
Oleh Reza A.A Wattimena
Tahun 2011 adalah tahun yang cukup bersejarah untuk umat manusia. Sampai Oktober 2011 setidaknya sudah ada beberapa peristiwa yang mengubah “wajah” dunia.
Musim semi di Arab, di mana rakyat di daerah Arab dan Afrika Utara mulai bergerak melawan pemerintahan diktator yang menindas mereka, kerusuhan di London terkait dengan kebijakan pemerintah yang dirasa merugikan rakyat, protes dari kelas ekonomi menengah di Israel terkait dengan semakin mahalnya harga rumah tinggal dan mahalnya biaya hidup, gerakan sosial (nasional) India melawan korupsi di negaranya, kontroversi terkait dengan hubungan Tibet dan Cina, dan yang terbaru adalah gerakan menduduki Wall Street di New York dan di berbagai bursa efek di seluruh dunia, termasuk Bursa Efek Indonesia di Jakarta. (Roubini, 2011)
Tentu saja dilihat sekilas, tidak ada benang merah yang cukup jelas dari berbagai peristiwa yang saya sebutkan di atas. Namun jika dipikirkan lebih dalam, ada satu tema besar yang menjadi payung, yakni keprihatinan yang sangat besar terkait dengan kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi di berbagai belahan dunia. Di satu sisi kita bisa melihat para elit politik dan ekonomi semakin kaya dan berkuasa. Sementara di sisi lain, kita juga bisa melihat, bagaimana rakyat biasa bekerja keras dengan hasil dan kualitas kehidupan yang amat minimal.
Juga kita bisa melihat tingkat pengangguran yang semakin tinggi di berbagai belahan dunia. Bahkan mereka yang sudah memiliki pekerjaan pun tetap khawatir, jika sewaktu-waktu diberhentikan. Sementara orang-orang yang bekerja amat keras dan rajin tetap memiliki pendapatan yang jauh dari layak. Biaya pendidikan dan kesehatan semakin mahal, terutama di Indonesia. Sementara kualitas pendidikan tidak kunjung meningkat, sehingga menghasilkan manusia-manusia yang tidak kompeten, dan bermoral korup.
Kita juga bisa saksikan, di Indonesia, korupsi semakin merajalela. Pihak-pihak yang seharusnya ikut memberantas korupsi pun diduga melakukan korupsi. Kita juga jengah melihat lobi politik terkait dengan perombakan kabinet, sementara di sisi lain, berbagai permasalahan bangsa juga tidak tertangani dengan baik, seperti perbedaan pendapatan yang semakin besar antara mereka yang berpunya dan tak berpunya. Rasanya kue nikmat pembangunan hanya dirasakan oleh para elit politik dan ekonomi saja.
Tentu saja tidak adil, jika kita melihat sebab dari berbagai kesenjangan yang terjadi dari satu sisi semata. Dalam konteks Cina dan India, sebagaimana dianalisis oleh Roubini, ini semua terkait jumlah penduduk kedua negara tersebut (total 2,3 milyar) yang menyediakan pekerja yang relatif “murah”, baik pekerja ahli maupun yang non-ahli, yang pada akhirnya membuat harga barang produksi dari dua negara tersebut amat rendah, dan menghancurkan pasar dalam negeri negara konsumen, seperti yang terjadi di Indonesia. Juga kita bisa melihat faktor perkembangan teknologi yang membuat banyak orang tidak mampu menyesuaikan diri dengan segala kerumitan maupun akibat-akibat sosialnya.
Pemerintah juga gagal mengambil peluang dari kesenjangan sosial ekonomi yang semakin besar ini. Logikanya jika semakin banyak orang kaya, maka negara semakin kaya, karena pemasukan dari pajak juga semakin besar, karena pajak orang-orang kaya itu pun juga meningkat. Namun di Indonesia ini rupanya amat sulit, karena elit ekonomi sering berselingkuh dengan elit politik untuk menghindari pajak demi memuaskan kerakusan mereka akan harta dan kuasa.
Di Inggris dan Amerika Serikat, pemerintah menyadari hal ini. Mereka pun membuat kebijakan yang disebut sebagai demokratisasi kredit, atau liberalisasi finansial. Artinya sederhana bahwa rakyat biasa bisa meminjam uang dengan mudah untuk meningkatkan kualitas hidup ataupun usaha mereka. Namun masalah lain juga muncul, yakni semakin tak terkendalinya hutang rumah tangga rakyat biasa yang tak bisa mereka tanggung. Kredit macet pun terjadi.
