Oleh Dhimas Anugrah
Pendiri Lingkar Filsafat (Circles) Indonesia, sebuah komunitas pembelajar di bidang budaya, filsafat, dan sains. Studi di Oxford Center for Religion and Public Life, Inggris.
Kabar wafatnya mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif di Yogyakarta pada Jumat 27 Mei 2022 mendatangkan duka bagi seluruh negeri. Sementara pada Minggu 29 Mei 2022 kabar duka kembali datang menyelimuti. Kali ini bagi komunitas Kristen Injili di Tanah Air. Pdt. Daniel Lucas Lukito, mantan Ketua Sekolah Tinggi Teologi SAAT di Malang, dikabarkan meninggal pada pukul 02.39 dini hari. Almarhum disebut-sebut sebagai salah satu pemikir besar dari kalangan Injili Indonesia. Kepergian kedua tokoh ini selain mengundang duka, juga mengajak kita melihat kembali realitas yang tak terelakkan: suatu hari kita akan berpulang.“No party that never ends,” tidak ada pesta yang tidak akan berakhir. Semua orang akan meninggal dunia. Seperti silogisme klasik. Premis Universal Positif: “Semua manusia akan mati.” Premis Partikular Positif: “Sokrates adalah manusia.” Konklusi Partikular Positif: “Jadi, Sokrates akan mati.” Silakan saja ganti nama “Sokrates” dengan nama Anda sendiri. Anda akan menemukan bahwa kita bernasib sama pada akhirnya nanti. Kita akan mati, sama seperti orang-orang yang kita kasihi, yang sudah lebih dulu meninggalkan kita. Anda mungkin sudah siap. Tetapi, tidak sedikit dari kita yang belum siap, bahkan takut mati.
Menurut “Survey of American Fears” pada tahun 2017 yang dilakukan oleh Universitas Chapman, tercatat 20,3% orang Amerika “takut” atau “sangat takut” mati. Survei ini mencakup respons lain yang melibatkan kematian lebih spesifik, seperti pembunuhan oleh orang tak dikenal (18,3%), termasuk pembunuhan oleh seseorang yang dikenal (11,6%). Realitas ini mendorong komedian Jerry Seinfeld berujar, “Ini berarti bagi kebanyakan orang, jika Anda pergi ke pemakaman, merasa lebih baik berada di peti mati daripada melakukan pidato kedukaan.” Ujaran ini bisa ditafsirkan, keadaan orang mati yang ada dalam peti itu lebih baik karena sudah tidak bisa merasakan apa-apa, daripada orang yang masih hidup sebab masih bisa dibayangi perasaan takut akan kematian.
Seperti hasil survei di Amerika tadi, mungkin saja ada dari antara kita yang paranoid karena bayangan akan kematian begitu menakutkan. Tidak sedikit dari antara kita berusaha menyangkali kematian, seperti kata Ernest Becker dalam bukunya “The Denial of Death” yang memenangkan penghargaan Pulitzer, “Ironi dari kondisi manusia adalah kebutuhan terdalamnya untuk terbebas dari kecemasan akan kematian dan kehancuran.” Tidak ada yang mau mati. Bahkan orang yang ingin masuk surga pun tidak ingin mati untuk mencapainya, ungkap Steve Jobs tahun 2005 dalam pidatonya di Universitas Stanford, Amerika Serikat. Bisa jadi pidato ini menyuarakan suara hati kita juga: jika bisa, kita tidak ingin mati.
Takut mati tentu wajar. Sebab, jika tidak demikian, mungkin orang akan gegabah mengelola pola hidupnya, pola makannya, hingga caranya berlalu-lintas di jalan. Ketakutan akan kematian memang cukup umum, dan kebanyakan orang takut mati dalam berbagai tingkatan. Beberapa ketakutan ini sehat karena membuat kita lebih berhati-hati menjaga kesehatan dan gaya hidup, tetapi beberapa orang mungkin juga memiliki ketakutan yang tidak sehat akan kematian. Fenomena ini mendorong banyak proyek penelitian dan membuat banyak pihak tertarik, mulai dari cendekiawan hingga agamawan. Bahkan ada bidang studi yang disebut thanatology, yang meneliti reaksi manusia terhadap kematian. Beberapa temuan menarik telah muncul terkait kajian terhadap ketakutan akan kematian. Mungkin bisa kita bahas lain waktu.
