Menelisik Idealisme Teror

goodreads.com

Oleh F Budi Hardiman

Sampai hari ini, siapa pun yang berakal sehat akan mengutuk serangan Al Qaeda pada 9/11. Menara kembar WTC, simbol kedigdayaan ekonomi AS, itu roboh. Reruntuhannya terus terbakar sampai seratus hari.

Lebih dari 17.000 orang dievakuasi dan sekitar 3.000 orang mati. Lawrence Wright, penulis buku Sejarah Teror ini, mencoba menelisik isi pikiran dan sepak terjang orang-orang yang terkait dengan peristiwa itu.

Wartawan The New Yorker ini bercerita bagaimana Osama bin Laden, Ayman Zawahiri, dan para islamis (Islam radikal) lain memandang dunia dari sudut idealisme ”moral” yang tinggi. Cara hidup mereka mengundang simpati dalam suatu zaman yang telah digilas oleh materialisme dan hedonisme. Terdidik, berduit, dan mampu bepergian ke luar negeri, mereka hidup seperti seorang ”rahib” yang berdoa semalaman, menangis dan berpuasa atau hanya makan kurma, roti dan air.

Bin Laden, pendiri dan cukong Al Qaeda, digambarkan sebagai pemalu, bertangan halus seperti wanita, dan saat tertawa menutupi bibirnya dengan tangan (hal 133). Zawahiri juga sosok saleh dengan keinginan ”menyenangkan Allah”.

Diilhami oleh hidup dan ajaran Sayyid Qutb, martir kaum islamis, mereka menganggap modernitas dan sekularisme sebagai biang kerok alkoholisme, seks bebas, dan berbagai bentuk dekadensi moral lainnya. Liberalisme Barat dan Marxisme telah gagal menyelamatkan manusia dari bencana moral. Kini giliran Islam mengambil alih peran itu (hal 39).

Secara anakronis tapi provokatif, kaum islamis mau merobohkan tatanan sekuler modern dan menggantinya dengan hukum syariat seperti dulu telah menghalau jahiliah, kebodohan pra-Islam.

Tak mengherankan jika Bin Laden, raja bisnis konstruksi di Arab, memekikkan perang terhadap AS dari sebuah goa di Afganistan. Tokoh yang terusir dari Saudi dan sangat dicurigai Taliban ini ”mengambil peran seorang primitif yang tak tercemar dan tak mau takluk, yang berusaha menghadang kekuatan luar biasa yang sekuler, ilmiah, dan teknologis; ia sedang memerangi modernitas itu sendiri” (hal 294). Tapi, hal itu ironis, demikian tulis Wright, karena akal yang mampu memanipulasi simbolisme itu sangat modern. Maklumat perang itu memikat, bahkan untuk menyongsong kematian.

Juga diceritakan bagaimana Abdullah Azzam menjadi ”motivator” militansi kaum muda untuk bergabung ke dalam pasukan melawan pendudukan Uni Soviet di Afganistan. Ulama karismatis ini berkhotbah kepada umat Muslim di seluruh dunia lewat buku, video, TV, dan kaset. Dia punya banyak koleksi kisah-kisah mukjizat dari perang Afganistan dan rela membayar para mujahid yang dapat bersaksi (hal 136). Penindasan, penistaan, dan marginalisasi yang dialami rakyat Afganistan dan negara-negara Islam lainnya dan juga campur tangan politis Amerika ke negara-negara itu meningkatkan radikalitas gerakan-gerakan Islam.

Terjepit dan mendapat peluang 

Dalam bukunya, Wright merangkai banyak sekali peristiwa yang selama ini terserak menjadi sebuah kisah utuh yang mampu menerangi latar belakang kelam gerakan-gerakan Islam radikal yang memuncak pada 9/11, mulai dari Mesir, Afganistan, Sudan, Arab Saudi, Eropa, sampai Amerika. Gerakan mulai berciri ”lokal” lalu go global, dan menyebar sel-sel ke Eropa. Sasaran perlawanan juga kian bergeser dari Pemerintah Mesir sampai akhirnya terhadap AS dan Barat pada umumnya.

