Oleh Reza A.A Wattimena
Namanya Soleh. Sejak saya kecil, ia sudah berjualan es krim. Setiap sore, sekitar jam 4.30, ia lewat depan rumah saya. Suara kentungan gong kecil yang selalu membuat anak-anak di sekitar rumah saya bergembira.
Yang kedua bernama Paiman. Ia berjualan soto mie. Sekitar jam 5 sore, ia juga lewat depan rumah saya. Dulu, ibu saya suka membeli soto mie darinya. Kini, sesekali, saya juga belanja darinya.
Saya kenal keduanya sejak kecil. Jadi sudah sekitar 35 tahun lebih. Itu waktu yang sangat lama. Yang menarik, mereka sama sekali tidak berubah. Wajah dan tubuh mereka tetap sama, sebagaimana saya ingat 35 tahun silam.
Mungkin, ada rambut putih tumbuh. Sedikit keriput timbul di kulit. Namun, senyumnya tetap sama. Keramahannya tetap tak berubah.
Setiap hari, mereka berjalan minimal 30 km. Jangan lupa, mereka berjalan di jalanan Jakarta yang ganas. Mereka harus selalu waspada, entah motor yang mengebut, atau mobil yang berkendara dengan kacau. Mereka harus selalu sadar.
Yang ada di pikiran mereka hanya berjualan. Jika laku, mereka bersyukur. Jika tidak, masih ada harapan untuk esok hari. Tak ada pikiran berlebihan. Tak ada kecemasan yang mencekam.
Sebagai seorang Muslim, mereka selalu diajar untuk bersyukur. Apapun yang terjadi, mereka berterima kasih pada Sang Empunya Kehidupan. Ini tampak dari senyum mereka yang begitu tulus. Untuk usia yang tua dan pekerjaan yang berat seperti itu, badan mereka juga masih sangat sehat.
Ketika berbicara dengan mereka, saya mendapatkan kesan, bahwa mereka tak punya ego. Mereka hanya kesadaran murni. Mereka hanya menjalankan peran mereka masing-masing di dalam hidup ini, sambil menunggu kematian menjemput. Tak ada satu jejak kebencian, kemarahan, kerakusan ataupun kesedihan di mata mereka.
Di mata dunia sosial yang sombong, pekerjaan mereka kerap diremehkan. Mereka berjualan es krim dan soto mie nyaris seumur hidup mereka. Namun, ketulusan, rasa syukur dan senyum yang mereka tawarkan membawa kebahagiaan untuk banyak orang. Tentunya, ini jauh lebih baik daripada para koruptor, pemuka agama pembunuh akal sehat ataupun politisi busuk yang membuat rusak keadaan.
Pak Soleh dan Pak Paiman pun tidur dengan pulas. Hati mereka damai. Pikiran mereka tenang. Mereka berusaha hidup baik, bekerja dengan halal dan memasrahkan hidup mereka pada sang pencipta.
Merekalah Zen master sesungguhnya. Lewat ketulusannya, mereka mencapai pencerahan. Mungkin, mereka tak menyebut hidup mereka sebagai “tercerahkan”. Namun, mereka merasakan buah-buahnya, yakni hati yang damai, pikiran yang tenang serta hidup yang membahagiakan manusia lainnya.
Sesungguhnya, manusia dengan hati yang sederhana inilah yang memiliki surga. Mereka tak punya jubah mentereng. Mereka tak pandai mengutip ayat dalam bahasa asing. Namun, hati mereka sederhana, tulus dan sikap mereka membahagiakan sekitarnya. Mereka, sesungguhnya, sudah berada di surga, walaupun mereka tak menyadarinya.
Kita bisa belajar dari Pak Soleh dan Pak Paiman. Asal, kita mau jeli melihat keadaan. Tak perlu kita terpesona pada jubah, gelar ataupun orasi yang penuh kebencian dari para pemuka agama busuk dan politisi korup. Di sekitar kita, ada mahluk-mahluk tercerahkan yang siap mengajarkan arti kehidupan sesungguhnya kepada kita. Kita hanya perlu melihat… sungguh melihat.