Supir Taksi, Globalisasi dan Rekonsiliasi?

Demo-rusuh-supir-taksi-11Sebuah Refleksi*

Oleh Reza A.A Wattimena

Apa hubungan antara demo supir taksi di Jakarta pada 22 Maret 2016 lalu dengan globalisasi? Sekilas, kita tidak bisa melihat hubungan langsung. Namun, jika ditelaah lebih dalam, hubungannya jelas tampak: perkembangan informasi dan teknologi dari negara lain kini memasuki Indonesia, dan mempengaruhi industri transportasi di Jakarta. Pendek kata, para supir taksi itu merasa dirugikan oleh perkembangan industri informasi dan komunikasi yang mengurangi penghasilan mereka per harinya. Siapapun yang diancam mata pencahariannya pasti akan bergerak protes. Sayangnya, ini seringkali berakhir pada kekerasan yang tidak menguntungkan siapapun.[1]

Ini juga terjadi, karena globalisasi, yang salah satunya ditandai dengan perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi, masih belum mencapai titik rekonsiliasi. Artinya, globalisasi masih menghasilkan ketimpangan di berbagai bidang yang juga melahirkan berbagai kemungkinan konflik.[2] Namun, ini janganlah dilihat sebagai titik final. Globalisasi masih mungkin berubah, dan itu semua amat tergantung dari para aktor globalisasi yang adalah manusia-manusia juga. Tulisan ini ingin menawarkan sebuah model di dalam memandang globalisasi dalam konteks Indonesia, yakni globalisasi sebagai rekonsiliasi. Di dalam rekonsiliasi ini, semua aspek kehidupan manusia, mulai dari politik, agama, pendidikan sampai dengan budaya, menemukan titik seimbangnya yang bersifat dinamis. Titik seimbang yang dinamis memungkinkan terciptanya keadilan dan kemakmuran untuk masyarakat Indonesia.

Pertanyaan yang menggantung kemudian adalah, bagaimana rekonsiliasi ini dapat dicapai? Bagaimana titik seimbang yang dinamis di era globalisasi ini dapat dicapai dan kemudian dipertahankan? Satu jawaban yang pasti terkait dengan identitas ke-Indonesiaan. Jika identitas tersebut jelas dan tegas di dalam berbagai sisi kehidupan bersama di Indonesia, maka globalisasi akan berpeluang masuk ke dalam fase rekonsiliasi. Kejelasan dan ketegasan identitas tersebut tidak boleh lepas dari ingatan kolektif bangsa Indonesia yang dicita-citakan oleh para bapak bangsa, seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir dan sebagainya. Maka, identitas disini tidak bisa dilepaskan dari ingatan dan cita-cita mereka, yakni bangsa yang berketuhanan, berperikemanusiaan, hidup dalam kesatuan, demokrasi serta keadilan sosial. Hanya dengan mewujudkan inilah Indonesia bisa memetik buah-buah manis globalisasi, tanpa terjatuh pada sisi gelapnya yang paling berbahaya, yakni ketimpangan sosial ekstrem antara si kaya dan si miskin, sebagaimana kita saksikan sekarang ini.[3]

Sebelum maju lebih jauh, pemahaman tentang makna globalisasi kiranya diperlukan. Ribuan buku ditulis dengan tema ini. Kebanyakan mengulang hal yang sama. Mungkin, sedikit ringkasan kiranya bisa membantu. Christian Hartmann, dalam tulisannya di Bundeszentrale für politische Bildung, menjelaskan beragam perubahan sosial yang muncul sebagai dampak dari globalisasi, yakni meningkatnya jaringan global antar manusia di seluruh dunia (Vernetzung), kemudahan investasi lintas benua, sampai dengan beragam masalah sosial dan ekologis yang muncul.[4]  Dari beragam gejala yang dijabarkan bisa disimpulkan secara lugas, bahwa globalisasi adalah pemadatan ruang dan waktu.[5] Tempat yang sebelumnya tak terjangkau kini bisa ditempuh dalam waktu yang amat singkat. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi jelas memainkan peranan besar disini. Dua dampak langsung dari keadaan ini terhadap hubungan antar manusia adalah ‘menjauhkan yang dekat’, dan ‘mendekatkan yang jauh’. Orang di depan mata diabaikan demi komunikasi dengan orang yang nun jauh disana. Ini dengan mudah ditemukan di dalam pola komunikasi antar manusia sekarang ini, terutama terkait dengan perkembangan gadget smartphone.

Ini semua memungkinkan diketahuinya satu peristiwa di belahan dunia lain dalam hitungan detik. Bom yang meledak di Brussel langsung diketahui mereka yang sedang menonton TV di Kupang. Alhasil, rasa cemas, akibat konflik nun jauh di tempat lain pun meningkat. Orang hidup terus dalam keadaan siaga setiap saat. Ini tentunya memberikan pengaruh besar pada hubungan antar manusia serta cara hidup beragam masyarakat dewasa ini. Tingkat depresi dan bunuh diri di beragam negara kini juga cenderung meningkat. Kesalingterpautan erat antar beragam negara di seluruh dunia membawa pula peningkatan rasa cemas kolektif global. Mungkin inilah salah satu sisi gelap globalisasi yang terus perlu dicermati secara kritis.

