Filsafat Kenikmatan Menurut Marquis de Sade

wallpaper4me.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Dosen Fakultas Filsafat, UNIKA Widya Mandala, Surabaya

            Ada satu fenomena menarik yang terjadi di berbagai kota-kota besar di Indonesia, yakni balapan motor di malam hari. Di Jakarta setiap malam, terutama di daerah Kemayoran, sekumpulan anak muda berkumpul, membawa kendaran bermotor mereka, dan mulai balapan. Motifnya beragam mulai dari mencari tambahan uang (yang biasanya juga untuk mempercanggih motor mereka), sampai dengan sekedar iseng menghabiskan waktu semata. Yang menarik adalah setiap malam pasti ada korban jiwa dari balapan tersebut.

            Membaca buku Jakarta Undercover, anda akan takjub melihat bagaimana aktivitas seksual justru semakin menyenangkan, ketika itu dilakukan di tempat-tempat yang tidak biasa, mulai dari dalam mobil, kapal layar, ataupun dengan gaya-gaya yang menyimpang. Sebagian orang bilang itu hanyalah variasi, supaya seks lebih terasa nikmat, dan hubungan percintaan bisa lebih berkualitas. Apakah begitu? Bukankah berhubungan seks dengan menyerempet maut (di dalam mobil berkecepatan tinggi), atau dengan cambuk yang secara rutin menyentuh kulit dengan keras, adalah suatu tanda sederhana, bahwa rasa nikmat itu amat dekat dengan rasa sakit?

            Begitu pula dengan budaya tato dan budaya tindik. Ketika jarum tusuk menyentuh kulit, yang terasa adalah sakit. Namun beberapa orang melihatnya sebagai suatu proses yang nikmat, suatu proses karya seni yang unik dan menggairahkan. Tato dan tindik pun seringkali dilakukan di tempat-tempat yang menyimpang, mulai dari mulut, hidung, puting payudara, sampai dengan alat kelamin. Rasa sakit berbarengan dengan rasa nikmat muncul, ketika jarum tusuk mengukir dan membolongi kulit. Di kalangan anak-anak muda, budaya ini sudah lama ada, dan semakin populer.

            Apa yang ada rasakan, ketika anda berolahraga? Pasti anda merasa lelah, sakit di bagian-bagian tubuh tertentu. Keringat bercucuran. Bau badan pun menyengat tak tertahankan. Namun mengapa anda terus melakukannya? Anda tidak sendiri. Banyak orang pun melakukannya. Ketika berolahraga ada semacam batas yang tipis antara rasa sakit akibat mengolah otot dan rasa nikmat yang ditimbulkannya. Bahkan kesehatan pun identik dengan tegangan abadi antara rasa sakit dan sekaligus nikmat yang ditimbulkan oleh olah raga ataupun berdiet ketat.

            Di dalam konteks aktivitas berhubungan seks, kasus sodomi, yakni berhubungan seks melalui lubang anus, seringkali dengan paksaan, masih terus terjadi. Pada bulan September 2011 lalu, Polsek Utara Barat Cirebon Kota  menangkap Wiwid. Ia dilaporkan telah melakukan sodomi kepada sekitar 10 orang, dan kesemuanya di bawah umur.[1] Kita juga masih ingat kasus Robot Gedek yang melakukan sodomi pada 12 orang anak pada era 1994-1996.[2] Mengapa mereka melakukan sodomi? Biasanya pelaku sodomi dianggap menderita gangguan jiwa. Namun bukankah sodomi juga bisa dianggap sebagai suatu kenikmatan yang menyimpang, yakni kenikmatan tinggi yang dibarengi dengan rasa sakit?

            Di dalam tulisan ini, saya ingin berbagai macam fenomena “kenikmatan yang menyimpang” di atas dengan menggunakan pemikiran Marquis de Sade, seorang pemikir Perancis. Argumen utamanya adalah bahwa manusia merupakan mahluk-mahluk seksual yang tujuan hidupnya mendapatkan kenikmatan tertinggi, walaupun kenikmatan itu membutuhkan rasa sakit di dalamnya. Argumen ini didukung oleh beberapa penjelasan de Sade yang juga akan saya jabarkan di dalam tulisan ini. Untuk menjelaskan argumen ini, saya membagi tulisan ke dalam tiga bagian. Awalnya saya akan memperkenalkan sosok hidup dan pemikiran Marquis de Sade (1). Lalu saya menjabarkan beberapa argumen penting di dalam pemikirannya, termasuk etika, metafisika, dan kosmologi dari de Sade (2). Pada bagian akhir saya akan menyimpulkan pemikiran de Sade dalam kaitannya dengan pemburuan rasa nikmat, dan memberikan beberapa catatan kritis atas pemikirannya (3).

