Sekolah Gratis dan Wajah Pendidikan Kita

Sekolah Gratis dan Wajah Pendidikan Kita

Reza A.A Wattimena

Belakangan ini banyak muncul iklan tentang sekolah gratis di televisi. Sepercik harapan akan perbaikan kualitas manusia Indonesia pun hadir. Namun harapan tersebut tampaknya dibarengi dengan skeptisisme. Pertanyaan sederhana pun muncul, apakah kehadiran sekolah gratis ini akan mengubah wajah pendidikan kita?

Dampak Sekolah Gratis

Tak bisa dibantah lagi, bahwa sekolah gratis adalah prestasi membanggakan bangsa ini. Sudah waktunya pemerintah mulai memberi perhatian besar pada kualitas pendidikan generasi mendatang bangsa Indonesia. Perhatian tersebut kini tidak lagi sebatas retorika, melainkan sudah menjelma menjadi aksi nyata. Kini semakin banyak orang mendapatkan akses pendidikan yang berpotensi besar untuk mengubah hidup mereka ke arah yang lebih baik.

Seperti yang diungkapkan iklan di televisi, sekarang anak bisa menjadi pilot, walaupun orang tuanya supir mikrolet. Stratifikasi sosial dibuat menjadi terbuka. Latar belakang keluarga kini tidak lagi menjadi halangan bagi orang untuk bisa berkembang. Buta huruf bisa disingkirkan. Bangsa pun bisa menjadi semakin beradab.

Namun masalah sesungguhnya terletak bukan hanya pada biaya pendidikan yang selama ini mahal, tetap juga pada paradigma pendidikan yang digunakan. Paradigma sendiri adalah cara pandang terhadap manusia, dunia sosial, dan dunia alamiah yang menentukan cara berpikir seseorang. Dalam bidang pendidikan paradigma menentukan semua aktivitas ajar mengajar yang terjadi di kelas, maupun di luar kelas.

Paradigma Pendidikan

Bagaimana guru memandang muridnya? Bagaimana murid memandang gurunya? Apa peran orang tua di dalam proses pendidikan? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu menentukan seluruh aktivitas ajar mengajar.

Jika murid dipandang sebagai kertas putih yang tidak tahu apa-apa, maka kegiatan mengajar akan memakai pola satu arah saja, yakni guru menyuapi informasi pada murid. Jika guru dipandang sebagai ‘dewa’ yang tidak bisa salah, maka murid tidak boleh bertanya, apalagi berdebat. Jika orang tua menganggap pendidikan itu urusan sekolah, maka mereka tidak peduli dengan kualitas pendidikan anak-anaknya, kecuali dalam hal biaya.

Tentu saja pandangan diatas tidak tepat. Namun ironisnya banyak orang masih menganut asumsi semacam itu. Entah sadar atau tidak, banyak aktivitas pendidikan di negara ini masih menggunakan paradigma yang sudah tidak tepat. Ketika diajak untuk berubah mereka hanya menjawab, “itu kan sudah tradisi.”

Kesalahan Naturalistik

Jadi tradisi digunakan untuk membenarkan praktek pendidikan yang sudah tidak tepat. Tak peduli praktek itu salah atau tidak, selama banyak orang sudah melakukannya dalam waktu lama, maka praktek itu otomatis benar. Kira-kira cara berpikir inilah yang banyak digunakan masyarakat kita. Mulai dari orang yang mengaku terpelajar sampai orang yang tidak pernah mencicipi bangku sekolah, semuanya menganut cara pandang ini.

Di dalam pendekatan metode saintifik, cara berpikir itu disebut sebagai kesalahan naturalistik. Artinya orang membenarkan begitu saja apa yang sudah dilakukan bersama-sama dalam jangka waktu yang dianggap lama. Disini terjadi percampuran antara apa yang terjadi dan apa yang seharusnya, atau apa yang deskriptif dan apa yang normatif. Cara berpikir ini sesat, namun ironisnya, banyak orang secara sadar maupun tidak menggunakannya.

Walaupun rakyat mendapatkan pendidikan gratis, selama paradigma pendidikan yang digunakan masih paradigma pendidikan yang sudah tidak tepat, maka prestasi menciptakan sekolah gratis menjadi sia-sia. Ini seperti memberikan BBM gratis pada semua orang, namun BBM yang diberikan tidak sesuai dengan kriteria mesin, sehingga pada akhirnya justru merusak.

Selama cara berpikir kita tentang status guru, murid, dan peran orang tua dalam pendidikan belum berubah, selama itu pula dunia pendidikan kita terpuruk. Akibatnya generasi masa depan bangsa ini menjadi generasi yang tidak kompetitif, korup, dan alergi pada perubahan. Wajah pendidikan kita pun tidak berubah.

Paradigma pendidikan baru

Para praktisi pendidikan masyarakat secara keseluruhan perlu untuk meninjau ulang paradigma pendidikan yang mereka gunakan. Jika belum tepat dan tidak sesuai dengan perkembangan jaman, maka paradigma itu haruslah diubah. Dalam hal ini guru adalah manusia biasa yang bisa salah, bisa dipertanyakan, dan justru harus diminta pertanggungjawaban atas semua pernyataannya. Dan juga dalam hal ini, murid adalah partner dialog di dalam proses pendidikan, dan bukan sekedar kertas putih yang miskin pemikiran.

Sekolah gratis menjadi sia-sia, jika paradigma yang digunakan di dalam pendidikan masih menggunakan paradigma lama. Inilah yang harus menjadi perhatian kita bersama.***

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya. Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

5 tanggapan untuk “Sekolah Gratis dan Wajah Pendidikan Kita”

  1. Kalau saya melihat lebih pada harga diri guru / pengajar, sudah umum di masyarakat kita kalau satu kesalahan fatal di lakukan maka langsung di serang habis-habisan he he, hal ini ada lebih pada lingkungan sekitar yang kurang bisa menerima adanya bahwa guru bisa saja salah, paradigma pendidikan bisa muncul karena suatu sebab akibat. Sekarang permasalahannya mau mengubah paradigmanya atau penyebabnya dulu..

    Suka

  2. wah sekolah itu emang alat politik
    bahkan di iklan pajak pun pakai pendidikan……bayar pajak dengan jujur untuk pengentasan kemiskinan…la kok malah orang pajaknya yang korup….pendidikan pendiidkan, memang mustinya di pegang dari dana pajak masyarakat….so bisa grateis total

    Suka

  3. ya setuju. Pendidikan dan kesehatan seharusnya merupakan hal universal warga. Artinya itu sepenuhnya diambil dari pajak rakyat yang tentu saja harus dikelola secara bersih, supaya tidak dikorupsi. Seharusnya Indonesia mengarah menjadi welfare state.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.