Friedrich Nietzsche dan Peter Drucker Berdiskusi tentang Bisnis dan Kreativitas

Oleh: Reza A.A Wattimena

“Keberhasilan dan kegagalan yang tak terduga adalah

sebuah kekuatan produktif inovasi bisnis,

karena banyak orang mengabaikannya.. dan bahkan membencinya.”

Peter Drucker

Mort Rainey adalah seorang penulis novel. Bisa dibilang, hidupnya sudah sempurna. Ia memiliki seorang istri yang cantik. Rumahnya besar. Mort bahkan punya rumah pribadi di daerah pegunungan, tempat ia mengasingkan diri dan fokus untuk menulis. Namun, semua itu berubah, ketika ia dan istrinya kehilangan bayi yang tengah mereka nantikan. Rumah tangga menjadi dingin. Mereka pun akhirnya berpisah, karena tidak sanggup menanggung penderitaan tersebut. Mort kehilangan istrinya. Rumahnya hilang sebagai bagian dari perjanjian cerai dengan istrinya. Istrinya menjalin kasih dengan pria lain.

Di dalam penderitaannya, Mort justru menjadi aktif menulis. Ide-ide liar dan kreatif berkeliaran di dalam pikirannya. Tulisannya pun lancar, walaupun nuansanya adalah pembunuhan dan kekerasan. Ya, Mort membayangkan membunuh istri dan kekasihnya. Ia juga membayangkan mengubur mereka di kebun belakang rumah pribadinya. Kesedihan dan penderitaannya berubah menjadi kreativitas yang nakal dan imajinatif. Di bawah bayang-bayang penderitaan, alkohol, dan rasa dendam, kreativitas mengalir deras di dalam kepalanya, dan siap untuk dituangkan ke dalam tulisan.

Anda mungkin ingat adegan film ini. Ini adalah cuplikan adegan dari film yang berjudul Secret Window, yang diadaptasi dari salah satu novel tulisan Stephen King. Ada satu hal yang diajarkan film tersebut kepada kita tentang kreativitas, yakni bahwa kreativitas haruslah muncul dari penderitaan, alkohol, anarkisme, dendam, dan emosi-emosi negatif lainnya. Kreatif identik dengan seniman, dan seniman identik dengan anarkisme. Selama anda belum anarkis, seperti para seniman, maka anda tidak mungkin menjadi orang kreatif. Apakah harus seperti itu? Bagaimana supaya kita menjadi orang yang kreatif? Bagaimana supaya kita kaya akan inovasi-inovasi di dalam hidup kita, tanpa harus menjadi ganas dan liar seperti Mort Rainey?

Biasanya, orang akan menjawab, kreativitas muncul dari inspirasi. Inspirasi muncul, karena orang banyak melakukan refleksi pada peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya juga relevan di dalam dunia bisnis. Inovasi dan kreativitas adalah dua kata kunci yang menentukan maju tidaknya sebuah organisasi. Menurut Peter Drucker, inovasi tidak hanya muncul dari inspirasi, tetapi juga dari kerja keras.[1]Namun, yang mana yang lebih prioritas di antara keduanya?

“Di dalam bisnis”, demikian tulis Drucker, “inovasi jarang ditemukan dalam munculnya inspirasi. Inovasi muncul dari analisis bermata dingin dari tujuh macam kesempatan yang ada.”[2] Dengan kata lain, kunci kesuksesan yang utama bukanlah sekedar inspirasi, tetapi praktek inovasi yang tersistematisir di dalam perusahaan. Selain strategi yang tepat, kunci kesuksesan sebuah bisnis terletak pada bentuk aktivitas tertentu, yakni aktivitas inovasi. Aktivitas inovasi adalah “suatu upaya untuk menciptakan perubahan yang terarah terhadap potensi ekonomi maupun sosial perusahaan.”[3]Tentu saja, ada beberapa inovasi yang muncul dari kinerja orang-orang jenius. Akan tetapi, ini hanya perkecualian saja.

Inovasi yang otentik muncul dari pencarian yang disengaja, tersistematisasi, dan fokus pada tujuh bidang. Tujuh bidang itu, menurut Drucker, adalah peristiwa-peristiwa yang tak terduga, inkongruensi, proses-proses pemenuhan kebutuhan, perubahan pasar, perubahan kondisi demografis, perubahan persepsi masyarakat, dan kemungkinan diciptakannya pengetahuan baru.[4] Ketujuh faktor ini memang seringkali tumpang tindih. Tidak hanya itu, ketujuh faktor ini masing-masing berbeda tingkat kompleksitas maupun kesulitannya. Beberapa faktor lebih kompleks maupun sulit dibandingkan faktor lainnya. Jika suatu perusahaan hendak secara kreatif membuat inovasi di hadapan kesempatan-kesempatan yang ada, maka mereka harus berfokus pada tujuh faktor ini.

Sementara itu, Nietzsche memang tidak berbicara tentang praktek bisnis. Namun dengan pemikiran filsafatnya, ia menawarkan suatu cara berpikir tentang kreativitas yang, pada hemat saya, cukup menarik. Menurutnya, manusia secara hakiki memiliki dorongan-dorongan hasrat dan nafsu di dalam dirinya. Dorongan tersebut begitu kuat. Jika manusia tidak mampu mengendalikannya, maka ia akan dijajah oleh hasratnya sendiri. Untuk menjadi kreatif, orang harus mampu mengendalikan hasratnya, sehingga ia bisa fokus pada tujuan spesifik. Tujuan itulah yang menjadi arah bagi hasrat. Orang yang tidak mampu mengendalikan hasratnya disebut Nietzsche sebagai orang yang lemah kehendak. Ia dijajah oleh hasratnya sendiri. Orang yang kreatif adalah orang yang mampu mengatur dan mengarahkan hasratnya pada tujuan yang produktif.

Akan tetapi, pengaturan hasrat tersebut tidak boleh jatuh pada sikap dogmatis. Orang yang dogmatis adalah orang yang menjadikan suatu prinsip sebagai fondasi yang tidak bisa diubah lagi. Hidupnya menjadi statis. Hal ini terjadi, karena orang terlalu kuat mengatur hasratnya, sehingga hasrat tersebut tidak bisa menjadi sumber kreativitas. Kreativitasnya menjadi beku. Untuk menjadi kreatif, orang perlu menjaga jarak dari sikap dogmatis semacam ini. Nietzsche sendiri memberi contoh, bahwa para agamawan dan metafisikus adalah orang-orang dogmatis yang sudah cacat kreativitasnya. Tindakan dan cara berpikir dogmatis membuat manusia menjadi robot, yang tidak lagi bisa melakukan inovasi yang kreatif. Dengan demikian, sikap dogmatis haruslah dihindari, supaya orang bisa menjadi kreatif.

Pada tulisan ini, berdasarkan pemikiran Drucker dan Nietzsche, saya akan mengajukan argumen, bahwa fokus merupakan esensi dari kreativitas. Tanpa fokus yang tepat, kreativitas hanya menjadi dorongan anarkis tanpa arah. Akan tetapi, fokus yang terlalu kuat juga akan membunuh kreativitas itu sendiri. Memang, tidak ada bukti pasti, apakah Drucker pernah membaca Nietzsche atau tidak. Yang pasti, dua pemikir ini menunjukkan kesamaan mendasar di dalam refleksinya tentang kreativitas. Untuk menjelaskan argumen itu, saya akan membagi tulisan ini ke dalam empat bagian. Awalnya, supaya pembaca lebih familiar, saya akan memperkenalkan sosok Peter Drucker dan Friedrich Nietzsche. Perkenalan lebih kepada latar belakang historis dan intelektual kedua tokoh tersebut (1). Lalu, saya akan membahas tujuh faktor sumber inovasi dan kreativitas menurut Drucker (2). Pada bagian berikutnya, saya akan menjabarkan teori kreativitas menurut Nietzsche (3). Pada bagian akhir, saya akan memberikan beberapa kesimpulan, sekaligus mengajukan pandangan saya sendiri (4).