1. De Sade, Hidup dan Metode Berfilsafatnya

            Motif utama dari filsafat Marquis de Sade adalah untuk memahami kejahatan (Vice and Wickedness) di dalam diri dan kehendak manusia. Metode yang digunakan adalah pengamatan dan refleksi diri (self-reflection), yakni melihat ke dalam dirinya sendiri. Cara penyampaiannya juga beragam, mulai dari narasi cerita (story narrative) sampai dengan spekulasi teoritik (theoretical speculation). Karena berada di dalam tegangan dua model penyampaian itu, banyak orang merasa sulit memahami maksud sesungguhnya dari de Sade.[3] Bahkan Airaksinen, salah satu komentator pemikiran de Sade, berpendapat, bahwa ia, de Sade, adalah seorang filsuf yang tersembunyi (philosopher in disguise). Etikanya adalah anti-etika, dan metafisikanya adalah anti-metafisika. Ia hendak membalik semuanya, dan mengajak kita memikirkan hal-hal lama secara baru.

            Guillaume Apollinaire, seorang penyair Prancis abad kedua puluh, berpendapat, bahwa ia adalah “jiwa terbebas yang pernah ada.”[4] Di sisi lain mungkin karena sikap hidupnya yang menjunjung kebebasan tanpa batas, de Sade dianggap sebagai penjelmaan setan, seorang penulis porno, pencipta sadisme (menemukan kenikmatan dengan menyiksa orang lain), dan bahkan seorang budak hasrat serta pelayan utama nafsu-nafsu rendah manusia. Tak heran seperti dicatat oleh Phillips, de Sade adalah mahluk yang diselubungi oleh mitos (creature of myth).[5] Salah satu anggapan yang banyak beredar di masyarakat adalah bahwa de Sade adalah orang yang menemukan kenikmatan dengan menyiksa orang, atau menyaksikan orang lain tersiksa. Ia dianggap sebagai pemikir sadistik.[6] Bahkan kata sadis pun diambil dari namanya. Namun dengan membaca pemikiran-pemikiran de Sade yang tertuang di dalam novel, cerita pendek, naskah drama, esei-esei kritis, dan surat menyurat pribadinya, kita akan berubah pikiran, dan sadar, bahwa anggapan banyak orang tentangnya itu salah.

            De Sade memang terkenal, karena ia menulis empat novel kontroversial. Di dalam novel-novel itu, ia memaparkan hal-hal yang akan menggetarkan serta mengagetkan “orang baik-baik”. Juga di dalam novel-novel itu, kita akan menemukan jiwa pemberontakan total yang terdapat di dalam diri de Sade. Di balik semua itu, kita juga bisa menemukan pemahaman yang amat kaya, yang merentang dari seksualitas sampai moralitas, dari politik sampai agama, dari estetika sampai metafisika, dari kritik sastra sampai dengan persoalan hidup dan mati.[7] Ini semua membuat ia menjadi salah satu tokoh besar di dalam sejarah filsafat Barat. Dengan pemikirannya yang kontroversial dan tajam, ia bisa dibilang adalah satu-satunya orang yang sungguh mengalami revolusi Prancis dari sisinya yang paling hitam, dan mengajukan komentar yang cukup mendalam tentangnya.

            Ia menulis dengan berani dan dengan stamina yang menakjubkan. Karena itu pula ia ditangkap, dan kemudian dipenjara. Ide-idenya mendalam karena ia berhasil mengungkapkan dan menyatakan dengan lugas siapa dan apa itu manusia sesungguhnya tanpa ragu, yakni sebagai mahluk yang memiliki tubuh seksual (sexual body). Kodrat manusia bukanlah akal budi ataupun jiwanya, tetapi di dalam tubuh seksualnya. Di jaman ketika moralitas agama-agama begitu kuat mencekram masyarakat, ia menulis dengan bahasa yang vulgar, dan dengan kebencian yang tak ditutup-tutupi terhadap moralitas tradisional yang dicapnya sebagai munafik. Dengan gairah semacam itu, Foucault, seorang filsuf besar asal Prancis di abad ke dua puluh, menempatkan de Sade sebagai salah satu filsuf terbesar di masa Pencerahan Eropa.[8]

            Nama lengkap de Sade adalah Donatien Alphonse François de Sade. Ia lahir pada 1740. Ayahnya bernama Comte de Sade, seorang pemilik tanah di sebelah selatan kota Provence. Ia adalah seorang bangsawan yang memiliki nenek moyang jauh kembali ke abad pertengahan. Sementara ibunya adalah wanita sederhana yang merupakan saudara jauh dari seorang bangsawan yang bernama Princesse de Condé. Di masa kecilnya de Sade amat terpengaruh oleh gaya hidup paman dan ayahnya yang memang agak ganjil, yakni gaya hidup seorang libertin. Kata libertin sendiri berasal dari bahasa Prancis yang berarti “pemikir bebas tentang agama.”[9] Paham ini berkembang pada abad 17 dan 18 di Prancis.

