
Oleh Reza A.A Wattimena
Kelompok meditasi itu berkumpul setiap Jumat malam. Setelah pulang kerja, beberapa orang berkumpul, termasuk saya, dan duduk meditasi bersama.
Namun, nuansa ketenangan tak tampak. Yang tampak adalah ketegangan.
Meditasi menjadi semacam perlombaan. Siapa yang bisa duduk paling lama, dialah pemenangnya.
Si pemenang biasanya tertawa bangga. Ia merasa sudah tercerahkan, karena sudah bisa duduk lama, tanpa gerak.
Saya menemukan pola ini tidak di satu tempat latihan meditasi. Beberapa tempat di Jakarta menggunakan pola yang sama.
Meditasi menjadi kompetisi duduk lama. Siapa paling lama, dialah yang sudah tercerahkan.
Ego menjadi kuat. Padahal, tujuan utama meditasi adalah menyadari dunia sebagaimana adanya yang terus berubah.
Segala hal, termasuk ego, berubah terus menerus. Ia tidak sepenuhnya ada, melainkan hanya keadaan sementara.
Meditasi dengan pola kompetisi tidak akan membawa orang pada pencerahan. Sebaliknya, ego mengeras, dan orang justru semakin terjebak di dalam ilusi.
Ilusi akan membawa orang pada penderitaan. Orang akan mengira, bahwa dunia itu sepenuhnya nyata dan tetap.
Ia akan coba merebut dan mencengkramnya. Namun, ini bagaikan mengejar bayangan, atau menggenggam asap.
Semua upaya akan sia-sia. Orang akan terjebak pada penderitaan yang amat besar, pada akhirnya.
Meditasi, atau Zen, adalah upaya untuk mengenali keadaan alamiah kita sebagai manusia. Artinya, kita hanya perlu kembali ke diri kita yang asli, sebelum pikiran dan emosi muncul.
Maka, orang tak boleh tegang. Keadaan alamiah manusia hanya dapat dikenali, jika orang sepenuhnya relaks. Ia santuy.
Bahaya dari sepenuhnya relaks adalah orang menjadi ngantuk, dan tertidur. Bahaya lainnya adalah ia menjadi ngelamun. Pikirannya terbang ke berbagai penjuru.
Jika keduanya bisa dihindari, orang bisa mencapai keadaan meditatif. Ia bisa mengenali, siapa dirinya yang sebenarnya.
Inilah yang saya sebut sebagai SantuyZen. Meditasi dengan relaks sepenuhnya, namun tak hanyut dalam lamunan, dan tak tertidur.
Kita cukup menyadari sepenuhnya apa yang terjadi di saat ini. Angin berhembus, nafas di tubuh, atau suara di sekitar. Ini langkah pertama.
Langkah kedua adalah dengan mengamati kesadaran di dalam diri kita. Ini yang disebut sebagai kesadaran atas kesadaran (awareness of awareness).
Kita mengalami sesuatu tanpa obyek, karena obyek kita adalah kesadaran kita sendiri. Hasilnya adalah perasaan jernih dan tenang. Inilah Sunyata.
Kesadaran ini adalah diri yang kita yang sebenarnya. Ia bersifat murni, sebelum obyek pikiran muncul di dalam diri.
Di titik ini, kita terbebas dari derita. Kita pun lalu bisa saat demi saat bersikap dengan tepat.
Ada saatnya kita diam dan mengamati keadaan. Ada saatnya kita bertindak untuk campur tangan. Semua diputuskan dengan akal sehat dan pikiran jernih.
Namun ingat, ini semua perlu dilakukan dengan sesantai mungkin, tanpa hanyut dalam lamunan, atau tertidur. Saat demi saat, terapkanlah SantuyZen. Nikmati hasilnya.
Kelompok meditasi itu berkumpul setiap Jumat malam. Setelah pulang kerja, beberapa orang berkumpul, termasuk saya, dan duduk meditasi bersama.
Namun, nuansa ketenangan tak tampak. Yang tampak adalah ketegangan.
Meditasi menjadi semacam perlombaan. Siapa yang bisa duduk paling lama, dialah pemenangnya.
Si pemenang biasanya tertawa bangga. Ia merasa sudah tercerahkan, karena sudah bisa duduk lama, tanpa gerak.
Saya menemukan pola ini tidak di satu tempat latihan meditasi. Beberapa tempat di Jakarta menggunakan pola yang sama.
Meditasi menjadi kompetisi duduk lama. Siapa paling lama, dialah yang sudah tercerahkan.
Ego menjadi kuat. Padahal, tujuan utama meditasi adalah menyadari dunia sebagaimana adanya yang terus berubah.
Segala hal, termasuk ego, berubah terus menerus. Ia tidak sepenuhnya ada, melainkan hanya keadaan sementara.
( ego narsistik dari ego spiritual)
SukaSuka
Terima kasih..menjadi inspirasi saya
SukaSuka
“meditasi sebagai perlombaan” adalah fenomena dimana2. bisa2 di bilang “salah kedaden”, disambung dengan “tumbu nemu tutup”.
disatu pihak, kaum peminat yg perlu penanganan kilat, di pihak lainnya kaum pencari uang, yg melihat kesempatan besar . sehingga semua daya upaya ( ambiente, ruangan bagus/luxus, baju bagus, “bahasa org berpendidikan” dsb dsb ) diusahakan dgn energie sebesar2 nya.
penipu dan korban tipu saling bekerja sama , saling butuh !!
salam hangat !
SukaSuka
tepat sekali. Terima kasih
SukaSuka
terima kasih kembali
SukaSuka
Maaf sekali baru balas. Agak penuh jadwal belakangan ini. Kapitalisasi spiritualitas ya. Uang menjadi tuhan yang disembah.
SukaSuka