1.Peter Drucker dan Friedrich Nietzsche

Peter Drucker lahir di Wina, Austria pada 1909. Kemudian, ia dididik di Inggris dan Austria.[5] Ia meraih gelar doktor di bidang hukum masyarakat dan hukum internasional di Universitas Frankfurt, Jerman. Kemudian, dia bekerja sebagai social ecologist, penulis, konsultan, dan sebagai professor di universitas. Selama itu, ia telah menulis 41 buku tentang ekonomi, politik, masyarakat, dan manajemen. Tulisannya telah diterjemahkan ke dalam 37 bahasa.

Di samping menulis buku, Drucker juga membuat program pelatihan di bidang manajemen dan bisnis. Ia juga menulis kolom rutin di Wall Street Journal selama lebih dari 20 tahun. Ia sering menulis esei ilmiah di The Economist, Harvard Business Review, The Atlantic Monthly, Financial Times, Foreign Affairs, Fortune, dan sebagainya. Dan sebagai konsultan, ia sering menyumbangkan pemikirannya dalam pembuatan kebijakan bagi pemerintah, perusahaan-perusahaan bisnis, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Fokus utama karya-karyanya kinerja manajemen puncak di dalam organisasi. Ia bekerja dengan banyak perusahaan besar maupun kecil. Beberapa tahun terakhir hidupnya, ia bekerja dengan banyak perusahaan non-profit, termasuk universitas, rumah sakit, dan gereja. Di samping itu, ia juga bekerja sebagai konsultan bagi pemerintah Jepang dan Kanada.

Peter Drucker adalah seorang professor di bidang filsafat dan politik di Bennington College di Bennington.  Ia juga menjadi professor pada bidang manajemen di Graduate School of Management di New York University dari 1949 sampai 1971. Pada 1969, ia menerima penghargaan tertinggi, yakni NYU Presidential Citation. Dari 1971-2002, ia menjadi Clarke Professor di bidang ilmu sosial dan manajemen di Claremont Graduate University in Claremont, California. Sekarang, sekolah ini bernama Peter F. Drucker and Masatoshi Ito Graduate School of Management.

Pada 1993, Drucker mendirikan Peter Drucker Research Library and Archive di Internet. Ia juga menerima Presidential Medal of Freedom, yakni penghargaan tertinggi bagi warga sipil Amerika Serikat. Ia juga menerima penghargaan dari pemerintah Jepang dan Austria. Ia memperoleh penghargaan doktor kehormatan dari 25 universitas di Amerika, Belgia, Inggris, Spanyol, dan Swiss. Pada 1955 sampai 1960, ia menjabat sebagai pimpinan dari Society for the History of Technology. Pada awal karirnya, Drucker adalah seorang ekonom untuk International Bank di London, sekaligus menjadi koresponden bagi koran Inggris.

Pemikir kedua yang menjadi acuan saya dalam tulisan ini adalah Friedrich Nietzsche. Ia lahir 15 Oktober 1844 di Roecken.[6] Ayahnya adalah seorang Pastor Lutheran dan berharap, bahwa Nietzsche akan mengikuti jejaknya untuk menjadi pastor. Sewaktu kecil, Nietzsche juga dikenal sebagai si “pendeta kecil”. Ironisnya, si anak kecil polos dan halus ini nantinya akan menghasilkan pemikiran-pemikiran revolusioner yang mengguncang peradaban Barat.

Sewaktu kecil, Nietzsche sudah tertarik pada tulisan-tulisan pengarang besar, seperti Schiller, Hoelderlin, dan Byron. Ia juga sangat kagum pada filsafat dan peradaban Yunani Kuno, terutama pada filsafat Plato. Pada awal masa studinya, Nietzsche sering membeli buku di pasar loak. Pada suatu saat, ketika sedang berkeliling melihat-lihat buku, Nietzsche menemukan karya Schopenhauer yang terkenal, Die Welt als Wille und Vorstellung.[7] Sejak itu, ia meninggalkan agamanya.

Pada 1869, Nietzsche menjadi dosen di Universitas Basel. Ia berusia 24 tahun pada waktu itu, dan belum menjadi doktor. Pada masa ini, ia berjumpa dengan Richard Wagner. Mereka pun bersahabat. Persahabatan ini putus, karena mereka berbeda paham soal musik. Wagner, menurut Nietzsche, tidak lagi berpihak pada keagungan budaya Yunani Kuno, tetapi justru beralih ke Kristianitas. Setelah itu, Nietzsche tidak lagi menulis dan berpikir tentang musik, tetapi lebih fokus pada filsafat dan ilmu-ilmu. Ia pun mulai menemukan kemandiriannya dalam berfilsafat.[8]

Karena ketegangan mental maupun fisik yang sangat hebat, Nietzsche menjadi gila. Peristiwa itu terjadi pada Januari 1889. Tandanya adalah, bahwa ia sempat mengirim surat-surat aneh kepada temannya dengan menggunakan nama palsu, seperti dari Allah, ataupun dari Yang Tersalib. Rupanya, ia tidak sepenuhnya gila. Ia masih bisa berbicara dengan teman-temannya. Ia bahkan masih bisa memberikan apresiasi pada musik dan karya sastra. Pada masa ini pula namanya mulai terkenal. Buku-bukunya banyak dibaca dan didiskusikan orang. Pada 25 Agustus 1900, Nietzsche meninggal, karena menderita pneumonia.[9]

2. Tujuh Faktor Sumber Kreativitas Menurut Drucker

2.1 Peristiwa-peristiwa yang Tak Terduga

Menurut Drucker, salah satu sumber inovasi dan kreativitas yang utama adalah keberadaan dari “yang tak terduga” (the unexpected). Pada awal dekade 1930-an, IBM mengembangkan sebuah mesin penghitung uang modern untuk praktek fungsional bank. Akan tetapi, pada dekade itu, bank tidak membeli komputer untuk praktek finansial mereka. Pada saat yang sama, perpustakaan umum New York menyatakan, bahwa mereka membutuhkan mesin itu. Tidak seperti sekarang, pada masa itu, perpustakaan memiliki dana yang besar untuk pengembangan. Thomas Watson, Sr, CEO IBM pada masa itu, pun menjual ribuan mesin penghitung uang kepada banyak perpustakaan di Amerika.

Lima belas tahun setelah peristiwa ini, dunia bisnis mulai tertarik pada mesin penghitung uang. Komputer bukan hanya berurusan dengan dunia akademik saja, tetapi juga dengan dunia bisnis. Komputer penghitung uang digunakan sebagai penghitung gaji di perusahaan-perusahaan. UNIVAC, perusahaan komputer yang punya teknologi paling canggih pada masa itu, hendak mendominasi pasar. Akan tetapi, IBM segera memanfaatkan situasi, dan menginvestasikan dana untuk mengembangkan mesin penghitung uang mereka. Dalam lima tahun, IBM menjadi penguasa pasar penyedia komputer penghitung gaji. Kondisi ini bertahan sampai sekarang.