            Namun pada pertengahan abad 18, kata ini mengalami perubahan arti menjadi paham yang membenarkan gaya hidup yang menyimpang (perverse lifestyle). Bentuk nyatanya adalah dalam perilaku seks yang menyimpang, yang menjadi tanda dari seorang libertin yang sejati. Tujuan dasarnya adalah menyerang secara brutal ajaran-ajaran moral tradisional yang  mencekik kebebasan manusia untuk mengembangkan daya-daya seksual tubuhnya. Para pemikir libertin menulis novel-novel maupun cerita pendek yang melukiskan secara vulgar aktivitas seks menyimpang di rumah-rumah bordil, maupun di penjara. Seperti dicatat oleh Phillips, paman de Sade memiliki banyak sekali karya dari pemikir-pemikir libertin ini. Di dalam perjalanan waktu, libertinisme disamakan begitu saja dengan pornografi. Namun di baliknya sebagaimana dicatat oleh Phillips, libertinisme sebenarnya membawa agenda-agenda perubahan politik, dan kritik satir terhadap para pejabat Gereja maupun monarki Eropa yang korup serta munafik. [10]

            Jelaslah bahwa de Sade memang hidup dalam pengaruh tradisi libertin pada masanya. Pada usia 10 sampai dengan 14 tahun, ia sekolah di sebuah institusi pendidikan milik Jesuit yang bernama Louis-le-Grand di Paris. Di sana ia mendapatkan pendidikan yang menyeluruh, mulai dari aritmatika, geografi, sejarah, dan seni retorika. Juga menurut Phillips, de Sade juga menyadari, bahwa ia suka dicambuk dan disodomi di sekolah tersebut. Para guru Yesuit seringkali menghukum anak dengan mencambuknya di bagian pantat. Pola semacam ini memang dianggap mampu menciptakan rangsangan seksual, baik bagi pencambuk, maupun pihak yang dicambuk. Konon Jean-Jacques Rousseau, seorang filsuf besar asal Prancis yang hidup pada abad ke-18, juga merasakan sensasi seksual yang meningkat tinggi, ketika ibu kosnya memukul pantatnya.[11]

            Memang harus diakui bahwa pada masa itu, praktek sodomi adalah sesuatu yang biasa di berbagai komunitas homogen (pria). De Sade pun tertarik pada semua praktek-praktek “menyimpang” itu, karena dia sedari kecil sudah membaca berbagai novel-novel dan cerita pendek libertin di perpustakaan pamannya yang memang amat besar. Perlu juga dicatat bahwa perpustakaan milik paman de Sade tidak hanya berisi buku-buku libertin, tetapi juga tulisan-tulisan para filsuf pencerahan (enlightenment) Prancis. Dua pengaruh ini yakni antara pemikiran libertin dan ide pencerahan tentang kebebasan (freedom) nantinya akan amat mempengaruhi pola berpikir de Sade.[12] Ia juga pernah menjadi prajurit tempur di Perang Tujuh Tahun. Ia pun dianggap sebagai salah seorang tentara yang baik, dan mendapatkan beberapa penghargaan. Setelah itu ia pergi ke Paris, dan memulai petualangannya sebagai seorang pemikir libertin.

            Di Paris ia menjalani hidup dengan bersenang-senang, menonton teater, bercinta dengan para aktris, termasuk menikmati tubuh-tubuh pelacur di rumah bordil Paris. Ia beruntung karena wajahnya tampan. Keinginannya untuk memikat perempuan juga amat besar. Tak heran niatnya itu tak bertepuk sebelah tangan. Banyak perempuan jatuh hati padanya. Keluarganya melihat hal ini, dan tak suka. De Sade pun dipanggil kembali oleh ayahnya untuk pulang, dan menikah dengan gadis bangsawan pilihan ayahnya, yakni dari keluarga Montreuil. Namanya adalah Renée- Pelagie de Montreuil. Walaupun tidak terlalu canti, ia adalah perempuan yang memiliki banyak karakter baik, seperti tabah menghadapi penderitaan hidup, dan amat setia. Dialah yang nantinya mendampingi de Sade, ketika masa-masa gelap hidupnya di penjara pada dekade 1770-1780-an.  Ia terus menghasilkan karya-karya yang kontroversial dalam hidupnya, mayoritas ditulis di dalam rumah sakit jiwa dan penjara, sampai meninggal pada 1814.

2. Filsafat yang Menyimpang

            Pemikiran de Sade sebagaimana ditafsirkan oleh Airaksinen dapat dilihat pada lima tingkatan. Yang pertama de Sade hendak membuat semacam lelucon dari teori sosial kontrak (contract social theory).[13] Ia pun menertawakan konsep tata sosial (social order) dan situasi alamiah (state of nature) manusia yang menjadi obyek kajian dari para filsuf politik modern.[14] Bagi de Sade yang sungguh nyata adalah tata sosial yang sifatnya anarkis, yang diisi oleh ketidakadilan sosial, kesenjangan yang tinggi antara yang kaya dan miskin, serta eksploitasi manusia oleh manusia lainnya.  Dunia hidup bersama manusia sejatinya adalah ketidakadilan itu sendiri, dan karena itu selalu dalam keadaan jahat. Itulah situasi alamiah dan permanen dari kehidupan bersama manusia. Yang harus dilakukan oleh manusia adalah belajar menikmati semua penyimpangan tersebut, dan menertawakannya sebagai bagian dari lelucon kehidupan. Bahkan de Sade dengan jelas menegaskan, bahwa hidup sosial selalu akan berisi penindasan pada pihak-pihak yang lemah, dan pemulian mereka-mereka yang memiliki uang serta kuasa. Teori kontrak sosial yang menyatakan, bahwa kehidupan bersama adalah hasil dari perjanjian sadar yang membuat semua pihak puas, adalah sebuah “cerita indah” tentang tata hidup yang selalu terkutuk (good story concerning wicked order of things).[15]