Di Eropa pemerintah mengambil langkah yang berbeda. Kesenjangan sosial yang amat besar ditutupi dengan adanya pelayanan publik yang lengkap, seperti pendidikan dan kesehatan gratis bagi semua warga negara. Dana untuk ini diperoleh dari pajak, yakni pajak progresif, di mana semakin kaya orang, maka semakin tinggi pajaknya. Namun dalam jangka panjang, seperti sudah kita lihat bersama, ini pun tidak cukup, sehingga pemerintah pun akhirnya harus berhutang. Baik di Eropa dan Amerika Serikat, hutang pada akhirnya menjadi masalah besar yang nyaris tak tertangani, seperti sekarang ini.
Rantai masalah berlanjut. Karena tak mampu bayar hutang, banyak usaha dan bisnis memutuskan untuk mengurangi produksi mereka. Dan biasanya yang pertama dilakukan adalah melepaskan pekerja-pekerja yang dianggap kurang penting untuk perusahaan. Pengangguran meningkat. Kriminalitas meningkat. Banyak keluarga tak mampu memberikan pendidikan bermutu pada anak-anaknya, sehingga mereka menjadi generasi yang hilang (the lost generation). Kita pun terjebab dalam masalah sosial yang amat besar, tak jelas mau mulai dari mana, jika kita ingin mulai melakukan perbaikan.
Karena banyak pengangguran maka banyak orang tak memiliki kemampuan untuk membeli barang-barang hasil produksi. Lingkaran setannya begini; untuk mengurangi biaya produksi, maka perusahaan memecat pekerja. Namun dengan memecat pekerja, penjualan pun menurun, karena banyak orang tidak memiliki kemampuan untuk membeli barang hasil produksi perusahaan tersebut. Perusahaan pun pada akhirnya tetap merugi. Menurut Roubini “apa yang baik untuk satu situasi bisa jadi merusak perusahaan yang sama untuk situasi lainnya.” (Roubini, 2011)
Di balik semua ini, logika yang bekerja adalah logika pasar bebas. Dan kita juga bisa melihat, bahwa logika pasar bebas, yang sebelumnya diangggap solusi untuk semua masalah ekonomi, kini malah menjadi sumber masalah baru yang lebih besar. Hasil akhir dari pasar bebas adalah tidak terjualnya barang produksi, kesenjangan sosial yang semakin besar (yang membawa semakin banyak masalah sosial di masyarakat), dan tumpukan hutang yang tak terbayarkan. Ironis.
Ini sebenarnya bukan masalah baru. Sebagaimana dinyatakan oleh Roubini, Karl Marx sudah melihat ini, dan merumuskan sosialisme (Marxis) sebagai alternatifnya. Ia juga sudah meramalkan, bahwa tata kelola keuangan kapitalisme, dengan kesenjangan sosial yang terjadi, justru akan menghancurkan kapitalisme itu sendiri. “Kapitalisme yang tak diatur,” demikian kata Marx, “berujung pada produksi barang-barang yang berlebih, lemahnya konsumsi masyarakat, dan krisis keuangan yang terus berulang.”
Ironisnya para pengusaha Eropa dan Amerika telah menyadari ini sebelumnya. Roubini menyebut mereka sebagai “kaum borjuis yang tercerahkan” (enlightened bourgeois). Untuk mencegah hancurnya bisnis mereka, dan mencegah revolusi politik, para pengusaha tersebut menegaskan pentingnya melindungi hak-hak pekerja, meningkatkan gaji dan situasi kerja kaum buruh, dan membantu pemerintah menciptakan pelayanan publik yang baik, seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan yang murah (bahkan gratis), dan tunjangan ekonomi bagi mereka yang pengangguran.