“Kegagalan yang tak terduga”, demikian Drucker, “mungkin sama pentingnya jika dianggap sebagai kesempatan yang bagus untuk melakukan inovasi.”[10] Kasus Ford-Edsel bisa dijadikan bahan pelajaran berharga. Banyak orang beranggapan, bahwa Ford-Edsel merupakan kasus kegagalan industri otomotif terbesar dalam sejarah. Akan tetapi, menurut Drucker, hanya beberapa orang yang sadar, bahwa kegagalan industri itu sebenarnya juga merupakan kunci keberhasilannya.[11] Edsel adalah tipe mobil yang diciptakan oleh Ford untuk menyaingi dominasi General Motors pada masa itu. Akan tetapi, secara tiba-tiba, Ford menyadari terjadinya perubahan paradigma di masyarakat Amerika. Masyarakat Amerika tidak lagi hanya berfokus pada harga mobil saja, tetapi pada “gaya hidup” (life styles) yang ditawarkan mobil tersebut. Ford menanggapi itu dengan menawarkan Mustang, yang pada akhirnya memang menjadi simbol gaya hidup modern Amerika. Pasar mobil pun kembali dikuasai oleh Ford.

“Keberhasilan dan kegagalan yang tak terduga adalah sebuah kekuatan produktif inovasi bisnis”, demikian Drucker ,”karena banyak orang mengabaikannya.. dan bahkan membencinya.”[12] Banyak orang takut dengan “yang tak terduga”. Hal yang sama terjadi pada para manajer-manajer bisnis yang tangguh. Mereka takut pada “yang tak terduga”. Mereka memalingkan perhatian mereka pada kesempatan yang muncul dari “peristiwa-peristiwa yang tak terduga” (unexpected occurences).

Seorang ilmuwan Jerman menemukan novocaine pada 1905. Novocaine adalah narkotik pertama yang tidak menimbulkan kecanduan, dan dapat digunakan di dalam praktek operasi bedah, seperti pada amputasi misalnya. Akan tetapi, banyak ahli bedah lebih memilih melakukan anesthesia penuh pada prosedur semacam itu. Hal ini masih terjadi sampai sekarang. Diam-diam, banyak dokter gigi tertarik dengan novocaine. Mereka menggunakannya di dalam praktek medis. Sang pencipta novocaine kaget dengan fakta itu. Ia pun berkeliling untuk menghimbau kepada para dokter gigi, supaya tidak menggunakan novocaine di dalam praktek mereka, karena memang novocaine tidak ditujukan untuk para dokter gigi. Jelas, sang pencipta novocaine tidak siap menghadapi fakta yang tidak terduga. Ia bersikap defensif dan reaksioner, sehingga tidak berhasil menjadikan produknya kompetitif.

Banyak perusahaan melaporkan kegagalan mereka mengantisipasi peristiwa yang tak terduga di dalam laporan bulanan mereka. Mereka menganggap peristiwa yang tak terduga sebagai kerugian. Tentu saja, informasi tersebut penting, supaya tidak terjadi kerugian dalam jumlah besar yang mengancam eksistensi perusahaan. Akan tetapi, stigma bahwa peristiwa tak terduga merupakan simbol kerugian, pada akhirnya, bisa menutup kemungkinan perusahaan untuk mengembangkan bisnis mereka secara kreatif. Manajer yang tangguh haruslah mampu melihat “yang tak terduga” sebagai peluang, dan bukan sebagai masalah.

2.2 Inkongruensi

Pada 1960, Alcon Laboratories berhasil mencetak sukses yang luar biasa. Bill Conner, salah seorang pendiri perusahaan, berhasil memanfaatkan inkongruensi di dalam praktek medis. Operasi katarak adalah salah satu operasi yang paling sering dilakukan di dunia. Para ahli biasanya lebih memilih menggunakan metode konvensional. Namun dalam perkembangan, banyak ahli yang lebih muda menemukan metode yang berbeda, namun dengan hasil yang sama. Metode baru ini dianggap inkongruen; tidak sesuai, dan tidak pantas. Alcon memilih untuk bersikap progresif. Mereka memperhatikan metode baru ini, dan bersedia menyediakan peralatan medis yang diperlukan. Dalam waktu singkat, Alcon mendominasi pasar penyediaan peralatan medis untuk operasi katarak. Lima belas tahun kemudian, Nestle membeli Alcon dengan harga yang luar biasa besar.[13]

Pada awalnya, inkongruensi semacam itu tampak tidak logis, maka tidak bisa dijadikan patokan. Akan tetapi, jika anda mau lebih teliti, inkongruensi semacam itu sebenarnya adalah kesempatan untuk menjadi kreatif. Realitas yang inkongruen bisa menjadi sumber kreativitas yang besar. Paling jelas adalah inkongruensi antara harapan (expectations) dan hasil (results) di dalam praktek bisnis.

Pada lima puluh tahun pertama abad kedua puluh, banyak pengusaha kapal berusaha menciptakan kapal yang memiliki kecepatan tinggi, namun irit dalam konsumsi bahan bakar. Akan tetapi, yang terjadi adalah: semakin berhasil mereka menciptakan kapal berkecepatan tinggi dengan konsumsi bahan bakar rendah, penjualan mereka justru semakin rendah. Pasar perkapalan menunjukkan penurunan yang drastis. Inilah yang disebut sebagai inkongruensi antara asumsi-asumsi pelaku bisnis dengan realitas yang terjadi. Pengeluaran terbesar para praktisi bisnis dalam penggunaan kapal bukanlah pada saat kapal berada di laut, tetapi pada saat kapal tersebut berlabuh. Setelah para pengusaha kapal memahami fakta ini, mereka mengubah arah produksi mereka. Solusi terhadap inkongruensi ini tidak membutuhkan teknologi baru, tetapi cara berpikir yang baru! Hasilnya, industri kapal mengalami kemajuan pesat selama hampir 30 tahun setelahnya.[14]

2.3 Proses-proses Pemenuhan Kebutuhan

Sampai 2002, Jepang belum memiliki sistem transportasi jalan tol modern. Jalan raya di Jepang masih mengikuti pola jalan yang sama, yang sudah diterapkan sejak abad ke sepuluh. Mobil bisa tetap berjalan tanpa banyak terjadi kecelakaan, karena pemerintah Jepang berhasil mengintegrasikan sistem reflektor kaca mobil. Akibatnya, para pengendara mobil bisa melihat arah mobil dari enam arah berlawanan. Teknologi reflektor ini sangatlah sederhana. Akan tetapi, kinerjanya sangatlah efektif. Pemerintah Jepang berhasil melangsungkan proses-proses pemenuhan kebutuhan para pengendara mobil di Jepang.