            Yang kedua de Sade hendak memahami, dan mengalami langsung, pola berpikir orang yang hidupnya melulu mengejar kenikmatan-kenikmatan inderawi (sense pleasure), dan motivasi hidupnya adalah murni untuk memuaskan seluruh hasrat dirinya.[16] Manusia ideal Sadean adalah manusia pemburu kenikmatan ekstrem yang tak peduli, apakah kenikmatan yang ia dapatkan itu sementara atau selamanya. Tujuan utama hidup manusia, menurut de Sade, adalah mencapai kenikmatan setinggi mungkin, dan sesering mungkin. Manusia adalah mahluk pemburu segalanya, dan seringkali tak peduli dengan akibat dari pemburuannya. Dan yang menarik bagi de Sade, kenikmatan seringkali identik dengan penyimpangan (perversity) dan kejahatan. Seks yang paling nikmat adalah seks yang diikuti dengan tindak kekerasan (violent sex), seperti mencekik, memukul, dan penggunaan alat-alat brutal. Bahkan dapat dikatakan bahwa semakin brutal suatu aktivitas seksual, maka semakin besar pula kenikmatan yang diperoleh. Kenikmatan puncak adalah suatu kenikmatan yang menyimpang (perverse pleasure), atau kenikmatan yang gila (crazy pleasure). Pada hemat saya manusia de Sade adalah manusia hedonis dalam artinya yang paling ekstrem, yakni pencari kenikmatan tubuh dengan melampaui batas-batas normalitas (normality), dan memasuki area-area yang menyimpang serta brutal, yang justru semakin meningkatkan kualitas dan intensitas kenikmatan tubuh yang didapatkan.[17]

            Yang ketiga bagi de Sade, dunia adalah energi dan materi semata. Semua bentuk kehancuran dan kematian dapat dipandang sebagai perubahan energi dan materi semata. Di dalam model alam semacam itu, kebenaran dan kejahatan hanyalah semata soal perubahan energi yang terjadi, akibat benturan-benturan atom (atomic collisions) di alam semesta. Dalam arti ini de Sade adalah seorang ateis naturalis. Tidak ada Tuhan yang menciptakan hukum tentang yang baik dan buruk, serta mencipta dan menata alam semesta. Yang ada hanyalah alam (nature) itu sendiri dengan hukum-hukumnya. Yang perlu dilakukan manusia adalah menghargai dan menghayati hukum-hukum alam yang ada. Itulah yang disebut de Sade sebagai sikap kepahlawanan (heroism), yakni sikap menerima dan menghayati alam sebagaimana adanya.

            Di dalam pandangan tentang alam semacam ini, hukum yang paling penting adalah hukum benturan keras (strong collisions). Sejarah manusia dibentuk melalui konflik keras. Bahkan kenikmatan tertinggi adalah orgasme yang merupakan hasil dari benturan keras alat kelamin dan tubuh manusia. Di balik benturan tersebut, hanya ada kekosongan (emptiness) itu sendiri. Dan kematian dipandang sebagai benturan tertinggi yang mengantar manusia pada kekosongan yang sejati. Konflik adalah benturan keras yang merangsang manusia untuk berpikir secara baru, secara kreatif. Dalam arti ini metafisika de Sade menurut Airaksinen adalah metafisika natural yang bersifat nihilistik, dan, pada waktu yang sama, kreatif. Inilah dasar epistemologis pemikirannya yang bermuara pada penjelasannya soal kenikmatan diri sekaligus kejahatan manusia.[18]

            Yang keempat bagi de Sade, etika adalah soal pembalikan-pembalikan. Apa yang dianggap masyarakat sebagai baik justru dipandangnya sebagai sesuatu yang jahat (vice), dan sebaliknya. Airaksinen memberikan tafsiran yang menarik soal ini. Nilai tertinggi yang diagungkan oleh de Sade adalah kenikmatan ekstrem (extreme pleasure). Inilah nilai obyektif yang dipegangnya. Dan kenikmatan ekstrem pada titik yang paling menyimpang seringkali amat dekat dengan kejahatan. Anggaplah ada seorang jahat yang berbuat jahat. Untuk bisa memahami apa itu perbuatan jahat, kita harus terlebih dahulu mengerti, apa itu kejahatan. Dan untuk memahami apa itu kejahatan, kita juga terlebih dahulu harus tahu, apa itu kebaikan, karena kejahatan adalah segala sesuatu yang bertentangan dengan kebaikan. Dalam arti ini secara logis dapatlah dikatakan, bahwa kejahatan memerlukan kebaikan, dan kebaikan sendiri memerlukan kejahatan untuk menegaskan dirinya. Dan pada kenikmatan tertinggi, yang merupakan tujuan hidup manusia, kejahatan dan kebaikan menjadi utuh dan satu.[19] Tidak ada yang jahat dan tidak ada yang baik, karena keduanya adalah sama.

