Mengapa Filsafat Gagal di Indonesia?

The Art of Surrealism: Poverty will be dangerous by Pawla KuczynskiegoOleh Reza A.A Wattimena

Saya menulis tema ini dengan rasa sedih dan cemas. Hampir 20 tahun, saya hidup dalam dunia filsafat Indonesia. Ada secuil harapan, bahwa filsafat akan menjadi lampu pencerah kehidupan berbangsa dan beragama di Indonesia. Begitu banyak hal baik di dalam filsafat yang bisa ditawarkan untuk kemajuan bangsa kita.

Namun, harapan tersebut tampak redup di 2021 ini. Filsafat gagal menghadirkan pencerahan bagi bangsa Indonesia. Harga yang harus dibayar pun mahal, yakni mutu kehidupan bersama yang semakin dangkal dan korup di Indonesia. Dalam jangka panjang, tanpa perubahan yang mendasar, bangsa kita bisa hancur.

Gejala Kegagalan

Ada lima tanda kegagalan filsafat di Indonesia. Yang pertama adalah semakin berkembangnya radikalisme agama di Indonesia. Diskriminasi terhadap perbedaan agama pun meningkat. Tempat ibadah dibom. Perempuan semakin ditindas, dari cara berpakaian sampai cara hidup.

Dua, krisis kepemimpinan di berbagai bidang. Sumbangan terbesar filsafat di ranah politik adalah membentuk kultur kepemimpinan yang unggul. Ini tidak terjadi di semua level kehidupan bermasyarakat. Sebagian besar pemimpin di Indonesia, baik pemimpin politik maupun agama, terjebak pada kerakusan, korupsi dan diskriminasi.

Tiga, di bidang ekonomi pun kegagalan serupa terlihat. Keadilan sosial, yang merupakan salah satu keutamaan tertinggi di dalam filsafat sosial, masih sangat jauh dari kenyataan. Para pemimpin negara, dalam kolusi dengan para pengusaha dan artis, hidup dalam gelimang kemewahan, justru ketika rakyat Indonesia dicekik oleh kemiskinan, akibat kesalahan kebijakan negara.

Empat, mutu diskusi publik di Indonesia menjadi semakin dangkal dan tertutup. Pemikiran kritis dipatahkan oleh kekuasaan politik yang otoriter dan ajaran agama yang terbelakang. Para wakil rakyat tak mampu memberikan teladan hidup berpolitik yang tercerahkan. Mereka, bersama para pejabat negara, berlomba untuk menjadi semakin kaya dan terkenal di tengah kemiskinan dan kebodohan rakyatnya.

Lima, filsafat, yang dekat dengan pemikiran kritis dan rasional tentang dunia, gagal menjadi bahasa keseharian di Indonesia. Filsafat gagal menjadi bagian dari percakapan masyarakat yang mencerahkan dan membuka wawasan. Di perguruan tinggi pun filsafat masih dianggap benda asing yang tak berguna. Kata filsafat, pemikiran kritis dan budaya bernalar sehat sama sekali tidak terdengar dari para pejabat sistem pendidikan Indonesia.

Mengapa ini Terjadi?

Ada tujuh penyebab yang patuh diperhatikan. Pertama, filsafat di Indonesia jatuh ke dalam elitisme. Ia hanya digeluti oleh sekelompok orang. Filsafat jatuh ke dalam genit penggunaaan kata-kata asing, baik dalam bahasa Yunani kuno, Jerman, Prancis dan sebagainya. Ia tidak memberikan pencerahan, tetapi justru membuat orang sakit kepala.

Dua, filsafat di Indonesia tak mampu keluar dari bayang-bayang agama. Institusi pengajaran filsafat selalu berada di bawah bayang-bayang agama tertentu. Akibatnya, filsafat hanya menjadi pembenaran belaka untuk ajaran agama. Ini menumpulkan sikap kritis dan bernalar sehat di dalam filsafat itu sendiri. Filsafat menjadi sekumpulkan kata-kata sulit yang harus dihafal, tanpa boleh dipertanyakan sampai ke akar.

Tiga, filsafat berkembang melalui budaya membaca dan berdiskusi. Keduanya sama sekali tidak berkembang di Indonesia. Tidak ada upaya negara untuk meningkatkan budaya baca bangsa. Negara juga tidak peduli pada para penulis nasional yang berkarya kerap dalam himpitan kemiskinan dan ancaman agama.

Empat, sangat sedikit filsuf dan pengajar filsafat yang bermutu di Indonesia. Di berbagai perguruan tinggi, filsafat diajarkan dengan setengah hati oleh pengajar yang tak bermutu. Konsep “filsuf Indonesia” pun disamakan dengan selebriti gadungan yang doyan tampil di media, namun menyembunyikan kepentingan politik busuk tertentu. Ini semakin menguatkan citra filsafat sebagai ilmu yang rumit, namun tak berguna.

Lima, filsafat di Indonesia gagal mengikuti revolusi digital. Filsafat tidak memasuki dunia multimedia yang berwarna, cepat dan dinamis. Pola pengajaran dan penyebaran filsafat masih terjebak pada cara-cara lama, seperti menulis buku tebal, atau memberikan kuliah rumit yang panjang dan lama. Sudah ada beberapa usaha untuk menyebarkan filsafat lewat cara-cara multimedia digital, namun jumlahnya terlalu kecil.

Enam, para “filsuf Indonesia” kerap dekat dengan penguasa. Mereka menjadi staff khusus atau staff ahli pemerintah. Ini membuat mereka kehilangan daya kritisnya, dan semata memberikan pembenaran bagi kebijakan pemerintah. Daya kritis dan akal sehatnya dibeli oleh uang dan jabatan yang ditawarkan oleh penguasa.