Apa yang disebut media massa sekarang ini, menurut Drucker, sebenarnya adalah suatu proses-proses pemenuhan kebutuhan juga. Kebutuhannya ada dua. Yang pertama adalah kebutuhan untuk mencetak ribuan koran untuk memenuhi kebutuhan berita masyarakat. Yang kedua adalah kebutuhan banyak perusahaan untuk memasarkan produknya melalui surat kabar. Ide yang kedua muncul dari Adolph Ochs dari New York Times, William Randolph Hearst, dan Joseph Pulitzer dari New York World. Pemasaran melalui surat kabar memungkinkan surat kabar tersebut dapat disebarkan secara gratis, karena pemasukan utama surat kabar adalah dari iklan.[15]

2.4 Perubahan Pasar

Menurut Drucker, “strategi bisnis dapat berubah hanya dalam semalam”.[16] Perubahan itu bisa ditafsirkan dengan dua cara, yakni sebagai masalah, atau sebagai kemungkinan untuk melakukan proses produksi yang kreatif. Banyak perusahaan besar hanya terpaku pada bisnis utama mereka. Mereka tidak memperhatikan perubahan dan perkembangan pasar. Mereka menutup mata dari segmen pasar yang mengalami perkembangan paling pesat. Jika bersikap seperti itu, maka pendatang baru akan merebut pasar yang sedang berkembang itu. Kemungkinannya ada dua, sang pendatang baru akan menjadi penguasa pasar di masa depan, atau perusahaan besar membuka peluang di segmen yang sedang berkembang, serta memperluas usaha mereka.

2.5 Perubahan Demografis

Perubahan demografis adalah data eksternal yang, bila digunakan, akan mendorong perusahaan ke arah perkembangan yang kreatif. Banyak orang tidak menyadari, bahwa angkatan kerja 2020 sudah dilahirkan pada masa sekarang. Data mengenai angkatan kerja masa depan itu bisa menjadi sumber kreativitas dan inovasi yang besar, jika digunakan semestinya.

Banyak perusahaan Jepang mengembangkan bisnis mereka dengan berbasis pada data perubahan demografis. Sekarang ini, Jepang sudah menjadi negara maju. Tingkat warga yang memiliki pendidikan tinggi terus meningkat dari tahun ke tahun. Akibatnya di masa depan nanti, banyak pekerjaan-pekerjaan kasar kerah biru akan kekurangan suplai tenaga kerja. Bagaimana mengisi kekosongan ini? Industri-industri di Jepang menanggapi dengan mengembangkan teknologi robot. Jadi, manusia akan berfokus pada pekerjaan-pekerjaan kerah putih yang memang membutuhkan daya analisis serta kemampuan membuat keputusan yang tinggi. Sementara, pekerjaan-pekerjaan kasar khas kerah biru akan diserahkan pada robot. Jepang menggunakan data perubahan demografis dengan tepat. Akibatnya, mereka kini memimpin pengembangan teknologi robot.

Di Eropa sejak dekade 1970-an, banyak perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata sudah menyadari, bahwa tingkat pendidikan pelanggan mereka sudah berkembang. Konsekuensinya, pola hiburan dan pariwisata yang lama tidak lagi bisa menyentuh hati dan selera mereka. Oleh karena itu, para pimpinan perusahaan pariwisata mulai mengembangkan paradigma industri hiburan dan pariwisata yang baru dengan menggabungkan berbagai kultur yang ada, sehingga tercipta industri hiburan yang eksotis dan memikat.

Menurut Drucker, banyak manajer sudah mengetahui arti penting dari data demografis. Akan tetapi, mereka masih berpendapat, bahwa perubahan demografis sangatlah lambat, sehingga hampir tidak memberikan pengaruh apapun. Hal ini tidak lagi berlaku. Perubahan data demografis pada abad ke-21 sangatlah cepat. Perubahan tingkat pendidikan, pekerjaan, dan selera masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan pasar secara sangat signifikan. Perubahan semacam itu juga merupakan peluang untuk mengembangkan bisnis secara kreatif.[17]

2.6 Perubahan Persepsi

Ingatkah anda akan perumpamaan “gelas setengah penuh” dan “gelas setengah kosong”? Menurut Drucker, perumpamaan ini menggambarkan dengan tepat pentingnya persepsi terhadap suatu fenomena. “Mengubah persepsi manajer dari setengah gelas penuh menjadi setengah gelas kosong”, demikian Drucker, “membuka kesempatan bagi perkembangan yang besar.”[18]

Drucker memberi contoh tentang kasus Amerika. Tiga atau empat dekade belakangan ini, dunia kesehatan Amerika Serikat mengalami kemajuan pesat. Angkat kematian bayi menurun tajam. Umur hidup rata-rata orang meningkat setiap tahunnya. Banyak penyakit kanker yang berhasil disembuhkan. Walaupun begitu, masyarakat Amerika mengalami paranoia kolektif tentang kesehatan mereka. Tiba-tiba, semua orang jadi sangat khawatir dengan kondisi kesehatan mereka. Mereka khawatir terkena kanker. Semua penyakit secara langsung dikaitkan dengan kanker. Jelaslah dalam hal ini, gelas dilihat setengah kosong.

Masyarakat Amerika tidak menikmati perkembangan teknologi kesehatan mereka. Mereka justru berpendapat, bahwa penyakit masih merupakan penyebab utama kematian. Menurut Drucker, situasi ini sangatlah tepat untuk memasarkan produk-produk kesehatan, seperti obat-obatan, alat-alat olahraga, dan program-program diet sehat. Pada 1983, perusahaan yang paling berkembang adalah perusahaan penjual alat-alat olahraga dalam ruangan.[19]

Perubahan persepsi tidak mengubah fakta, melainkan mengubah bagaimana fakta itu dimaknai. Perubahan makna atas fakta-fakta yang ada tersebut bisa berlangsung sangat cepat. Dulu, komputer dipandang sebagai ancaman bagi praktek bisnis. Tak sampai dua tahun, pandangan itu berubah. Komputer pun dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari praktek bisnis. Jelaslah, bahwa perubahan persepsi ini seringkali tidak bisa diukur dan ditebak. Inilah yang disebut sebagai mood pasar. “Akan tetapi”, tulis Drucker, “mood pasar bukanlah sesuatu yang misterius. Itu adalah sesuatu yang konkret, dapat dirasakan, dan dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan kemajuan.”[20]

2.7 Penemuan Teknologi-teknologi Baru

Kreativitas dan inovasi terbesar di dalam sejarah muncul, karena penemuan teknologi-teknologi baru. Penemuan itu bisa berupa penemuan teknis, saintifik, ataupun penemuan sosial, seperti cara memasarkan gaya baru, dan sebagainya. Memang, tidak semua orang menganggap, bahwa inovasi dan kreativitas muncul dari penemuan teknologi baru. Akan tetapi inilah inovasi dan kreativitas yang sesungguhnya berada. Orang yang berhasil melakukan ini akan mendapatkan reputasi baik sekaligus kekayaan atas penemuannya itu.

Dalam konteks bisnis, Drucker berpendapat, bahwa kreativitas dan  inovasi terpenting muncul dan berbasis pada pengetahuan (knowledge based  creativity). Kreativitas semacam ini berbeda dari kreativitas lainnya. Jika suatu pengetahuan yang baru berhasil ditemukan, penemuan itu tidak otomatis bisa menghasilkan suatu teknologi yang siap pakai. Proses menciptakan teknologi yang praktis dari pengetahuan murni membutuhkan waktu yang lama. Bahkan, setelah teknologi praktis sudah ditemukan, proses pemasarannya, sehingga bisa dirasakan masyarakat luas, pun membutuhkan waktu lagi. Menurut Drucker, jarak antara penemuan pertama sampai bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas sekitar 50 sampai 60 tahun.[21]Itu pun mengandaikan teknologi pemasaran dan respons pemerintah yang cepat. Bayangkan, betapa lamanya penemuan pengetahuan murni sampai bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas di Indonesia.

