Solidaritas yang Belum Menetas

Pinterest

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Tinggal di Jakarta

Ia sibuk mengejar karir. Hari-harinya dihabiskan untuk mengumpulkan harta, supaya ia bisa membeli banyak harta lainnya. Banyak hal yang ia punya sebenarnya tak ia butuhkan. Ia terjebak di dalam ilusi konsumtivisme, yakni membeli barang demi membeli barang itu sendiri, tanpa tujuan di luarnya.

Ia tak peduli, jika ada orang lain yang membutuhkannya. Ia tidak peduli dengan kemiskinan yang terjadi di sekitarnya. Ironisnya, ketika ia jatuh, ia pun sendiri. Semua harta tak dapat menolongnya, ketika depresi menghampiri, dan godaan bunuh diri mengintip di pintu hati.

Inilah ciri orang yang hidup di kota-kota besar dunia modern. Sejumlah orang kaya raya hidup di tengah kemiskinan yang begitu besar dan dalam. Mobil mewah lewat di tengah pemukiman kumuh yang jorok dan  mengharukan. Kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin menjadi pemandangan umum sehari-hari.

Semua ini dibalut kemudian dengan kesombongan kelompok mayoritas di berbagai negara. Karena jumlahnya yang banyak, mereka merasa bertindak semaunya. Undang-undang dan prinsip dasar negara dilupakan, demi mewujudkan nafsu politik maupun ekonominya. Di berbagai kesempatan yang mungkin, mereka menginjak-injak hak-hak kaum minoritas.

Ini semua merupakan gejala dari hilangnya solidaritas. Orang mencari aman dan kekayaannya sendiri-sendiri. Tidak ada kepedulian terhadap mereka yang kalah dan tertindas. Krisis solidaritas merupakan tanda pecahnya sebuah masyarakat.

Padahal, solidaritas merupakan ciri dasar manusia. Tanpa solidaritas, manusia kehilangan kemanusiannya. Masyarakat pun kehilangan fungsi utamanya, yakni melindungi dan mengembangkan semua manusia yang ada di dalamnya. Tanpa solidaritas, sebuah masyarakat menjadi lemah, dan dengan mudah hancur, karena serangan dari kelompok lain.

Menurut Peter Schmitz, pemikir Jerman, solidaritas adalah dasar dari perasaan kebersamaan (Wir-Gefühl). Kebersamaanlah yang membuat manusia bisa bekerja sama, dan menciptakan masyarakat yang kokoh. Kebersamaanlah yang membuat manusia bisa bertahan menghadapi keganasan alam yang penuh dengan bencana. Tanpa solidaritas, manusia bisa punah sebagai spesies.

Dasar dari solidaritas adalah empati. Dalam arti ini, empati adalah kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain (Mitfühlen). Bisa juga dibilang, bahwa empati adalah kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Dengan empati, manusia bisa terdorong untuk membantu orang ataupun mahluk lain. Dorongan ini muncul dari sikap welas asih, dan bukan dari pamrih.

Solidaritas yang berakar pada empati memiliki banyak dampak bagi kehidupan manusia. Pertama, di tingkat pribadi, keduanya mendorong orang untuk berbagi dengan orang lain, ataupun dengan mahluk lain. Bahkan, orang bisa mengorbankan kepentingan dirnya sendiri, ketika ia memiliki solidaritas dan empati yang besar di dalam dirinya. Berbagi dan berkorban adalah dua ciri mulia yang bisa dimiliki manusia.

Dua, pada tingkat sosial politik, solidaritas dan empati juga bisa mewarnai sistem politik dan ekonomi yang ada. Bentuk nyatanya, seperti yang dinyatakan Christian Felber, ekonom asal Austria, adalah ekonomi kesejahteraan publik (Gemeinwohlswirtschaft). Model ekonomi semacam ini mendorong kompetisi untuk menghasilkan barang dan jasa yang lebih baik untuk kesejahteran publik. Namun, jaringan pengaman sosial yang ada amatlah kuat, seperti asuransi putus kerja, asuransi sakit, pendidikan dan asuransi hari tua, sehingga orang tetap bisa bertahan hidup dengan layak, ketika gagal dalam kompetisi tersebut.

Tiga, solidaritas dan empati bisa juga menyentuh hubungan antar bangsa. Solidaritas dan empati bisa menjadi paradigma baru di dalam urusan diplomasi maupun tata kelola keamanan global. Dengan cara ini, berbagai tantangan hidup bersama di tingkat global bisa diatasi dengan kerja sama secara terus menerus. Konflik dan perang mungkin tak akan pernah hilang, namun jumlahnya bisa jauh lebih berkurang.

Solidaritas dan empati sebenarnya bukanlah hal baru. Namun, karena terpaan globalisasi dan pola hidup modern, keduanya terlupakan dari ranah hidup pribadi maupun hidup bersama. Beragam agama dunia sudah mengajarkannya selama ribuan tahun. Budaya-budaya lokal yang tersebar di berbagai tempat pun mengajarkannya.

Namun, solidaritas dan empati ini memiliki beberapa tantangan yang mesti dihadapi. Pertama, individualisme sempit yang berujung pada sikap egois adalah musuh utama solidaritas yang berakar pada empati. Sayangnya, inilah ciri utama manusia modern sekarang ini. Ini tentu dapat dilampaui dengan perubahan pola didik dan pembentukan sistem yang mendorong solidaritas dan empati.

Kedua, sistem kapitalisme konservatif menjadi penghalang utama terciptanya solidaritas dan empati di ranah sosial politik. Di dalam sistem ini, orang didorong untuk mengumpulkan modal sebanyak-banyaknya, jika perlu dengan menindas hak-hak orang lain. Modal pun dipahami secara sempit sebagai modal uang dan harta. Sistem semacam ini mendorong orang untuk menjadi rakus, dan membunuh solidaritas.

Tiga, solidaritas dan empati juga mendapat tantangan dari radikalisme agama yang sekarang ini tersebar di seluruh dunia. Karena pemahaman yang salah tentang agamanya, orang menjadi intoleran dan memusuhi perbedaan. Bahkan, orang bersedia membunuh orang lain yang berbeda paham dan keyakinan. Kekerasan atas nama agama ini menjadi daya dorong utama terorisme global di abad 21.

Jelaslah bahwa solidaritas masih belum menetas. Solidaritas masih menjadi mimpi indah yang belum terwujud di dalam kenyataan. Pun jika ada, solidaritas masih terbatas pada orang-orang yang seagama, satu keluarga ataupun satu suku saja. Solidaritas universal kepada semua mahluk yang berpijak pada empati masih jauh dari genggaman.

Mau sampai kapan?

 

 

 

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022) dan berbagai karya lainnya.

2 tanggapan untuk “Solidaritas yang Belum Menetas”

  1. fenomena tersebut diatas sudah mengikuti umur manusia, hanya dengan kecanggihan medsos dewasa ini, kita mengalami sehari2 dan berulang2 hal2 yang sangat memilukan. jengkel pun bukan jalan keluar. sedikit initiativ untuk mengatasi perkembangan diatas, ada baik nya kita memulai dengan keprihatinan dan kewaspadaan pada diri kita sendiri.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.