Kematian adalah Fase Normal
“Kematian adalah fase normal yang akan dilalui setiap orang, jadi tidak perlu khawatir,” ujar Dr. Ashok Handa kepada saya dan beberapa kawan dalam sebuah pertemuan di Stellenbosch, sebuah kota kecil di Afrika Selatan, Oktober 2018 lalu. Dr. Handa adalah seorang Hindu yang saleh dan bekerja sebagai dosen ilmu kedokteran bedah di Universitas Oxford, Inggris. Ia sudah melihat banyak pasien meninggal dunia, dan tanpa keraguan ia meyakinkan kami bahwa kematian adalah tahapan alamiah manusia yang tidak perlu ditakuti. Saya setuju dengannya.
Sejak masa pra Masehi para biksu Buddha di India sering pergi ke tempat pemakaman untuk mengamati jenazah yang ditinggalkan di sana agar dimakan hewan liar dan serangga. Bagi para biksu, ini adalah cara yang sangat berharga dan menghemat waktu untuk memahami dekatnya kehidupan dengan kematian. Sebab, banyak orang harus menunggu puluhan tahun, sampai orangtua atau pasangan meninggal baru bisa menyadari bahwa kematian begitu lekat dengan kehidupan. Segala aktivitas manusia di dunia akan menemui akhirnya.
Ernest Hemingway, sastrawan Amerika pernah mengatakan, “Hidup setiap orang berakhir dengan cara yang sama. Hanya detail bagaimana dia hidup dan bagaimana dia mati yang membedakan satu orang dari yang lain.” Kematian begitu dekat dengan kehidupan, meski banyak orang yang mungkin menyangkalinya. Bahkan jika mungkin, kita ingin masuk surga tanpa harus mati untuk mencapainya. Apakah mungkin? Realitas hidup tidak sejalan dengan keinginan ini. Kematian adalah proses alami kehidupan, sebuah tujuan yang tak terelakkan bagi kita semua.
Dengan mengetahui kematian menanti di ujung hayat, kita dapat belajar memandang kematian sebagai pengingat kehidupan. Jika hari ini kematian belum tiba, berarti kita masih memiliki waktu. Kita memiliki kesempatan atas hidup kita, atas tindakan kita, dan arah yang ingin kita tuju. Setiap hari adalah kesempatan lain untuk mengambil sikap dalam hidup kita dan berjalan di dalam kebajikan. Seneca, filsuf Romawi yang hidup sezaman dengan Yesus Sang Filsuf dari Nasaret, percaya bahwa hidup sejatinya adalah perjalanan menuju kematian, maka setiap orang perlu berlatih mempersiapkan kematian sepanjang hidupnya. “Perlu seumur hidup untuk belajar bagaimana menjelang ajal,” ujarnya. Seneca benar dalam hal ini. Waktu kita memang terbatas. Sehebat dan sekuat apa pun tubuh kita saat ini, suatu hari akan sakit juga, melemah, tak berdaya, lalu mati.
Inilah salah satu alasan mengapa seorang penulis seperti Ryan Holiday membawa koin bertuliskan Memento Mori (ingat kematian) di sakunya. Koin itu sebagai pengingat akan kehidupan yang singkat dan semua aktivitas seseorang, sepopuler apa pun dirinya juga akan berakhir. Sekeras apa pun kita berusaha, kita tidak bisa lepas dari kematian. Memento mori atau mengingat kematian membawa hidup kita ke dalam gambaran yang lengkap. Kita mengetahui suatu hari kita akan menemui babak akhir hidup kita masing-masing, walau tidak tahu dengan cara seperti apa dan kapan hari itu akan tiba.