Wright mencermati bagaimana gerakan-gerakan radikal itu terlibat konflik kepentingan. Obsesi untuk memurnikan sistem politis agar sesuai hukum syariat telah menyeret kaum Muslim berperang di antara mereka sendiri. Doktrin takfir versi Qutb tidak hanya menghalalkan darah orang kafir, melainkan juga darah Muslim yang dianggap murtad karena tidak mewajibkan syariat di negaranya (hal 158).

Pada alur pokoknya buku ini menyoroti kegigihan bin Laden dan sel-sel Al Qaeda. Terjepit konflik kepentingan di antara sesama Muslim, mereka mendapat peluang justru di Barat sendiri. Mereka sukses memanfaatkan kelonggaran sistem negara liberal Eropa dan kelemahan sistem keamanan AS hingga melapangkan jalan Mohammed Atta untuk menabrakkan pesawatnya ke WTC.

Hasil ratusan wawancara

Buku pemenang Pulitzer ini adalah hasil riset 5 tahun. Cara penyajiannya sangat menarik. Di satu saat Wright memberikan deskripsi dan analisis, dan di saat yang lain dia menghidupkan para tokoh dengan dialog dan adegan seperti dalam novel. Bab-bab ditata menurut karakter dan tindakan tokoh yang seluruhnya membangun kronologi yang mudah dimengerti. Anda tidak dapat berhenti membaca buku ini karena terus dipikat oleh gaya tulis yang begitu hidup dan memukau.

Detail adegan-adegan dramatis, termasuk mimpi-mimpi aneh anggota Al Qaeda sebelum 9/11 (hal 445), yang dibangunnya lewat ratusan wawancara mendalam dengan orang-orang dekat para tokoh tidak menimbulkan kesan memihak meski ”berbagi rahasia” menimbulkan kedekatan dengan para narasumbernya (hal 559). Sebutan ”pejuang Islam” sebagai ganti ”teroris” membuat buku ini terasa netral.

Meski demikian, sulit dipungkiri bahwa ”tradisi kebencian” yang memuncak pada 11/9 itu tidak netral. Maka itu, berkali-kali Wright mengacu pada Al Quran untuk menunjukkan bahwa Islam tidak seperti yang dipikirkan kaum islamis itu. Kita juga segera mengerti bahwa Islam yang dihayati oleh kaum islamis yang diulas dalam buku Wright ini bukanlah Islam yang benar.

Setelah membaca seluruh buku ini, cukup jelaslah pesan yang terkandung di dalamnya. Sejarah teror tidak lebih daripada sejarah ketidakpercayaan timbal balik yang menghasilkan rantai kekerasan. Hegemoni global Amerika ke dunia Islam dan masyarakat-masyarakat lain berbalas serangan teror 9/11 itu. Kekerasan tidak berhenti di situ karena kemudian Amerika juga memberi reaksi khas yang kita kenal selama ini, yaitu melakukan serangan balik dalam bentuk perang melawan terorisme. Ketakutan manusia satu sama lain bisa lebih besar dan lebih tahan lama daripada menara kembar yang telah dihancurkan itu.

F Budi Hardiman Penulis buku Massa, Teror dan Trauma, Dosen di STF Driyarkara, Jakarta

 

Diterbitkan oleh

Reza A.A Wattimena

Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022) dan berbagai karya lainnya.

2 tanggapan untuk “Menelisik Idealisme Teror”

  1. kebenaran memang banyak cobaan dan rintangannya. dalam hal ini ajaran Islam yang sebenarnya yang tidak diketahui orang banyak. yang aku bayangkan, bukan tanpa alasan Tuhan menentukan nabi-nabi, khususnya nabi-nabi dalam sejarah Islam dan/atau Kristen; dari Adam sampai Isa (Jesus) dan Muhammad SAW lahir di kawasan-kawasan Timur Tengah sana. karena orang-orang disana kuat dan rentan terhadap godaan untuk melakukan tindak kekerasan. just a thought.

    nice posts here. 😀

    salam kenal, mas Reza & rumahfilsafat! 🙂

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.