Menulis, Penyembuhan dan Perubahan

4111150a448811e25ec254fc8727081a
pinimg.com

Oleh Reza A.A Wattimena

Peneliti, Penulis dan Doktor Filsafat dari Universitas Filsafat München Jerman

Anaïs Nin, penulis asal Kuba, pernah berkata, “Kita menulis untuk merasakan kehidupan dua kali, pada saat itu, dan ketika kita mengingatnya di dalam tulisan kita.”

Perubahan

Setiap hari, kita menulis. Kita menulis untuk mengirim pesan kepada teman atau keluarga. Kita menulis untuk menyampaikan perasaan kita, entah kepada buku harian, blog atau kepada orang lain. Dengan menulis, kita memperoleh ruang untuk mengekspresikan pemikiran kita, termasuk di dalamnya harapan dan ketakutan di dalam hidup kita. Menulis berarti menciptakan ruang, tempat dimana kita bisa menjadi diri kita sendiri, tanpa halangan dari pihak manapun.

Di dalam ruang itu, kita berhadapan dengan luka dan kekecewaan di dalam hidup kita. Menulis itu seperti menatap langsung segala derita dan kejahatan yang pernah kita alami di dalam hidup. Ia mempunyai dampak menyembuhkan. Dengan menulis, kita menciptakan jarak dan semua perasaan maupun emosi kita. Jarak inilah yang kemudian menyembuhkan.

Setelah itu, batin kita pun berubah. Ada perasaan lega yang muncul, ketika kita menulis dengan jujur, apa yang menjadi harapan dan kekecewaan kita. Ada semacam kesadaran, bahwa perasaan dan pikiran, yang selama ini menganggu kita, pun kosong belaka. Ia tidak memiliki inti, dan segera akan pergi, bagaikan tamu yang numpang, setelah selesai minum teh.

Pemahaman ini akan membawa perubahan mendasar di dalam batin kita. Jika banyak orang yang mengalami perubahan batin, maka perubahan sosial juga akan secara alamiah tercipta. Menulis, dalam konteks perubahan sosial, berarti berani mengungkap kebenaran. Menulis juga berarti berani bersikap kritis menanggapi ketidakadilan sosial yang terjadi.

Di dalam politik, menulis bisa menjadi pemicu perubahan besar, seperti revolusi atau reformasi radikal. Menulis juga bisa memicu lahirnya gerakan pencerahan yang menyebarkan inspirasi ke seluruh dunia. Begitu banyak contoh atas hal ini, mulai dari reformasi Gereja, revolusi Prancis, sampai dengan musim semi Arab yang masih penuh ketegangan sekarang ini. Bisa dibilang, menulis adalah salah satu persyaratan bagi lahirnya “yang politis” (das Politische) itu sendiri.

Bagaimana?

Namun, kita tidak bisa sembarang menulis. Tulisan yang tidak dimengerti tidak akan banyak gunanya bagi kehidupan kita, maupun orang lain. Maka, di dalam menulis, kita harus memegang prinsip, bahwa kita menulis untuk semua orang. Usahakan bahkan anak kecil pun bisa mengerti tulisan kita, tanpa kesulitan.

Di dalam menulis, kita juga perlu menggunakan kalimat efektif. Kalimat efektif adalah kalimat-kalimat singkat dengan menjauhi berbagai penggunaan kata serapan yang tak diperlukan. Melalui kumpulan kalimat efektif tersebut, pandangan lama dipatahkan, dan pandangan baru ditawarkan. Ia membuka mata, sekaligus melepaskan kita dari kesalahpahaman.

Di dalam menulis, kita juga perlu untuk melepaskan “keinginan yang berlebihan” untuk menulis. Kita perlu menulis, tanpa menulis, dan membiarkan aliran ide dan kata menggerakan tangan kita. Inilah kebijaksanaan Wu Wei yang berkembang di masa Cina kuno. Ini adalah kunci untuk mencapai kebijaksanaan di dalam apapun yang kita lakukan.

Wu wei, yang bisa diterjemahkan sebagai usaha tanpa usaha, adalah spontanitas itu sendiri. Ia adalah keadaan batin, dimana ego pribadi mundur, dan alam bekerja melalui tubuh kita. Ia adalah “usaha yang melepas segala usaha” (effortless effort), dan menjadi alamiah sepenuhnya. Hanya dengan begini, menulis tidak hanya bisa menyembuhkan, tetapi juga bisa menciptakan kehidupan.

Iklan

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Pendiri Rumah Filsafat. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023) dan berbagai karya lainnya.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.