
Oleh Reza A.A Wattimena
Kita, rupanya, hidup di dunia yang galau. Orang-orang di dalam dunia ini selalu dalam gerak cepat. Mereka merasakan kegalauan di hati mereka. Mereka selalu ingin mencapai sesuatu di luar diri mereka, dan selalu ingin mengubah, atau memperbaiki sesuatu. Apakah anda merasakan hal yang sama?
Ketidaktenangan dunia, die Unruhe der Welt, begitulah judul buku dari Ralf Konersmann, filsuf asal Jerman, pada 2015 lalu. Apakah rasa galau dan tidak tenang ini sesuatu yang secara alamiah ada di dalam diri manusia? Ataukah peradaban dan lingkungan sosial mengubah kita menjadi mahluk-mahluk yang galau, yang selalu merasa harus mengejar sesuatu di luar diri kita? Inilah yang menjadi pertanyaan dasar Konersmann.
Dunia yang Galau
Ia membongkar berbagai certai mitologis, dongeng dan esei dari berbagai tulisan dan karya seni peradaban dunia. Ia mencoba melihat, bagaimana pandangan dunia (Weltanschauung) mempengaruhi pandangan orang, sehingga ia selalu dalam keadaan tegang dan galau. Ada dua hal yang ditemukannya. Pertama, di dalam masyarakat Eropa, dunia dilihat sebagai sesuatu yang belum sempurna, sehingga perlu usaha dari manusia untuk membantu menyempurnakannya.
Kedua, usaha itu harus dilakukan dengan menggunakan kemampuan akal budi sepenuhnya. Di titik ini, akal budi mendapat tempat yang istimewa di dalam hidup manusia, dan juga di dalam perkembangan peradaban. Penekanan berlebihan pada akal budi inilah yang membuat manusia jatuh ke dalam kegalauan dan ketegangan terus menerus. Ia dilihat sebagai “pencipta ketidaktenangan” (Unruhestifter).
Di dalam agama-agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, Islam), kegalauan manusia itu tercipta sebagai sebentuk hukuman atas kesalahan manusia. Kegalauan dan ketegangan itu adalah kutukan Tuhan atas hidup manusia di dunia, karena ia telah melanggar perintah-Nya. Pandangan ini kemudian dihayati sebagai kenyataan oleh para penganut agama-agama Abrahamik, dan mempengaruhi pandangan hidup mereka sebagai mahluk yang terkutuk di dalam kesehariannya. Sebagai mahluk yang terkutuk, manusia lalu membutuhkan penyelamatan dari Tuhannya melalui ritual dan mentaati perintah agama.
Di dalam alam pikiran Yunani kuno, kegalauan diri manusia dilihat sebagai hasil dari tekanan sosial masyarakat. Orang kehilangan daya-daya alamiahnya, karena ia melulu harus menyesuaikan dengan nilai-nilai masyarakat. Konformisme sosial inilah yang menjadi akar dari kegalauan dan ketegangan diri manusia. Untuk keluar dari kegalauan itu, orang perlu untuk menemukan hukum-hukum alamiah semesta, dan hidup seturut dengannya, pun jika harus bertentangan dengan masyarakat luas.
Filsafat modern melihat kegalauan dengan cara yang berbeda. Kegalauan dianggap sebagai sumber dari inspirasi dan kreativitas. Ia diperlukan, supaya orang bisa menemukan kedalaman dan kebaruan di dalam berpikir. Seluruh jajaran pemikir modern, mulai dari Leibniz, Marx, Hegel, sampai dengan Nietzsche, adalah para pemikir yang galau, begitu kata Konersmann.
Alternatif
Kita masih menemukan jejak-jejak pemikiran ini di jaman kita hidup. Orang yang tampak galau dan gelisah adalah orang-orang yang dianggap sibuk dan kreatif. Namun, apakah begitu kenyataannya? Apakah kreativitas lahir dari kegalauan dan ketegangan batin?
Bukankah fakta sebaliknya juga tampak. Orang-orang yang galau dan tegang justru jatuh ke dalam kecanduan narkoba, depresi dan bahkan bunuh diri. Mereka justru jauh dari kreativitas. Dan bukankah justru orang-orang yang bisa menemukan kedamaian yang mendalam di dalam hatinya mampu melihat dunia dari sudut pandang yang baru, yang tak diketahui orang-orang lainnya?
Di dalam peradaban Timur, yang berkembang di India, Indonesia, Cina, Jepang dan Korea, dunia adalah sesuatu yang sudah sempurna. Hukum-hukum alam sudah begitu jelas, dan kita tinggal mengalami dan menjalankannya. Manusia adalah mahluk yang sejatinya sudah selalu memiliki kedamaian dan kebijaksanaan di dalam dirinya. Orang hanya perlu melihat ke dalam dirinya secara seksama, dan sampai pada kejernihan, kebahagiaan dan juga kreativitas.
Dunia yang galau adalah hasil dari kesalahan berpikir. Sebenarnya, tidak ada yang perlu dikejar. Galau dan gelisah pun hanya permukaan dangkal dari kedamaian batin yang mendalam yang ada di dalam diri manusia. Jika seluruh dunia menyadari ini, dan melepaskan pandangan kegalauan yang tersebar sekarang, perdamaian dunia pun tidak hanya sekedar impian. Ia sungguh menjadi nyata.
Galau dan gelisah seringkali disebabkan tekanan sosial dari luar, apalagi untuk orang seumuran saya, pertengahan 20. Apakah menyelami diri adalah solusi yg baik? Melihat tekanan untuk mencari nafkah sangat tinggi saat ini. Terima kasih.
SukaSuka
Reblogged this on Kambolok Wologi Mende .
SukaSuka
mungkin seperti yang diajarkan Richad Rorty; berpikir antifondasionalisme
SukaSuka
ya berpikir tanpa fondasi.. berpikir tanpa berpikir…
SukaSuka
bisakah mencari nafkah tanpa tenggelam pada konformisme sosial? Bisa mencari nafkah sambil tetap menjadi pribadi yang kritis dan otentik? Diperlukan kompromi tentu.
SukaSuka
bagaimana kalau galau karena putus cinta. Bagaimana Anda melihat dari sudut pandang filsafat mas Reza
SukaSuka
Galau itu berakar pada kesalahan berpikir tentang dunia.. begitu pula putus cinta.. diamkan saja, ia akan berlalu… lalu coba untuk pahami, siapa diri anda sebenarnya..
SukaSuka
uuh…asik ini mas/pak…terimakasih atas artikelnya…secara ringkas telah memberi arahan secara historis dan ringkas dari mana saja sumber kegalauan manusia…..
SukaSuka
ya. semoga membantu ya..
SukaSuka