Penemuan semacam ini membutuhkan pengetahuan yang beragam. Tidak ada satu ahli bidang pengetahuan tertentu yang bisa merumuskan semuanya. Drucker memberi contoh tentang penemuan sistem bank modern (modern banking). Konsep tentang sebuah institusi mandiri, yang tujuannya mengolah modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dirumuskan secara sistematis oleh Comte de Saint-Simon pada masa pemerintahan Napoleon di Prancis. Akan tetapi baru 30 tahun setelah kematiannyalah dua murdinya, yakni Pereire bersaudara, mendirikan bank mandiri pertama, yakni Credit Mobilier. Mereka adalah pelopor apa yang kita sebut sekarang ini sebagai kapitalisme finansial.[22]

Dalam usaha pertamanya tersebut, mereka tidak berhasil. Credit Mobilier pun ambruk. Beberapa tahun kemudian, dua anak muda,  yakni J.P Morgan dari Amerika Serikat dan Georg Siemens dari Jerman, menggabungkan teori bank mandiri dan teori bank komersil untuk mendirikan bank modern pertama. Mereka sukses. Hasilnya adalah J.P Morgan & Company di New York, dan Deutsche Bank di Berlin. Sepuluh tahun kemudian, seorang Jepang bernama Shibusawa Eiichi menggukan konsep bank modern yang ada, dan menerapkannya dalam konteks Jepang. Ia meletakkan dasar bagi ekonomi Jepang sekarang ini.

“Waktu yang lama dan kebutuhan untuk menggabungkan beragam bentuk pengetahuan yang ada”, demikian Drucker, “menjelaskan ritme yang tidak biasa dari inovasi berbasis pengetahuan, daya tarik, dan bahayanya.”[23] Memang, inovasi berbasis pengetahuan, seperti yang saya contohnya di atas, sangat sulit untuk diatur, tetapi bukannya tidak mungkin. Kesuksesan yang sesungguhnya terletak pada kemampuan seseorang untuk melakukananalisis mendalam tentang jenis-jenis pengetahuan yang diperlukan untuk menjadi kreatif dan menciptakan kemajuan. J.P Morgan dan Georg Siemens melakukan ini, ketika mereka mendirikan bank modern untuk pertama kalinya.

Drucker lebih jauh berpendapat, bahwa inovasi berbasis pengetahuan ini memiliki sifat paradoks. Elemen utamanya adalah pengetahuan, tetapi keberadaan inovasi dan kreativitas semacam ini sangatlah tergantung pada situasi konsumen. Percuma mengembangkan sebuah produk yang didasarkan pada pengetahuan yang canggih, tetapi buta pada kebutuhan utama konsumen. Bahkan bisa juga dikatakan, bahwa model inovasi berbasiskan pengetahuan adalah model yang paling tergantung terhadap kebutuhan konsumen. Fokus utamanya pengetahuan, tetapi keberadaannya sangat tergantung pada apa yang menjadi keinginan konsumen.

2.8 Kesimpulan Pandangan Drucker

Drucker mengajarkan kita, bahwa inovasi yang kreatif dan sistematis dimulai dengan analisis terhadap kemungkinan dan peluang-peluang yang baru.[24] Seorang inovator atau penemu yang baik siap untuk melihat dan menangkap berbagai kemungkinan yang ada secara mendalam, walaupun kemungkinan itu tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Inovasi dan kreativitas itu sekaligus menggunakan konsep dan persepsi. Oleh karena itu, orang perlu untuk melihat secara konseptual, dan merasakan secara perseptual. Ia harus keluar dari comfort zone dan melihat, bertanya, serta mendengarkan. Ia harus melakukan riset analitis tentang jenis pengetahuan apa yang diperlukan untuk menangkap suatu peluang. Ia juga harus terjun ke masyarakat untuk memahami kebutuhan, nilai-nilai, dan harapan mereka.

Suatu inovasi yang didasarkan pada kreativitas haruslah sederhana dan fokus pada tujuan tertentu. Tujuan tersebut harus tunggal. Jika tujuannya banyak, maka orang akan bingung. Inovasi yang didasarkan atas kreativitas biasanya dimulai dari sesuatu yang kecil. Inovasi semacam ini tidaklah dimulai secara gegap gempita. Ide tentang inovasi yang rumit, tidak fokus, dan kelihatan megah biasanya tidak akan berhasil.

Menurut Drucker, tidak ada kepastian, apakah suatu inovasi yang didasarkan pada kreativitas itu akan berkembang menjadi bisnis raksasa, atau hanya menjadi bisnis yang sederhana.[25] Apapun yang terjadi, suatu inovasi yang berbasiskan pada pengetahuan dan kreativitas akan menjadi pemimpin di bidangnya, dan ini sudah merupakan sebuah prestasi yang membanggakan. “Jika sebuah inovasi tidak bertujuan untuk memimpin sedari awal,” demikian Drucker, “maka inovasi itu tidak akan cukup inovatif.”[26]
Inovasi dan kreativitas lebih merupakan buah dari usaha keras, bukan hanya kecerdasan atau geniusitas. Inovasi memerlukan pengetahuan yang tepat dan fokus yang jelas. Jika anda ingin melakukan terobosan dalam bidang usaha perbankan, maka anda harus fokus disana. Fokus menentukan segalanya. Sangat jarang muncul seorang inovator brilian yang memiliki beragam pekerjaan dan usaha yang tidak terkait satu sama lain.

Inovasi dan kreativitas yang otentik membutuhkan bakat, kecerdasan, dan pengetahuan yang tepat. Akan tetapi, itu semua menjadi tidak berguna, jika tidak dibarengi dengan kerja keras yang fokus pada tujuan spesifik. Tanpa ketekunan, konsistensi, dan fokus yang jelas, kecerdasan, bakat, dan pengetahuan menjadi tidak relevan.

3. Nietzsche tentang Kreativitas dan Inovasi

Tentu saja, Nietzsche tidak menulis ataupun berbicara tentang bisnis. Akan tetapi, Nietzsche memiliki teori yang menarik tentang kreativitas.[27]Pandangan Nietzsche tentang kreativitas sebenarnya terletak pada teorinya mengenai perasaan (theory of affects). Dengan teori ini, ia mau menjelaskan kreativitas dari sudut psikologi dan fisiologi.[28] Tentu saja, pada jaman itu, fisiologi dan psikologi belum menjadi area tersendiri, seperti sekarang ini.

Di dalam bukunya yang berjudul Ecce Homo, Nietzsche melihat kreativitas dan inovasi sebagai sebuah momen peningkatan yang bertahap dari kondisi hening menjadi kondisi yang penuh dengan tegangan (full of tremendous tension). Momen ini merupakan hasil dari tafsiran kita atas realitas. Cara kita menafsir dan memahami realitas sangat dipengaruhi oleh perasaan. Bisa juga dikatakan, bahwa manusia adalah suatu “sistem mekanistis yang didorong oleh perasaan-perasaannya.”[29] Misalnya, anda ditipu orang dalam bisnis. Perasaan anda gundah, marah, dan sedih. Ketiga perasaan itu akan mempengaruhi cara anda menafsirkan, memaknai, dan memahami realitas. Makanan yang lezat akan terasa tidak enak. Udara yang segar tetap akan terasa mencekik. Dunia seolah menyesuaikan diri dengan gejolak perasaan yang ada.

