Hukum dan Keadilan

Technorati Tags: ,,,

Penafsiran Hukum dan Rasa Keadilan

Oleh: REZA A.A WATTIMENA

Proses penafsiran dan penerapan rumusan hukum selalu mengundang dilema. Jika diterapkan secara ketat sesuai dengan rumusan yang ada, maka kemungkinan besar akan melanggar rasa keadilan yang ada di masyarakat. Namun jika ditafsirkan terlalu jauh dari pasal hukum demi penyesuaian terhadap rasa keadilan masyarakat, hukum pun menjadi tidak berguna, karena ia tidak lagi memiliki otoritas untuk dipatuhi. Hukum yang ideal adalah hukum yang berada di titik seimbang antara positivisme hukum (penafsiran secara ketat dengan mengacu pada pasal-pasal hukum), dan rasa keadilan (moralitas dan norma-norma yang menurut suatu masyarakat dianggap sebagai adil). Namun bukankah titik seimbang itu hanya merupakan abstraksi matematis dari realitas yang tidak pernah seimbang?

Problematik Penafsiran Hukum

Sama seperti teks-teks Kitab Suci dan filsafat, pasal-pasal hukum pun bukanlah benda mati, melainkan suatu rumusan yang perlu terus ditafsirkan sesuai dengan perubahan dunia. Oleh karena itu di satu sisi, hukum harus cukup detil menampung semua aspek dari kehidupan manusia yang perlu untuk diatur guna mencegah terjadinya kerugian sosial (social lost). Di sisi lain hukum perlu untuk cukup terbuka untuk bisa ditafsirkan dengan mengacu pada prinsip-prinsip keadilan yang lebih tinggi daripada pasal-pasal hukum itu sendiri. Kasus lemahnya penegakan hukum yang terkait dengan pemberantasan korupsi menunjukkan kurangnya otoritas hukum yang berlaku (kurang detil di dalam penerapan pasal per pasal). Sementara kasus penangkapan seorang nenek berusia 55 tahun setelah ia mencuri 3 biji kakao untuk ditanam sungguh mengganggu rasa keadilan masyarakat (hukum tidak mengacu pada prinsip-prinsip keadilan yang lebih tinggi).

Andang L. Binawan pernah menegaskan, bahwa hukum dan keadilan adalah dua hal yang berbeda, walaupun tidak bisa dipisahkan. (Binawan, 2004) Keadilan adalah sebuah cita-cita yang menjadi arah dari kehidupan manusia. Sementara hukum adalah ciptaan manusia yang sudah sejak proses pembentukannya menggendong ketidakadilan. Ada tiga hal yang cukup penting untuk diperhatikan di dalam proses penafsiran hukum, yakni soal ketidakmungkinan untuk duduk dan merumuskan pasal-pasal hukum secara bebas dan setara, soal bahasa di dalam pasal-pasal hukum, serta soal jarak dan waktu yang memisahkan sang legislator hukum dengan orang yang nantinya akan mematuhinya. (Binawan, 2004)

Yang pertama para legislator hukum bukanlah orang-orang yang bebas dan setara. Ada relasi-relasi kekuasaan yang mempengaruhi mereka. Ada legislator yang lebih kuat secara argumentatif, sehingga ia mempengaruhi proses pembuatan hukum secara signifikan. Ada pula legislator yang lemah secara argumentatif, sehingga ia tidak mampu menyuarakan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Di sisi lain kepentingan politik partai, golongan, wacana dominan dan paradigma di masyarakat, serta kepentingan ekonomi sudah secara nyata mempengaruhi jalannya proses legislasi hukum.

Yang kedua menurut Binawan, bahasa hukum adalah bahasa manusia, dan bahasa manusia sudah sejak awal selalu merupakan reduksi dari realitas. Bahasa adalah simbol untuk menangkap dan menyampaikan makna. Di dalam proses tersebut, bahasa secara langsung mereduksi makna ke dalam simbol-simbol alfabet, yang juga berarti secara otomatis mereduksi makna keadilan yang sesungguhnya ingin ditampung di dalam bahasa hukum. Bahasa dan makna adalah dua hal yang berbeda, namun tidak bisa dipisahkan. Makna adalah sesuatu yang lebih kaya daripada bahasa. Dalam soal penafsiran hukum, makna adalah prinsip keadilan yang ingin ditampung di dalam bahasa hukum, namun tidak akan pernah identik.

Yang ketiga menurut Binawan, para legislator merumuskan hukum dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Seringkali konteks tersebut sudah jauh berbeda dengan saat penerapan hukum tersebut. Ada jarak ruang dan waktu yang cukup jauh, yang memisahkan sang legislator (dengan asumsi ia ingin mewujudkan cita-cita keadilan) dan masyarakat sebagai yang terkena dampak dari hukum. Oleh karena itu seringkali suatu rumusan hukum tidak lagi relevan dengan situasi masyarakat. Hukum yang tidak relevan adalah hukum yang tidak adil.

Dimana Keadilan?

Di dalam segala problematika penafsiran hukum tersebut, di mana keadilan? Dapat dikatakan seorang legislator yang baik adalah mereka yang sungguh peka adalah ketiga hal yang telah dirumuskan Binawan di atas. Mereka sadar akan halangan bahasa, jarak ruang dan waktu, serta ketidakmungkinan untuk merumuskan hukum secara ideal. Di dalam keterbatasan itu, mereka berpikir dan bertindak secara terbuka. Hal yang sama juga berlaku untuk para penegak hukum. Mereka juga perlu sadar, bahwa hukum bukanlah sesuatu yang mutlak, melainkan sesuatu yang sudah sejak awal perlu untuk mendapatkan sentuhan manusiawi.

Di dalam bukunya yang berjudul The Force of Law, Jacques Derrida menegaskan, bahwa keadilan adalah ‘sesuatu yang akan datang’. (Derrida, 2004) Keadilan adalah suatu momen yang perlu untuk diharapkan dan diperjuangkan. Keadilan adalah sebuah momen yang selalu lolos dari genggaman hukum, walaupun untuk mewujudkan keadilan, manusia memerlukan hukum. Para legislator dan para penegak hukum di Indonesia perlu sadar akan hal ini, sehingga di dalam menjelaskan tugasnya, mereka berani untuk memberikan sentuhan personal guna menjamin terwujudnya keadilan.

Namun tetaplah harus disadari, bahwa kehidupan manusia bukanlah rumusan matematis. Maka keseimbangan lebih merupakan sebuah cita-cita daripada fakta. Begitu pula keadilan tidak akan pernah terwujud secara sempurna di dunia nyata, persis karena dunia manusia bukanlah dunia ideal, melainkan dunia real. Ketidakmungkinan itu tidak boleh mematahkan semangat kita untuk memperjuangkan keadilan. Sebaliknya semua upaya justru harus dilakukan untuk mendekatkan hukum ke prinsip keadilan. Keadilan adalah suatu momen yang akan datang, selama kita, manusia yang fana ini, bersedia berjerih payah memperjuangkannya.***

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.