Oleh Reza A.A Wattimena
Kisah ini ditulis oleh Arthur Schopenhauer. Ia adalah seorang pemikir Jerman di abad 18. Baginya, dunia ini bukanlah tempat yang masuk akal. Ia menolak pandangan para pemikir besar, seperti Plato dan Aristoteles, yang melihat dunia sebagai tempat yang rasional.
Bagi Schopenhauer, dunia berisi konflik yang tiada akhir. Tidak ada makna kehidupan di dalam dunia. Maka dari itu, kita mesti membatasi keinginan dan keterlibatan kita di dalam dunia. Dengan mengembangkan kesadaran moral dan estetik di dalam diri, manusia bisa mencapai kesadaran yang tenang, dan melampaui rasa kecewa dunia.
Dilema Landak
Di dalam bukunya yang berjudul Parerga and Paralipomena, ia menulis tentang dilema landak. Di musim dingin, landak hidup sendirian dan kedinginan. Cuaca begitu ganas, terutama di negara-negara yang memiliki empat musim. Jika memaksa hidup sendirian di dalam kedinginan, sang landak bisa mati.
Maka, para landak berkumpul untuk menemukan kehangatan. Mereka saling mendekatkan diri, dan membentuk komunitas. Ini penting dilakukan, guna menjamin kelestarian diri mereka. Tak ada pilihan lain yang mungkin diambil.
Namun, setiap landak memiliki bulu tajam. Bulu tersebut mengelilingi tubuh mereka. Alhasil, mereka pun saling menusuk dan menyakiti. Ketika jauh, mereka sepi dan dingin. Ketika dekat, mereka saling menyakiti.
Inilah dilema landak. Manusia modern abad 21 juga merasakannya. Ketika hidup sendiri, mereka sepi dan sedih. Namun, ketika menjalin relasi, mereka saling menyakiti, entah karena sikap egois yang kuat, atau karena perselingkuhan. Dilema landak adalah dilema manusia abad 21.
Schopenhauer melihat hanya ada satu jalan keluar. Kita hanya perlu menahan rasa sakit yang muncul dari hubungan antar manusia. Rasa sakit itu tak selamanya. Terkadang, ada bahagia juga yang bisa dirasa. Ketika konflik tercipta, manusia hanya perlu menahan diri, bersikap sabar dan sopan, supaya tidak saling menyakiti terlalu dalam.
Jalan Zen
Zen melihat jalan lain. Zen adalah jalan untuk mencapai pembebasan. Akarnya adalah tradisi Dharma Asia, terutama ajaran Buddha dan Yoga. Zen tidak menekankan ritual ataupun pemahaman intelektual, tetapi pengalaman langsung akan kenyataan sebagaimana adanya. Inilah yang disebut sebagai pencerahan.
Dari sudut pandang Zen, dilema landak bisa dipahami dalam tiga hal. Pertama, orang mencari relasi, karena rasa sepi. Rasa sepi, atau kesepian, lahir dari kesalahan berpikir tentang kehidupan. Orang merasa sendiri, karena ia merasa terpisah dari manusia dan mahluk lain. Perasaan terpisah dengan sekitar adalah akar dari kesepian yang bisa bermuara pada beragam penderitaan yang lebih berat.
Dua, karena terjebak oleh derita, orang lalu mencari jalan keluar. Relasi dengan orang lain dilihat sebagai jawaban. Harapannya, dengan membangun hubungan dekat dengan orang lain, kebahagiaan bisa diraih. Ini kesalahan berpikir yang amat berbahaya.
Orang lain tidak pernah bisa membuat diri kita bahagia. Hanya diri kita yang bisa melakukannya. Hubungan adalah tempat untuk berbagi, dan bukan tempat untuk memeras kebahagiaan. Tak heran, di abad 21 ini, perceraian menyentuh lebih dari 50 persen hubungan pernikahan yang terjadi. Begitu banyak penderitaan yang terjadi, karena hal ini.
Tiga, pola ini terus berulang. Orang melarikan diri dari kesepian, memasuki hubungan, lalu patah hati. Ini disebut juga sebagai samsara, yakni peristiwa yang berulang dengan pola yang sama. Samsara akan bermuara pada rasa frustasi pada dunia.
Pada titik ekstrem, rasa sakit yang dirasa bisa begitu besar. Tak heran, banyak orang bunuh diri, karenanya. Depresi juga bisa muncul darinya. Hidup pun terasa hampa dan berat, tanpa alasan yang sungguh jelas.
Pengetahuan yang Membebaskan
Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa kebenaran akan membebaskanmu. Dalam hal ini, kebenaran adalah pengetahuan tentang kenyataan sebagaimana adanya. Di dalam jalan Zen, kenyataan adalah sesuatu yang terus berubah, tak ada inti tetap dan menciptakan ketidakpuasan.
Dengan memahami ini, kita tidak akan mencengkram apapun. Emosi dan pikiran datang dan pergi. Mereka begitu sementara, sehingga tak layak untuk ditanggapi secara serius. Diri kita yang sejati berada sebelum pikiran dan emosi.
Ketika kesepian, kita tahu, bahwa rasa ini akan berlalu. Ketika tersakiti di dalam relasi, kita pun juga tahu, bahwa ini akan berlalu. Ada sikap melepas dari saat ke saat. Inilah akar kebijaksanaan di dalam tradisi Zen.
Bagi beberapa orang, emosi bisa terasa begitu kuat. Rasa sayang yang dirasa bisa begitu nyata dan kokoh. Rasa benci, kecewa dan sepi pun punya pola serupa. Diperlukan kesadaran penuh dan latihan yang cukup, supaya orang tidak hanyut sungguh dalam emosinya, dan jatuh dalam derita yang mencekam.
Kuncinya memang pemahaman. Pemahaman, dalam hal ini, lahir dari pengamatan. Emosi dan pikiran cukup diamati dengan jeli dan sadar. Keduanya akan melemah, lalu pergi hilang berganti, tanpa jejak.
Diri sejati kita adalah pengamat murni tersebut. Ia hanya mengamati dan menyadari. Tidak ada penilaian ataupun analisis di dalamnya. Ketika kita menyentuh diri sejati kita, ruang dan waktu berhenti, dan kita pun menyentuh keabadian disini dan saat ini. Tidak ada perbedaan, ataupun perasaan terpisah, antara diriku, dan segala yang ada.
Rasa sepi menjadi relatif. Dorongan untuk mencari relasi pun menjadi ringan. Tak ada kebutuhan mencekam untuk menghindari sepi, atau mencari relasi. Dilema landak, sebagaimana digambarkan Schopenhauer, pun lenyap.
Ada rasa kebebasan yang muncul. Ada perasaan dingin di dalam hati. Inilah cita rasa kebebasan yang ditawarkan Zen. Tertarik mencoba?
===
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/