Membangun Kelas Ekonomi Menengah

http://dublinopinion.com
http://dublinopinion.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen di Fakultas Filsafat, Unika Widya Mandala Surabaya, sedang belajar di München, Jerman

Paul lahir di Polandia. Dia belajar Teknik Sipil di sana, dan kemudian segera berusaha mencari pekerjaan. Akan tetapi, di Polandia, pekerjaan untuknya sedikit, dan upahnya pun bahkan tidak cukup untuk menyewa apartemen kecil di kota. Dia pun segera mencari alternatif.

Sejak 2004, kawasan Uni Eropa terbuka untuk orang-orang Polandia. Mereka bisa mencari kerja dan membangun hidup di negara-negara Uni Eropa. Paul pun memilih Jerman, tepatnya kota Hamburg, kota besar di Utara Jerman. Di sana, ia memperoleh pekerjaan dengan upah minimum 8 Euro per bulan.

Itu artinya, ia mendapatkan kurang lebih 2000 Euro per bulannya. Itu cukup untuk menyewa apartemen di kota, menabung, dan mulai belajar intensif bahasa Jerman. Rupanya, Paul tidak sendirian. Sebagaimana dilaporkan Der Spiegel bulan Maret 2013, begitu banyak tenaga kerja produktif dan profesional usia muda dari Polandia pergi merantau meninggalkan tanah airnya, dan mencari pekerjaan di negara lain.

Kelas terdidik di Polandia pun berkurang drastis dalam waktu lima tahun belakangan ini. Ekonomi terpuruk. Dengan pendapatan sekitar 2,5 Euro per jam, mereka lebih memilih untuk mencari penghidupan di negara lain. Kelas menengah pun berkurang, dan kesenjangan sosial ekonomi antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin pun semakin besar.

Di Indonesia, gejala serupa mulai terlihat. Banyak tenaga ahli yang memilih untuk bekerja di luar negeri, dengan harapan memperoleh upah yang lebih layak, serta bisa bekerja sesuai dengan bidang keahlian mereka. Gejala ini disebut juga sebagai Brain Drain. Akibatnya, kelas menengah di Indonesia pun semakin tipis, dan, serupa dengan di Polandia, jurang antara kelas ekonomi atas dan kelas ekonomi bawah pun semakin besar. Lanjutkan membaca Membangun Kelas Ekonomi Menengah