            Yang kelima ada sisi estetik (aesthetics) dari isi maupun gaya penulisan de Sade. Dilihat sekilas orang akan mengira tulisan-tulisannya sebagai pornografi. Para pencinta novel akan melihatnya sebagai tulisan-tulisan vulgar tanpa gaya. Dan para filsuf akademik akan melihatnya sebagai buku filsafat yang amat tidak koheren. Namun menurut Airaksinen ada sesuatu yang lebih dari itu semua dari tulisan-tulisan de Sade, yakni niatnya untuk menghibur dan membangunkan pembaca dari keterlenaan moralitas tradisional yang mencekik melalui tulisan-tulisannya yang vulgar dan penuh dengan gambaran hubungan seks, maupun penyiksaan. Tulisan-tulisan de Sade memiliki gaya tertentu yang memberikan pengaruh unik bagi para pembacanya. Yang terpenting bukan hanya isi dari tulisannya, tetapi gaya menulisnya, termasuk pilihan katanya, yang lincah sekaligus kontroversial. Ia menghanyutkan pembacanya dalam rasa penasaran, kekaguman, sekaligus rangsangan seksual pada awalnya, namun semua itu pada akhirnya bermuara pada rasa jijik sekaligus takut pada seluruh plot cerita yang dibuat.[20] Pada akhirnya si pembaca akan merasa terhina dengan seluruh tulisan yang ada. Namun perlu diingat mayoritas karya de Sade adalah fiksi yang penuh dengan metafora serta gambaran-gambaran yang tidak nyata. Kegagalan menyadari hal ini akan bermuara pada kegagalan kita memahami arti penting pemikiran de Sade.

            Di dalam tulisan-tulisannya, de Sade banyak mengupas tema-tema terkait dengan filsafat politik, metafisika, dan etika. Memang harus diakui tema-tema tersebut tidak terkait dalam satu benang merah yang koheren dan jelas, sehingga pembaca harus melakukan tafsiran atasnya. Namun di balik semua itu, menurut Airaksinen, ada satu argumen yang cukup tegas, yang mewarnai seluruh tulisannya, bahwa tidak ada satu nilai universal yang berlaku untuk semua konteks (1), bahwa hidup sosial manusia pada dasarnya adalah suatu neraka terselubung (2), dan manusia adalah mahluk yang tak bisa lepas dari kodrat hewaninya untuk mencari kenikmatan sempurna di dalam hidupnya (3). Inilah yang saya sebut sebagai filsafat yang menyimpang (the perversity of philosophy), yakni filsafat yang menguak daya-daya tubuh manusia sampai aspeknya yang paling mendasar, paling primitif, dan paling alami, sambil menerjang batas-batas nilai moral yang ditetapkan masyarakat. [21]

            Niat menerjang itu tak ditutupi sama sekali, sehingga seluruh pandangannya, dilihat dari sudut pandang moralitas tradisional, terlihat amat menyimpang dan subversif. Bahkan bagi para komentatornya, seperti Airaksinen, de Sade dapat dikategorikan sebagai seorang pemikir anarkis (anarchist). Ia tidak mau memperbarui tata moral yang sudah korup. Ia justru ingin menghancurkannya sama sekali. Ia tidak menawarkan jalan keluar dari kebobrokan moral. Ia ingin menghancurkan moralitas sama sekali, dan mengajak manusia untuk jujur pada dirinya sendiri sebagai mahluk seksual yang amat mencintai kenikmatan-kenikmatan yang menyimpang (perverse pleasures). Justru dengan menyadari hasrat-hasrat menyimpang di dalam diri manusia, dan tidak menekannya dengan ajaran-ajaran moral tradisional yang mencekik, manusia bisa merasa lebih merdeka dan bahagia di dalam hidupnya, dan kebaikan pun nantinya akan tercipta. Inilah yang saya sebut sebagai paradoks penyimpangan (the paradox of perversity). Dengan cerita-cerita dan tulisannya yang bernada menertawakan dan meremehkan, ia menantang kekuasaan tradisional, dan mengungkap kodrat terdalam dari manusia yang disangkal oleh ajaran moralitas tradisional.[22]

            De Sade menawarkan cermin pada kita semua. Membaca tulisan-tulisanya orang akan diajak untuk melihat dirinya sendiri, bersama dengan pikiran-pikiran maupun motivasi-motivasi tersembunyinya. Ia mengajak kita untuk jujur pada dorongan-dorongan hewani primitif di dalam diri kita, dan menatanya dengan sehat serta proporsional. Sebagai seorang pemikir dan penulis yang hidup lama di rumah sakit jiwa dan penjara, de Sade menulis tentang sisi-sisi gelap dirinya, yang sebenarnya juga merupakan sisi-sisi gelap kita semua. Itulah yang membuat buku-bukunya laku keras terjual semasa ia hidup, sampai sekarang. Cara ia menulis dan isi tulisannya menggambarkan sisi-sisi menyimpang dari manusia. Ia mengubah cara pandang kita tentang apa itu yang jahat, apa itu yang menyimpang, dan apa artinya menjadi manusia. Tergantung pada kita, apakah kita ingin mencercanya sebagai seorang pemikir porno, atau sebagai orang yang dengan berani dan gigih menyadarkan kita dari keterlenaan kita sendiri. Tergantung pada kita.

