Oleh Dhimas Anugrah, Pendiri CIRCLES Indonesia
“Tak semua agama baik untuk kehidupan,” demikian tesis artikel Reza Wattimena yang diterbitkan dengan judul sama di Rumah Filsafat 11 Agustus 2021 lalu. Judul artikelnya sendiri cukup provokatif, sekaligus menarik minat untuk melihatnya lebih dalam. Sebab, agama lazim dimengerti sebagai sistem yang mengatur tata keimanan kepada Sang Liyan dan relasi pergaulan antarmanusia serta lingkungannya. Singkatnya, agama itu baik bagi manusia dan alam. Kenneth Shouler dalam The Everything World’s Religions Book (2010) memperkirakan ada sekitar 4.200 agama di dunia. Dan, tidak kurang dari 6.4 milyar manusia di bumi ini teridentifikasi sebagai pemeluk salah satu agama.
Namun, meski agama banyak dilihat sebagai suatu sistem keimanan yang baik bagi kehidupan, Wattimena melihatnya berbeda. Tak semua agama baik untuk kehidupan, tegasnya. Secara sederhana, ia mendaraskan pernyataan itu pada pengamatannya, bahwa dari sekian banyak agama di dunia, semua bisa diklasifikasikan hanya dalam dua macam agama, yaitu “agama kematian” dan “agama kehidupan.” Agama kematian merusak kehidupan, sementara agama kehidupan melestarikan kehidupan, ujar Wattimena. Sejalan dengan Sam Harris, ia menilai agama kematian memiliki ajaran yang buruk, yang dipertahankan secara buta dan dengan alasan yang buruk pula. Yang pada gilirannya, agama semacam ini akan menghasilkan perilaku umat beragama yang buruk, dan berujung pada seluruh tata masyarakat yang menjadi buruk juga.
Maka, dalam artikelnya Wattimena membeberkan bahwa agama yang tidak baik untuk manusia ialah agama kematian, bukan agama kehidupan. Agama kematian tidak baik untuk kehidupan karena agama jenis ini membunuh budaya setempat, menindas yang lemah (terutama perempuan dan anak-anak), mengganggu kepentingan bersama, melahirkan kekerasan, suka membuat masalah, memperbodoh umatnya sendiri, dan takut pada kritik. Ini kebalikan dari ciri agama kehidupan yang melestarikan dan mengembangkan budaya setempat, juga melindungi dan mengembangkan yang lemah, memperhatikan kepentingan bersama, menolak kekerasan dalam segala bentuknya, melatih umatnya berpikir kritis dan bernalar sehat, mengembangkan kehidupan di mana pun agama itu berada, terbuka pada dialog, dan tak takut dengan kritik.
Wattimena mencoba membawa amatannya ini ke ranah publik dengan mengatakan, “Indonesia jelas dipenuhi dengan agama kematian.” Ia menyayangkan hal itu. “Di berbagai tempat, isu agama menjadi keras dan sensitif. Banyak orang memilih bungkam, dan hidup dalam ketidakadilan, daripada berbicara soal agama,” imbuhnya. Wattimena menilai agama kematian jelas menjadi sumber masalah bangsa Indonesia, di mana para pelaku korupsi dan pelaku tindak diskriminasi mencari pembenaran dari agama kematian. Termasuk, sulitnya usaha mengelola pandemi COVID 19 juga terjadi karena hadirnya agama kematian. Artikel Wattimena ini tergolong “berani” dan itu ia nyatakan juga dengan kesiapannya diserang (melalui tulisan antitesis dan argumentatif) oleh para penganut agama kematian, yang ia anggap sensitif, tak mampu berpikir kritis maupun bernalar sehat.
Penafsiran yang Mematikan
Saya tidak ingin mencari tahu “agama kematian” seperti apa yang ada di Indonesia menurut Wattimena, tetapi hanya ingin sedikit menambahkan, bahwa jika bagi Wattimena praktik menindas yang lemah, mengganggu kepentingan bersama, melahirkan kekerasan, memperbodoh umatnya sendiri, dan takut pada kritik adalah ciri agama kematian, maka ciri seperti itu ternyata tidak hanya ada dalam konteks agama, tetapi juga dalam ideologi politik tertentu. Katakanlah Marxisme-Leninisme, Fasisme, atau Totalitarianisme yang jamak diketahui memiliki epistemologi eksklusif, menolak yang berbeda, dan tidak segan menumpahkan darah bagi yang melawan. Baik “agama kematian” versi Wattimena maupun ideologi politik totaliter, keduanya sama-sama ingin meraih kekuasaan tunggal yang mutlak. Keinginan atau hawa nafsu menguasai ini tidak dibarengi oleh kecerdasan emosi dan spiritual yang memadai. Sehingga, ketika kelompok “agama kematian” mendapatkan kekuasaan dan punya dukungan dari masyarakat mayoritas, maka terjadilah apa yang menjadi ciri “agama kematian” versi Wattimena.
Tetapi, tampaknya masalah tidak terletak pada agama itu sendiri, melainkan pada penafsiran sebagian umat terhadap ajaran agamanya sendiri. Contohnya, di abad pertama Masehi ada empat faksi agama Yahudi yang hidup di Palestina: Eseni, Saduki, Farisi, dan Zelot. Dari keempatnya, kaum Zelot dikenal sebagai faksi yang tidak segan menumpahkan darah demi membela apa yang mereka percayai. Zelot adalah istilah yang digunakan sejarawan Yahudi-Romawi Flavius Yosefus untuk kelompok orang Yahudi yang berjuang dengan mengangkat senjata demi membebaskan tanah Israel dari kekuasaan Romawi. Kesaksian Yosefus ini mengesankan bahwa kaum Zelot menafsirkan ajaran agama Yudaisme dengan cara yang tidak segan melibatkan kekerasan.