Mempersiapkan Kematian secara Rasional
Jika filsafat Yunani-Romawi memandang kematian sebagai hal yang wajar dan jiwa manusia akan kembali ke alam, maka filsafat keilahian (teologi) bergerak melampaui pemahaman itu. Secara teologis, kematian tidak saja wajar, tetapi juga bukan akhir segalanya. Kematian akan mengantarkan jiwa manusia ke hadirat Sang Khalik, seperti yang Rabi Saulus katakan, “Beralih dari tubuh ini untuk menetap pada Tuhan.” Bahkan, tubuh fisiknya suatu hari kelak akan dibangkitkan pada kedatangan Sang Mesias kedua kali. Keyakinan akan kebangkitan ini mendorong orang untuk melihat kematian fisik sebagai “tidur” dan menanti-nantikan masa di mana “maut tidak akan ada lagi.”
Filsuf Stoa bernama Epiktetus mengajarkan bahwa hidup adalah mempersiapkan diri menuju kematian secara rasional. Artinya, sembari menuju kematian setiap orang dituntut menggunakan akal budi atau kebijaksanaannya dalam mengelola nafsu dirinya. Sehingga, setiap manusia diajak untuk menerima kematian sebagai proses alami kehidupan. Ajaran Stoa ini memiliki nilai yang luhur. Namun, melampaui ajaran Stoa, teologi memahami bahwa hidup bukanlah sekadar mempersiapkan diri menghadapi kematian secara rasional, tetapi menjalani hidup sesuai panggilan Sang Pencipta. Jadi, hidup kita tak lain ialah ikhtiar mempersiapkan diri menghadapi kematian dengan memenuhi panggilan Tuhan atas hidup kita. Oleh sebab itu, setiap orang diajak untuk mengerti maksud Sang Maha Esa dalam hidupnya: alasan ia berada di dunia (Raison d’être) dan apa tujuan hidupnya. Maka sembari berjalan menuju akhir kehidupan, dengan meminjam istilah Platon, setiap kita diundang untuk belajar menerapkan laku hidup yang elok dan bajik (Kalos kagathos/καλὸς κἀγαθός). Ini juga mencakup mengisi waktu-waktu kita bukan dengan hal yang sia-sia.
Seorang pemikir besar di abad pertama pernah mengatakan, “Perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat.” Menggunakan waktu yang ada secara produktif adalah nasihat bagi kita semua dalam mengisi kehidupan. Nonton serial drama dan bermain game tentu wajar saja. Tetapi, akan menjadi tidak sehat jika serial drama atau nge–game itu mengikat kita, sehingga banyak waktu kita yang berharga terbuang begitu saja. “Pergunakanlah waktu yang ada,” ujar sang pemikir, ini juga termasuk tidak menyia-nyiakan hidup dengan berusaha menjalani standar kesuksesan atau kekayaan orang lain, atau terjebak dalam kompetisi menggapai popularitas yang tiada habisnya.
Hidup ini singkat. Layaknya sebuah perziarahan, kita adalah musafir yang sedang melakukan sebuah perjalanan pulang menuju kepada Sang Pemilik Hidup, ujar Budayawan Emha Ainun Nadjib dalam sebuah kesempatan. Kita mengingat suatu saat akan meninggalkan dunia ini, dan kita diundang untuk tidak resah akan bayangan kematian, yang bisa menjadi pemicu penderitaan dalam batin kita. Sebagian dari kita mungkin boleh dihiburkan oleh perkataan Yesus Sang Filsuf dari Nasaret, “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.” Dan selagi kita masih hidup, kita diajak untuk memperhatikan dengan saksama bagaimana kita hidup agar tidak seperti orang bebal, tetapi seperti orang bijaksana.
===
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/
2 tanggapan untuk “Bukan Filsafat Kematian”