Tujuh, para „filsuf Indonesia“ sibuk mengejar jabatan guru besar di perguruan tinggi. Padahal, sistem pendidikan Indonesia termasuk yang paling buruk di dunia. Ini membuat  para “filsuf Indonesia”, dan pemikir kritis lainnya, harus berlomba di dalam sistem yang rusak. Mereka pun kehilangan daya kritis dan kreatifnya, karena sibuk menulis dan bekerja untuk mengejar jabatan semu semata.

Menanti Renaisans Filsafat Indonesia

Di Eropa, kata Renaisans menggambarkan kembalinya Eropa mempelajari pemikiran Yunani Kuno. Eropa keluar dari kesempitan berpikir agamis, dan kembali menyentuh akal sehat dan pemikiran kritis khas Yunani. Dengan pola ini, ilmu pengetahuan dan kebudayaan Eropa pun berkembang pesat. Kemakmuran ekonomi pun muncul, walaupun itu diraih dengan penjajahan terhadap berbagai negara selama ratusan tahun.

Di Indonesia, kata Renaisans dapat ditafsirkan secara baru. Ia adalah kembalinya Indonesia ke tradisi Dharma yang identik dengan sikap kritis, nalar sehat dan pencerahan batin yang melampaui akal budi. Tradisi Dharma tersebut lalu berdialog dengan ilmu pengetahuan modern dan filsafat Eropa yang sudah ada. Untuk itu, Indonesia harus melepaskan diri dari sikap tertutup agama, terutama dari pola agama-agama kematian yang kini tersebar luas di seluruh Indonesia.

Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan. Filsafat harus dilepaskan dari elitisme bahasa. Filsafat harus dilepaskan dari agama-agama. Forum diskusi dan buku-buku filsafat bermutu haruslah disebar dengan dukungan negara.

Mutu pengajar filsafat di Indonesia pun harus ditingkatkan melalui seleksi yang ketat namun masuk akal. Para filsuf Indonesia harus berani bereksperimen dengan cara-cara baru berfilsafat di era digital ini. Filsafat juga harus tetap mandiri dari penguasa yang korup dan tidak adil. Ia juga harus mandiri dari perlombaan mengejar jabatan semu (seperti guru besar) yang banyak dilakukan di perguruan tinggi Indonesia.

Hanya dengan begitu, filsafat bisa menjalankan peran pentingnya sebagai pembangun dan perawat akal sehat di Indonesia. Tanpa akal sehat, Indonesia akan terus dipenuhi krisis, mulai dari kemiskinan, korupsi sampai radikalisme agama. Indonesia bisa jatuh pada perang saudara yang menghancurkan semuanya. Taruhannya terlalu besar. Jangan ditunda lagi.

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

10 tanggapan untuk “Mengapa Filsafat Gagal di Indonesia?”

  1. Ini gagasan yang bagus Pak. Pengajaran Filsafat di Indonesia masih dalam bayang-bayang agama. Orang-orang di dalamnya juga susah keluar dari zona nyaman itu. Barangkali karena komunitas keagamaan itulah yang memberikan dia makan, harga diri, akses pada kehidupan politik dan ekonomi yang baik. Maka ketika dia berada dalam kampus filsafat yang bernaung dalam lembaga religius tertentu, ia mau tidak mau mengintegrasikan pemikiran filosofisnya sesuai visi pendirian lembaga religius itu, nalar pada akhirnya harus tunduk pada iman, atau setidaknya pura-pura berdamai dengannya, sebab kalau tidak dan kalau berpikir secara lain, ia akan tersingkir. Di samping itu, kenyataan ini terjadi karena komunitas yang murni sekuler (sekolah atau organisasi sosial sekuler yang mendasarkan diri pada analisis nalar filosofis murni belum ada, atau kalau ada, mereka masih takut berbicara, barangkali karena filsafat masih dianggap asing dan dianggap dapat membuat orang menjadi ateis, liberal, atau komunis.

    Suka

  2. sepakat penuh dgn ulasan diatas. begitu pula pandangan saya. untuk “menyadarkan” masyarakat ke arah nalar sehat dan hati nurani dgn “kekerasan”( cepat, tepat) tidak lah mungkin.
    bahkan harapan besar “penulis” yg begitu “hebat”, salah2 membawa penulis kearah “depresi, putus asa, penyakit”.
    bagaimana memulai banting setir dgn kalangan kecil, lingkungan kecil.
    banya saya liat di bbrapa pedesaan , di mana hidup masi berfungsi baik dan sehat.
    ikut prihatin dlm “duduk” !!
    terima kasih dan salam hangat !!

    Suka

  3. dilingkungan kampung sja sedang saya rasakan kednagkalan2 itu.
    hingga terjadi semacam feodalisme lintas generasi … hingga tak ada penerus yang bisa sekuat orang2 tua itu … anak2 muda menjadi seperti orang tua sebelum waktunya tidak berani berpikir ,bertanya bahkan melawan kondisi ini .. kalo yang nggak tahan nggak kuat lalu auto urbanisasi ,menyisakan orang2 itu lagi .. atas nama tradisi dan budaya mengekang ekspresi2 anak muda , kumpul dan membahas kritis sedikit dikucilkan ..yang menjadi pikiran adalah anak2ku kelak kalo menjadi seperti orang2 yang kaku itu , aku harus berbuat sesuatu ,tapi apa .. ?

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.