Inilah pemikiran dasar dari terciptanya negara kesejahteraan (welfare state). Di dalam model negara ini, pemerintah memegang kunci penting bagi terciptanya stabilitas sosial ekonomi seluruh masyarakat. Tidak hanya itu pemerintah juga perlu untuk didukung oleh kelas pengusaha yang berhasil melalui pajak progresif (semakin tinggi tingkat ekonomi maka semakin tinggi pajaknya) yang kemudian disalurkan untuk memberikan pelayanan publik yang memadai, serta jaring pengaman sosial bagi mereka yang gagal secara ekonomi (bangkrut dan pengangguran). Saya menyebut ini semua sebagai solidaritas sosial (yang merupakan esensi dari bangsa) yang dilembagakan secara sempurna.
Bisa juga dirumuskan begini, terciptanya negara kesejahteraan adalah suatu tanggapan terhadap ancaman hancurnya sistem ekonomi yang sudah dibangun, revolusi politik yang membawa begitu banyak korban jiwa, dan krisis keuangan yang berkepanjangan. Eropa menyadari betul hal ini, sehingga selama lebih dari tiga puluh tahun, mulai dari 1940-an sampai 1970-an, mereka menciptakan negara kesejahteraan di Eropa dengan situasi ekonomi yang luar biasa stabil.
Namun ini semua runtuh ketika jumlah uang yang diperlukan untuk memberikan pelayanan publik serta tunjangan untuk pengangguran semakin besar, sementara semakin sedikit pemasukan dari pajak progresif dari kelompok ekonomi menengah ke atas. Hutang pemerintah pun menumpuk, bahkan lebih besar dari anggaran belanja negara setiap tahunnya.
Jika hutang menumpuk maka seluruh uang pemerintah yang ada dipakai untuk membayar hutang beserta bunganya, sementara pemerintah tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai pelayanan publik dan tunjangan untuk masyarakatnya. Masalah sosial bermulai dari situ, dan menular ke bidang-bidang kehidupan lainnya. Tingkat ekonomi pun menurun, jika tidak stagnan.
Fenomena ini juga sudah dibaca oleh para pemikir neoliberalisme, seperti Milton Friedman dan Paul Krugman, yang pemikirannya kemudian diterapkan pada era pemerintahan Ronald Reagan di AS, dan Margaret Thatcher di Inggris. Mereka melenyapkan banyak peraturan yang mengontrol ekonomi dan perdagangan, seakan memberikan udara segar bagi perkembangan bisnis dan ekonomi. Inilah model pasar bebas. Argumennya begini; jika semua praktek ekonomi dibebaskan (dengan peraturan yang minimal), maka akan ada semacam “tangan tak kelihatan” yang akan memberikan kemakmuran tidak hanya untuk para pelaku ekonomi raksasa, tetapi juga untuk seluruh masyarakat.
Indonesia terutama setelah reformasi 1998 pun menganut model ini. Banyak peraturan terkait dengan ekonomi dan perdagangan dihapus. Perusahaan-perusahaan milik negara dijual untuk dimiliki perorangan. Kita bisa melihat sendiri hasilnya sekarang ini. “Tangan tak kelihatan” tak jua muncul, sementara kesenjangan sosial semakin besar, pemerintah yang mudah tergoda untuk korupsi bersama elit ekonomi, dan pelbagai masalah sosial tak kunjung terlihat selesai, mulai dari kemacetan di kota-kota besar, korupsi pejabat negara yang tak ditindak, sampai kelaparan di berbagai tempat di Indonesia.
Jelaslah model tata kelola ekonomi pasar bebas, dengan “keajaiban” tangan tak kelihatannya, telah gagal memberikan keadilan dan kemakmuran untuk seluruh rakyat. Kenyataannya tata kelola perdagangan bebas justru memperparah kesenjangan ekonomi yang ada. Kehadiran pemerintah dan peraturan-peraturan yang adil tetap diperlukan. Namun tata kelola negara kesejahteraan juga perlu untuk dirombak, karena tak mampu menutup biaya pelayanan publik dan tunjangan rakyat yang memang terus membesar.
Saya memiliki dua pertanyaan yang kiranya bisa menjadi bahan refleksi kita bersama di Indonesia. Bisakah kita merumuskan tata kelola ekonomi yang memastikan kecilnya kesenjangan sosial antara yang berpunya dan yang tak berpunya di satu sisi, dan bisa menjamin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di sisi lain? Dan jika bisa (saya yakin bisa), apakah kita cukup mau dan mampu untuk menerapkannya secara konsisten ke seluruh penjuru Indonesia yang kita cintai bersama ini? Inilah kiranya pertanyaan yang perlu dijawab oleh para pemimpin republik ini.