3. Kesimpulan dan Catatan

            De Sade adalah seorang pemikir Libertin (libertine thinker). Dalam arti ini libertinisme adalah paham yang menyatakan, bahwa orang haruslah melepaskan semua ajaran-ajaran moral yang mengikatnya, dan membebaskan tubuh serta jiwanya untuk mendapatkan kenikmatan, walaupun kenikmatan itu terlarang dan menyakitkan. Seorang libertin akan mengolah dan merangsang indera-indera di dalam dirinya semaksimal mungkin, sehingga ia bisa mencapai kenikmatan yang tertinggi. Hal ini tampak di dalam tulisan-tulisan maupun gaya hidupnya yang berupaya menyebarkan nilai-nilai libertinisme ke masyarakat luas.

            De Sade juga mendefinisikan ulang makna kenikmatan. Baginya kenikmatan tertinggi tidak dapat dilepaskan dari rasa sakit. Bahkan ia menyatakan bahwa seks ternikmat adalah seks yang diikuti dengan pukulan dan siksaan. Momen orgasme maupun ejakulasi yang dirasakan oleh orang yang tengah berhubungan seks sebenarnya amat dekat dengan momen kesakitan, akibat benturan dan gesekan yang berlangsung lama dan keras. Saya menyebutnya sebagai paradoks kenikmatan (paradox of pleasure), yakni pada titik yang paling ekstrem, kenikmatan tak dapat lagi dibedakan dari rasa sakit.

            Dengan tulisan-tulisan serta gaya hidupnya, de Sade hendak menantang moralitas tradisional pada jamannya. Ia mau membongkar sekaligus menertawakan moralitas tradisional yang munafik. Ia mengejek orang-orang yang tampak baik di mata masyarakat, walaupun secara diam-diam, ia melakukan semua yang ia kutuk. De Sade menertawakan dan mengejek habis-habisan para pemuka agama pada masa ia hidup yang selalu berbicara hal-hal baik, namun melakukan semua hal-hal buruk yang ia sendiri kutuk. Ia juga mengejek para penguasa politik yang tampak terhormat, namun di belakang berperilaku korup dan mesum seperti hewan. Yang de Sade agungkan adalah ketulusan dan kejujuran sejati yang mengakui, bahwa manusia tidak pernah sepenuhnya baik, dan bahwa manusia tak dapat lepas dari kodrat-kodrat hewaninya yang cenderung korup dan menyimpang.

            Di balik semua karya tulisnya, baik novel maupun esei-eseinya, de Sade sebenarnya berbicara tentang kodrat manusia, yakni tentang apa yang menjadi dimensi terdalam dari manusia. Ia tidak melihat akal budi sebagai kodrat manusia. Ia juga tidak melihat perasaan, emosi, ataupun afeksi sebagai kodrat manusia. Yang ia temukan ketika melihat manusia adalah tubuh dan hasrat-hasrat yang bergerak di belakang tubuh itu. Dari sini ia pun mengambil kesimpulan, bahwa kodrat terdalam manusia adalah tubuh-tubuh penuh hasrat yang dimiliknya. Ia menyebutnya sebagai tubuh seksual dari manusia. Argumen de Sade ini tentu saja menyimpang dengan moralitas tradisional. Maka dapatlah dikatakan bahwa konsepsi manusia de Sade adalah manusia yang menyimpang; manusia dengan kodrat menyimpang.

             Yang juga cukup menarik, pada hemat saya, adalah filsafat alam yang dirumuskan de Sade. Ia tidak percaya dengan ajaran klasik, bahwa alam semesta diciptakan dalam enam hari, seperti dalam Kitab Suci Kristiani, ajaran yang dominan pada jaman de Sade hidup. Ia melihat alam semesta sebagai hasil dari konflik dan benturan keras dari berbagai elemen yang ada. Gesekan menghasilkan energi, dan dengan energi, alam semesta tercipta. Bahkan kehidupan pun lahir dari benturan serta gesekan tubuh dari dua spesies yang berbeda kelamin. Hal ini berlaku untuk hewan, dan juga, terutama, untuk manusia. Saya menyebutnya sebagai kosmologi konflik (cosmology of conflict), di mana segala sesuatu lahir dari konflik. Pandangan de Sade ini sebenarnya searah dengan pandangan Herakleitos, seorang filsuf Yunani kuno sebelum Sokrates, bahwa perang adalah bapak dari segalanya.