Peningkatan rasa cemas kolektif ini juga dipengaruhi oleh ketidakpastian ekonomi politik di era globalisasi ini. Beragam analisis menegaskan, bahwa globalisasi kerap hanya sekedar topeng bagi proses perluasan neoliberalisme, yakni paham yang melihat semua dimensi kehidupan manusia semata dari kaca mata keuntungan ekonomi. Dampak politisnya adalah penerapan kebijakan pasar bebas di berbagai negara yang menghantam beragam industri lokal, dan itu juga berarti memiskinkan penduduk lokal.[6] Buahnya kemudian adalah ketimpangan global, yakni perbedaan yang begitu tajam antara kelompok kaya dan kelompok miskin di berbagai belahan dunia. Ketimpangan yang semakin lebar ini ditambah dengan sepak terjang perusahaan multinasional yang tanpa ampun menguras kekayaan sumber daya alam beragam negara, sambil membiarkan rakyatnya tetap hidup miskin. Jika dibiarkan seperti ini, globalisasi justru akan meruntuhkan perdamaian. Sebuah proses rekonsiliasi yang mendalam sekaligus meluas kiranya diperlukan.[7]

Bagaimana kita memahami rekonsiliasi di dalam arus globalisasi sekarang ini? Beberapa poin tentang teori rekonsiliasi tentu perlu untuk dijabarkan. Berbagai teori rekonsiliasi menjelaskan proses berhentinya konflik dan tegangan di masa lalu, serta mulainya masa-masa damai yang dinantikan. Dengan kata lain, rekonsiliasi adalah masa peralihan dari keadaan perang menuju keadaan damai. Di dalam jantung rekonsiliasi terdapat beberapa hal, yakni pelestarian ingatan, pengakuan terhadap keberadaan korban serta pelaku maupun hak-haknya, perbaikan terhadap hidup para korban serta penciptaan maupun perawatan budaya perdamaian yang berkelanjutan.[8] Teori-teori rekonsiliasi tidak secara langsung berbicara soal globalisasi. Namun, idenya kiranya tetap, bahwa globalisasi membawa perubahan yang juga merugikan banyak orang. Rekonsiliasi ini dapatlah dilihat sebagai upaya untuk membuat sistem jaringan pengaman sosial (asuransi kesehatan universal, pendidikan gratis untuk semua, asuransi kehilangan pekerjaan, serta asuransi hari tua) universal bagi semua warga, sehingga mereka tidak begitu rentan dihantam sisi gelap arus globalisasi yang terjadi. Globalisasi, dengan demikian, harus diarahkan pada semacam rekonsiliasi, supaya ia bisa mencapai titik seimbang yang dinamis. Buah manis globalisasi, yakni keterpauteratan seluruh dunia yang menghasilkan keadilan dan kemakmuran bagi semua, baru dapat dirasakan, jika ia dipandang sebagai sebuah proses rekonsiliasi terus menerus. Ini kiranya sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa Indonesia yang tertuang di dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia dalam bentuk Pancasila.

Ini tentunya terdengar indah, walaupun sulit. Apa kiranya tantangan yang menghalangi untuk terwujudnya globalisasi sebagai rekonsiliasi ini? Kiranya ada dua tantangan besar yang perlu dicermati dan dilampaui. Yang pertama adalah kelupaan bangsa Indonesia pada cita-cita berdirinya bangsa Indonesia. Kelupaan ini mendorong lahirnya tantangan kedua, yakni berbeloknya Indonesia menjadi semata perluasan identitas lokal, seperti yang dengan mudah ditemukan pada upaya menerapkan hukum-hukum Islam sebagai bagian dari peraturan daerah, ataupun undang-undang nasional.[9] Ketika cita-cita dan ingatan terlupakan, maka Indonesia juga terlupakan. Jika ini terjadi, maka bangsa Indonesia akan menjadi korban globalisasi, tanpa bisa bangkit dari keterbelengguannya. Jika seperti itu, maka bukan hanya para supir taksi yang mengamuk, karena haknya terinjak-injak, tetapi juga seluruh rakyat. Revolusi mental bisa berubah wajahnya menjadi revolusi politik berdarah yang memakan banyak korban. Semoga tidak sampai ke situ.

 

*Makalah diskusi untuk Simposium Nasional V Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya: “Membentuk Identitas Indonesia dalam Arus Globalisasi”

Tanggal : Sabtu, 2 April 2016

Tempat : Ruang Teater lt.1, Kampus Pakuwon, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Jl. Raya Kalisari Selatan no. 1, Pakuwon City, Laguna, Surabaya Timur
Waktu : 08.00 – 16.00

 

Daftar Acuan

 

Butterwegge, Christoph, et.al (editor), Neoliberalismus. Analysen und Alternativen, VS Verlag, Wiesbaden.