Sebenarnya kita semua –terutama para pemimpin politik dan ekonomi- tidak perlu terlalu jauh mencari jawabannya. Model tata politik dan tata ekonomi yang terkandung di dalam Pancasila sudah bisa menjawab pertanyaan pertama dengan sempurna, asal nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya sungguh dihayati oleh seluruh rakyat, terutama elit ekonomi dan elit politik, dan sungguh diterapkan secara konsisten. Sila kedua sampai dengan sila kelima bisa menjadi pedoman bersama semua aktivitas ekonomi dan kebijakan politik pemerintah.
Saya menyarankan dibentuk semacam badan ideologi nasional yang bernapaskan Pancasila, yang bertugas menyaring semua bentuk kebijakan politik dan aktivitas ekonomi di Indonesia, supaya sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yang sejati (bukan untuk pembenaran bagi tafsiran sempit ataupun kekuasaan politik semata, seperti pada masa Orde Baru). Badan ini memiliki otoritas di level pusat-nasional, maupun di daerah-daerah, dan terdiri dari orang-orang yang memang terbukti pemikiran dan aktivitas hidupnya sungguh merupakan cerminan dari Pancasila, mulai dari tokoh masyarakat sampai dengan akademisi.
Tidak boleh ada kebijakan politik, ekonomi, ataupun budaya yang terlewatkan dari badan nasional ini, baik di level pusat ataupun level daerah. Badan ini pun juga harus diminta untuk melakukan uji ulang bagi semua kebijakan politik, ekonomi, maupun budaya yang sebelumnya ada, mulai dari mekanisme pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah, sampai undang-undang lalu lintas dan angkutan jalan. Semua kebijakan dan aktivitas ekonomi, politik, dan budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai sejati Pancasila (bukan nilai-nilai yang diselewengkan demi kekuasaan, seperti masa Orde Baru) harus diubah dan dihentikan. Maka badan nasional ini harus punya dasar filsafat dan hukum positif yang kokoh.
Sekarang ini kita hidup di era persimpangan. Marxisme dan komunisme sudah tidak lagi dipercaya dengan model tata kelola negara. Sementara kapitalisme dan ideologi pasar bebasnya juga sudah terbukti gagal. Indonesia punya keunggulan yang tak dimiliki negara lain, karena kita punya Pancasila. Yang kita perlukan adalah penggalian secara lebih mendalam nilai-nilai hidup yang terkandung di dalamnya, dan menerapkannya melalui pelembagaan badan ideologi nasional Pancasila, seperti saya rumuskan sebelumnya. Ini perlu dilakukan karena bagaimanapun, dasar negara kita adalah Pancasila.
Pancasila dirumuskan dari nilai-nilai yang memang sudah tertanam di masyarakat Indonesia selama berabad-abad. Maka kita sebagai rakyat Indonesia harus mengawalnya, supaya ia bisa menjadi pedoman hidup yang sungguh nyata untuk menghadapi masa depan umat manusia yang memang semakin tak pasti.***
Penulis adalah Dosen Filsafat Politik, Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya
Sebagai negara demokrasi, kita butuh partai politik. Merekalah yang menjadi pilar-pilar politik negara demokrasi. Konsekuensinya, partai politik harus dibersihkan dari mentalitas gerombolan tanpa ideologi kebangsaan. Jikalau ada badan nasional ideologi, menurutku justru mereka inilah yang menjalankan fungsi itu…seharusnya. Nah, persoalnnya adalah bagaimana badan ideologi atau apapun namanya nanti bisa menjadi katalis untuk berubahnya kualitas partai politik kita. Kalau tidak, kita akn jadi negara yang gemuk lembaga/bada/komisi nasional, tapi tidak ada dampaknya secara riil.
SukaSuka
Reformasi partai politik memang jadi urgensi di Indonesia. Tapi aku kok pesimis sekali dengan proses ini. Ak juga setuju dengan pendapatmu, supaya birokrasi politik di Indonesia tidak boleh terlalu gendut. Tapi apa pilihan yang kita punya sekarang ini?
SukaSuka
KEREEEN PAK 🙂
SukaSuka
terima kasih.. salam kenal..
SukaSuka