Jelaslah, bahwa perasaan anda mempengaruhi cara anda melihat dunia. “Ciri melankolis, marah, senang, dan sebagainya bukan hanya kondisi emosional saja,” demikian tulis Tomasi tentang Nietzsche, “tetapi juga merupakan cara kita berelasi dengan dunia.”[30] Kreativitas pun juga dapat dipahami dengan cara ini. Jika perasaan kita sedang kaya dan puas, maka pikiran-pikiran kreatif juga bisa muncul. Kreatif tidaknya pikiran di dalam melihat realitas sangat tergantung dari situasi perasaan kita. Dalam hal ini, Nietzsche berpendapat, bahwa semua perasaan manusia itu berasal dan berkembang dari satu dorongan tunggal, yakni kehendak untuk berkuasa. Perasaan-perasaan manusia, walaupun berasal dari sumber yang sama, tetapi ekspresinya sangatlah berbeda satu sama lain.[31] Beragam ekspresi dari perasaan inilah yang nantinya bisa digunakan untuk mengembangkan kreativitas. Ambisi untuk berkuasa sangatlah cocok diterapkan dalam pekerjaan. Ambisi yang besar dipadukan dengan kerja keras akan menciptakan karir yang gemilang. Dorongan seksual sangatlah tepat diterapkan dalam hubungan percintaan dengan kekasih. Dalam arti ini, pada hemat saya, kreativitas adalah kemampuan manusia menggunakan dorongan perasaan dalam konteks yang tepat.

Tomasi membayangkan, bahwa orang yang kreatif itu mirip seperti orang yang memegang busur dengan tegangan yang kuat. Ia mampu mengatur arah anak panah, dan menentukan, kapan anak panah tersebut dilepaskan. Ia memiliki kekuasaan atas busur dan anak panah yang ia pegang. Misalnya, orang memiliki dorongan seksual yang kuat. Hampir pada saat yang sama, ia memiliki dorongan untuk menulis. Kedua dorongan itu bisa menghasilkan dua kemungkinan, yakni surat cinta yang menggetarkan atau novel erotis yang memukau. Yang penting, kedua dorongan perasaan tersebut harus memilikisatu tujuan yang spesifik. Kedua dorongan yang ada harus difokuskan untuk mencapai tujuan spesifik itu. Orang yang tidak mampu mengatur dorongan-dorongan hasrat di dalam dirinya, dan tidak mampu memberikan fokus pada dorongan hasrat tersebut tidak akan pernah mewujudkan apapun. Kehendak selalu merupakan “kehendak atas sesuatu”. Kehendak yang kuat fokus untuk mewujudkan suatu tujuan yang spesifik. Sementara, kehendak yang lemah lebih merupakan kumpulan dari berbagai dorongan yang sama sekali tidak tertata, dan membuat kacau semuanya. “Terlalu banyak goyangan dan terlalu sedikit arah”, demikian Tomasi, “menghasilkan gangguan di dalam aktivitas kreatif.”[32]

Manusia memiliki banyak dorongan di dalam dirinya, seperti dorongan untuk bekerja, untuk makan, untuk berhubungan seks, dan sebagainya. Dorongan yang satu mempengaruhi dorongan lainnya. Tidak ada satu dorongan yang mendominasi semuanya. Hasrat dan perasaan manusia adalah suatu sistem dinamis, di mana keseimbangan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dinamis. Keseimbangan bukan berarti tidak ada perubahan, tetapi perubahan yang stabil. Menurut Tomasi, perbedaan antara keseimbangan yang statis dan keseimbangan yang stabil sangatlah penting untuk memahami pemikiran Nietzsche mengenai kreativitas.[33] Sistem yang statis adalah sistem yang tidak berubah. Tomasi memberikan beberapa contoh. Beberapa jenis mahluk hidup tidak pernah berubah selama keberadaannya di dunia.  Beberapa spesies lainnya berubah secara bertahap. Mereka berubah, tetapi perubahan tersebut bersifat stabil. Perubahan itu membantu mereka beradaptasi dengan iklim ataupun cuaca yang berubah-ubah. Mereka berubah tanpa kehilangan struktur dasarnya, yakni keseimbangan yang memungkinkan mereka hidup. Dalam arti ini, kreativitas dan inovasi tidak pernah bisa dipisahkan dari kebutuhan akan suatu sistem yang stabil. Kreativitas adalah kemampuan manusia untuk mengatur beragam dorongan dan perasaan yang ada, sehingga bisa berfungsi untuk mewujudkan suatu tujuan yang spesifik. Dalam arti ini, kreativitas merupakan sebuah proses yang memiliki beberapa tahap. Salah satu tahap tersulit adalah tahap destruktif. Misalnya, untuk menciptakan pemerintahan baru yang lebih baik, pemerintahan yang lama harus hancur terlebih dahulu. Walaupun begitu, tidak semua elemen pendukung pemerintahan yang lama harus dihancurkan. Mereka bisa ambil bagian dalam pemerintahan yang baru, walaupun dengan beberapa persyaratan. Pada titik ini, perubahan untuk mencapai inovasi yang diinginkan tetap berpijak pada keseimbangan. Perubahan ini tidak sepenuhnya anarkis.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, semua dorongan yang memungkinkan perubahan di dalam diri manusia berakar pada satu dorongan metafisis, yakni kehendak untuk berkuasa. Dorongan berkuasa memiliki dua bentuk, yakni dorongan naik (ascending) dan dorongan turun (descending). Dorongan naik memiliki kekuatan konstruktif dan manipulatif. Dorongan ini memberikan perintah untuk melakukan sesuatu. Sebaliknya, dorongan turun memiliki kekuatan destruktif. Dorongan ini memukul kita untuk kembali pada kondisi alamiah yang mencerminkan ketidakteraturan hakiki.

Nietzsche lebih jauh berpendapat, bahwa kreativitas manusia tidak bisa lenyap, tetapi bisa dibuat menjadi tidak berguna. Caranya adalah denganmenghilangkan fokus pada tujuan spesifik. Dorongan, hasrat, dan keinginan akan menjadi ketidakteraturan yang destruktif, jika tidak mempunyai arah yang jelas.[34] Inilah yang disebut sebagai akrasia, yakni kehendak yang lemah (weak will). Kehendak yang lemah ini tampak dalam ketidakmampuan manusia untuk menata dorongan perasaan maupun hasratnya. Lemahnya kehendak membuat dorongan-dorongan di dalam diri manusia menjadi kacau. Akibatnya, manusia bisa hancur, karena hasratnya sendiri. Manusia dibunuh oleh hasratnya sendiri. Jika sudah begitu, kreativitas pun hanya tinggal nama.

