpin bukanlah pemimpin jika ia tidak memiliki karakter kepemimpinan. Pendidikan tidak bisa disebut pendidikan, tanpa upaya untuk mencerahkan hati dan pikiran peserta didik, serta membangun refleksi kritis atas situasi masyarakat.
Kesadaran ini membuat kita perlu bertindak untuk mengembalikan hakikat yang vakum. Kita perlu bergerak mengembalikan keterwakilan ke dalam semua lembaga perwakilan kita. Kita perlu bergerak mengembalikan pencerahan dan penyadaran kritis di dalam pendidikan kita. Ini adalah keharusan yang tak bisa ditawar.
Lenyap Relasi
Rupanya yang lenyap tak hanya esensi (hakikat), tetapi juga relasi. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, politik putus dari moralitas. Dua bidang yang harusnya bersandingan kini terpisah bagaikan dua pihak asing. Bahkan tak jarang orang bilang, bahwa menyandingkan politik dan moralitas adalah sebuah tindakan bodoh.
Kita juga bisa melihat, bagaimana karya seni terlepas dari pendidikan. Lagu-lagu yang populer tidak mendidik, namun justru mendangkalkan cara berpikir dengan lirik cinta semu, maupun rayuan gombal. Film yang tampil di TV maupun bioskop cenderung memberi hiburan tanpa pendidikan. Seperti disitir Bre Redana di dalam tulisannya di Kompas (2011), jika film atau lagu memiliki aspek pendidikan, maka penjualannya pasti rendah, alias tidak laku di pasaran.
Kita juga bisa melihat, betapa agama menjadi begitu dogmatis dan kaku, karena tak berhubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan maupun filsafat. Agama menutup diri dari perkembangan dunia. Agama tak mau berhubungan dengan perubahan yang lahir setiap waktu, dan memutuskan untuk berhenti mengolah apa yang ada di dunia.
Itulah yang kita alami bersama di Indonesia. Bidang-bidang kehidupan saling terputus satu sama lain. Semuanya sibuk dengan mekanismenya sendiri, dan tak melihat adanya alternatif untuk mendekat.
Mengembalikan dan Mendekatkan
Gerak balik harus dilakukan. Hakikat yang lenyap harus dikembalikan. Hubungan yang renggang harus didekatkan. Jika dua hal ini tak segera dilakukan, maka Bangsa Indonesia bisa tinggal kenangan.
Keterwakilan harus dikembalikan ke dalam lembaga perwakilan. Caranya bisa beragam mulai dari membuat peraturan perekrutan yang baru, atau kemungkinan untuk segera merombak yang ada, ketika keadaan memaksa.
Cita-cita luhur kebangsaan yang plural harus dikembalikan ke dalam pola pikir anak bangsa. Spiritualitas penuh belas kasih harus dikembalikan ke dalam agama. Karena tanpa belas kasih, agama tidak akan pernah bisa menjadi agama.
Semangat memberi pencerahan dan membangun kesadaran kritis harus dikembalikan ke dalam semua jenjang pendidikan. Karena tanpa kedua hal mendasar itu, pendidikan tidak pernah bisa disebut sebagai pendidikan.
Kita juga perlu mendekatkan. Politik harus didekatkan dengan moralitas. Karena politik tidak bisa berjalan untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan, tanpa nilai-nilai moral di dalamnya.
Karya seni juga perlu didekatkan dengan pendidikan. Karya seni yang bermutu mencerahkan pikiran, seperti layaknya pendidikan yang sejati. Agama perlu mendapat sentuhan dari filsafat maupun ilmu pengetahuan, supaya bisa memberi makna pada dunia yang terus bergerak.
Kita perlu mengembalikan dan mendekatkan kembali apa yang telah lenyap dan putus. Jika tidak ancamannya cuma satu; ketiadaan. Semoga kita sadar. ***
Penulis adalah Peminat Filsafat Politik
Apakh mungkin lenyap ini adalah sebuah jalan pembuka bagi lahirnya hakikat baru?
SukaSuka
Ini pertanyaan bagus. Saya jadi berpikir. Mungkin lenyap ini adalah momen anti tesis yang sedang menunggu terciptanya sinstesis; yang merupakan kombinasi yang lebih tinggi dari tesis dan antitesis. Bagaimana menurutmu?
SukaSuka
Hehehe…itu juga yang menjadi kerangka di pikiranku. Selama ini kita sibuk mencegah sesuatu terjadi, ketimbang melihat akan kemana ini semua bermuara….atau lebih tepatnya, apa yang bisa kita kontribusikan di dalamnya.
SukaSuka
“hilangnya” esensi adalah fakta. Dan seperti kamu bilang, apa yang bisa perbuat dengan itu, dan tidak lagi melulu menyesali apa yang telah terjadi. Saran saya adalah berupaya sekuat tenaga untuk mencari sintesis dari apa yang terjadi.
SukaSuka