Oleh Hendar Putranto, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia
Dalam gerak cepat pertumbuhan kota dan mobilitas akseleratif yang mewarnai dinamikanya, acapkali warga kota terengah-engah untuk mengimbangi. Saat motor dan mobil berhenti di perempatan lampu merah, atau di jalur antrian pom bensin, atau sekadar menunggu kedatangan moda transportasi publik, warga kota tetap menyibukkan dirinya dengan gawai sekadar meng-update berita, atau postingan viral di medsos mereka. Sebagian sosok urban mengambil peran sebagai commuter, yang terus meruangwaktu bolak-balik, tidak jarang dalam seruak sesak kemacetan di jalan tol (sebuah ironi!), manakala yang lainnya terjepit himpitan tubuh-tubuh keringatan di gerbong KRL Commuter Line atau TransJakarta. Serba semrawut, sumpek bertumpuk, dan riuh centang-perenang bukan pemandangan luar biasa di tengah dan pinggiran kota. Sesekali, selinap pikir dan selirih peluh tentang Ada dan Makna lamat-lamat menyapa: untuk apa ini semua? Senyampang tikungan kesadaran ini, Reza datang menawarkan suaka bernama Urban Zen. Ini bukan Fatamorgana, juga bukan Panacea, tapi “tawaran kejernihan untuk manusia modern.” Lanjutkan membaca Heneng, Hening, Hanung : Dari Dukkha Menuju Bahagia
Menyukai ini:
Suka Memuat...