Dorongan hasrat manusia juga tampak dalam bidang seni. Seni dipandang sebagai suatu cara tertentu untuk menciptakan makna. Makna baru tercipta, jika seni merupakan penafsiran terhadap realtias yang berpijak pada stabilitas. Jadi, seni pun tidak boleh total chaos. Seni harus memiliki keseimbangan yang bersifat dinamis. Untuk bisa menciptakan seni semacam itu, orang perlu mengambil jarak terhadap realitas. Jarak itu membuat orang mampu menata berbagai ketidakteraturan yang ada di dalam realitas. “Tidak ada seni”, demikian Tomasi, “tanpa penataan ulang dari berbagai materi yang beragam, baik itu suara, warna, ataupun jenis-jenis batuan.”[35]

Di sisi lain, seorang seniman juga harus mampu melihat kembali bentuk orisinal dari realitas. Bentuk orisinal itu adalah bentuk purba dari realitas, yakni bentuk yang belum tersentuh oleh peradaban. Misalnya, seorang musisi haruslah membebaskan pikirannya dari pakem musik yang ada, supaya ia bisa menciptakan gaya musik yang baru. Dalam arti ini, menurut Tomasi, seorang seniman tidak hanya berfungsi sebagai penafsir realitas yang kemudian menuangkan tafsiran tersebut ke dalam bentuk-bentuk seni, tetapi juga sebagai penghancur teks realitas, sehingga bentuk asalinya bisa tampak. Bentuk asali dari realitas itu seringkali menjadi suatu karya seni yang bernilai tinggi. “Saya berkata kepadamu,” demikian tulis Nietzsche, “orang haruslah memiliki kekacauan di dalam dirinya untuk bisa melahirkan bintang yang menari.”[36] Bintang yang menari itulah seni yang sejati.

Jika orang memelihara tegangan chaos, maka ia memelihara potensi kreatif di dalam dirinya. Tegangan chaos itulah potensi kreatif manusia. Orang yang kreatif adalah orang yang bertarung dengan dorongan chaos di dalam dirinya. Orang yang bijaksana bukanlah orang yang berhasil memadamkan nafsu dan hasrat di dalam dirinya, tetapi orang yang mampu menemukan cara untuk menata beragam dorongan tersebut, sehingga bisa tetap fokus pada tujuan tertentu. Di sisi lain, orang juga tidak boleh terlalu kaya dengan dorongan-dorongan tersebut. Ia harus membatasi dirinya dari dorongan yang merupakan kekayaan kehidupan (the richness of life). Orang yang tidak bijaksana adalah orang yang tidak mampu menata dorongan-dorongan manusiawinya, sehingga ia menjadi korban atas hasratnya sendiri. Jika sudah begitu, ia akan buntu. Ia tidak mampu membuat keputusan apapun. Semua tujuannya tidak akan terwujud.[37]

Nietzsche memberikan contoh tentang orang yang memiliki chaos personality semacam itu, yakni Richard Wagner. Menurut Nietzsche, fungsi musik adalah menata hasrat, sehingga kumpulan hasrat yang ada di dalam diri manusia dapat diarahkan untuk mewujudkan suatu tujuan yang kreatif. Musik yang ditulis Wagner tidak berhasil memenuhi fungsi ini, melainkan lebih untuk menciptakan sensasi-sensasi kesenangan sesaat belaka. Inilah yang disebut Nietzsche sebagai infinite melody. Infinite melody bukanlah melodi yang sejati. Melodi yang sejati adalah ekspresi dari kehendak untuk berkuasa yang menghasilkan totalitas yang menyatu (unified whole). Menurut Nietzsche, musik Wagner tidaklah sempurna. Ini menampakkan dekadensi dari musiknya. Dekadensi yang ditandai dengan ketidakmampuan Wagner untuk menata chaos di dalam musiknya. Nietzsche juga berpendapat, bahwa musik Wagner tidaklah memiliki bentuk. Musiknya kacau. Ini menandakan ketidakmampuan Wagner juga untuk menata dorongan-dorongan di dalam dirinya.  Ketidakmampuan ini bisa menular. Orang yang mendengarkan musik Wagner juga akan mengalami ketidakmampuan untuk menata hasratnya. Dengan kata lain, musik Wagner itu “sakit”, sekaligus membuat orang yang mendengarnya menjadi “sakit”, karena mementingkan kesenangan belaka.

Musik yang ideal, menurut Nietzsche, adalah musik Dionisian, yakni musik yang memperkuat kehendak untuk memerintah. Musik yang berfokus pada kesenangan belaka adalah musik yang dekaden.[38] Memang, chaos merupakan sumber kreativitas. Akan tetapi, chaos juga dapat menjadi penghambatkreativitas, ketika ia menghambat tindak manusia menafsir realitas. Ketika perasaan manusia dilanda kekacauan, maka ia akan bersikap pasif. Pada titik itu, diri manusia didominasi oleh kekacauan, sehingga ia tidak mampu berpikir dan bertindak kreatif.

Di sisi lain, kreativitas juga bisa hilang, ketika manusia bertindak secara dogmatis. Sikap dan cara berpikir dogmatis membunuh kreativitas. Cara berpikir ini menutup semua kemungkinan baru, sehingga perubahan dan inovasi menjadi tampak tidak mungkin. Tentu saja, ini bukan berarti bahwa manusia tidak memerlukan kestabilan. Seperti disinggung sebelumnya, kekacauan total di dalam diri juga membunuh kreativitas. Sikap dogmatis berlebihan juga menghalangi tumbuhnya kreativitas. Cara berpikir dogmatis adalah suatu topeng yang memangsa kemanusiaan manusia. Cara berpikir ini dapat ditemukan dengan mudah sepanjang sejarah. Kaum religius menjadikan Tuhan sebagai dogma yang tidak bisa diganggu gugat. Hegel, dan para filsuf Idealisme Jerman, menjadikan ide dalam segala bentuknya sebagai dogma. Kant menjadikan benda-pada-dirinya-sendiri sebagai dogma. Merekalah para yang pemikir yang berpikir dogmatis di dalam memahami realitas. Cara berpikir semacam ini membekukan dimensi kreativitasmanusia.

Kreativitas manusia juga dapat dibagi dua, yakni kreativitas para budak yang dekaden, dan kreativitas kaum tuan (master) yang unggul.[39] Kreativitas kaum budak adalah kreativitas milik korban yang berhasil mengembangkan strategi untuk mati bersama pemangsanya. Jadi, dia mati. Akan tetapi, kematiannya tidak sia-sia, karena ia membawa pemangsanya mati bersamanya. Di sisi lain, kreativitas kaum tuan menunjukkan vitalitas hidup yang tinggi. Tuan menunjukkan rasa cinta dan gairah kepada kehidupan melalui tindakan dan cara berpikirnya. Dengan gairahnya tersebut, ia menciptakan nilai-nilai baru, dan menolak untuk tergabung dalam kultur massa yang rendah. Proses penciptaan nilai-nilai baru itulah yang disebut sebagai momen kreativitas. Kreativitas tuan adalah kreativitas yang otentik.

4. Kesimpulan dan Tanggapan

Setelah menelusuri seluruh tulisan ini, sampailah kita pada satu pertanyaan kunci, apa sebenarnya yang dimaksud dengan kreativitas? Peter Drucker mengajukan jawaban. Baginya, kreativitas adalah kemampuan orang untuk menemukan peluang-peluang baru di dalam mengembangkan dirinya. Kemampuan tidak hanya bisa dimiliki oleh orang individual saja, tetapi juga bisa oleh organisasi, baik perusahaan maupun organisasi lainnya. Drucker juga secara tegas menyatakan, bahwa di dalam bisnis, kreativitas itu identik dengan praktek inovasi, yakni praktek membuka peluang-peluang baru.

Ada tujuh peluang, yakni peristiwa-peristiwa yang tak terduga, inkongruensi, proses-proses pemenuhan kebutuhan, perubahan pasar, perubahan kondisi demografis, perubahan persepsi masyarakat, dan kemungkinan diciptakannya pengetahuan baru. (Drucker, 2002, 96) Kreativitas yang terwujud dalam praktek inovasi ini dapat dilakukan, jika orang mau dan mampu melakukan praktek yang fokus, sistematis, dan rutin untuk memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Kata kunci disini adalah fokus mewujudkan tujuan dengan mengambil peluang yang terbuka. Di titik ini dapatlah ditafsirkan, bahwa fokus merupakan hakekat dari kreativitas.