 

Felber, Christian, Die Gemeinwohl-Ökonomie, Eine demokratische Alternative wächst, Deuticke im Paul Zsolnay Verlag, Wina, 2012.

 

Noller, Peter, Globalisierung, Stadträume und Lebensstile. Kulturelle und lokale Repräsentationen des globalen Raums, Leske + Budrich, Opladen 1999.

 

Paul, Axel T.,  Pelfini, Alejandro, Rehbein, Boike (Editor), “Globalisierung Süd”, LEVIATHAN. Zeitschrift für Sozialwissenschaft Sonderheft 26/2010, VS Verlag, Wiesbaden.

 

Wattimena, Reza A.A., Zwischen kollektivem Gedächtnis, Anerkennung und Versöhnung, Hochschule für Philosophie München, München, 2016

 

Wattimena, Reza A.A., Tentang Manusia. Dari Pikiran, Pemahaman, sampai dengan Perdamaian Dunia, Maharsa, 2016.

 

Wattimena, Reza A.A., “Pemikiran Christian Felber tentang Ekonomi Kesejahteraan Publik”, Jurnal Respons, Jakarta, hal. 213-256.

 

http://www.cnnindonesia.com/internasional/20141009194757-120-5963/penerapan-hukum-syariah-yang-kontroversial/ 24 Maret 2016.

 

http://megapolitan.kompas.com/read/2016/03/22/12455551/Pengemudi.Go-Jek.Babak.Belur.Dipukuli.Oknum.Sopir.yang.Berdemonstrasi 24 Maret 2016.

 

Hartmann, Christian, Globalisierung, Zahlen und Fakten, http://www.bpb.de/nachschlagen/zahlen-und-fakten/globalisierung/52498/voraussetzungen, 23 Maret 2016.

 

Catatan Akhir: 

[1] Lihat, http://megapolitan.kompas.com/read/2016/03/22/12455551/Pengemudi.Go-Jek.Babak.Belur.Dipukuli.Oknum.Sopir.yang.Berdemonstrasi 24 Maret 2016.

[2] Lihat, Paul, Axel T.,  Pelfini, Alejandro, Rehbein, Boike (Editor), “Globalisierung Süd”, LEVIATHAN. Zeitschrift für Sozialwissenschaft Sonderheft 26/2010, VS Verlag, Wiesbaden. Edisi majalah ini mengupas beragam pengaruh globalisasi di berbagai negara di Asia, Afrika dan Amerika Selatan, terutama ketimpangan sosial serta masalah-masalah lainnya yang menjadi dampak langsung dari globalisasi.

[3] Lihat, Wattimena, Reza A.A., Tentang Manusia. Dari Pikiran, Pemahaman, sampai dengan Perdamaian Dunia, Maharsa, 2016, hal. 153-157.

[4] Lihat, Hartmann, Christian, Globalisierung, Zahlen und Fakten, http://www.bpb.de/nachschlagen/zahlen-und-fakten/globalisierung/52498/voraussetzungen, 23 Maret 2016.

[5] Lihat, Noller, Peter, Globalisierung, Stadträume und Lebensstile. Kulturelle und lokale Repräsentationen des globalen Raums, Leske + Budrich, Opladen 1999. Noller menjabarkan perubahan tata ruang dan konsep ruang sebagai dampak dari berkembangnya globalisasi di berbagai tempat di Jerman.

[6] Lihat, Butterwegge, Christoph, et.al (editor), Neoliberalismus. Analysen und Alternativen, VS Verlag, Wiesbaden. Di dalam buku ini dikupas perkembangan neoliberalisme sebagai kapitalisme ekstrem yang menyebar ke seluruh dunia melalui proses globalisasi. Model tata ekonomi Jerman dan Amerika Selatan dilihat sebagai alternatif dari model neoliberal semacam ini.

[7] Bdk, Wattimena, Reza A.A., “Pemikiran Christian Felber tentang Ekonomi Kesejahteraan Publik”, Jurnal Respons, Jakarta, hal. 213-256. Pemikiran Felber bisa dilihat sebagai suatu upaya rekonsiliasi dari proses globalisasi yang kental dengan nuansa neoliberalisme.  Lihat juga, Felber, Christian, Die Gemeinwohl-Ökonomie, Eine demokratische Alternative wächst, Deuticke im Paul Zsolnay Verlag, Wina, 2012.

[8] Lihat, Wattimena, Reza A.A., Zwischen kollektivem Gedächtnis, Anerkennung und Versöhnung, Hochschule für Philosophie München, München, 2016

[9] Lihat diskusi tentang penerapan hukum Syariah di Indonesia http://www.cnnindonesia.com/internasional/20141009194757-120-5963/penerapan-hukum-syariah-yang-kontroversial/ 24 Maret 2016.

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

2 tanggapan untuk “Supir Taksi, Globalisasi dan Rekonsiliasi?”

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.