            Lepas dari sikap lugas, keberanian, serta argumen-argumennya yang provokatif manusia dan perilakunya, de Sade, pada hemat saya, tetap berat sebelah. Jika saya perhatikan ini tampaknya kecenderungan para filsuf yang berbicara tentang manusia, yakni menyempitkan manusia melulu pada satu bidang, dan menganggap hal-hal di luar bidang itu hanya sebagai tampilan belaka yang mudah berubah, atau justru tipuan indera saja. De Sade berpendapat bahwa kodrat terdalam manusia terkait dengan tubuh dan hasrat-hasrat seksual primitifnya semata. Sisi-sisi lain dari manusia hanyalah selubung yang menutupi kodrat tersebut. Apakah ini tepat?

            De Sade benar bahwa manusia punya hasrat untuk menyimpang, dan semua hasrat itu harus disadari, diakui, dan dikelola dengan bijak. Namun bukan berarti hasrat untuk menyimpang itu adalah kodrat terdalam manusia. Itu sama saja dengan mengatakan, bahwa karena ada beberapa efek tidak sehat dari memakan nasi, maka nasi itu adalah racun. Itu argumen yang berlebihan, dan tidak taat pada asas-asas penarikan kesimpulan. Sisi gelap manusia dan peradaban yang diciptakannya harus diakui sepenuhnya, dan secara bijak dikendalikan, atau diarahkan untuk menghasilkan hal-hal baik bagi semua. De Sade tidak berbicara sampai ke situ. Namun menurut saya ia seharusnya mulai dari sisi gelap manusia, dan merumuskan filsafatnya mulai dari situ. Hasrat-hasrat seksual dan menyimpang manusia bukanlah kesimpulan dari suatu refleksi filsafat, tetapi justru merupakan titik tolak untuk membangun filsafat yang baru, yang lebih membebaskan dan mencerahkan.

Daftar Pustaka

Airaksinen, Timo, The Philosophy of Marquis de Sade, Routledge, London, 1991

Phillips John, The Marquis de Sade, Oxford University Press, Oxford, 2005

Wattimena, Reza A.A., Melampaui Negara Hukum Klasik, Kanisius, Yogyakarta, 2007.

Wattimena Reza A.A., (ed), Filsafat Politik untuk Indonesia, Pustakamas, Surabaya, 2011.

http://www.minddisorders.com/Py-Z/Sexual-sadism.html diakses pada 9 Desember 2011 pk. 13.35

http://www.detiknews.com/read/2011/09/19/123201/1725329/10/pelaku-sodomi-di-cirebon-ditangkap-korban-lebih-dari-10-orang diakses pada 9 Desember 2011 pk. 13.35

http://www.museum.polri.go.id/lantai2_gakkum_robotgedek.html diakses pada 9 Desember 2011 pk. 13.35


[2] http://www.museum.polri.go.id/lantai2_gakkum_robotgedek.html diakses pada 9 Desember 2011 pk. 13.35

[3] Airaksinen, Timo, The Philosophy of Marquis de Sade, Routledge, London, 1991, hal. 5. Such a project, which combines narrative form and theoretical speculation, may be too complicated to be perspicuous. Indeed, if the subject matter tends to be paradoxical, Sade’s texts themselves are enigmatic.”

[4] Untuk selanjutnya saya mengikuti Phillips John, The Marquis de Sade, Oxford University Press, Oxford, 2005, Bagian preface the freest spirit who ever lived”

[5] Ibid, “Hailed by the early 20th-century French poet Guillaume Apollinaire as ‘the freest spirit who ever lived’, but demonized throughout the last two hundred years as a misogynistic pornographer, and as the original proponent of sexual sadism and lustmurder, the Marquis de Sade is a creature of myth.”

[6] http://www.minddisorders.com/Py-Z/Sexual-sadism.html The essential feature of sexual sadism is a feeling of sexual excitement resulting from administering pain, suffering, or humiliation to another person. The pain, suffering, or humiliation inflicted on the other is real; it is not imagined and may be either physical or psychological in nature. A person with a diagnosis of sexual sadism is sometimes called a sadist. The name of the disorder is derived from the proper name of the Marquis Donatien de Sade (1740-1814), a French aristocrat who became notorious for writing novels around the theme of inflicting pain as a source of sexual pleasure.”  (30 November 2011 15.30)

[7] Phillips John, The Marquis de Sade, 2005, Bagian preface The sheer breadth and intellectual complexity of Sade’s creative output encompasses the whole range of human experience, from sexuality to morality, from politics to religion, from metaphysics to aesthetics, from literature to life and death.”

[8] Ibid, “Were it not for his explicit use of language and complete disregard for the artificially constructed taboos of a religious morality he despised, the novelty and profundity of Sade’s thought, and, above all, its fundamental modernity, would have long since secured him a place alongside the greatest authors and thinkers of the European Enlightenment.”