Di sisi lain, Nietzsche juga menegaskan, bahwa kreativitas adalah kemampuan manusia untuk memfokuskan dorongan-dorongan hasrat di dalam dirinya pada suatu tujuan yang produktif. Orang yang tidak mampu mengendalikan hasratnya adalah orang yang lemah secara kehendak. Ia tidak akan mampu melakukan inovasi-inovasi secara kreatif. Sebaliknya, orang yang terlalu kuat mengendalikan hasratnya akan jatuh ke dalam dogmatisme. Jika sudah seperti itu, maka kreativitasnya mati. Orang ini pun tidak mampu untuk menjadi kreatif. Dengan demikian, Nietzsche menegaskan, bahwa hakekat dari kreativitas adalah kemampuan orang untuk fokus pada tujuan yang spesifik. Fokus semacam itu akan membuat orang tidak lagi dijajah oleh hasrat-hasratnya. Akan tetapi, fokus juga tidak boleh menjadi dogma, karena ini juga akan menghambat kreativitas. Fokus berarti orang memiliki tujuan yang jelas, sekaligus terbuka pada peluang-peluang baru untuk mewujudkan tujuan itu.

Pada hemat saya, pandangan Drucker dan Nietzsche sangatlah tepat. Kreativitas bukanlah monopoli para seniman saja, tetapi milik setiap orang yang mau berusaha untuk fokus mewujukan tujuannya. Mereka melawan pandangan lama yang menyatakan, bahwa kreativitas identik dengan anarkisme, kebebasan, serta keliaran. Drucker dan Nietzsche dengan jelas menyatakan, bahwa kreativitas itu adalah praktek yang tersistematisir, fokus, dan rutin pada satu tujuan yang spesifik. Praktek semacam itu sama sekali tidak anarkis. Sebaliknya, praktek tersebut sangat terencana dan logis. Praktek ini pula yang dilakukan oleh banyak orang, sehingga mereka bisa secara kreatif menemukan hal-hal baru yang meningkatkan kualitas kehidupan manusia.

Memang, Drucker dan Nietzsche menyatakan, bahwa esensi dari kreativitas adalah fokus pada tujuan yang spesifik. Akan tetapi, tujuan macam apakah yang seharusnya menjadi fokus? Dan, apa yang membuat tujuan tersebut menjadi sah? Sejauh saya membaca, Drucker tidak menjawab pertanyaan itu secara langsung. Namun dalam tulisan-tulisannya ia menegaskan, bahwa tujuan dari kreativitas adalah menciptakan bisnis yang bermakna(meaningful business), baik secara material maupun secara spiritual. Secara material berarti, bahwa bisnis itu mampu menghasilkan keuntungan, dan memberi makan orang banyak. Secara spritual berarti, bisnis tersebut tidak hanya bertujuan mencari keuntungan, tetapi mengembangkan kebudayaan masyarakat, di mana bisnis itu tumbuh dan berkembang.

Yang sering terjadi adalah, bahwa tujuan utama kreativitas dan inovasi di dalam bisnis adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk memuaskan kerakusan beberapa pihak saja. Dalam arti ini, pemikiran Drucker diselewengkan dari tujuan awalnya menjadi pemikiran yang berguna sebagai alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan kapitalis murni, yakni menumpuk keuntungan sebanyak-banyaknya, dan membagikannya ke sesedikit mungkin orang. Dalam arti ini, kreativitas dan inovasi menjadi luntur maknanya. Bisnis pun tidak lagi berkembang sebagai bisnis yang bermakna, tetapi menjadi bisnis yang menghancurkan. Yang mau saya tegaskan adalah, bahwa kreativitas dan inovasi haruslah dibalut dengan tujuan-tujuan kemanusiaan, yakni mengembangkan kualitas hidup sebanyak mungkin orang. Kemanusiaan haruslah menjadi nilai esensial dari kreativitas dan inovasi di dalam bidang bisnis, maupun di dalam bidang-bidang kehidupan sosial lainnya. Cita-cita luhur dan kuno yang kini telah terlupakan di belantara dunia bisnis tanah air. ***


[1] Peter Drucker, “The Discipline of Innovation”, Harvard Business Review, Agustus, 2002. hal. 95-103

[2] Lihat, Ibid, hal. 95.

[3] Lihat, Ibid.

[4] Lihat, Ibid, hal. 96.

[5] Seluruh biografi singkat tentang Drucker diadaptasi dari http://www.druckerarchives.cgu.edu

[6] Saya adaptasi dari F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, Jakarta, Gramedia, 2004, 257-261.

[7] Lihat, Ibid, hal. 159.

[8] Ibid, hal. 260.

[9] Lihat, ibid, hal. 261.

[10] Drucker, 2002, hal. 96.

[11] Lihat, ibid.

[12] Ibid.

[13] Lihat, ibid, hal. 97

[14] Lihat, ibid, hal. 98.

[15] Lihat, ibid.

[16] Ibid, hal. 98.

[17] Lihat, ibid, hal. 99.

[18] Ibid, hal. 100.

[19] Lihat, ibid.

[20] Ibid.

[21] Lihat, ibid, hal. 101.

[22] Lihat, Prasetantyoko, Bencana Finansial, Jakarta, Kompas, 2008.

[23] Drucker, 2002, hal. 102.

[24] Lihat, ibid.

[25] Lihat, ibid.

[26] Ibid.

[27] Bagian ini diinspirasikan dari Allesandro Tomasi, “Nihilism and Creativity in the Philosophy of Nietzsche” dalam Minerva: An Internet Journal of Philosophy, 11 (2007): hal. 153-183.

[28] Friedrich Nietzsche, The Will to Power, Walter Kaufmann dan R.J Hollingdale (terj), New York: Vintage Press, 1968 dalam Tomasi, 2007, hal. 155.

[29] Tomasi, 2007, hal. 153.

[30] Lihat, ibid, hal. 157.

[31] Lihat, Nietzsche, 1968, 677 dalam Tomasi, 2007, hal. 157.

[32] Lihat, Tomasi, 2007, hal. 158.

[33] Lihat, ibid.

[34] Lihat, Nietzsche, 1978 sec. 668, dalam Tomasi, 2007, hal. 160.

[35] Lihat, Tomasi, 2007, hal. 162.

[36] Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, New York: Viking Press, 1954, 129, dalam Tomasi, 2007, hal. 162.

[37] Lihat, ibid, hal. 163.

[38] Lihat, ibid.

[39] Lihat, ibid, hal. 169.

gambar dari: http://slowmuse.files.wordpress.com/2008/07/nietzsche.jpg

Sudah dipublikasikan di www.dapunta.com

Penulis:

Reza A. A Wattimena

Pengajar di Fakultas Filsafat, Universitas Widya Mandala, Surabaya, Anggota Komunitas Diskusi Lintas Ilmu COGITO, dan peneliti di Forum Kajian Multikulturalisme (FORKAM), Universitas Widya Mandala, Surabaya

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

2 tanggapan untuk “Friedrich Nietzsche dan Peter Drucker Berdiskusi tentang Bisnis dan Kreativitas”

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.