Oleh: REZA A.A WATTIMENA
Bangsa kita tengah mengalami krisis profesionalitas. Para pekerja di berbagai bidang tidak menghayati tugas dan tanggung jawab mereka. Akibatnya banyak hal gagal dilakukan. Rencana dibuat dengan sempurna, namun implementasi jauh dari bermakna.
Tugas dan tanggung jawab dianggap sebagai beban, dan bukan sebagai pengabdian yang membahagiakan. Hidup dan kerja dijalani dengan terpaksa. Tanpa profesionalitas aparatur negara, bisnis, pendidikan, dan kesehatan akan menyangkal alasan keberadaan mereka sendiri, yakni pelayanan untuk kebaikan bersama.
Krisis Profesionalitas
Krisis profesionalitas di Indonesia ditandai dengan tiga fenomena. Yang pertama adalah jarak antara fakta dan kata yang terlalu besar. Janji kehilangan relevansi. Ketidakpercayaan tercium di udara.
Politisi mengumbar janji. Praktisi bisnis berbohong melalui iklan. Konsumen tak berdaya. Masyarakat sipil menjadi lemah dan apatis. Demokrasi mampet.
Profesionalitas yang otentik dibangun di atas dasar identitas fakta dan kata. Apa yang dikatakan itulah yang terjadi. Apa yang dipikirkan itulah yang dikatakan. Jarak yang terlalu besar antara keempatnya akan bermuara pada dusta.
Yang kedua adalah pola bekerja yang jauh dari totalitas. Akurasi dikorbankan demi kenyamanan sesaat. Janji terlambat. Fasilitas menipu. Para pekerja Indonesia di segala bidang bekerja dengan setengah hati. Hasilnya pun setengah hati pula.
Padahal profesionalitas menuntut adanya totalitas. Profesionalitas menuntut komitmen pada akurasi dan kesempurnaan, apapun bidang kerjanya. Totalitas menjamin mutu. Totalitas mengangkat kita dari kebiadaban.
Krisis totalitas kerja didasarkan pada pemahaman yang salah tentang kerja. Kerja dipandang sebagai kewajiban buta. Akibatnya orang jadi terpaksa bekerja. Kebahagiaan tidak tampak di mata dan raganya.
Itulah yang terjadi di Indonesia. Orang terpaksa bekerja untuk mempertahankan hidup. Kerja tidak dipandang sebagai suatu privilese, melainkan suatu beban. Kerja dipandang sebagai keterpaksaan, dan bukan panggilan hidup yang mulia.
Profesionalitas menuntut pemahaman yang tepat tentang kerja. Kerja harus dipandang sebagai panggilan hidup yang mulia. Maka kerja haruslah dilaksanakan dengan bahagia. Hanya dengan begitu totalitas dan akurasi bisa dibangun. Kejayaan ekonomi dan politik suatu bangsa sangat tergantung pada anggapan warganya tentang apa itu kerja.
Kembali Ke Akar
Bangsa kita harus melepaskan diri dari persepsi yang sesat tentang kerja. Kerja haruslah dipahami pertama-tama sebagai pembebasan diri. Dengan bekerja orang menjadi bebas. Ia tidak didikte oleh kemiskinan dan kebosanan.
Kerja juga adalah aktualisasi diri. Dengan bekerja orang mengembangkan kualitas diri dan kemampuan pribadinya. Dengan bekerja orang berelasi dengan sesamanya untuk saling memperkaya. Dengan bekerja orang bisa mencapai kesempurnaan karya, dan itulah kebahagiaan yang sesungguhnya.
Kerja juga adalah ujung tombah produktivitas. Dengan mengubah pemahaman tentang apa itu kerja, bangsa kita bisa beranjak dari keterpurukan ekonomi, dan mengembangkan produksinya. Jika sudah begitu politik pun menguat. Ekonomi menguat, dan budaya menjadi kokoh. Kerja menentukan segalanya.
Musuh utama kita adalah sikap setengah hati. Kita harus melepaskan diri dari musuh ini, dan hidup serta bekerja dengan sepenuh hati. Hati yang teguh akan menyalakan komitmen. Komitmen akan menghasilkan totalitas. Totalitas akan menghasilkan kesempurnaan. Jadi tunggu apa lagi? Bersatulah para pekerja (yang sepenuh hati) di seluruh dunia!
Gambar dari
http://cache.boston.com/universal/site_graphics/blogs/bigpicture/manuf_02_20/m01_16895561.jpg
Penulis
Reza A.A Wattimena
Pengajar Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya
“saya bekerja maka saya ada” 🙂
SukaSuka
dan sebaliknya saya ada, maka saya bekerja…:)
SukaSuka
hahahaha…..I like that!
SukaSuka
Paling enak kuliah terus sampai jadi doctor, terus kerjanya ngajar dan meneliti, aktualisasi diri bisa dapet, duit jg dpt he he
Bagaimana dengan tukang becak dan tukang cuci melakukan cara aktualisasi diri dalam pekerjaannya..
SukaSuka
Ya. Itu emang hidup yang saya inginkan. Tukang becak bisa menjadi sangat profesional, memiliki banyak pelanggan, dan bisa bikin perusahaan becak sendiri, kalo ia cukup konsisten. Hal yang sama dengan tukang cuci. Apa pun bisa berhasil, asal cukup punya api semangat dan konsistensi.
SukaSuka
Kebutuhan naluriah pada manusia sulit diukur, dia bisa menganggap dirinya belum melakukan aktualisasi diri dalam ukuran dia, sehingga ahkirnya semua hanya bisa berahkir pada isitlah “dapat” bukan “pasti”, ukuran dapatpun bisa berubah dapat menjadi “tidak dapat” artinya kalau jadi menjadi X maka belum aktualisasi diri namanya. Jadi Akualisasi dari sifatnya adalah relatif, kalau dalam pandangan saya bisa saja “Kerja juga adalah aktualisasi diri” tapi “kerja juga bisa bukan aktualisasi diri”.
SukaSuka
Saya pikir aktualisasi diri itu adalah sebuah perjalanan, dan bukan sebuah kondisi yang tetap. Maka memang ada saatnya kerja menjadi pembebasan, ada saatnya pula kerja menjadi semata kewajiban. Keberhasilan dan aktualisasi diri adalah proses yang merentang di antara keduanya, sekaligus lebih jauh lagi.
SukaSuka
Betul, aktualisasi diri adalah sebuah perjalanan eksistensialis yang dengan sendirinya sangat subyektif.
SukaSuka
Saya pikir aktualisasi diri sekaligus subyek dan intersubyektif, karena ia melibatkan kepuasan diri untuk memberi nilai bagi hidup orang lain. Misalnya seorang dosen yang mengajar dan meneliti. Ia menemukan aktualisasi diri, sekaligus memberikan sesuatu yang bernilai bagi mahasiswa dan lingkungan sekitarnya melalui penelitian. Seperti yang berulang kali dikatakan Habermas, tidak ada konsep subyektif, karena itu selalu merupakan inter-subyektif.
SukaSuka
Kiranya bapak mau menuliskan artikel ini lg namum dlm konteks kerja di era kapitalisme & sedikit bumbu zen budhism
Hehehe…
SukaSuka
baik.. saya akan coba
SukaSuka