Rasa Sakit dan Kelembutan

dailycreativity.net

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Hubungan Internasional, Universitas Presiden, Cikarang, Peneliti di President Center of International Studies (PRECIS)

Ia hanya ingin bepergian di malam hari, melepaskan penat, setelah seharian bekerja. Tak disangka, ada ledakan terjadi, dan langsung melukainya. Ia pun terkapar, dan baru sadar, setelah tiba di rumah sakit dengan rasa sakit yang nyaris tak tertahankan di sekujur tubuhnya. Puluhan orang mengalami kejadian serupa pada 22 Mei 2017 lalu di Kampung Melayu, Jakarta.

Di tempat lain, awalnya, ia hanya ingin menikmati liburan dengan cara-cara baru. Bungee Jumping, yakni melompat dari ketinggian beberapa ratus meter dengan menggunakan pengaman, tampak merupakan ide yang bagus. Namun, kecelakaan pun terjadi, sehingga patah kaki pun tak terhindari. Musibah memang tak pernah diminta. Namun, ia selalu datang berkunjung.

Anda pernah patah kaki? Rasanya luar biasa sakit. Aktivitas terganggu. Penyesalan pun datang bertubi, sambil bertanya, “Mengapa ini terjadi padaku?”

Keracunan makan pun tak kalah menyakitkannya. Makanan enak tentu tidak selalu sehat. Bahkan, sebaliknya yang sering terjadi: Makan yang justru tidak sehat justru terasa sangat enak. Ketika perut melilit, dunia seperti runtuh, dan semua aktivitas pun jadi terganggu.

Tentu, sakit badan yang paling menyakitkan adalah kanker, terutama ketika sudah menjalar parah. Orang tak bisa menjalani kanker semacam ini, tanpa bantuan obat penghilang rasa sakit. Pada kasus-kasus tertentu, narkotika pun menjadi satu-satunya pilihan, tentunya dengan resep dokter. Ketika sakit tak tertahankan, banyak orang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.

Ada juga rasa sakit yang muncul dari penyakit yang sudah selalu ada di dalam diri kita. Ini disebut penyakit genetik, atau bawaan dari lahir, biasanya karena keturunan. Rasa sakit yang muncul pun juga tak kalah besarnya. Ini ditambah dengan perasaan di dalam hati, bahwa hidup ini tidak adil.

Rasa sakit juga bisa menyerang mental seseorang. Ini muncul, biasanya, karena harapan yang berbeda dengan kenyataan. Kita menginginkan hidup yang damai, namun penderitaan dan masalah yang justru datang. Jika hal ini terjadi bertubi-tubi, maka orang bisa merasakan sakit yang amat besar.

Memahami Rasa Sakit

Rasa sakit itu adalah bagian dari hidup. Ia tak terhindarkan. Semakin orang menolak rasa sakit, atau berusaha mengaturnya, ia justru semakin kuat. Rasa sakit menolak untuk dikontrol.

Karena tidak dapat dihindari, ketika sakit datang, kita harus menyambutnya dengan lembut. Bagaimana pun, ia sudah dan akan selalu bersama hidup kita. Ia adalah bagian dari diri kita sendiri. Menolaknya, atau mengontrolnya dengan keras, jelas bukanlah tindakan yang pas.

Belajar dari Nietzsche, filsuf Jerman, kita harus belajar untuk berkata “ya” pada kehidupan ini (Ja Sagen), walaupun penuh dengan tantangan. Berkata “ya”, dalam hal ini, tidak dilakukan dengan keras, melainkan dengan kelembutan. Dalam kaitan dengan rasa sakit, berkata “ya” berarti menyambut rasa sakit tersebut dengan lembut dan ramah, karena ia adalah bagian dari hidup kita sendiri. Ketika disambut dengan lembut dan ramah, rasa sakit justru akan berkurang, dan bahkan menjadi teman hidup kita.

Kelembutan

Jika itu terjadi, rasa sakit bisa menjadi guru kehidupan untuk kita. Ketika kita memiliki hubungan baik yang lembut dan rileks dengan rasa sakit, ia tidak akan lagi menganggu hidup kita. Secara alami, rasa welas asih dan damai pun tumbuh di dalam diri kita. Lalu, kita bisa membantu orang-orang yang masih menderita, karena sakit yang ia alami.

Hidup ini penuh dengan tantangan. Kita tidak bisa berharap, bahwa hidup ini akan lancar-lancar saja. Kita juga tidak bisa berharap kepada Tuhan, supaya tidak ada masalah. Ini permintaan yang tidak masuk akal.

Yang bisa kita lakukan adalah bersikap lembut terhadap segala tantangan yang datang, baik dari dalam maupun luar diri kita. Dengan bersikap lembut, kita bisa menyentuh kedamaian yang sudah selalu ada di dalam diri kita. Joseph Campbell, pemikir Filsafat Timur, mengajak kita untuk menemukan kedamaian di dalam hati kita ini, guna menjalin hubungan baik dengan rasa sakit yang kita alami. Kedamaian hati ini dapat diperoleh, jika kita sepenuhnya rileks dan lembut terhadap segala yang terjadi, apapun itu.

Kelembutan ini berangkat dari dua kesadaran. Yang pertama, ketika tantangan dihadapi dengan keras, maka masalah lain pun akan muncul, seringkali lebih besar daripada sebelumnya. Yang kedua, masalah adalah bagian dari kehidupan setiap orang. Dengan berpijak pada kelembutan, orang bisa menyambut semua masalah dengan kedamaian hati.

Bukankah itu yang kita semua inginkan dan butuhkan?

 

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

8 tanggapan untuk “Rasa Sakit dan Kelembutan”

  1. Iluminatif..
    Menjadi tenang,menyambut situasi krisis-traumatis dgn kelembutan

    Ktka terluka sensasi yg didpt adl rasa sakit bs jd rsa skt itu alt pemantau proses pemulihan…
    Kl dipikir2 rasa skt maupun rasa nyaman/enak itu sama, sama- sama sensasi..

    Hidup yg absurd..
    bgaimnpun itu sllu membentur bts..

    Suka

  2. Wah, sangat menginspirasi sekali. Saya kira seorang manusia tidak bisa terus menerus hidup dalam konflik. Ia akan lemah jika terus menerus memikul rasa sakit. Manusia butuh tempat untuk pulang. Butuh tempat untuk mengisi energi lalu kembali melanjutkan hidup. Tempat itu adalah kedamaian.

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.