
Oleh Reza A.A Wattimena
Peneliti, Tinggal di Jakarta
Apapun yang berlebihan, pasti tak akan mampu diolah, dan menjadi dangkal. Itulah kiranya yang melanda jaman kita. Hal-hal yang dangkal bertambah banyak, dan banjir. Sementara, hal-hal yang mendalam dan sejati justru semakin jarang. Di Indonesia, kita tak hanya mengalami banjir fisik, ketika hujan tiba, tetapi juga banjir kedangkalan.
Banjir
Sampai 2018 ini, sudah 7 miliar manusia hidup di dunia. Gaya hidup mereka boros dan merusak alam. Tak ada upaya yang jelas untuk mengatur jumlah populasi, sehingga terciptalah “banjir manusia”. Jika diteruskan, bumi ini tak akan mampu menampung manusia dengan gaya hidupnya yang merusak.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, data dan informasi pun jadi berlimpah. Kita pun mengalami banjir informasi dan data. Akibatnya, tak ada waktu, tenaga dan kehendak untuk mengolah data tersebut menjadi pengetahuan yang bermanfaat. Kita lalu terjebak pada kedangkalan, kebingungan serta justru bersikap semakin merusak satu sama lain, dan juga terhadap alam .
Di berbagai belahan dunia, kita juga mengalami banjir agama. Orang-orang sibuk memeluk agamanya masing-masing, seringkali dengan menghina agama lain yang, menurut mereka, lebih rendah. Kebenaran agamis lalu dijadikan dasar untuk kemalasan berpikir rasional dan kritis tentang kehidupan. Bahkan, agama dijadikan pembenaran untuk melakukan kekerasan terhadap manusia lain, dan terhadap alam.
Banjir agama juga dibarengi dengan banjir politikus. Dalam arti ini, politikus bukan hanya orang yang bekerja di bidang politik, tetapi juga orang-orang yang licik, rakus dan munafik di dalam hidupnya. Mereka menipu dan menjatuhkan orang, supaya bisa mempertahankan serta meraih kekuasaan yang lebih besar. Mereka berbohong, supaya sekedar tampak baik dan menakjubkan di depan orang lain, terutama orang lain yang memiliki uang dan kuasa. Sayangnya, orang-orang semacam ini yang justru duduk di kursi-kursi pimpinan.
Banjir fisik, banjir orang, politikus, data/informasi dan agama adalah banjir-banjir yang merugikan hidup bersama. Ia menciptakan kebingungan, dan akhirnya merusak tatanan hidup bersama. Ia melahirkan generasi dangkal yang hanya berpikir soal harta dan kuasa, jika perlu dengan merugikan orang lain dan kelestarian alam. Banjir kedangkalan ini juga dibarengi dengan krisis di berbagai bidang.
Krisis
Ketika data dan informasi banjir, maka kedalaman dan kebijaksanaan akan tersingkir. Tak heran, kita mengalami generasi yang dangkal. Beragam data dan informasi digunakan untuk sekedar meraih kenikmatan, uang dan kuasa. Nilai-nilai kehidupan yang luhur justru terpinggirkan, dan semakin hilang tertelan waktu.
Ketika agama banjir, maka spiritualitas justru akan semakin terpinggir. Agama terjebak pada upacara-upacara tanpa makna, dan aturan-aturan yang ketinggalan jaman. Sikap tertutup dan intoleransi justru semakin bertumbuh. Kedamaian sejati yang dijanjikan agama terhadap hidup manusia tidak akan pernah terwujud.
Ketika hidup bersama mengalami banjir politikus, yakni orang-orang yang licik, rakus dan munafik, maka peradaban akan berganti menjadi kebiadaban. Hidup bersama akan dipenuhi prasangka, kebencian dan konflik. Korupsi, kolusi dan nepotisme di bidang hukum, politik dan ekonomi menjadi hal yang sudah biasa. Orang-orang yang berjuang untuk nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan justru diburu dan dibunuh.
Yang kita perlukan adalah kejelian untuk menentukan apa yang sungguh penting dipertahankan, dan apa yang perlu dilepas. Tanpa kejelian semacam ini, kita akan tersesat. Beragam sumber daya yang berharga justru terbuang percuma dengan hasil yang justru merusak. Sampai kapan pola semacam ini ingin diteruskan?
jitu bener pak ! jalan satu2 nya hanyalah kita mulai dari diri kita sendiri. mencari “nalar sehat dan hati nurani”. secanggihnya technik , pengetahuan dsb diachir2 ini, kita
melalaikan kehidupan spiritual, kita lari ke agama tanpa ķritis bahwa agama hanya lah alat perusak hidup
hier verwechseln wir äpfel mit birne !!
salam hangat !!
nalar sehat dan hati nurani !!
SukaSuka
Deswegen brauchen wir Klarheit. Sie hilft uns, gute Entscheidungen mit passender Prioriät zu formulieren…
SukaSuka
“Kita harus jeli membedakan mana yang harus dilepas dan mana yang harus dipertahankan”
Pertanyaannya, bagaimana kita tahu sesuatu itu harus dilepas atau dipertahankan, Pak?
Terima kasih
SukaSuka
aber nicht nur formulieren , sondern das vorhaben auch ausführen. “nalar sehat dan hati nurani”. das ist der beste weg.
auch wenn kodo sawaki behauptet hat, zen sei die grösste lüge des lebens. nur wenn es uns hilft, warum nicht ?
placebo wird auch schliesslich bei therapien angewendet und es hilft !!
SukaSuka
Dengan berpikir dari keheningan, yakni dari jati diri kita yang sebenarnya. Kita tidak berpikir dari informasi yang salah, atau dari prasangka, melainkan dari keheningan dan kejernihan yang sudah selalu hadir di dalam diri kita. Saya akan tulis soal ini nanti.. salam
SukaSuka
stimmt… Methode ist ein Hilfsmittel, obwohl sie häufig eine Fiktion ist… Wir benutzen die Methode, wenn wir sie brauchen.. aber wenn nicht mehr, verlassen wir sie einfach..
SukaSuka
die frage von herrn appandi kann ich verstehen. ihre antwort ist für ihn schwer zu begreifen…ausser wenn man “nalar sehat dan hati nurani” üben.
anders geht sehr schwer !!
SukaSuka
naja. Es ist keine Problem. Viele Leute stellen eine Frage hier, abier sie bleibt unklar… Was von dem Denken kommt, ist immer eine Form der Verblendung..
SukaSuka
Jitu, bingo !! Wir lernen auch von den Kommentaren anderer Teilnehmer.Es hilft uns sehr !!
SukaSuka
Ja stimmt. Es ist interessant, die Diskussionen hier wirklich zu beobachten und teilzunehmen…
SukaDisukai oleh 1 orang
wir können von den anderen teilnehmern lernen. je mehr teilnehmer mitmachen, desto lebhafter wird die diskusion. nur so kommen wir weiter.
SukaSuka
Stimmt..
SukaSuka