
Oleh Reza A.A Wattimena
Sedang Penelitian di München, Jerman
Di dalam sejarah Indonesia, kaum intelektual memiliki peranan yang amat besar. Mereka mendorong revolusi kemerdekaan. Mereka juga terlibat aktif dalam pembangunan setelah kemerdekaan. Mereka adalah kaum terpelajar yang telah mendapat pendidikan tinggi, lalu membagikan pengetahuan mereka untuk kebaikan bersama. Tokoh-tokoh besar, seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, Pramoedya Ananta Toer, adalah kaum intelektual Indonesia.
Namun, kaum ini sering disusupi oleh kaum lainnya, yakni kaum in-“telek”-tual. Telek berasal dari bahasa Jawa, yang berarti kotoran atau “tai”. Mereka berpakaian dan bersikap seperti kaum intelektual. Namun, mereka justru meracuni masyarakat dengan ide-ide jahat, dan justru memecah belah serta menciptakan pertikaian. Pikiran dan isi tulisan maupun kata-kata mereka bagaikan kotoran bagi kehidupan bersama.
Kita seringkali sulit membedakan kaum intelektual dan kaum in-“telek”-tual. Apa ciri-ciri dari kaum in-“telek”-tual ini? Bagaimana kita membedakan mereka? Bagaimana supaya kita tidak tertipu oleh kaum in-“telek”-tual ini?
Pancain-“telek”-tual
Saya melihat lima ciri kaum in-“telek”-tual. Saya menyebutnya sebagai Pancain-“telek”-tual. Pertama, orang-orang in-“telek”-tual sangat percaya diri. Mereka biasanya bergelar tinggi (S2 atau S3), atau lulusan universitas dari luar negeri. Mereka merasa tahu, lalu berani menggiring rakyat untuk mengikuti pendapat mereka. Namun, setelah dipikirkan lebih dalam, banyak pendapat mereka didasarkan atas kebencian dan kerakusan akan kekuasaan serta nama baik semata.
Dua, orang-orang in-“telek”-tual merasa bagaikan kaum bangsawan. Mereka merasa layak mendapatkan perlakuan khusus, dimanapun mereka berada. Mereka senang menjadi pembicara di forum-forum umum. Mereka bangga menjadi bagian dari struktur kekuasaan politik yang kerap kali korup dan menindas.
Tiga, orang-orang in-“telek”-tual merasa bagaikan artis. Wajah dan nama mereka terpampang di berbagai media, terutama televisi dan koran. Dengan berbekal gelar akademik dan kepercayaan diri, mereka menyebarkan ketakutan dan kebencian. Banyak orang tertipu, dan akhirnya tersesat akibat sikap kaum in-“telek”-tual ini.
Empat, orang-orang in-“telek”-tual ini gampang sekali disuap. Mereka mau ngomong apa saja, asal dibayar tinggi. Mereka siap mengabdi siapa saja, asal uangnya pas. Mereka tampak sangat jelas menjelang pemilu 2014 di Indonesia ini. Mereka rela mengorbankan jati diri akademik mereka demi kekuasaan, nama besar dan uang. Mereka bersedia memberikan argumen apapun untuk membenarkan apapun, selama itu memberikan mereka keuntungan.
Lima, kaum in-“telek”-tual ini sering menempel di kekuasaan. Mereka suka sekali menjilat petinggi-petinggi politik atau bisnis. Bahkan, mereka rela sok melakukan kritik tajam, supaya menarik perhatian, lalu dikemudian disewa oleh penguasa, guna membenarkan penindasan yang ada. Di Jerman maupun Indonesia, kaum in-“telek”-tual suka sekali menempel di organisasi-organisasi keagamaan, supaya mereka kelihatan suci dan bisa menutupi kebencian serta kerakusan dari mata masyarakat.
Pintar Membedakan
Jika anda mendengar, membaca atau melihat orang-orang semacam ini, maka hati-hati, anda sedang melihat kaum in-“telek”-tual. Kita tidak boleh mencampurkan kaum in-“telek”-tual dengan kaum intelektual yang sesungguhnya. Kaum intelektual adalah orang terpelajar (biasanya bergelar akademik tinggi, namun tidak selalu) yang dengan ketulusan hatinya membagikan pengetahuannya untuk mengembangkan masyarakat. Mereka perlu tampil di media-media, namun bukan untuk mencari uang atau nama baik, melainkan untuk berbagi ide-ide yang baik, guna kebaikan masyarakat.
Hati kita tenang dan pikiran kita tercerahkan, ketika mendengar kaum intelektual berbicara. Sebaliknya, hati kita takut, dan kita mendidih untuk berperang, ketika mendengar kaum in-“telek”-tual berbicara. Mereka berdua mungkin sama-sama bergelar akademik tinggi. Namun, isi hati dan pikirannya berbeda amat jauh.
Kita harus pintar-pintar membedakan keduanya. Kita harus mengabaikan, bahkan melawan, kaum in-“telek”-tual. Kita harus kritis dan sadar, supaya tidak termakan isu dan fitnah yang memecah belah kehidupan bersama kita. Jadi, hati-hati ya mulai sekarang, ketika mendengar atau membaca nara sumber di berbagai media. Jangan-jangan, mereka adalah kaum in-“telek”-tual!
Dear Mr. Reza,
Saya ada tugas presentasi 10 menit di kelas Training for trainer 16 Oktober 2014 di universitas mercubuana Jakarta, ijin saya pakai artikel, Artikel ini sangat menarik untuk mengingatkan para akademisi untuk menjadi intelektual bukan in – telek – tual, tentu saja sumber saya cantumkan. Terima kasih.
SukaSuka
Ya. Silahkan. Semoga bisa terbantu ya.
SukaSuka