Penafsiran ajaran agama yang tidak segan melibatkan kekerasan dan menumpahkan darah ini tidak hanya ada dalam satu agama tertentu. Karen Armstrong dalam bukunya, Fields of Blood: Religion and the History of Violence mencatat peristiwa-peristiwa kekerasan dalam artikulasi keagamaan, sebut saja Perang Salib (1095-1285), Inkuisisi Spanyol terhadap umat Yahudi dan Islam (1478-1501), termasuk perang agama Eropa di antara para penganut dalam denominasi Kristiani sendiri (1524-1648). Semua ini tidak disebabkan oleh agama itu sendiri, melainkan oleh penafsiran para pelaku kekerasan terhadap ajaran agama mereka. Dalam situasi ini, biasanya pihak pelaku kekerasan mengklaim sebagai pemikul misi suci agama demi kemaslahatan umat, dan mencap semua yang berbeda agama, termasuk yang seagama tapi berbeda penafsiran dari mereka adalah musuh agama, sesat, dan karena itu wajib diperangi.
Perbedaan penafsiran dan praktik sebenarnya muncul secara alamiah dalam agama apa pun di sepanjang sejarah. Terlebih, pertikaian dan kekerasan sektarian ini sering kali bermuatan politis, baik dari segi kelompok agama pelaku kekerasan maupun dari segi negara. Dalam konteks Perang Salib, sebagai contoh, sebenarnya iman Kristiani yang merujuk pada Yesus Kristus mengajarkan tentang Kerajaan Allah yang penuh kasih dan damai. Bahkan, Yesus sendiri mengajar para murid-Nya untuk berkarya secara nir kekerasan. Namun, penafsiran sempit (dan mungkin bermuatan politis) dari dalang Perang Salib menjadikan praktik iman Kristen seakan melegalkan cara-cara kekerasan dalam melakukan syiar agama mereka. Penafsiran yang keliru seperti inilah yang mencederai agama. Interpretasi atas ajaran agama dengan membuka ruang bagi kekerasan akan melahirkan “penafsiran yang mematikan,” yaitu kebencian sektarian, arogansi agamawi, yang pada akhirnya menimbulkan kekerasan atas nama agama, atau sedikitnya seperti yang dikatakan Azyumardi Azra, menjadi penyebab “intoleransi agama secara kronis.”
Misi Utama Agama adalah Kemanusiaan
Dengan demikian, “agama kematian” menurut Wattimena, bisa kita runcingkan menjadi “penafsiran kematian.” Sebab, secara umum agama pada dirinya sendiri ingin membawa umatnya kepada ciri khas “agama kehidupan” dalam pemikiran Wattimena. Seperti, melestarikan dan mengembangkan budaya yang ada, melindungi dan mengembangkan yang lemah, memperhatikan kepentingan bersama, menolak kekerasan, melatih umatnya bernalar sehat, terbuka pada dialog, dan tak takut dengan kritik.
Ketika ada seseorang melakukan perbuatan buruk atas nama agama, maka sebenarnya ia tidak sedang menjalankan ajaran agamanya, tetapi mengekspresikan penafsirannya atas agama yang dianutnya. Dalam hal ini, yang mematikan bukanlah agamanya, tetapi penafsirannya. Agama (ad-din) dan pemikiran keagamaan (afkar ad-din) adalah dua hal yang berbeda. Kebenaran agama bersifat mutlak dan universal, tetapi kebenaran pemikiran atau penafsiran atas ajaran agama bersifat nisbi dan temporal. Sebab, pemikiran keagamaan adalah buah upaya atau ijtihad seseorang yang terbatas dalam memahami ajaran agamanya, sehingga hasil ijtihad tersebut bisa benar dan bisa juga keliru.
Setelah kita melihat adanya fenomena penafsiran yang memudahkan kekerasan dan kematian, kita perlu waspada agar diri kita sendiri tidak terjebak dalam interpretasi sedemikian. Dalam artikel “Tak Semua Agama Baik untuk Kehidupan,” sejauh pemahaman saya, Wattimena mengundang pembaca senantiasa awas terhadap fenomena “penafsiran yang mematikan” ini. Ia mendorong pembaca sebagai umat beragama, apa pun itu, untuk melestarikan dan mengembangkan budaya luhur Nusantara, memperhatikan orang yang lemah, memperhatikan kepentingan bersama, menolak kekerasan, terbuka pada dialog, dan tak takut dengan kritik. Akhirul kalam, kita juga perlu sadar bahwa misi agama itu sendiri sejalan dengan kemanusiaan dan menghargai kehidupan, karena buah dari kehidupan insan beragama adalah memanusiakan manusia lainnya. Seperti wejangan Habib Ali al-Jufri dalam buku al-Insaniyyah qabl at-Tadayyun (kemanusiaan sebelum keberagamaan), yang mendorong kita mengingat bahwa agama dan kemanusiaan pasti sejalan, karena misi utama agama adalah kemanusiaan itu sendiri.
Vidio nya ada pak/ buk
SukaSuka
Tidak ada…
SukaSuka