[9] Ibid, hal. 2. free thinker on religion”

[10] Ibid, “Libertinism and pornography thus became closely associated. By the mid-18th century, both served an increasingly political agenda, satirizing a corrupt and unpopular church, aristocracy, and monarchy. Sade’s own contribution to this tradition is significant with regard to the graphic and, at times, obscene representation of liber- tine debauchery for the purposes of political and religious satire”

[11] Ibid, hal. 1. Between the ages of 10 and 14, Donatien attended the Jesuit school of Louis-le-Grand in Paris. He also had a young preceptor, the gentle and highly intelligent Abbé Amblet, who taught him reading, arithmetic, geography, and history, and who was the only male member of the child’s entourage who was not a libertine. At school, the young Marquis was rigorously trained in the skills of classical rhetoric and debating. From the Jesuits, he may also have acquired a liking for whipping and sodomy. The Jesuits regularly whipped the posteriors of their charges to discipline them, and it is well known that this form of corporal punishment can arouse the victim”

[12] Ibid, hal. 2. This library contained works by all the great classical authors, but it also included major volumes of Enlightenment philosophy, and significantly, a wide range of libertine writings.”

[13] Wattimena, Reza A.A., Melampaui Negara Hukum Klasik, Kanisius, Yogyakarta, 2007.

[14] Wattimena Reza A.A., (ed), Filsafat Politik untuk Indonesia, Pustakamas, Surabaya, 2011.

[15] Airaksinen, Timo, The Philosophy of Marquis de Sade, hal. 11. According to Sade’s syllogism, the civilized life is part of the state of nature, because of its inherent violence; our social world is already evil and society unjust; one should therefore make all this explicit and learn how to enjoy its possibilities. To form a social context fit for the cruel exploitation of the weaker by the stronger is the ultimate role of civilization. The social contract crystallizes a medium, explicating a chronique scandaleuse, or a good story of the wicked order of things.”

[16] Untuk selanjutnya saya mengikuti uraian Airaksinen, Timo, The Philosophy of Marquis de Sade.

[17] Ibid, hal. 11. the Sadean person wants everything at once, regardless of consequences. Such pleasure is related to deliberate cruelty, perverse sex, and the climax of sexual excitement which is crazy pleasure, that is orgasm – understood as the simple act and fact of discharging. Obviously, a serious effort must be made to explicate such a strange pseudo-psychological theory whose key metaphor refers to military life and its guns.”

[18] Ibid, hal. 12 . The main laws of nature prescribe destruction – that is, violent collisions – which are again connected to the psychology of pleasure via the orgiastic experience of nothingness. Murder is the passion which Sade wants to justify in this context. He claims that conflicts irritate and stimulate the mind. Metaphysics is an important part of Sade’s philosophy, simply because it explains his psychology of pleasure and leads us to the heart of darkness – evil itself.”

[19] Ibid, hal. 13. Therefore, two conflicting sets of genuine values must exist: those which one transgresses and those which one really aims at. How is this possible? That is the problem that faces us when we try to understand the nature of evil and the wickedness of the will. In order to answer it, we must turn to Sade’s idea of style, by means of which he attempts to bridge the two aspects of the mutually incompatible moral theories.”

[20] Ibid, “Curiosity, fascination, and sexual arousal will first draw the reader in, but if he is successful Sade will replace them in the end by terror, disgust, and aggression against the narrator.”

[21] Ibid, hal. 16. Even if these topics are partially disconnected, Sade’s ultimate anarchist message comes through: there are no real values or religious truths, social life is a veritable hell, and man is, accordingly, a beast by nature.”

[22] Ibid, This worldview is coherent enough in its own way, but also subversive. Sade really wants to destroy values as they are known in the tradition of the good life and religious salvation. He is not a reformist; he possesses no alternative values. Some commentators, of course, have tried to portray him as a reformer. For instance, Lawrence W. Lynch remarks: “In defense of Sade, he seemed genuinely sincere when he claimed that by portraying vice with elans and ‘wrapped in the colors of hell’, he was contributing to the subsequent avoidance of vice.”12 But Sade’s expression of his goals is too equivocal to justify such an apologetic interpretation. He may claim that he has some educational ends in mind when he writes a purely negative parody of all things human and shows how ambiguous our goals are; but this is mostly either irony or self-protection against the censorship laws”

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022) dan berbagai karya lainnya.

5 tanggapan untuk “Filsafat Kenikmatan Menurut Marquis de Sade”

  1. Sade emang gak ada habisnya.. Coba tonton filmnya saya lupa judul nya, De Sade kalau gak salah… disana di gambarin gimana dia selama di rumah sakit jiwa dan di penjara. Tampak bagaimana pribadi libertine anarkis ini.. Beruntung nemu blog ini.. beberapa tokoh filsuf yang bapak bahas menjadi bacaan yang saya geluti kini..

    Ngomong masalah sade, gak adil kalao Leopold Von Sacher Masoch nya gak di bahas hehehe, Venus In Furs relevan tuh

    salam

    Suka

  2. Seru juga bacanya,ada poin poin yang bisa saya jadikan landasan konsep berkarya saya yaitu tentang konflik menghasilkan energi baru,menurut saya sangat relevan jika dikatakan kadang keputus asaan melahirkan semangat baru.thx

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.